Tinta Media: Demokrasi
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Juni 2024

Demokrasi Menyuburkan Kaum Pelangi

Tinta Media - Pada tanggal 18/6/2024 lalu Parlemen Thailand telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan. Perubahan Undang-Undang Perkawinan ini dilakukan dalam rangka untuk memungkinkan pasangan sesama jenis untuk menikah. Dilansir AFP, Selasa (18/6/2024) Majelis Tinggi Senat memberikan persetujuan akhir dengan 130 suara setuju berbanding empat yang menolak dan 18 abstain. Ini keputusan ini maka Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara dan menjadi negara ketiga di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis setelah Taiwan dan Nepal.

Undang-undang baru ini akan diserahkan kepada Raja Maha Vajiralongkorn untuk mendapatkan persetujuan kerajaan dan mulai berlaku 120 hari setelah dipublikasikan di Royal Gazzete resmi. Perubahan Undang-Undang ini merupakan ‘kemenangan bagi rakyat’ sebagaimana disampaikan oleh Anggota Parlemen dari Partai Maju Maju yang progresif, Tunyawaj Kamolwongwat. Undang-undang baru ini mengubah referensi terhadap ‘laki-laki’, ‘perempuan’, ‘suami’, dan ’istri’, dalam undang-undang perkawinan menjadi istilah netral gender. Selain itu, Undang-undang ini juga memberikan hak yang sama antara pasangan sesama jenis dengan heteroseksual dalam hal adopsi dan warisan.

Kemenangan ini dirayakan dengan meriah sekali. Sampai-sampai Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin yang sangat vokal mendukung komunitas L98TQ dan RUU tersebut akan membuka kediaman resminya untuk para aktivis dan pendukungnya untuk perayaan. Tak ketinggalan para aktivis juga merencanakan unjuk rasa malam hari yang menampilkan drag show di pusat kota Bangkok, tempat pusat pembelanjaan raksasa mengibarkan bendera pelangi untuk menunjukkan dukungan sejak dimulainya Bulan Pride pada bulan Juni lalu. Namun, para aktivis ini juga mengkritik undang-undang baru ini karena gagal mengakui kaum transgender dan non-biner, yang masih tidak diperbolehkan mengubah gender mereka pada dokumen identitas resmi. 

L98T merupakan penyimpangan dari fitrah manusia. Ini sesuatu yang seharusnya diberantas tuntas dan tidak diberikan panggung bahkan dilegalkan. L98T akan subur di dalam sistem demokrasi yang merupakan anak lahiran dari sistem Kapitalisme-Liberalisme yang berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan sehingga wajar saja L98T dianggap sah-sah saja karena dalam sistem ini tidak dikenal standar halal/haram yang ada hanya ‘kepentingan’ atau ‘manfaat’. Selain itu, Demokrasi sangat menjunjung tinggi HAM dan penyimpangan seperti ini dianggap hak asasi manusia dan hal ini harus dihormati dan dihargai karena ini bentuk dari toleransi menerima perbedaan.

Selain itu, sistem ini memberikan hak pada manusia untuk membuat hukum dengan mengambil suara terbanyak (mayoritas) maka yang haram dapat berubah menjadi halal. Kita bisa lihat dari keputusan senat Thailand dimenangkan oleh suara terbanyak karena yang menolak hanya ada empat suara. Beginilah pengambilan hukum dalam demokrasi tidak melihat apakah itu halal atau haram. Jika mayoritas menyatakan benar maka menjadi benar. Jika mayoritas menyatakan salah maka salah. Sehingga dengan banyak dukungan terhadap perilaku menyimpang yang menyalahi fitrah manusia ini maka penyimpangan ini dianggap sesuatu yang lumrah bukan perilaku hina yang bahkan jika kita lihat hewan buas saja tidak melakukan hal tersebut.

Kisah Nabi Luth seharusnya cukup menjadi pelajaran bagaimana Allah sang khaliq mengAzab kaum menyimpang ini. Janganlah kita mengundang Azab Allah tersebut dengan membiarkan perilaku ini semakin bebas menjamur. Oleh karena itu, Islam yang paripurna telah menyediakan konsep aturan dari pencegahan penyimpangan serta sanksi yang keras dan tegas bagi pelakunya. Salah satu sanksi yang ditetapkan bagi pelakunya adalah dibunuh, sebagian ulama ada yang menyatakan dirajam; ada yang menyatakan dijatuhkan dari atas bangunan yang tinggi hingga mati. Sanksi ini bukan hanya berlaku untuk pelaku, tetapi orang yang disodomi juga dikenakan sama, kecuali bagi yang dipaksa untuk disodomi.

Selain hukuman yang keras, Islam juga mengharamkan tayangan-tayangan atau apa saja yang mempromosikan penyimpangan seks tersebut. Dalam bentuk film, kontes waria dan sebagainya karena hal ini bisa mempromosikan dan menyuburkan apa yang diharamkan oleh Islam. Hukum Islam yang tegas yang bersumber dari sang Khaliq ini hanya dapat diterapkan dalam sebuah sistem yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah yakni Daulah Khilafah. Sistem Islam yang diterapkan secara kaffah (sempurna) dalam institusi Daulah Khilafah yang akan memberantas tuntas perilaku menyimpang ini secara tegas karena jelas-jelas melanggar syariat yang telah ditetapkan sang khaliq sang pengatur yang berhak membuat hukum.

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Dosen FH-UMA

Rabu, 12 Juni 2024

Kepuasan Semu dalam Sistem Demokrasi


Tinta Media - Bupati Bandung, Dadang Supriatna sudah merealisasikan 13 program prioritas  dan mendapat apresiasi dari masyarakat Kabupaten Bandung. Hal ini diungkapkan oleh Jajang, guru mengaji, pada Selasa, (28/5/2024)  di acara rutin  Rembug Bedas ke-121 di Desa Langensari, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung. 

Dengan adanya program prioritas Bupati Bandung tersebut, Jajang merasa bangga. Menurut Jajang, program guru ngaji sangat berguna untuk meningkatkan akhlak dan moral  masa depan anak-anak. (iNewsBandungRaya.id)

Yeni Rahmawati, kader PKK Desa Langensari juga turut mengapresiasi 13 program prioritas tersebut, serta mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak Bupati karena sudah memperhatikan insentif PKK beserta BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 

Agus Kusumah sebagai kepala Desa Langensari juga sangat berterima kasih atas kontribusi Pemkot Bandung dalam meningkatkan infrastruktur pembangunan jalan. Menurut Agus, Desa Langensari sudah membangun infrastruktur jalan sepanjang 2,4  km dan perlu ada penanganan sedikit lagi.

Tidak dimungkiri bahwa adanya berbagai program dari Bupati Bandung cukup mendapat respons positif. Memang, terobosan-terobosan beberapa kebijakan bisa dirasakan oleh masyarakat saat ini. 
Dengan berbagai program bupati, masyarakat bisa sedikit terbantu dan mendapat manfaatnya.

Hanya saja, tingkat kepuasan masyarakat yang sahih tentunya harus diukur dengan parameter yang sahih juga, bukan dengan parameter kapitalis yang rusak dan merusak. 

Pada hakikatnya, kepuasan masyarakat  atas kinerja penguasa daerah hanyalah kepuasan yang semu. Kenapa? Karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalisme sekuler yang tidak sahih. Kebijakan-kebijakan ataupun program yang dijalankan seolah bagus, tetapi sebenarnya bukan solusi hakiki. Akan tetapi, hanya solusi pragmatis.  Kebijakan dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan manfaat dan keuntungan tidak akan pernah pro-rakyat. 

Faktanya, banyak program-program solusi yang diusung dan ditawarkan oleh pemerintah, justru berujung pada masalah baru dan menambah ruwet. Di balik program tersebut, ternyata ada yang bermain secara struktural dan masif. 

Berbagai survei hanya sebatas hitungan angka yang kadang tidak sesuai dengan fakta. Program prioritas Bupati Kabupaten Bandung bukan berarti tidak ada manfaatnya, tetapi semua itu hanya keberhasilan semu, bukan hakiki.

Padahal, seharusnya peri'ayahan (pengaturan) seorang penguasa daerah (wali) sudah tentu harus berdasar kepada syariat yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Semua kebijakan maupun program yang dilakukan harus merujuk pada syari'at Islam. Selama masih tercengkeram sistem bhatil, maka semua peri'ayahan yang dilakukan oleh penguasa/ negara juga tidak akan memberi kemaslahatan pada masyarakat secara keseluruhan. 

Selama bingkainya masih sistem demokrasi kapitalisme, selama itu pula kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat hanya semu, bukan kepuasan yang hakiki dan sejati. Terlebih, Pak Bupati akan ikut berkontestasi kembali di pilbup tahun ini, sehingga unggahan-unggahan citra positif dikhawatirkan hanya sekadar polesan media sebagai bentuk "kampanye" dalam senyap. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Selasa, 04 Juni 2024

Antara Musik dan Demokrasi

Tinta Media - Belum lama ini Ustadz Adi Hidayat (UAH) mendapatkan banyak hujatan akibat ceramahnya yang menghalalkan musik. Para penghujat berpandangan musik adalah haram dan yang menghalalkannya dianggap menyimpang dari Alqur'an dan Sunnah. Anehnya, terhadap demokrasi dan pemuja demokrasi para penghujat UAH lebih banyak diam bahkan justru ada yang ikut serta dalam pesta demokrasi.

Padahal jika ditakar dengan Al-Qur’an dan Sunnah, demokrasi bukan hanya menyimpang melainkan bertentangan dengan akidah Islam.

Demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, rakyat yang berhak membuat hukum. Teknisnya, rakyat diwakili sejumlah orang untuk menyusun dan memutuskan hukum yang dianggap baik dan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Kedaulatan rakyat jelas ditolak dalam Islam. Sebab, akidah Islam hanya meyakini kedaulatan ada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 40 yang artinya, "keputusan itu hanyalah milik Allah."

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa keputusan, kekuasaan bertindak, kehendak dan kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah dan Allah telah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.

Dengan menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat berarti rakyat menjadi penentu suatu aturan baik atau buruk, benar atau salah. Rakyat juga yang menentukan sesuatu itu halal atau haram. Ini jelas melanggar hak Allah sebagai satu-satunya yang berhak mengatur kehidupan manusia.

Dalam Al-Qur’an surat Attaubah ayat 31, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman yang artinya, "mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah."

Adi bin Hatim menanggapi ayat tersebut sebagaimana dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Jarir, sesungguhnya mereka tidak menyembahnya. Lalu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak, sesungguhnya mereka mengharamkan hal yang halal bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram, lalu mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka."

Apalagi demokrasi terlahir dari akidah sekularisme yaitu akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Tentunya, akidah sekularisme ini bertolak belakang dengan akidah Islam yang justru mengharuskan manusia untuk senantiasa beribadah kepada Allah, tunduk dan patuh kepada seluruh aturan Allah agar meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Demokrasi menjamin empat macam kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berperilaku. Dengan terjaminnya empat kebebasan ini, demokrasi secara tidak langsung menyuburkan berbagai macam bentuk pelanggaran syariat Islam. Sebab, Islam memiliki aturan yang ketat dan tegas terkait akidah, aturan yang kompleks terkait perilaku manusia termasuk di dalamnya perkataan, tata cara berpendapat juga mencakup soal kepemilikan.

Kebebasan beragama misalnya telah menumbuhsuburkan berbagai aliran sesat serta berbagai paham yang menyimpang seperti pluralisme. Fenomena nikah beda agama bahkan pindah agama menjadi hal yang biasa. Padahal dalam Islam, sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim dan ashhab assunan, pindah agama (Murtad) dari Islam diancam dengan hukuman mati.

Atas nama kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku bermunculan orang-orang yang berani menghina ajaran Islam bahkan menghina Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Demokrasi pun memberikan perlindungan bagi siapa yang berekspresi dalam hal berpakaian maupun dalam hal memuaskan nafsu seksnya. Hasilnya, banyak yang tidak malu-malu mengumbar aurat di depan umum, bahkan ada yang nekat melakukan hubungan layaknya suami istri di area publik.

Dalam hal kebebasan kepemilikan, demokrasi memberi angin segar bagi para manusia serakah untuk menguasai kekayaan alam tanpa batas. Dengan alasan kompetisi, para pemilik modal bebas mengembangkan bisnisnya di mana pun dengan cara apa pun. Hasilnya yang kaya semakin kaya sedangkan yang gagal berkompetisi karena kurangnya modal akan semakin terpuruk.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas sudah seharusnya umat Islam menolak demokrasi dan menjauhkannya dari kehidupan kaum muslimin. Kaum muslimin harus bersikap tegas, karena jika tidak akan berakibat terjadinya berbagai kemaksiatan akibat diterapkannya demokrasi. Sikap tegas kaum umat ini haruslah melebihi dari penolakannya terhadap musik. Sebab kerusakan yang diakibatkan oleh demokrasi jauh lebih besar dari yang diakibatkan musik.

Apalagi demokrasi justru menghidupkan musik yang cenderung menjauhkan dari mengingat Allah. Dengan kebebasan berekspresi mendorong para pemusik mengembangkan seninya tanpa peduli melanggar syariat Islam atau tidak. Kenyataannya, musik yang berkembang di tengah masyarakat saat ini adalah musik yang mendorong pendengarnya bermaksiat.

Karena itu sikap kaum muslimin yang paling tepat saat ini dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan adalah menolak demokrasi, melawan upaya propagandanya dan membongkar wajah demokrasi sesungguhnya. Di saat yang sama memahamkan kaum muslimin tentang syariat Islam secara kaffah dan berusaha menegakkannya dengan dakwah secara sungguh-sungguh.

Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah

Ulama Aswaja Medan: Sistem Demokrasi Gagal Menjadikan Manusia sebagai Manusia

Tinta Media - Pimpinan Thariqot Naqsabandiyah, Tuan Guru Musa Abdul Ghani, S.Ag. menilai, bahwa Demokrasi Gagal menjadikan manusia sebagai manusia.

"Maka dari itu, sistem demokrasi ini sudah gagal. Gagal menjadikan manusia sebagai manusia. Maka sudah saatnya kembali kepada islam," tegasnya dalam pertemuan Multaqo Ulama Aswaja Medan Johor yang diselenggarakan Majelis Nafsiyah Ar Rahman dengan tema Demokrasi Gagal Sejahterakan Indonesia, Serukan Islam Kaffah, di Medan, Sabtu (25/5/2024).

Ia menambahkan, demokrasi ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ . "Jadi kalau ada orang hari ini sering bicara tentang bid'ah, sesungguhnya demokrasi lebih bid'ah lagi. Jadi kalau ada orang yang masih ikut sistem demokrasi itu berarti dia lebih bid'ah lagi," tuturnya. 

Ustadz Musa menjelaskan bahwa Allah sudah datangkan petunjuk (islam) jika tidak mengikuti petunjuk tersebut maka akan celaka. "Karena itu jika kita meninggalkan Islam maka pasti sesat dan pasti celaka. Mengapa hari ini rakyat susah karena berpaling dari al-Qur'an. Maka mulai saat ini kita harus siap memperjuangkan kembali Syariah dan Khilafah," jelasnya.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh ulama dari Delitua, Ustadz Ajma'in M. Amin menjelaskan jika saat ini masih berharap dengan Demokrasi yang terjadi umat akan semakin tidak baik dan tambah hancur. "Kita mau berharap kepada demokrasi karena melihat kondisi umat bukannya semakin baik malah tambah hancur," jelasnya kepada seluruh hadirin.

Ustadz Ajmain berpesan kepada para pemuda agar tidak mencontoh pemimpin yang zalim yang menyengsarakan rakyat. "Kalau kedepan menjadi pemimpin maka jadilah pemimpin yang beriman kepada Allah yang menjalankan Syariat Islam," pesan tokoh asal Delitua.

Begitu juga menurut tokoh Intelektual Kota Medan, Dr. Wira Indra Satya menjelaskan pangkal kesalahan demokrasi itu diawali asas One Man One Vote (satu orang satu suara). "Dimana suara Kyai, suara Buya, disamakan dengan suara kriminal," terangnya.

Kemudian, menurut dosen UIN Cirebon ini, Demokrasi itu berlandaskan pada kapitalisme, dan kesuksesan kapitalisme itu adalah kehancurannya sendiri karena dibuat bukan untuk manusia (tidak humanis).

Lanjut Dr. Wira, bahwa dari masyarakat yang bodoh maka lahir pemimpin yang bodoh. "Karena pemimpin itu cerminan masyarakatnya," bebernya.

Selain itu, tokoh masyarakat Medan Johor, Bambang Rahmadi, SE menjelaskan bahwa hasil dari penerapan Demokrasi adalah kekacauan. "Dimana-mana terjadi kekacauan maka sudah saatnya kita kembali kepada Syariat Islam untuk mengatur kehidupan," tambahnya.

Pembicara berikutnya, Guru Besar Islamic Center Medan, Buya Muhammad Yahya Zakaria menjelaskan Islam itu tidak hanya mengatur Hablum min Allah saja (hubungan dengan Allah) tetapi juga Hablum min Annas (hubungan dengan sesama manusia).

"Bukan hanya masalah ibadah saja tetapi juga terkait kehidupan. Masuk ke WC saja diatur oleh Islam apalagi dalam masalah kepemimpinan dan kenegaraan tentu lebih utama lagi," tegasnya. 

Menurutnya, masalah di dunia ini tentu harus diatur oleh Islam. Oleh sebab itu jika mengingkari Islam maka hancurlah tatanan kehidupan ini. "Demokrasi ini menyusahkan karena dalam demokrasi itu suara rakyat suara tuhan, maka demokrasi tidak cocok dengan Islam," tambahnya.

Ia pun menegaskan, para Ulama yang bertemu di acara ini sepakat solusi semua ini adalah Islam. "Dengan memilih pemimpin sesuai dengan ajaran Islam," tegasnya.

Sementara Buya Azwir Ibnu Aziz, memaparkan baginya tidak masuk akal umat Islam hari masih ini mau memakai sistem demokrasi. "Padahal setiap hari kita berdoa kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang pernah Allah beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Allah murkai (yaitu Yahudi) dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (Nasrani)," tuturnya.

Lebih lanjut, Ustaz Azwir sangat menyayangkan hari ini umat Islam justru mengikuti demokrasi yang jelas-jelas jalannya orang kafir. "Padahal haram hukumnya kita berkolaborasi dengan sistem Yahudi. Allah dan Rasul ﷺ telah berikan hukum dan sistem yang bagus tetapi kita tolak dan malah merasa lebih enak ikut sistem demokrasi yang berasal dari orang kafir," pungkasnya. [] Amar Dani

Sabtu, 18 Mei 2024

Kejahatan Semakin Kronis di Sistem Demokrasi


Tinta Media - TR seorang suami yang memutilasi istrinya YN  telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi berdasarkan olah kejadian perkara dan pemeriksaan saksi pada hari Jumat (3/5/2024) di Dusun Sindanglaya, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis. Menurut Kapolres Ciamis AKBP Akmal, berdasarkan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan pemeriksaan saksi, TR layak dijadikan tersangka. Kapolres Ciamis AKBP Akmal mengatakan, pelaku diduga mengalami halusinasi dan sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter jiwa,. (REPUBLIKA.CO.ID, Senin, 6/5/2024)

Penyidik juga belum menyimpulkan motif pembuatan karena belum melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, apalagi kondisi tersangka masih labil. Namun, hasil pemeriksaan saksi kunci, kejadian pembunuhan tersebut dilatarbelakangi faktor ekonomi. Beberapa saksi mengatakan bahwa usaha pelaku sedang menurun. Terkait dengan halusinasi, polisi sedang menunggu kepastian dari para ahli. 

Polisi mengatakan bahwa korban YN dibunuh oleh suaminya yang berinisial TR dengan cara dipukul dengan benda tumpul hingga meninggal , lalu dimutilasi.

Sungguh tragis, kasus pembunuhan  semakin hari semakin marak terjadi sekitar kita. Parahnya, pelakunya adalah orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung. Bayangkan, seorang suami tega membunuh istrinya dengan sadis, padahal seharusnya suami adalah pelindung dan mengayomi keluarga, termasuk istrinya. Namun, karena tersulut amarah, akhirnya ia gelap mata sehingga menghabisi nyawa istrinya secara sadis. 

Biasanya, banyak faktor yang menjadi motif pembunuhan, mulai dari faktor ekonomi, depresi, rasa cemburu, perselingkuhan, dan perselisihan dengan rekan kerja/bisnis balas dendam dan lain-lain. 

Kondisi masyarakat saat ini cenderung sangat labil dan mudah sekali terpancing emosi hingga dengan mudah melampiaskan kemarahannya itu. Apalagi jika melihat kondisi saat ini yang sedang terpuruk karena ekonomi sulit, kesehatan mahal, pendidikan mahal, hingga banyaknya pengangguran. Keadaan seperti itu akan berimbas pada banyaknya orang yang stres dan depresi. Hal itu akan berujung pada tindak kriminal, seperti membunuh keluarga sendiri. Namun, apa pun motifnya, pembunuhan tanpa hak adalah perbuatan tercela yang dilarang. 

Adapun penyebab mendasarnya adalah penerapan sistem buatan manusia. Itulah akar masalah yang sesungguhnya. Sistem demokrasi sekuler yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini lebih mengagungkan kebebasan dan mengedepankan hawa nafsu demi meraih kepuasan hidup. 

Perilakunya jauh dari agama. Pemikirannya rusak. Akidahnya lemah sehingga tidak peduli halal haram. Hukum sanksi dalam sistem demokrasi sekuler juga tidak membuat jera dan mudah dibeli. Maka wajar jika tindakan kejahatan hingga pembunuhan semakin merajalela. 

Islam Solusi Komprehensif

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam menjaga kewarasan berpikir. Seorang kepala negara adalah pemimpin, pengurus urusan rakyat yang dengannya akan dimintai pertanggung-jawabannya. 

Sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti sandang pangan, dan papan. Negara juga akan menyediakan kebutuhan rakyat secara komunal, seperti prasarana pendidikan, kesehatan, keamanan. Negara akan memastikan bahwa setiap individu rakyat mempunyai pekerjaan sehingga tak banyak pengangguran, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Ekonominya cenderung stabil  karena Islam memakai standar mata uang Dinar dan dirham. 

Dari segi pendidikan, akidah Islam sebagai landasan berpikir akan menghasilkan individu yang beriman dan taat. Masyarakat mengakui betul bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Karena itu, kita harus tunduk dan patuh kepada Allah. Dengan kesadaran tersebut, maka pola pikir dan pola sikapnya akan selaras sesuai syariat.

Masyarakat akan takut berbuat kriminal dan kejahatan lainnya. Kehidupannya hanya mencari rida Allah yang akan mengantarkannya  ke surga yang abadi. 

Dari segi hukum, sanksi hukum Islam sangat tegas dan memberi efek jera sehingga akan menimbulkan rasa takut bagi orang yang berniat melakukan kejahatan. Itulah bentuk perlindungan dan sayangnya Allah kepada hamba-Nya.

Sanksi tersebut juga bisa meringankan beban hisab di yaumil akhir, sebagai penggugur dosa. 

Islam adalah satu-satunya aturan yang komprehensif sebagai solusi problematika kehidupan. Semua bisa merasakan kesejahteraan dan ketenteraman jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh oleh sebuah institusi negara khilafah. Wallahu a'lam bishawab.



Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 11 Mei 2024

Siyasah Institute: Sistem Demokrasi Bikin Rakyat Tidak Berdaulat

Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan bahwa sistem demokrasi yang berlaku hari ini menciptakan suasana yang tidak transparan dan juga menciptakan rakyat yang tidak berdaulat.

“Sistem yang berlaku hari ini, demokrasi itu, menciptakan suasana sistem yang tidak transparan, tidak juga menciptakan rakyat itu dikatakan berdaulat,” tuturnya dalam Kabar Petang Kabinet Prabowo Ala Amerika? Di kanal Youtube Khilafah News, Selasa (7/5/2024).
 
“Itu ada sesuatu yang jauh panggang dari api,” cetusnya.

Sehingga ucapnya, bisa dikatakan siapa pun yang berkuasa, partai A, B, C atau D itu akan seperti ini tidak akan pernah bisa sebagaimana teori demokrasi di dalam buku-buku politik begitu.

“Jadi kalau dikatakan dalam demokrasi, teori demokrasi itu rakyat berdaulat itu ada textbook-nya seperti itu. Jadi beda antara cita dengan realitas, begitu antara teori dengan kenyataan,” bebernya.

Komoditas Pemilu

Menurut Iwan, dalam demokrasi, baik itu di Indonesia, di Amerika Serikat atau di Eropa, demokrasi itu memang  hanya menggunakan rakyat sebagai komoditas untuk pemenangan pemilu. Rakyat akan diberikan janji-janji yang muluk-muluk yang secara rasio, sebetulnya itu enggak masuk di akal tapi untuk rakyat kebanyakan janji-janji itu bagus untuk mereka.

“Demokrasi, Anda sebagai rakyat itu hanya dibutuhkan suaranya hanya dibutuhkan saat pencoblosan tapi selebihnya Anda akan diabaikan, Anda  kemudian tidak mendapatkan hak Anda sebagai rakyat sekalipun Anda bayar pajak. Memang kalau di Eropa itu  rakyat masih bisa menuntut dan mendapatkan imbal balik dari pajak yang mereka bayarkan, kalau di Indonesia ini memang sulit untuk mendapatkan imbal balik dari suara yang diberikan ketika Pemilu,” bebernya.

Iwan menyayangkan memang rakyat seperti tidak belajar dari pengalaman, Pemilu berkali-kali selalu begitu dan demikian, tapi seperti tidak pernah belajar.

Menurutnya,  yang lebih dicemaskan lagi dan juga disesalkan itu adalah para akademisi, para tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama yang justru memperkokoh keberlangsungan sistem demokrasi.

“Ini malah,  telah menyusahkan rakyat sepanjang kehidupan bangsa negara ini hidup,” pungkasnya. [] Muhammad Nur

 

 

 

 

 

 

 


Minggu, 07 April 2024

Pengamat: Demokrasi Sudah Kandas



Tinta Media - Pengamat Politik Dr. M. Riyan, M. Ag. mengatakan, demokrasi di negeri ini sebenarnya sudah kandas. “Demokrasi di negeri ini sebenarnya sudah kandas,” tuturnya dalam Kabar Petang: Demokrasi Bikin Negeri Bangkrut? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (3/4/2024).

Ia menjelaskan, kandas dalam pengertian sudah bergerak menuju kepada apa yang disebut dengan korporatokrasi, yakni segelintir pengusaha berkolaborasi dengan sejumlah politisi.

“Tentu ini pengusaha dan politisi yang niretika atau tuna etika,” terangnya.

Ia menilai, demokrasi itu sudah tidak ada, sudah mati. “Demokrasi pada akhirnya tidak mengenal benar salah. Yang dikenal kalau legal dilakukan, kalau tidak legal mungkin akan siasati (supaya legal),” imbuhnya. 

Menurutnya, dalam konteks Pemilu 2024, Indonesia membutuhkan alternatif, karena negeri ini masalahnya sudah demikian parah. 

“Politik demokrasi penuh dengan berbagai manipulasi. Ekonominya juga semakin memiskinkan rakyat,” tandasnya. 

Alternatif dimaksud menurutnya adalah, pertama, orang yang baik. “Orang baik tentu saja orang yang mau taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya,” bebernya.

Kedua, sambungnya, sistem yang baik. “Sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Zat yang Mahabaik yaitu Allah Swt.,” tegasnya. 

Dengan kata lain, ucapnya, Indonesia membutuhkan orang yang baik dan sistem yang baik yaitu sistem Islam Kafah dalam pemerintahan yang disebut dengan Khilafah.[] Muhammad Nur

Sabtu, 16 Maret 2024

Hipokrasi dalam Sistem Demokrasi Modern


Tinta Media - Negara-negara yang menganut sistem demokrasi modern saat ini adalah negara-negara yang menerapkan ideologi kapitalis sekuler. Hanya tersisa beberapa negara yang menerapkan ideologi sosialis komunis dan dapat dihitung dengan jari. Setelah runtuhnya Khilafah ideologi Islam tenggelam dan belum mampu untuk bangkit. 

Negara yang mengemban sistem pemerintahan demokrasi modern saat ini terlihat lebih baik dan lebih makmur seperti Amerika dan Eropa. Tetapi China dan Korea Utara serta Kuba  yang menerapkan sosialis-komunis juga terlihat makmur. Sementara Negara-negara timur tengah dengan sistem ke-emiran dan monarki juga sangat makmur. Ada paradoks dengan sistem demokrasi di daratan Afrika jika dibandingkan dengan Amerika dan Eropa. 

Demokrasi yang diterapkan oleh Amerika dan Eropa dinegara masing-masing adalah demokrasi yang konsisten untuk politik dalam negeri. Tetapi jika berkaitan dengan politik luar negeri mereka menerapkan standar yang sesuai dengan kepentingan ideologi negara mereka. Tidak peduli dengan kondisi dan keadaan negara lain, yang penting kepentingan negara mereka tetap terjaga. Sehingga dapat dikatakan demokrasi modern saat ini bersifat hipokrit. 

Hipokrit adalah suatu sikap yang mendua yang bertolak belakang atau berwajah dua atau sifat munafik. Sikap munafik para politisi adalah hal yang wajar menurut mereka, karena tujuan politik mereka adalah kepentingan pribadi, keluarga, golongan dan partai mereka. Tak da musuh dan teman abadi dalam sistem politik demokrasi, tetapi yang ada hanyalah kepentingan mereka. Tidak memperdulikan kehendak rakyat serta tidak peduli halal haram menurut agama. 

Dalam sistem politik Islam tolok ukurnya adalah halal haram. Jika suatu kebijakan melanggar hukum islam maka kebijakan tersebut tidak boleh diadopsi dan diterapkan, misalnya kebijakan tentang penjualan minuman beralkohol dan lokalisasi perjudian. Karena minuman beralkohol dan aktivitas judi adalah hal yang dilarang oleh agama. 

Politik Islam menerapkan kedaulatan hanya bersumber dari hukum syara, jika suatu kebijakan bertentangan dengan hukum syara maka kebijakan tersebut tidak boleh dilaksanakan. Sehingga sifat hipokrit tidak ditemukan pada politisi Islam. Politisi silam hanya memikirkan kesejahteraan umat, membuat kebijakan untuk kepentingan umat serta mengambil keputusan hanya demi kebaikan umat. 

Sangat jelas perbedaan antara politik dalam sistem demokrasi sekuler kapitalis dan politik dalam sistem Islam. Politik Islam memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan sistem politik demokrasi, terutama sikap hipokrit yang sangat kental melekat pada politisi demokrasi. 

Keunggulan sistem politik Islam wajib diadopsi oleh umat. Jika belum terwujud maka semua umat wajib mengusahakan terwujudnya sistem politik Islam. Hanya dengan terwujudnya sistem politik Islam umat ini kembali menjadi umat yang mulia, umat terbaik, umat yang unggul dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. 

Umat Islam harus mencampakkan sistem demokrasi, membuang dan mengubur dalam-dalam sampai ke perut bumi dan sistem politik Islam menjadi penggantinya.



Oleh: Agus Syarkani
Aktivis Dakwah 

Minggu, 10 Maret 2024

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Hanya Ajang Mencari Kekuasaan


Tinta Media - Beberapa waktu lalu, tepatnya 14 Februari 2024, Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden-wakil presiden, dan anggota legislatif. Keramaian menjelang pemilu ini sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya, dengan antusiasme beberapa kalangan masyarakat dalam menyambutnya.

Dalam pelaksanaannya, selain diwarnai dengan antusiasme, pemilu kali ini pun diwarnai dengan beberapa kericuhan dan juga kecurangan yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

Salah satunya di TPS 44 Desa Bojongkunci, Kabupaten Bandung. Dugaan kecurangan tersebut ramai setelah banyak kertas suara yang telah dicoblos untuk pasangan paslon tertentu sebelum pemilihan dilakukan.

Kronologi ini menjadi sorotan utama selama proses pemilihan. Masyarakat menjadi khawatir bahwa kecurangan ini akan menimbulkan gejolak baru bagi para simpatisan dan juga memengaruhi kestabilan politik.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat ketentuan mengenai tindak pidana bagi pelaku kecurangan dalam pemilu.

Sebenarnya kecurangan pemilu dalam sistem demokrasi ini bukan hanya terjadi pada tahun ini. Masih jelas dalam ingatan kita tentang kericuhan yang dilakukan oleh pendukung paslon yang dicurangi pada pemilu tahun 2019, yang hampir memakan korban luka-luka. Selain itu, pemilu tahun 2019 juga diwarnai dengan meninggalnya sekitar 750 orang petugas KPPS secara hampir bersamaan, yang disinyalir karena kelelahan harus menghitung ulang surat suara, walaupun alasan ini masih menjadi perdebatan yang tidak berujung, hingga dipeti-eskan.

Lebih mirisnya lagi, seorang yang dibela mati-matian oleh pendukung paslon yang kalah, justru melenggang dan menerima kekuasaan dari pihak yang menang. Hal ini membuktikan bahwa dalam politik demokrasi tidak ada teman abadi dan  tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Maka, selama dapat meraih kepentingannya, seorang politisi akan sangat mudah memihak siapa pun, sekalipun dia merupakan rival politik di masa lalu. Atau sebaliknya, siapa pun akan dia tinggalkan jika tidak dapat memenuhi kepentingannya, sekalipun dulu merupakan teman politiknya.


Politik dalam pandangan mereka, semata untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan diraih untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat. Ini justru cenderung merugikan rakyat. Rakyat hanya diperlukan ketika pemilu saja, untuk menghantarkan mereka ke kekuasaan. Setelah mereka berkuasa, kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan justru jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Pemilu demokrasi dengan biaya mahal, mengharuskan para kontestan pemilu memiliki dana besar, yang sering kali bukan berasal dari uang sendiri, tetapi dari para penyokong dana, yaitu para kapitalis, luar dan atau dalam negeri. Maka, tidak heran jika  pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para kapitalis melalui calon yang didukungnya. 

Jika satu  mendapatkan kekuasaan, para pejabat berlomba untuk memberikan kompensasi dana tersebut dengan segala cara, baik dalam bentuk modal, proyek pembangunan, program pemerintah, ataupun jabatan, melalui tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hawa nafsu berkuasa dengan segala macam cara, menjadi sebuah keniscayaan. Inilah konsekuensi dari penerapan demokrasi sekuler kapitalis, yang memisahkan agama dari kehidupan, yang mengagungkan aturan manusia yang lemah, dan mendewakan kebebasan.

Padahal, sebagai kaum muslimin, harusnya kita mengembalikan hak membuat aturan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Aturan tersebut diterapkan melalui kekuasaan sebuah negara untuk mengatur urusan umat dalam seluruh bidang kehidupan.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala hal, termasuk tentang pemilu. Pemilu di dalam Islam merupakan uslub (cara) untuk mencari pemimpin. Pada dasarnya, hukumnya boleh. Namun, bukan berarti harus menabrak syariat Islam. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengutamakan aturan Allah dalam aktivitas apa pun, termasuk pemilu.

Selain pemilu, cara lain dalam memilih khalifah atau pemimpin adalah dengan musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi sebagimana ketika terpilihnya Abu Bakar pasca wafatnya Rasulullah saw. atau dengan menunjuk langsung, seperti yang terjadi pada penunjukan Umar bin Khatab oleh Abu Bakar, sebagai hasil pilihan masyarakat. Atau dengan cara pemilu, seperti pasca Umar bin Khattab wafat, setelah sebelumnya beliau dalam kondisi terluka menjelang wafatnya, telah menunjuk enam orang calon khalifah, yang akhirnya mengerucut menjadi dua orang hasil pilihan kaum muslimin, yakni Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Thalib, hingga akhirnya terpilihlah Utsman sebagai khalifah pengganti Umar setelah wafatnya.

Terpilihnya seorang khalifah dengan berbagai cara tersebut, belum menjadikan dia sah sebagai khalifah, kecuali setelah melakukan metode pengangkatan kepala negara, yaitu bai'at syar'i. 

Imam An-Nawawi, dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh al-minhaj(VII/390) menyatakan,.

"Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya bai'at, atau lebih tepatnya bai'at dari ahlul halli wal aqdi, yang mudah untuk dikumpulkan." (Imam an-nawawi)

Itulah bai'at in'iqad yang menjadi tanda sahnya seseorang diangkat sebagai seorang khalifah. Syariat Islam telah membatasi waktu maksimal kosongnya kaum muslimin dari seorang khalifah adalah tiga hari saja. 

Pemilihan pemimpin dalam Islam sangat sederhana, cepat, dan murah. Seluruh kaum muslimin baik rakyat maupun pihak penyelenggara, hingga para calon khalifah yang ada, akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan dan ketakwaan untuk bersegera menjalankan kewajiban syariat, yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah oleh seorang khalifah. 

Tidak ada keuntungan pribadi ataupun golongan yang diutamakan sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalisme, karena tujuan yang ditargetkan untuk diraih adalah semata dalam mencapai rida Allah Swt. 

Visi besar ini dimiliki oleh semua elemen kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyat. Maka, inilah yang dapat mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang pernah terjadi ketika syariat Islam kaffah diterapkan dalam naungan khilafah Islamiyyah sekitar lebih dari 13 abad lamanya. Wallaahu a’lam bish-shawwab

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media

Demokrasi, Masihkah Bisa Diperbaiki?



Tinta Media - Hadir dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2024 yang dilaksanakan di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (5/3), Prabowo Subianto dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) RI menyampaikan pidatonya di hadapan ribuan peserta yang hadir. Dalam pidatonya yang disampaikan dalam Bahasa Inggris, Prabowo menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia sangatlah melelahkan, berantakan, dan juga mahal. Akan tetapi, Prabowo yang juga merupakan Calon Presiden RI 2024 ini juga mengatakan bahwa masih ada harapan perbaikan terhadap demokrasi yang hari ini dijalankan.

Apa yang disampaikan oleh Menhan tersebut tentu bukan tanpa dasar. Apabila kita mengacu pada pelaksanaan pemilu 2024 yang baru selesai dilaksanakan 14 Februari yang lalu, tentu kita akan dengan sangat mudah menyepakati pernyataan yang disampaikan oleh Capres Nomor urut 2 tersebut. Bagaimana tidak, untuk menyukseskan pelaksanaan pemilu 2024 Pemerintah menggelontorkan anggaran yang tidak main-main, jumlahnya mencapai 71,3 triliun rupiah.

Dalam pelaksanaannya, demokrasi yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme sekuler memang telah banyak menciptakan masalah, carut-marutnya pelaksanaan pemilu, banyaknya politisi korup, budaya suap dan juga politik transaksional yang kerap terjadi seakan sudah membudaya dan terus berulang, sampai hari ini.   

Berbagai masalah kehidupan yang terjadi di Indonesia, seperti angka kemiskinan yang semakin bertambah, menurunnya moral masyarakat dalam kehidupan sosial,  maraknya korupsi, penguasaan Sumber Daya Alam oleh swasta bahkan asing, maraknya kriminalitas, dan masih banyak masalah lain yang terjadi, sejatinya muncul akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler yang telah menepikan peran agama dalam pengaturan kehidupan individu, masyarakat dan bernegara.

Hal ini tentu harus menjadi bahan pemikiran kita semua yang sampai hari ini masih keukeuh menaruh harapan akan datangnya perubahan dan perbaikan melalui jalan demokrasi, walaupun sudah bisa dipastikan hal itu mustahil bisa diwujudkan. Demokrasi sedari awal memang tidak diciptakan sebagai jalan perubahan, keberadaannya tidak lebih hanya sebagai ilusi yang sengaja diciptakan oleh hegemoni para pemilik modal (kapitalis) untuk bisa melanggengkan kekuasaan.

Demokrasi telah menjadi semacam lahan basah yang menyuburkan korupsi, jual beli kebijakan, dan praktik money politik atau politik uang. Kemudian di dalamnya terwujudlah semacam simbiosis mutualisme antara politisi dan para pemilik modal yang membidani lahirnya berbagai kebijakan-kebijakan publik yang merugikan dan menzalimi rakyat. 

Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang selama ini selalu digembar-gemborkan nyatanya tidak lebih dari sekedar tipu muslihat. 

Oleh karena itu, maka menjadi penting bagi kita untuk mulai  mengkaji ulang, apakah benar demokrasi memang satu-satunya jalan yang bisa kita gunakan untuk mewujudkan harapan akan datangnya perubahan yang didambakan?

Dalam pandangan Islam, demokrasi adalah sebuah sistem kufur yang haram diadopsi dan diterapkan oleh kaum Muslimin di mana pun. Hal ini disebabkan karena demokrasi telah mengambil peran Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum. (Lihat Qs.Al-An’am : 57) 
Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan Hukum Syara bukan ditangan manusia (rakyat). Halal-haram ditentukan melalui ijtihad (penggalian hukum) yang dilakukan oleh para Mujtahid berdasarkan dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, bukan lantas diserahkan kepada mekanisme suara terbanyak yang menjadikan asas maslahat sebagai landasan pengambilan hukum dan kebijakan.

Demokrasi dari awal sejarah diterapkannya memang tidak pernah menghendaki adanya peran agama dalam pengaturannya, padahal Islam telah menetapkan kewajiban agar umat Islam bisa berislam secara total (kaffah) dalam setiap urusan kehidupannya (Lihat Qs.Al-Baqarah : 208). 

Akan tetapi, tentu penerapan Syariah Islam secara kaffah itu mustahil bisa terlaksana dalam atmosfer demokrasi seperti hari ini, kedaulatan diserahkan pada manusia bukan hukum syara. 

Islam Kaffah hanya bisa terwujud di bawah institusi pelaksana hukum syariah yang sesuai dengan manhaj nubbuwah, yakni khilafah Islamiyah.

Negara Khilafah yang nanti akan menerapkan hukum-hukum Syariah Islam di segala bidang, baik dalam urusan ekonomi, Pendidikan, hukum, persanksian, politik dan sosial.

Khilafah dengan kekuasaannya tidak akan menjalankan perekonomian dengan asas perekonomian ribawi. Dalam hal Pendidikan, Khilafah akan menetapkan bahwa satu-satunya landasan Pendidikan yang wajib diadopsi hanyalah akidah Islam.

Khilafah tidak akan pernah membiarkan sekelompok orang menguasai dan mengintervensi negara demi keuntungannya pribadi sebagai mana demokrasi. Maka, mari kita renungkan salah satu potongan ayat dibawah ini :
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini?

Jadi, bukan hanya sekedar diperbaiki. Demokrasi memang sudah seharusnya diganti! Wallahu a’lam.[]


Oleh : Rahmat S. At-Taluniy 
(Aktivis Dakwah)

Kamis, 07 Maret 2024

100 Tahun Demokrasi Turki, 100 Tahun Tanpa Khilafah



Tinta Media - Di berbagai sudut kota Istanbul muncul tulisan 100 tahun Demokrasi Turki. Sudah 100 tahun juga dunia tanpa khilafah setelah 3 Maret 1924 Turki memakai Demokrasi sistem warisan Yunani kuno tersebut. Ketika penulis berbincang dengan sopir taksi, ia juga ingin berjaya kembali dengan khilafah tapi penguasa Turki dan sebagian masyarakat masih ingin demokrasi.

Sejarah mencatat, Turki pernah menjadi negara besar dan hebat  yang menjadi pusat peradaban dunia. Kala itu Turki dikenal sebagai Kesultanan Utsmaniyah atau khilafah Utsmaniyah atau Negara Agung Utsmaniyah. Barat menyebutnya sebagai Turki Ottoman.

Wilayah Kesultanan Turki Utsmani sangat luas bahkan lintas Benua. Semula didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey di barat laut Anatolia pada tahun 1299. Setelah 1354, Utsmaniyah melintasi Eropa dan wilayah Balkan.

Bahkan di masa Sultan Muhammad al Fatih alias Sultan Mehmed II (1432-1481), berhasil mengakhiri dominasi Kekaisaran Romawi Timur. Pasukan terbaiknya berhasil menjebol Benteng berlapis tiga dan pertahanan terkuat kala itu. Mereka berhasil menaklukkan Konstantinopel tahun 1453. 

Kejayaan Turki Utsmani mencapai puncaknya ketika di bawah pemerintahan Sultan Suleiman Al-Qanuni (1520-1566), Kesultanan Utsmaniyah menjadi salah satu negara terkuat di dunia. Menjadi pusat peradaban hukum dan pemerintahan dunia kala itu. Mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Afrika. Pada awal abad ke-17, kesultanan ini terdiri dari 32 provinsi dan sejumlah negara vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi dalam kurun beberapa abad.

Kesultanan Utsmaniyah menjadi pusat interaksi antara dunia Timur dan Barat selama lebih dari enam abad. Setelah penaklukkan Mesir oleh Utsmaniyah pada 1517, Khalifah Al-Mutawakkil III menyerahkan kedudukan khalifah kepada Sultan Selim I. Hal ini menjadikan penguasa Utsmaniyah tidak hanya berperan sebagai sultan (kepala negara Utsmaniyah), tetapi juga sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. 

Kesultanan ini bubar pasca Perang Dunia I, tepatnya pada 1 November 1922. Meski demikian Turki  Utsmaniyah sempat mempertahankan status mereka sebagai khilafah selama beberapa saat, sampai akhirnya kekhalifahan juga dibubarkan pada 3 Maret 1924. Hingga kini sudah 100 tahun Turki dan rakyat dunia tanpa Khilafah.

Hari ini, Turki dan sebagian negara  justru kembali ke belakang, memakai sistem lama, sistem demokrasi warisan Bangsa Yunani kuno. Sistem yang dikenalkan oleh Cleosthenes pada tahun 508 SM di Athena, Yunani Kuno. Jauh sebelum orang Turki menggunakan sistem yang lebih modern, sistem Kesultanan atau kekhilafahan.

Terkait sejarah Turki tersebut, penulis memberikan 4 (empat) catatan penting:

Pertama, Turki pernah meraih kejayaan yang luar biasa sejak didirikan oleh Osman Bey tahun 1299. Pengaruhnya sudah lintas benua. Tradisi ini diteruskan oleh para pemimpin selanjutnya.

Kedua, tahun 1453, Muhammad al Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, Kekaisaran Romawi Timur yang merupakan negara adi daya saat itu. Setelah menaklukkannya, Muhammad Al Fatih Tidak menggunakan gelar Kaisar, tidak menggunakan sistem pemerintahan Kaisar, tidak menerapkan hukum Romawi. Ia menggunakan sistem Islam, dan menerapkan hukum Islam bukan hukum Romawi. 

Ketiga, di masa Sultan Suleiman Al-Qanuni (1520-1566), Kesultanan Utsmaniyah menjadi salah satu negara terkuat di dunia. Menjadi pusat peradaban hukum dan pemerintahan dunia kala itu. Mengendalikan lintas benua; Eropa, Asia dan Afrika 

KEEMPAT, pada 1517, Khalifah Al-Mutawakkil III menyerahkan kedudukan khalifah kepada Sultan Selim I. Hal ini menjadikan penguasa Utsmaniyah tidak hanya berperan sebagai sultan (kepala negara Utsmaniyah), tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam se-dunia. Kini 100 tahun umat Islam se-dunia tanpa pemimpin.

Akankah Turki kembali menjadi pusat peradaban dunia dan mengendalikan lintas  benua? Akankah Turki bisa melindungi & membebaskan warga Palestina dari pembunuhan dan genosida? 

Jika ada kemauan yang kuat dan kerja keras maka itu bukan hal yang mustahil. Tentu harus dengan mencontoh para pemimpin sebelumnya yang telah terbukti sukses dengan menggunakan sistem yang mengantarkan pada kesuksesan itu maka kejayaan kembali menjadi keniscayaan. Semoga … aamiin. 

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)

Caleg Gagal Depresi, Bukti Rusaknya Politik Demokrasi



Tinta Media - Pesta Demokrasi telah usai. Meninggalkan berbagai fenomena miris lagi menyedihkan di kalangan para caleg (calon anggota legislatif) dan juga timsesnya. Dikutip dari tvOnenews.com (18/02/2024) terdapat dua timses gagal yang mengalami tekanan berat sehingga mengambil kembali amplop yang sebelumnya telah dibagikan kepada warga pada Sabtu sore. 

Tak hanya itu, warga desa Jambewangi, Kecamatan Sempu Banyuwangi, Jawa Timur dihebohkan oleh salah satu caleg yang menarik kembali material paving lantaran tidak mendapat dukungan suara seperti yang dikehendaki. (Kompas.com, 19/02/2024)

Hal serupa juga terjadi di Subang, Jawa Barat. Seorang caleg membongkar kembali jalan yang telah ia bangun karena mengalami kekalahan saat pemilu kemarin. Tak hanya membongkar jalan, ia juga melakukan aksi teror petasan siang dan malam di kawasan yang perolehan suaranya anjlok hingga menyebabkan satu orang lansia meninggal dunia terkena serangan jantung. (Newsokezone.com, 25/02/2024). 

Lebih parahnya lagi, terdapat seorang caleg yang gantung diri di kebun karet miliknya lantaran caleg yang diusungnya kalah. (mediaindonesia.com, 19/02/2024)
Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg ataupun tim suksesnya yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Inilah bukti rusaknya penerapan sistem politik Demokrasi Kapitalisme. Sistem yang menegasikan aturan Allah Ta’ala sehingga politik tampak begitu kotor dan keji.

Pemilu politik Demokrasi Kapitalisme meniscayakan pemilu berbiaya tinggi, “Lu punya duit, lu punya kuasa”, itu katanya. Rela menghalalkan berbagai macam cara demi mendapat jabatan dunia yang sementara. Mereka ‘membeli suara’ rakyat dengan modal tinggi dengan pamrih mendapat suara rakyat. Mereka juga menjadikan jabatan sebagai sesuatu yang sangat diharapkan, berebut kursi pemerintahan demi keuntungan yang nanti akan didapatkan.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem politik dalam Islam. Semua kejadian itu juga tidak akan pernah terjadi jika sistem yang diterapkan sahih, yaitu sistem Islam yang diatur langsung oleh Allah SWT Sang Pencipta manusia Al-Khaliq Al-Mudabbir. 

Dalam Islam, kekuasaan adalah sesuatu yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak di yaumul hisab nanti. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik” (HR Muslim).

Kekuasaan di dalam Islam digunakan untuk menegakkan syariat Allah dan Rasul-Nya di muka bumi ini, bukan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat apalagi untuk memperkaya diri dan golongan.

Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqd bab 1 halaman 78 “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, agamanya adalah fondasi sedangkan kekuasaan adalah penjaganya, apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur, apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.”

Pemilu dalam Islam hanya sebatas uslub (cara) untuk mencari pemimpin atau majelis ummah. Mekanismenya sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, tanpa tipuan atau janji-janji dan penuh dengan kejujuran. Individu yang terpilih adalah individu yang bermental kuat serta berkepribadian islami termasuk amanah pada jabatannya, sehingga ia akan berhati-hati dalam mengemban amanahnya, semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah SWT.

Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat, tanpa baiat maka kekuasaan Khalifah tidak sah.  Para calon tidak diwajibkan untuk memenuhi syarat afdholiyah sebagai Khalifah. Para calon hanya diwajibkan untuk memenuhi syarat in’iqad untuk menjadi kepala negara yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. 

Seperti inilah hasil dari sistem sahih jika diterapkan. Sudah saatnya umat sadar dan bangkit dari keterpurukan saat ini. It’s time to be one ummah!
Waallahua’lam bisshawab. []

Oleh: Shiera Kalisha Tasnim
(Aktivis Muslimah)

Rabu, 06 Maret 2024

IJM: Upaya Menggoyang kekuasaan adalah Ciri Khas Pemerintahan Demokrasi



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan sebagai salah satu upaya untuk menggoyang kekuasaan menjelang pemilu adalah merupakan ciri khas pemerintahan demokrasi. 

“Adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan merupakan salah satu upaya menggoyang kekuasaan yang dilakukan menjelang pemilu sudah menjadi ciri khas pemerintahan demokrasi,” ulasnya dalam video Gerakan Rakyat Pendukung Pemakzulan Semakin Dahsyat? di kanal Youtube Justice Monitor, Selasa (27/2/2024). 

Menurut Agung, di sisi yang lain pihak berkuasa di banyak negara termasuk negeri ini tentunya akan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan aparat dan memberdayakan kelompok masyarakat. 

“Entah mereka digunakan untuk melindunginya maupun digunakan untuk menghadang oposannya.  Demikian seterusnya setiap rezim berganti, instabilitas politik tidak kunjung reda,” ucapnya 

Ia melihat sebagai sebuah kewajaran dalam demokrasi ketika kekuasaan digunakan untuk mengamankan posisi dan kelompok pendukungnya, bukan untuk melayani rakyat. Elite politik tidak peduli pada konflik masyarakat akibat dari keegoan masing-masing karena di mata mereka rakyat adalah kendaraan politik menuju kekuasaan. 

“Dampak dari kisruh elite politik, ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban. Terkadang rasionalitas terabaikan. Kubu pendukungnya akan membela membabi buta tanpa melihat objektif  kehidupan seluruh masyarakat,” ujarnya prihatin.

Ia juga menyampaikan bahwa kubu yang menginginkan perubahan pun berpotensi menjadi korban persekusi penguasa dan ‘bullying’ dari kelompok pendukung rezim. Aktor di balik elite politik tetap memantau situasi keberpihakan rakyat pada jagoannya. 

“Jika angin tetap mengarah pada petahana maka ia akan support penuh. Dan jika angin mengarah pada oposan, tak segan-segan ia akan beralih untuk segera mendukungnya,” bebernya. 

Saat jagoannya berkuasa, lanjutnya, ia akan menagih keberpihakan mereka dengan sejumlah perundang-undangan yang mengabaikan kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyalahgunaan kekuasaan atau ‘abuse of power’ oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kesejahteraan umum (‘public welfare’) dan peraturan hukum sering kali terjadi dalam pemerintahan demokrasi. 

“Hukum dalam demokrasi liberal mengabaikan kepentingan umum dan sering kali tidak dirumuskan secara jelas sehingga interpretasi yang sah dilakukan secara sepihak untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan. Hukum juga menjadi alat untuk mencapai maksud dan tujuan penguasa yang terkadang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Lalu sampai kapan kita seperti ini?” pungkasnya.[] Erlina

Sabtu, 02 Maret 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental?


Tinta Media - Euforia Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah berlalu beberapa hari kemarin dan prosesnya masih berlanjut. Bahkan setahun sebelumnya yaitu sejak pengumuman pasangan calon presiden, euforianya sudah hangat dirasa. Kampanye tipis-tipis pun mulai digerilyakan. Apalagi awal tahun ini.  Sudah banyak baliho berdiri di sudut-sudut kota bahkan desa juga. Iklan kampanye di media elektronik dan media sosial juga bermunculan di jam-jam aktif (kerja). Bahkan tak jarang, kampanye tatap muka dengan dalih entah acara keagamaan, seminar pendidikan, sosial seperti bagi-bagi sembako atau konser musik pun merebak dimana-mana. Pemilu dengan gelontoran dana yang tidak sedikit. Yah itulah fenomena pesta demokrasi. 

Yup, tepat tanggal 14 Februari 2024, masyarakat negeri ini yang memiliki hak pilih, telah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk periode 2024-2029. Bisa dibayangkan ya, betapa ramainya hari itu dan pastinya betapa banyak biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelenggarakannya.

Melansir dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id (1/11/2023), untuk perhelatan pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun. Anggaran bahkan sudah diberikan sejak jauh-jauh hari, sekitar 20 bulan sebelum Pemilu terselenggara. Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp 3,1 triliun. Tahun 2023, alokasi anggaran Pemilu bertambah menjadi Rp 30 triliun. Pada tahun 2024 saat terselenggaranya Pemilu, alokasinya naik lagi menjadi Rp 38,2 triliun. Wow, bukan?!

Belum lagi dengan salah satu peran penting dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) yang dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024. Perannya begitu sangat penting karena dialah yang menentukan kualitas proses pemungutan dan perhitungan suara. Bahkan hal ini, dibuat jokes di media sosial karena ini sangat membantu para pengangguran. Kenapa ? Karena barang siapa yang mendaftar menjadi PTPS, maka akan diberi gaji. Berapa gajinya? Berdasarkan dari Surat Menteri Keuangan No. 5/571/MK.302/2022, nominalnya sebesar Rp 750.000 hingga Rp 2.200.000.

Dari data di atas, seolah-olah masyarakat dimanjakan oleh negara dengan pesta yang masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun, padahal biaya yang dikeluarkan adalah biaya dari penarikan pajak ke masyarakat salah satunya. Berarti tidak gratis, ‘kan? Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa calon-calon yang akan dipilih oleh masyarakat itu, harus menggelontorkan sejumlah uang agar punya hak untuk dipilih. Berapa biayanya?

Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2014-2019 yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Raya (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, Rabu (24/5/2023) untuk menjadi calon presiden maka harus punya modal sebesar Rp 5 triliun. Sedang modal untuk menjadi calon kepada daerah hingga calon anggota DPR RI, butuh Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar. Lantas, dengan modal sebanyak itu, berapa gaji yang akan mereka dapat saat mereka jadi ?

Sesuai UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden, maka gaji presiden adalah 6 kali gaji pokok tertinggi pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden, sedang Wakil Presiden sebesar 4 kali. Sementara pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden adalah setingkat Ketua DPR dan Ketua MPR dengan gaji pokok sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga mendapatkan tunjangan sebesar Rp 32.500.000 untuk Presiden, Rp 22.000.000 untuk Wakil Presiden. Sehingga ditotal per bulan, Presiden mendapat Rp 62.740.000 sedang Wakil Presiden mendapat Rp 42.160.000. Adapun pejabat negara lainnya seperti anggota DPR akan mendapatkan minimal Rp 50 juta per bulan sudah termasuk tunjangannya. 

Dengan modal yang diberikan serta gaji yang akan didapat maka harapan besar itu ada di masing-masing calon. Namun, seperti yang kita tahu bahwa jumlah calon yang ada lebih banyak dibanding jabatan yang ada sehingga bisa dipastikan akan ada beberapa calon yang tidak terpilih padahal modal yang dikeluarkan sudah sangat banyak. 

Berkaca dari pesta demokrasi pada periode sebelumnya, maka Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam diskusi daring dengan antaranews.com (11/12/2023) mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan jelas seperti tujuan kekuasaan, materiil dan berujung kekalahan maka jelas rentan mengalami gangguan mental. Hal ini tidak hanya melanda caleg saja, tetapi juga keluarga hingga tim suksesnya. Untuk itu, mereka datang ke psikiater karena stres bahkan ada yang harus dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa.

Senada dengan itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz pada news.detik.com (26/1/2024) meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, kedua hal tersebut sangat diperlukan.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pesta demokrasi (pemilu) sangat rawan mengakibatkan gangguan mental. Karena berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, jabatan menjadi sebuah impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri/prestise, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan/fasilitas lainnya. Jadi ingat, dengan slogan seseorang bahwa dia masuk sebuah partai adalah jalan ninja baginya untuk mendapatkan keuntungan. 

Kekuatan mental para caleg, menentukan sikapnya dalam menghadapi hasil pemilihan. Dan itu didasari dari pendidikan yang dia punya. Faktanya, pendidikan hari ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat. Sehingga memandang bahwa kekuasaan dan jabatan bukanlah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Hawa nafsu mendominasi sehingga menjadikan dirinya sebagai individu yang kurang bersyukur dan bersabar yang berisiko mentalnya terganggu. Itulah akibat jika sistem Islam tidak diterapkan. Sistem yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah sehingga dia akan berupaya taat dengan aturan yang Allah telah tetapkan karena Allah selalu melihat apa yang dia kerjakan.


Oleh: Dwi R Djohan
Aktivis Muslimah

Rabu, 28 Februari 2024

PAKTA: Demokrasi Itu Instrumen Kapitalisme


Tinta Media - Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengungkapkan, sistem demokrasi itu merupakan instrumen kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan.

“Demokrasi itu merupakan instrumen bagi kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan mereka,” ujarnya dalam acara Kabar Petang: Kecurangan Pilpres Sulut Huru-Hara Politik? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (21/2/2024).

Menurutnya, melalui instrumen demokrasi ini para pemilik modal, pengusaha, oligarki dan para kapitalis bisa bebas menguasai aset-aset publik dan juga kekayaan alam dengan berbagai macam potensi luar biasa terutama di Indonesia. 

“Misalnya belum lama ini, baru saja informasinya ada 9 perusahaan menguasai tambang emas baru mendapatkan ijin tambang dan batu bara. Buka saja di situs Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), itu kan semacam lelang pertambangan. Gimana ceritanya negeri ini dilelang?” kesalnya.

Padahal lanjutnya, itu bukanlah milik orang tuanya, miliknya, bahkan bukan milik presiden. “Itu milik semua rakyat Indonesia. Ketika itu milik semua rakyat Indonesia maka tidak boleh satu pun orang melelang itu, termasuk negara,” tegasnya.

Kalau negara sampai berani melelang, bebernya, itu berarti negara melangkahi kedaulatan rakyat, melangkahi rakyat dan kelak pertanggungjawabannya besar di hadapan Allah Swt.

“Padahal kekuasaan itu dipilih masyarakat lho, mestinya dia tidak punya hak untuk menjual itu ( tambang emas dan batu bara),” ungkapnya.

Mestinya negara mengelola dengan baik dan keuntungannya dibagi secara merata ke tengah-tengah masyarakat bukan malah dijual. “Kalau diserahkan ke swasta keuntungannya untuk swasta,” bebernya.

Oligarki

Erwin juga mengungkap, siapa pun presidennya, yang akan menang hakikatnya oligarki, pengusaha, para pemilik modal, para kapitalis. “Sedangkan masyarakat yang di bawah kebagian kecil rempahnya saja,” kritiknya.

Karena menurutnya, perampasan sumber daya alam terutama di negeri ini sudah dibenarkan atau diboleh kan oleh Undang-Undang (UU) yang faktanya sudah di-setting bahwa UU tersebut untuk kepentingan kapitalis dan yang mensetting adalah penguasa.

“Para kapitalis, pengusaha, para pemilik modal, dan oligarki, mereka seperti mendapatkan surga di alam demokrasi ini,” tukasnya.

Bahkan kata Erwin, ketiga capresnya pun di-support oleh kapitalis, pengusaha, para pemilik modal dan oligarki.

“Meskipun tidak di-support oligarki tapi dia (capres) di-support partai politik, di belakangnya partai politik ada oligarki, jadi tidak ada satu pun yang tidak di-support oligarki,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Siapakah Pemenang Sesungguhnya dalam Demokrasi 2024?



Tinta Media - Gegap gempita pesta demokrasi memilih calon presiden dan wakil rakyat, 14 Februari 2024 serentak telah berlangsung di seluruh Indonesia. Prediksi kemenangan diantara Paslon presiden melalui penghitungan suara nyata (real count) atau penghitungan cepat (quick count) telah beredar di media masa. Bahkan Paslon nomor urut 2 (dua), Prabowo – Gibran  sudah menggelar pidato kemenangan Pilpres 2024   berdasar  hasil quick count bersama pendukungnya di Istora Senayan Jakarta, Rabu malam, 14 Februari 20024 (Liputan6.com). 

Berbicara kemenangan dalam setiap pesta demokrasi, sebenarnya siapakah yang dimenangkan? Pertama, apakah rakyat Indonesia selaku  pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistim demokrasi? 

Jawabannya bukan,  rakyat hanya sebatas dijadikan sarana para ambisius kekuasaan untuk melenggang ke kursi kekuasaan. Secara mendasar rakyat belum memahami apa yang mereka lakukan, mereka hanya berpikir ikut berpartisipasi memberikan suara, mereka belum memahami dengan benar risiko akhir dari memberikan suaranya. Mereka hanya pokoke manut dan percaya dengan para kandidat tanpa melakukan penilaian mendalam terkait landasan dari visi dan misi kandidatnya. Kondisi ini terdapat pada pemilih dengan latar belakang pendidikan yang relatif kurang, hampir 60 persen pemilih berpendidikan maksimal setingkat SMP (Kompas.id, 2023).

Bagi pemilih yang terkategorikan pemilih cerdas dengan mengusung perubahan, ini pun tampak masih kabur dalam memaknai perubahan itu sendiri. Tidak adanya kejelasan dalam landasan visi perubahan dan metode untuk menjalankannya. 

Mereka tetap saja menggunakan kendaraan yang sama dari yang bukan pengusung perubahan, yakni gerbong politik demokrasi yang notabenya akan  mengikat siapa pun yang masuk di dalamnya untuk taat kepada rule domokrasi. Para pengusung slogan perubahan berkumpul dan berikat dengan alasan merasa memiliki kepentingan dan kemanfaatan yang sama, yakni isu perubahan. Sementara diantara mereka sendiri memiliki tujuan yang berbeda-beda. Setelah kepentingan diantara mereka terselesaikan, apakah kandidat mereka menang ataukah kalah berkompetisi, selanjutnya mereka akan berpisah dan kembali kepada habitatnya masing-masing.

Keadaan yang demikian dapat terjadi disebabkan kurangnya pemahaman politik secara global dari para pengusung perubahan. Pemahaman politik yang diketahuinya hanya berkutat kepada politik yang  diterapkan saat ini, yakni politik demokrasi. 

Keadaan tersebut terus dipertahankan dengan berbagai argumen pembenaran, seakan politik demokrasi adalah paling benar dan paling pas diterapkan di muka bumi ini. Padahal selain  itu terdapat  politik Islam yang sudah terbukti keunggulannya. Mereka enggan menengok kepada peradaban sebelum era demokrasi, ditambah lagi minimnya motivasi membaca dan mengkaji literatur fakta sejarah, bahwa pernah ada peradaban politik Islam yang masyhur dan  berkuasa sekitar 13.5 abad lamanya. Sebuah peradaban politik yang telah membawa perubahan besar terhadap kemajuan dunia dan kesejahteraan manusia.

Perlu diketahui andaikan para pengusung perubahan itu menang dalam kancah pesta demokrasi, hakikatnya perubahan hanya akan bisa dilakukan pada tatanan teknik saja, dan tidak akan pernah masuk pada perubahan tatanan yang bersifat mendasar, yakni asas demokrasi itu sendiri. Padahal pangkal perubahan  dan kebangkitan suatu bangsa, sangat tergantung dari asas politik yang diusungnya. 

Asas merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan metode pelaksanaan dari politik itu sendiri. Politik demokrasi adalah politik dengan asas sekuler, yakni  pemahaman yang pemisahan agama dari urusan kehidupan.  Asas ini  menjadi landasan setiap pemikiran dan sikap pengemban atau pengusung demokrasi dalam menetapkan langkah politik untuk mencapai kekuasaan. Dalam konsep politik demokrasi tidak akan ada sandaran halal dan haram, yang ada bagaimana cara untuk memenangkan kekuasaan. Sekalipun terdapat rambu-rabu etika yang mengaturnya, toh pada faktanya tetap saja banyak pelanggaran politik yang terjadi selama proses berlangsung.

Kedua, apakah kemenangan pesta demokrasi adalah kemenangan umat Islam sebagai mayoritas pemilih? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Umat Islam adalah umat yang paling dirugikan. Suara umat Islam lagi-lagi hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan. Kekalahan umat Islam yang paling fatal adalah tidak adanya Paslon yang mengusung untuk diterapkannya kembali aturan Allah Swt dan Rasul-Nya sebagai sumber aturan kehidupan dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Padahal  energi dan semua sumber daya umat telah terkuras, umat justru  terjebak kepada kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Seyogianya umat Islam tersadar,  bahwa perjuangan untuk perubahan dan kebangkitan umat hanya bisa dilakukan  bila landasan perjuangannya adalah asa akidah Islam. Sedangkan jalan perjuangan yang digunakan untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti (I’tiba) kepada jalan perjuangan Rasulullah, baik perjuangan beliau sebelum hijrah, setelah hijrah dan perjuangan setelah wafatnya Rasulullah dengan kepemimpinan para sahabat.

Ketiga, siapakah sesungguhnya yang dimenangkan dalam pesta demokrasi? Adalah mereka imperialis barat yang telah mengendalikan kekuasaannya melalui boneka-boneka kekuasaan di negeri ini. Mereka adalah pencetus, pengusung sekaligus penjaga demokrasi dunia melalui penjajahan politik dan ekonomi  negeri-negeri muslim, termasuk negeri muslim Indonesia. Demokrasi terlahir dari pemahaman sistim sekuler. Paham ini semenjak lahirnya diciptakan dengan mengusung kebebasan individu dalam semua bidang, termasuk politik dan ekonomi. 

Para penguasa ekonomi (oligarki) memainkan peran kunci dalam sistim ini. Mereka akan memanfaatkan kekuatan modal yang  mereka  miliki untuk menguasai, mempengaruhi, bahkan menekan para penguasa dalam menetapkan kebijakan-kebijakan  supaya pro dengannya. karenanya bila dicermati secara mendalam, kemenangan seorang calon penguasa dalam pesta demokrasi, sejatinya bukanlah pemenang yang sesungguhnya, mereka hanyalah representasi dari kemenangan imperialis barat penjajah negeri ini.

Konsep demokrasi sesungguhnya bertentangan dengan konsep Islam. Islam menstandarkan segala bentuk pemenuhan kebutuhan manusia, baik hajat hidup dan naluri adalah terikat dengan hukum syariat. Setiap muslim yang memenuhi ketentuan syariat berkesempatan sama dalam memperoleh kekuasaan untuk menjadi pemimpin/imam/khalifah. Kekuasaan dalam sistim Islam adalah ditangan rakyat yang kemudian kekuasaan tersebut diserahkan kepada seorang pemimpin /imam/khalifah melalui mekanisme bai’at. 

Penyerahan kekuasan rakyat kepada pemimpin/imam/khalifah adalah penyerahan amanat untuk menerapkan hukum Allah Swt. dalam kehidupan umat manusia. Karena kekuasaan ditangan rakyat, kewajiban memberikan teguran, nasihat dan pengawasan kepada pemimpin/imam/khalifah berada ditangan rakyat melalui majlis umat (Majlis Syura). 

Amanat kekuasaan seorang pemimpin/imam/khalifah dapat diambil Kembali oleh rakyat bila mana  pemimpin/imam/khalifah mengundurkan diri, tidak mampu menjalankan amanah karena udzur syar’I, melakukan  pelanggaran  atau tidak menjalankan amanah penegakan hukum Allah dengan benar. Sementara kedaulatan dalam sistim Islam bukan ada ditangan rakyat, melainkan ada pada pembuat hukum (Allah Swt.). Dengan penerapan  sistim Islam akan menutup celah rapat-rapat terhadap pihak-pihak yang akan menekan seorang pemimpin/imam/khalifah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan negara untuk melayani rakyatnya. Seorang imam/pemimpin/khalifah senantiasa mempertanggungjawabkan amanahnya kepada Allah juga umat Islam. Karenanya keridhoan Allah Swt. adalah kunci keberkahan dari semua aktivitas kehidupan yang dijalankan dalam sistim kehidupan Islam. Wallahu a’laam bi ash shawaab

Purwokerto,  12 Sya’ban 1445 H / 22 Februari 2024 M

Oleh: Amir Mahmudin
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab