Tinta Media: Denny Indrayana
Tampilkan postingan dengan label Denny Indrayana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Denny Indrayana. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Juli 2023

MODUS OPERANDI KRIMINALISASI GUS NUR AKAN DIADOPSI DAN DITERAPKAN PADA KASUS DENNY INDERAYANA?

“Saya minta kepada Pak Dirtipidum dan Dirsiber untuk menangani kasus ini secara cepat, sehingga bisa menjawab tuntutan masyarakat agar kasus ini segera diselesaikan,”

[Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, Senin, 26/6/23]

Tinta Media - Pengadilan Negeri Surakarta telah mengirimkan Relaas Pemberitahuan Putusan Banding Gus Nur dengan perkara nomor: 271/PID.SUS/2023/PT SMG pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2023 lalu. Segera setelah mendapatkan relaas resmi, kami selaku Penasihat Hukum telah mengajukan Permohonan Kasasi dan diterbitkan Akta Permohonan Kasasi oleh Pengadilan Negeri Surakarta pada pada hari Senin, tanggal 19 Juni 2023.

Penulis selaku ketua Tim Advokasi Gus Nur, telah berkoordinasi dengan Tim Penasihat Hukum yang ada di Solo yang dikoordinatori oleh Rekan Andhika Dian Prasetya, untuk menyerahkan memori Kasasi pada hari Senin, tanggal 3 Juli 2023. Rencananya Jum'at ini kami serahkan, namun ternyata jum'at layanan pengadilan tutup karena cuti bersama, sehingga penyerahan memori Kasasi kami undur hingga Senin (3/7).

Sekedar untuk diketahui bahwa Gus Nur sebelumnya oleh Pengadilan Tinggi Semarang telah divonis melakukan tindak pidana sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan karena membimbing Mubahalah Bambang Tri Mulyono terkait Ijazah palsu Jokowi, dan karenanya dijatuhi pidana selama 4 (Empat) tahun dan denda sebesar Rp400.000.000,00 (Empat ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (Empat) bulan.

Vonis ini memang lebih ringan daripada vonis Pengadilan Negeri Surakarta yang sebelumnya memvonis Gus Nur dengan pidana 6 (enam) tahun penjara, karena dianggap terbukti mengedarkan kabar bohong yang menerbitkan keonaran. Hanya saja, turunnya vonis dari Pengadilan Tinggi Semarang ini tidak membuat kami puas, karenanya setelah berkonsultasi kepada Gus Nur, kami sepakat mengajukan Kasasi.

Info diatas hanyalah pengantar, sebelum penulis mencoba menganalisa kasus yang menimpa mantan Wamenkumham era SBY, Denny Indrayana yang saat ini dijerat dengan kasus pidana 'kabar bohong' soal 'bocoran putusan MK'.

Belum lama ini, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen. Pol. Agus Andrianto menginstruksikan agar penanganan perkara dugaan penyebaran informasi bohong (hoaks) yang dilakukan Denny Indrayana untuk diproses secara cepat. Menurutnya, kasus tersebut sudah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Perkaranya saat ini ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Siber dan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Status perkaranya pun telah ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Artinya, Polri telah memiliki kesimpulan adanya peristiwa pidana pasal kasus bocoran putusan MK soal Pemilu Proporsional tertutup. Peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan, hanya dilakukan jika penyidik meyakini ada peristiwa pidana dalam kasus tersebut dan kemudian akan mengarah pada penetapan status tersangkanya.

Denny Indrayana sendiri telah mengetahui siapa yang akan disasar sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Denny lantas membela diri, bahwa dirinya yang mengungkap informasi soal putusan MK akan mengabulkan Proporsional tertutup tidak menimbulkan keonaran. Walau pada akhirnya, vonis MK proporsional tertutup.

Malahan, jika vonisnya proporsional terbuka akan menimbulkan keonaran sebab 8 partai di DPR RI jelas menolak sistem Pemilu proporsional tertutup. Meski lega, karena informasinya keliru, lega pula niat mengontrol agar putusan MK proporsional terbuka berhasil, Denny mengaku bahwa upayanya justru mencegah terjadinya potensi kekacauan. 

Kalau sistem tertutup yang diputuskan, menurutnya akan muncul potensi deadlock, bahkan penundaan pemilu, karena putusan MK ditentang oleh 8 partai di DPR. Ungkap Denny.

Masih menurut Denny, menurutnya sudah ada bahasa akan memboikot pemilu, yang muncul dari parlemen. Upaya Denny bersama-sama dengan media yang memberitakan luas (memviralkan) komentarnya di socmed, terbukti bisa menjadi kekuatan suara publik menyelamatkan suara dan mayoritas aspirasi masyarakat Indonesia.

Terkait proses hukum di Bareskrim Polri, berdasarkan pengalaman penulis mengadvokasi sejumlah kasus kriminalisasi khususnya yang dialami Gus Nur, maka Penulis menduga Bareskrim Mabes Polri akan mengadopsi strategi kriminalisasi terhadap Gus Nur pada kasus Denny Indrayana, dengan modus operandi sebagai berikut:

Penggabungan penyidik dari Dirtipidum dan Dirpidsiber dalam penanganan kasus Denny Indrayana adalah dalam rangka untuk mengaktivasi Pasal pidana umum dan pidana ITE untuk menjerat Denny Indrayana. 

Pasal pidana umum yang akan digunakan adalah Pasal 14 ayat (1) dan/atau ayat (2), atau pasal 15, UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana, untuk menjerat Denny Inderayana dengan Pasal mengedarkan kabar bohong yang menerbitkan keonaran dikalangan rakyat. Ancaman maksimumnya adalah 10 tahun penjara.

Pasal pidana khusus yang berkaitan dengan delik ITE yang akan digunakan adalah ketentuan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ,(ITE). Dalam kasus ini, Denny akan dijerat dengan Pasal menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). MK nantinya akan dikualifikasi sebagai 'Antar Golongan' berdasarkan keterangan ahli bahasa.

Selanjutnya, pasal delik penyertaan karena Denny mengaku mendapatkan informasi dari sumber kredibel soal putusan MK akan diputus dengan sistem Pemilu Proporsional tertutup. Penyidik akan menerapkan ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai jaring pamungkas untuk menjerat Denny Inderayana.

Selanjutnya, saat Denny nantinya naik pangkat menjadi tersangka maka Denny akan ditahan. Mengingat, ancaman pidananya lebih dari 5 tahun maka berdasarkan KUHAP penyidik akan memanfaatkan kewenangan untuk menahan Denny Inderayana.

Modus operandi tersebut diatas terjadi dalam kasus Gus Nur. Namun, dalam kasus Gus Nur ada tambahan pasal pidana penodaan agama berdasarkan Pasal 156a KUHP. Walau akhirnya, ditingkat PN Surakarta Gus Nur divonis 6 tahun karena pasal kabar bohong, di PT Semarang dianulir dan dikenakan pasal ITE dengan vonis 4 tahun, sementara pasal penodaan agamanya tidak terbukti baik di PN maupun di PT.

Penulis kira, Denny Indrayana telah menyadari resiko kriminalisasi ini. Kita semua tentu mendukung Denny dan berharap Denny tidak masuk angin saat ditetapkan sebagai Tersangka, dan berkompromi dengan rezim Jokowi. Status Denny yang berada di Australia, penulis kira akan memberikan dampak imunitas hukum dan perlindungan dari potensi 'pencidukan oleh Bareskrim', berbeda dengan Gus Nur yang kala itu langsung ditangkap setelah berstatus Tersangka karena berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Kuasa Hukum Gus Nur
https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 16 Juni 2023

PUTUSAN PROPORSIONAL TERBUKA: KONFIRMASI KEMENANGAN DENNY INDRAYANA DAN SIKAP KAMPUNGAN HAKIM MK

Tinta Media - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus gugatan sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi terkait sistem Pemilu tersebut, dan menyatakan  Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (15/6/2023).

Namun, setelah pembacaan putusan tersebut MK dikabarkan bakal melaporkan Advokat Denny Indrayana ke organisasi advokat yang menaunginya. Hal itu disampaikan salah satu Hakim MK Saldi Isra.

"Kami di rapat permusyawaratan hakim sudah mengambil sikap bersama bahwa kami Mahkamah Konstitusi agar ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua, akan melaporkan Denny Indrayana ke organisasi advokat yang Denny Indrayana berada," kata Saldi Isra (15/6/2023).

Putusan MK soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka ini, tidak lepas dari manuver Deny Indrayana yang beberapa saat lalu mengaku mendapatkan informasi bahwa hakim MK akan memutus sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup, hingga informasi formasi 6 hakim menyetujui dan 3 hakim mengajukan disenting opinion. Andai saja tidak ada ribut-ribut soal isi putusan MK, boleh jadi putusan MK saat ini bukanlah dengan sistem proporsional terbuka.

Hari ini, Deny Indrayana menyatakan bersyukur informasi yang diterimanya keliru. Padahal, sejatinya Deny Indrayana sedang mensyukuri manufernya berhasil menggiring opini publik, bahkan membuat Hakim MK tak berdaya, hingga akhirnya harus memutus perkara dengan sistem proporsional terbuka dengan menolak permohonan pemohon dalam putusannya.

Namun sayangnya, hakim MK bersikap kolokan dan kampungan, akan melaporkan Deny Indrayana ke organisasi advokat tempatnya bernaung. Hakim yang mulia, yang semestinya berbicara dengan keagungan putusannya, tidak ngember, hari ini telah menjatuhkan marwah dan wibawanya dengan mengadakan konferensi pers yang isinya akan melaporkan Deny Indrayana.

Kalaulah benar akan ada tindakan melaporkan Deny Indrayana, hal itu tak perlu dilakukan oleh hakim MK. Apalagi, menurut Saldi Isra rencana pelaporan ini telah melalui rapat permusyawaratan hakim MK. Seperti mau membuat putusan saja.

Padahal, seorang hakim harus menjaga harkat dan kehormatan, serta menjunjung tinggi wibawanya sebagai manusia yang dipanggil 'yang mulia', yang memiliki predikat sebagai wakil Tuhan. Hakim dibatasi dalam berinteraksi, dan berbicara kepada publik hanya dengan putusannya.

Berbeda dengan advokat, yang memiliki predikat sebagai Officium Nobile, memang harus banyak bicara ditengah masyarakat. Advokat atau pengacara bekerja dengan berbicara dan menulis. Justru dipertanyakan jika ada orang yang berprofesi advokat tidak berbicara dan tidak menulis.

Risalah pembelaan disajikan dalam tulisan lalu dibacakan. Pendalaman fakta persidangan adalah dengan berbicara di persidangan. Pendek kata, seorang advokat memang dituntut untuk banyak berbicara dan menulis, untuk melaksanakan profesinya.

Sementara hakim justru harus ja'im, jaga wibawa, tidak ember, irit statemen dihadapan publik. Bahkan, saluran suaranya kepada publik adalah melalui produk putusannya.

Lalu, apa urusannya Saldi Isra bicara dihadapan publik untuk memperkarakan Deny Indrayana? Apa tidak ada lagi juru bicara MK? Apa tidak ada organ MK yang bisa melaporkan Deny Indrayana? Mengapa pula harus hakim MK yang melaporkan? Mengapa pula harus mengadakan rapat permusyawaratan, memangnya mau membuat putusan?

Lagipula, hakim MK semestinya menghormati profesi advokat. Tidak sependapat boleh, tapi tidak elok seorang hakim berkonflik di depan publik dan melaporkan penegak hukum lainnya (advokat) ke organisasi yang menaungi.

Ah, makin ga jelas saja Republik ini. MK yang diharapkan menjadi hakimnya hakim, mahkamahnya mahkamah, ternyata bersikap kolokan, kampungan. Kalau ingin eksis di publik, merespons persoalan lewat media, tanggalkan saja jubah hakim, jadi rakyat sipil biasa atau kalau mau bebas berbicara jadilah advokat seperti Denny Indrayana. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab