Senin, 11 November 2024
Pilkada Boros di Sistem Demokrasi
Jumat, 08 November 2024
Pemimpin Baru dalam Bingkai Demokrasi, Benarkah Menjanjikan Harapan?
Selasa, 05 November 2024
Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?
Tinta Media - Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa (kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung jawab mereka.
Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri, menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.
Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum. Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda. Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).
Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.
Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya. Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.
Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.
Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan umat berdasarkan hukum Islam.
Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.
Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki. Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.
Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah
Senin, 21 Oktober 2024
Demokrasi Cacat Sejak Lahir
Jumat, 04 Oktober 2024
Tindakan Represif Aparat, Bukti Demokrasi Kebal Kritik
Jumat, 27 September 2024
MBG: Janji Politik dan Halusinasi Demokrasi
Selasa, 24 September 2024
Tidak Ingin Gagal Lagi, Parpol Harus Berlepas dari Demokrasi
Tinta Media - Gagal mengikuti pilkada tahun 2024, Anies Baswedan berkeinginan untuk mendirikan partai politik (parpol) baru. Namun, parpol baru itu bakal mengulangi kegagalan parpol sebelumnya jika masih berpegang pada demokrasi.
Tersanderanya partai yang ada oleh kekuasaan disebut sebagai salah satu yang melahirkan keinginan Anies untuk membangun partai baru. Di samping itu parpol baru dianggap dapat mewadahi gerakan perubahan yang semakin hari semakin membesar.
Jika benar maksud Anies membangun parpol untuk mewujudkan perubahan, maka mau tidak mau parpol tersebut harus berlepas dari demokrasi bukan hanya berlepas dari tangan para penguasa. Sebab, demokrasi yang sesungguhnya menggiring parpol saat ini tersandera oleh kekuasaan sekaligus memelihara kondisi yang semakin hari semakin rusak dan menyengsarakan.
Memang pada prinsipnya, demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dengan jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan prinsip itu, rakyat yang berhak memilih pemimpinnya, rakyat pula yang berhak membuat aturannya sendiri dengan diwakili oleh beberapa orang yang dipilih oleh rakyat. Pemimpin dan wakil rakyat tersebut tentunya diharapkan bekerja untuk kepentingan rakyat. Sedangkan peran parpol diantaranya mengader calon wakil rakyat di lembaga legislatif dan calon pemimpin untuk menjadi presiden maupun kepala daerah.
Namun, prinsip dan jargon manis demokrasi selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Demokrasi di satu sisi menuhankan rakyat, tapi di sisi yang lain demokrasi tidak berkutik membatasi hasrat para kapitalis. Hal itu karena demokrasi tersandera oleh prinsipnya yang lain yaitu menjamin kebebasan yang dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM).
Para kapitalis sebagai bagian dari rakyat juga memiliki hak yang harus dijamin oleh demokrasi. Dengan potensi dan modal yang dimiliki, para kapitalis lalu memanfaatkan kebebasannya berekspresi dan kebebasan hak miliknya sehingga tampillah mereka sebagai pemenang setelah berhasil memiliki kekayaan alam yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kekayaannya yang semakin besar dan luas, para kapitalis bebas membeli apa saja tanpa bisa dihalangi oleh demokrasi. Jangankan suara rakyat, jika para kapitalis menginginkan nyawa rakyat yang lain sekalipun, maka demokrasi tidak akan sanggup menghalanginya.
Inilah kenyataannya, demokrasi tidak akan berkutik menghadapi kapitalisme karena sesungguhnya kapitalisme dan demokrasi adalah saudara kandung yang lahir dari ibu yang sama yaitu sekularisme. Demokrasi dan kapitalisme dituntut saling mendukung agar sekularisme tetap berjaya dengan terpisahnya agama dari kehidupan manusia. Dengan menjamin kebebasan terutama kebebasan para kapitalis adalah cara paling realistis dan efektif agar sekularisme tetap berjaya dan agama mana pun tidak akan bisa kembali mengatur kehidupan.
Jelaslah, tersanderanya parpol hari ini oleh kekuasaan tidak lain akibat dari lemahnya sistem demokrasi dalam menghadapi ambisi para kapitalis. Alih-alih menjamin kebebasan seluruh rakyat, demokrasi nyatanya menjadi pelayan bagi para kapitalis. Jadilah para kapitalis sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya pada negara yang menganut sistem demokrasi. Parpol yang harusnya menjadi entitas yang memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menjadi sarana bagi para kapitalis untuk menjamin kepentingan-kepentingannya.
Di tangan para kapitalis parpol beroperasi layaknya perusahaan yang mendatangkan keuntungan materi. Awalnya, parpol dimodali oleh para kapitalis demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, parpol yang meraih banyak suara dari rakyat apalagi lolos kursi dewan perwakilan rakyat (DPR) bakal memiliki nilai tawar tinggi bagi para calon presiden maupun kepala daerah yang ingin mengendarainya. Tidak heran, jika ada yang menyebut ongkos pilkada gubernur bisa mencapai 100 miliar rupiah.
Di samping itu, parpol yang memiliki banyak kursi di DPR akan memiliki pengaruh besar saat penentuan keputusan di DPR. Karenanya, para kapitalis dengan kekuatan modal yang dimiliki akan berusaha memastikan keberpihakan parpol tersebut, sehingga peraturan-peraturan yang diputuskan tidak merugikan bahkan menguntungkan mereka.
Akhirnya dalam sistem demokrasi, parpol akan selalu tersandera oleh para kapitalis. Sebab, demokrasi akan selalu memberi jalan bagi para kapitalis untuk berkuasa, baik mereka sendiri yang tampil sebagai penguasanya maupun sebagai tuannya para penguasa.
Walhasil, selama parpol masih berpolitik sesuai demokrasi maka selama itu pula parpol akan selalu tersandera oleh para kapitalis selaku pemilik kekuasaan sesungguhnya dalam sistem demokrasi. Perubahan yang diimpikan berupa keadilan maupun kesejahteraan bagi seluruh rakyat tidak akan pernah terwujud.
Oleh karena itu, jika tidak ingin mengalami kegagalan sebagaimana parpol-parpol sebelumnya, maka parpol yang benar-benar menginginkan perubahan wajib berlepas dari demokrasi sembari memilih politik sesuai ideologi yang benar dan terbukti mampu mewujudkan keadilan bahkan kebahagiaan bagi umat manusia yaitu ideologi Islam.
Oleh: Muhammad Syafi'i, Aktivis Dakwah
Senin, 23 September 2024
Politik Demokrasi Mahal, Islam yang Paling Andal
Mekanisme Pemilu Jadi Masalah, Bukti Demokrasi Lemah
Minggu, 22 September 2024
Gadai Masal SK Anggota Dewan, Potret Demokrasi Berbiaya Mahal
Jumat, 20 September 2024
Pembacaan Hasil Kajian Ulama, Intelektual dan Tokoh Jatim, Sikapi Rusaknya Sistem Demokrasi Berjalan Khidmat
Tinta Media - Diawali dengan mengucap salam, pujian kepada Allah dan shalawat Nabi, Kiai Zainullah Muslim, ulama kharismatik asal Pasuruan, selaku Perwakilan Forum Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur (Jatim).
Dengan rona wajah yang teduh penuh ketenangan membacakan Al-Qur’an, surah Ar-Rum ayat 41.
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Melalui hal itu Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar,” bacanya menggetarkan suasana forum.
Pembacaan hasil kajian Forum Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur (Jatim) yang bertema “Demokrasi Rusak Parah, Mengikuti Partai Oportunis ataukah Jamaah Ulama? Saatnya Menuju Islam Kaffah dan Khilafah” itu pun berjalan dengan khidmat, serius tanpa gurauan, namun tetap dalam nuansa semangat perjuangan di jalan Islam.
Pembacaan hasil kajian yang sebelumnya diisi dengan penyampaian materi kajian dari beberapa para alim ulama, intelektual dan tokoh itu berlangsung di kediaman salah seorang ulama sekaligus tokoh Bangkalan Madura, K.H. Thoha Cholili dan juga disiarkan secara langsung (_live_) pada Minggu, 25 Agustus 2024, melalui kanal YouTube Multaqo Ulama Aswaja, sejak pukul 08.00 hingga 11.30 WIB.
Berhimpun bersama puluhan ulama, tokoh dan intelektual di atas panggung, berdiri di posisi tengah menghadap sorotan kamera di depan panggung, Kiai Zainullah menyatakan dengan gamblang bahwa telah banyak yang merasakan adanya kezaliman, kecurangan, ketidakadilan, bahkan kesewenang-wenangan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi. Akan tetapi, masih belum banyak yang sadar atau menyadari bahwa sumber dari semua kerusakan adalah sistem demokrasi.
Padahal, ia mengungkapkan, telah banyak yang mengetahui bahwa karakter perilaku politik dalam sistem demokrasi adalah pragmatis, oportunis dan machiavellis yang menghalalkan segala cara.
“Prinsip yang dianut adalah tidak ada teman dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Sedangkan rakyat hanya aset, alat, bahkan objek yang dieksploitasi sesuai dengan kepentingan yang menang dan berkuasa tanpa ada nilai. Baik etika, hukum, agama dan tanpa peduli apa pun yang terjadi,” ungkapnya lagi menggambarkan realitas kebobrokan tatanan kehidupan dalam naungan demokrasi.
Di sela-sela permulaan pembacaan hasil kajian itu, Kiai Zainullah blak-blakan menyatakan, itulah yang sedang diperankan oleh politisi dan partai politik peserta pemilu demokrasi, mengikuti skenario sistem demokrasi dengan _ending_ yang bisa menyayat hati.
“Untuk itulah, kami para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur berkumpul menyelenggarakan forum, berikhtiar dengan mengkaji dan berdiskusi, seraya bertawakal dan meminta petunjuk kepada Rabbul Izzati (Allah Swt.) agar ada solusi bagi kebaikan negeri tercinta ini,” ucap Kiai Zainullah menjelaskan dan mengumumkan kepada hadirin dan khalayak terkait latar belakang dan tujuan forum tersebut diselenggarakan.
*Pembacaan Tujuh Kesimpulan*
Meskipun acara yang dibersamainya saat itu sudah tiga jam lebih berjalan, namun tak tampak kelelahan pada rona wajah Kiai Zainullah.
Sembari memegang lembaran kertas bersampul map berwarna hijau yang berisi pernyataan hasil kajian di tangan kiri dan menggenggam mikrofon sebagai alat pengeras suara dengan tangan kanan, Kiai Zainullah yang terlihat tidak berusia muda lagi ditandai warna putih pada janggutnya,
Dengan serius, tegap dan bersemangat kemudian membacakan tujuh kesimpulan hasil kajian.
“Satu,” sebut Kiai Zainullah dengan suara yang lantang.
“Bahwa sistem demokrasi harus dihilangkan dari kehidupan. Sebab, sistem demokrasi adalah sistem kufur, sistem rusak dan merusak, bahaya dan membahayakan. Keji, rakus, serakah, penuh ilusi dan ambisi,” terangnya tanpa ragu.
Ia melanjutkan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thabrani,” tegasnya sembari sesekali memantapkan tatapan pandangan mata ke depan.
Yang kedua, Kiai Zainullah membeberkan bahwa koalisi apa pun yang dibentuk berdasarkan sistem demokrasi adalah koalisi yang sangat rapuh, tidak solid, gampang pecah dan tidak akan pernah menghantarkan pada kebaikan apapun.
“Sebab, keberadaannya bukan untuk kebaikan, melainkan untuk memusuhi Islam dan menghalang-halangi orang dari jalan Allah Swt.,” terangnya dengan tenang.
Dengan khidmat ia lanjut membacakan firman Allah, surah Al-Hasyr ayat 14,
لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ ۗ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ
“Mereka tidak akan memerangi kamu (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti,” bacanya menerjemahkan.
Yang ketiga, dengan penuh keberanian Kiai Zainullah mengajak sekaligus mengingatkan bahwa sudah saatnya bagi bangsa Muslim terbesar di dunia ini untuk menginggalkan demokrasi dan mengingat kebenaran dan kebaikan yang datang dari sisi Allah Swt., yakni IsIam dengan syariat yang ada di dalamnya untuk diadopsi dan diterapkan.
Sebagai peringatan, ia pun kembali membacakan firman Allah Swt.,
اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ
“Apakah belum tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman, hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan kepada apa yang turun dari kebenaran (Al-Quran). Dan janganlah mereka berlaku seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik. Surah Al-Hadid ayat 16,” sebut Kiai Zainullah.
Yang keempat, suara lantangnya kembali mengingatkan hadirin dan khalayak, bahwa melakukan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya tugas para ulama saja, tetapi tugas seluruh umat Islam, termasuk intelektual, tokoh, pemuda, pelajar, mahasiswa, ormas, parpol dan rakyat.
“Tujuannya agar kebenaran dan keadilan tegak, kebatilan dan kezaliman hilang, serta dihindarkan dari azab Allah Swt.” Pesannya mengajak bangsa Indonesia khususnya umat Islam untuk takut kepada azab Allah Swt.
Diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman r.a, Kiai Zainullah juga menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw. Telah bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menurunkan hukumannya, kemudian jika kalian berdoa kepadanya maka Dia tidak akan mengabulkan doa kalian. Hadis riwayat Tirmidzi,” lantangnya mengingatkan.
Yang kelima, dengan keyakinan akan kepastian datangnya pertolongan Allah, dengan mantap ia menyatakan bahwa masa depan Indonesia dan dunia adalah Islam. Kepemimpinan dunia mendatang ada pada umat Islam dengan sistem khilafah islamiahnya sebagai negara utama atau _daulatul ula_ yang akan menghantarkan dunia pada keadaan yang aman dan sentosa.
“Takbir!” pekik Kiai Zainullah diikuti gemuruh pekikan takbir dari para ulama, intelektual, tokoh, baik yang berkumpul di atas panggung maupun di bawah panggung sambil bersemangat mengepalkan dan mengangkat tangan penuh keseriusan.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhainya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik,” ucapnya meyakinkan membacakan terjemah Al-Qur’an surah An-Nur ayat 55 sebagai dalil qath’i kepastian kebangkitan Islam dan umatnya di masa yang akan datang.
Yang keenam, sambungnya, bahwa untuk menyongsong tegaknya khilafah islamiah harus dipersiapkan generasi, baik pemuda, pelajar dan mahasiswa, agar memiliki kesanggupan untuk bersaing dan bertarung memperebutkan kepemimpinan dunia menggantikan Amerika Serikat, Eropa, Rusia dan China.
“Di dalam sebuah maqolah disebutkan, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan, sesungguhnya di tanganmulah urusan bangsa, dan dalam langkahmu tertanggung masa depan bangsa,” gugahnya.
Yang ketujuh, tetap dalam keadaan tegap dan tak berubah dari posisi sebelumnya, di tengah himpunan ulama, intelektual dan tokoh, Kiai Zainullah menyebutkan bahwa perjuangan menegakkan khilafah islamiah meniscayakan adanya kelompok jama’ah atau _hizbun siyasun_, yaitu partai politik berideologi Islam yang mampu mewujudkan tujuannya, serta adanya dukungan dari umat kepada kelompok jama’ah atau _hizbun siyasun_ tersebut.
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang-orang yang menyeru kepada kebajikan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 104. Demikian, assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” tutupnya mengakhiri.
“Waalaikum salam. Takbir! Allahu Akbar! Takbir! Allahu Akbar! Takbir! Allahu Akbar,” pekik para ulama, intelektual dan tokoh beriringan dengan penuh semangat dan keseriusan, namun tidak mengurangi khidmatnya keberlangsungan acara. []
Muhar, Sahabat Tinta Media
Tangsel, Minggu (1/9/2024)
Kamis, 12 September 2024
Demokrasi dan Pragmatisme Menyengsarakan, Syariah Islam Menyejahterakan
Tinta Media - Pragmatisme adalah upaya meraih kepentingan tertentu dengan cara-cara yang paling efektif dan paling praktis daripada berpegang pada prinsip/idealisme ataupun ideologi tertentu. Maka asas dari pragmatisme adalah aspek kemanfaatan (kemaslahatan) semata. Di dalam demokrasi, pragmatisme sangatlah menonjol. Penguasa, pejabat, wakil rakyat maupun partai politik menunjukkan sikap pragmatis. Mereka bertindak secara politik semata-mata demi meraih kepentingan tertentu, bukan kepentingan rakyat. Buktinya, banyak undang-undang, peraturan serta kebijakan penguasa dan wakil rakyat justru merugikan rakyat. Tetapi menguntungkan oligarki, penguasa dan para wakil rakyat termasuk partai politik.
Sedangkan politik Islam adalah aktivitas mengurus dan mengelola seluruh urusan rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Dan ini akan menyejahterakan rakyat. Politik Islam bukan sekedar permainan kekuasaan, tetapi tanggung jawab syar'i untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam mengatur kehidupan umat. Maka politik Islam terkait dengan halal dan haram, standarnya hukum-hukum Islam, bukan kemanfaatan (kemaslahatan) dan kepentingan. Yang disetir oleh dan untuk kemaslahatan atau kepentingan pihak tertentu dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak.
Pada dasarnya kaum Muslim wajib untuk terikat dengan al-Qur'an dan as sunnah dalam semua aspek kehidupan mereka termasuk dalam berpolitik. Banyak ayat al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu terikat dengan syariah Islam, seperti yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 208 dan QS. al-Maidah ayat 48. Rasulullah Saw juga bersabda: "Aku telah mewariskan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu: Kitab Allah SWT (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-nya", (HR. Malik dan al-Hakim).
Maka sudah saatnya umat Islam meninggalkan pragmatisme, juga sistem demokrasi yang terbukti hanya melahirkan banyak persoalan bagi umat ini. Yang tentu menyengsarakan dan semakin jauh dari kesejahteraan. Karena inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat maka artinya manusia lah -melalui para wakil rakyat yang sering tidak memiliki rakyatnya- yang berwenang untuk membuat berbagai aturan atau hukum yang sering didasarkan pada akal dan hawa nafsu semata. Padahal jelas, hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah SWT (lihat QS. Yusuf ayat 40). Marilah kita semuanya bersegera untuk mengamalkan, menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah bangsa dan negeri ini akan bisa meraih ragam keberkahan dari langit dan bumi.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.
Oleh: Peni, Sahabat Tinta Media