Kebakaran Depo Plumpang, Potret Abainya Negara terhadap Keselamatan Rakyat
Tinta Media - Kebakaran yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang Jumat malam, 3 Maret lalu menyisakan duka. Sedikitnya 17 orang meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka bakar dalam insiden ini, sedangkan ratusan lainnya mengungsi akibat rumah mereka terbakar habis (bbc.com).
Menurut
pengakuan salah satu korban selamat dalam insiden tersebut, sebelumnya telah
tercium bau gas yang sangat menyengat hingga tampak adanya asap putih
menyerupai kabut. Tak lama terjadi ledakan dahsyat yang melahap perumahan
warga. Korban jiwa yang cukup banyak, menurutnya, diakibatkan tubuh warga yang
telah terselimuti gas terlebih dahulu, sehingga begitu api menjalar akan
mengejar asap gas yang telah tertiup angin menuju pemukiman warga dan langsung
membakar tubuh dan rumah warga yang terselimuti kabut gas tersebut.
Peristiwa kebakaran ini bukan pertama kalinya,
sebelumnya pada tahun 2009 telah terjadi kebakaran serupa di depo 24 yang
menampung 5.000 kiloliter BBM jenis premium. Bahkan saat itu wapres Jusuf Kalla sudah mengingatkan agar kawasan tersebut
bebas pemukiman guna meminimalisir jumlah korban. Pertamina harus segera
melakukan pembebasan lahan agar kawasan sekitar Pertamina bebas pemukiman
penduduk. Sehingga, jika terjadi musibah semacam ini tidak akan banyak memakan
korban (kumparan .com).
Mirisnya, penduduk yang menjadi korban tidak
hanya yang ada di area pemukiman liar (tanpa surat izin). Namun juga kawasan
yang mereka memiliki bukti resmi Surat Hak Guna Bangunan. Artinya keberadaan
penduduk di wilayah tersebut adalah sesuatu yang dilegalkan secara hukum dan
diketahui oleh pengurus wilayah setempat baik RT maupun RW.
Objek vital negara semacam Pertamina, PLN
ataupun yang lainnya seharusnya memiliki zona penyangga (buffer zone) yang
cukup lebar dengan pemukiman rakyat. Tujuannya agar tidak terjadi bahaya pada
masyarakat manakala terjadi kecelakaan yang tak diinginkan semacam ini. Menurut
pengakuan warga korban kebakaran ini, sekitar tahun 1990an kawasan tersebut
masih kosong, namun setelah tahun 2000an
pembangunan pemukiman warga makin pesat hingga menjadi pemukiman padat penduduk
seperti saat ini.
Massifnya pembangunan pemukiman di zona
penyangga lengkap dengan pengaturan kependudukan seperti RT RW dan pemberian
Sertifikat Hak Guna Bangunan menunjukkan abainya peran pemerintah dalam menjaga
keselamatan rakyat. Pasalnya, negaralah yang seharusnya memiliki standarisasi
keamanan terhadap pengelolaan aset-aset vital negara sekaligus bisa melindungi
masyarakat dari bahaya yang mengancam jiwa. Negara dengan pengaturannya bisa
membuat peraturan jelas dan tegas agar rakyat terhindar dari musibah.
Di sisi lain, padatnya kawasan Ibukota
merupakan dampak timpangnya pembangunan di berbagai wilayah negeri ini.
Silaunya mereka dengan kehidupan metropolis, berikut harapan mendapat lapangan
pekerjaan yang lebih layak membuat mereka berbondong-bondong mendatangi Ibukota.
Akibatnya lahan hunian makin sempit, belum lagi kemiskinan dan kesulitan hidup
memaksa mereka untuk tinggal ala kadarnya di tempat yang beresiko bahaya tinggi
semacam bantalan rel kereta api, bantaran sungai, hingga kawasan buffer obyek
vital negara. Akibatnya, jika terjadi musibah semacam ini pastilah rakyat yang
kembali menjadi korban.
Dalam Islam, keselamatan rakyat adalah hal
utama. Sedangkan penguasa adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk menjaga
keselamatan rakyat. Maka penguasa akan tepat dan teliti dalam merencanakan
penataan wilayah dan peruntukannya. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
"Pemimpin atas manusia adalah pengurus
dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Juga dalam sabda NabiNya:
“Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah
dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An Nasai dan Turmudzi).
Negara dalam Islam akan memperhatikan dan menata wilayah untuk pemukiman warga, dengan berbagai kebijakan. Prinsip pelayanan terhadap kebutuhan rakyat ini akan dilakukan dengan 3 prinsip, yaitu aturan yang sederhana, cepat dalam pelayanan dan dilakukan oleh orang-orang yang kapabel di bidangnya. Ditambah dengan pengaturan ekonomi Islam tentang kepemilikan barang.
Barang tambang disini merupakan barang kepemilikan umum,
sehingga industri yang mengelolanya juga masuk dalam kategori kepemilikan umum.
Hasil dari pengelolaan kepemilikan umum ini salah satunya bisa digunakan untuk
membangun fasilitas umum yang diperlukan oleh masyarakat semisal jalan raya,
rumah sakit dan fasilitas publik lainnya.
Dalam membangun pemukiman warga, selain
memperhatikan keindahan bangunan juga memperhatikan aspek sanitasi atau
kebersihan lingkungan, kenyamanan dan keamanannya. Tersedianya ruang terbuka
untuk sirkulasi udara yang baik, wilayah pembangunan yang aman dari banjir juga
kualitas bangunan yang tahan goncangan. Gambaran arsitektur peninggalan Islam
tersebut masih tampak keindahan dan
kekuatannya dalam pusat-pusat kota peradapan Islam semacam Granada, Baghdad dan
Andalusia dengan istana Al Hambranya.
Sistem tata kelola pemukiman rakyat ini
hanyalah salah satu mekanisme syariat Islam terhadap berbagai permasalahan
umat. Maka untuk menerapkannya hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam secara kaffah
dalam kehidupan bermasyarakat.
Wallahu a’lam
Oleh : Desi Dwi A
Sahabat Tinta Media