Dendang Bergoyang dan Karakter Pemuda Cemerlang
Tinta Media - Konser musik "Berdendang Bergoyang" akhirnya dihentikan oleh pihak kepolisian di hari kedua. Konser yang diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta Pusat tersebut rencananya akan digelar selama tiga hari. Konser tersebut dinilai berbahaya karena over kapasitas.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (30/10), Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komaruddin menyatakan bahwa pada saat hari pertama realita lapangan tidak sesuai dengan izin yang diajukan, yakni jumlah peserta yang membludak dan tenda kesehatan yang minim. Belum lagi banyaknya kasus pencopetan dan minuman keras.
Karena itu, polisi menutup acara tersebut pada hari Sabtu jam 22.00, ditengarai karena banyaknya penonton yang sesak napas dan jatuh pingsan. Jumlah penonton yang mencapai 21.000 orang sejak hari pertama diselenggarakannya membuat pihak kepolisian khawatir kalau terjadi korban lebih banyak. Apalagi, terdapat luapan emosi dari penonton yang tidak bisa masuk ke area stadion, meminta ganti uang mereka.
Sebagian besar korban tentu saja pemuda. Mereka sudah teracuni gaya hidup hedonisme sekulerisme. Mereka mencari makna kebahagiaan dengan bersenang-senang tanpa peduli apakah hal tersebut haram ataukah halal, merusak dirinya atau memberikan manfaaat. Sungguh tidak bisa diharapkan dari pemuda seperti ini untuk membangun perdaban cemerlang sesuai dengan Islam.
Acara yang jelas tidak memberikan manfaat kepada para pemuda, menjauhkan mereka dari agama dan tujuan hidupnya justru diberikan izin untuk terselenggara. Acara tersebut dihentikan setelah nampak nyata korban yang berjatuhan.
Berbeda halnya dengan event yang serupa, tetapi tidak sama, yakni acara Hijrahfest, sebuah acara yang digelar untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap Islam. Mereka bisa saling menginspirasi, bagaimana rasanya berhijrah dari kemaksiatan menuju keimanan.
Dikarenakan adanya penolakan dan keberatan dari sebagian masyarakat dan organisasi yang tidak terima logo organisasinya dicantumkan, segera polisi mencabut izin penyelenggaraan acara tersebut. Padahal, bisa saja acara tetap diselenggarakan dengan menghapus logo organisasinya. Apalagi, alasan yang tidak logis disematkan untuk acara tersebut karena berafiliasi dengan ormas yang antipancasila. Lagi-lagi kepolisian dengan sigap membatalkan acara tersebut.
Beginilah realita hari ini. Demokrasi dijunjung tinggi, padahal merupakan sumber kerusakan. Demokrasi memiliki paham bahwa manusialah pusat kedaulatan sehingga berhak membuat aturan untuk dirinya atau orang lain. Paham ini menjunjung empat kebebasan, yakni berakidah, bergaul, kepemilikan, dan berpendapat. Oleh karena itu, tak mengherankan jika acara berdendang bergoyang lebih bisa diterima masyarakat, sedangkan hjrahfest ditolak oleh sebagian orang. Negara pun dengan sigap mengamankannya.
Sesungguhnya tugas negara di dalam sistem kapitalisme adalah menjaga agar kebebasan individu tetap bisa berjalan. Apakah kita masih berharap perubahan terjadi pada pemuda, jika sistem yang diterapkan dan mengasuh pemuda kita adalah demokrasi kapitalisme? Tidak ada jalan selain kembali pada ajaran Islam.
Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh: Heni Satika
Praktisi Pendidikan