Tinta Media: Demokrasi
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 November 2024

Kriminalisasi Guru, Buah Pahit Kapitalisme Demokrasi


Tinta Media - Guru adalah sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dimuliakan, baik oleh murid maupun orang tua murid. Namun, akhir-akhir ini guru malah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua murid disebabkan pengaduan anaknya, meskipun pengaduan itu terkadang tidak benar,  bahkan cenderung fitnah. 

Ibu Supriyani, S.Pd, guru SDN  Baito, Konawe Selatan ditahan polisi karena menegur siswa yang nakal. Orang tua siswa tersebut adalah anggota polisi. Pihak orang tua siswa meminta Bu Supriyani dikeluarkan dari sekolah dan juga dimintai uang sebesar 50 juta dengan dalih sebagai uang damai. Belakangan, kasusnya diselesaikan dengan damai kekeluargaan. Namun, persidangan akan tetap dilakukan pada Ibu Supriyani. 

Kasus kriminalisasi terhadap guru tidak hanya menimpa Ibu Supriyani saja. Kriminalisasi guru ibarat gunung es, yang tampak hanya sedikit, tetapi yang tak nampak lebih besar lagi. Sebelumnya, di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa karena menegur siswanya yang tidak mau salat. Realitasnya, masih banyak lagi kasus-kasus serupa. 

Akar Masalah

Kasus kriminalisasi guru menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan. Hal ini merupakan malapetaka peradaban. Artinya, adab kepada guru sudah hilang. Bagaimana ketika guru ingin menegakkan keadilan, bagaimana guru sedang menegakkan disiplin jika dia harus dibenturkan dengan aturan dalam perundang-undangan di negeri ini? Sungguh, dunia pendidikan dibuat tumpul tak berdaya. 

Anak-anak didik saat ini telah banyak terpengaruh oleh berbagai informasi negatif yang beredar di media sosial. Dari pornografi, video kekerasan,  pembulyan, dan berbagai tayangan-tayangan yang nir-adab semakin merusak mental dan karakter generasi. Adanya filter yang ketat seharusnya dilakukan oleh penguasa. Akan tetapi, penguasa seolah tak berdaya. 

Revolusi mental yang digadang-gadang bisa memperbaiki generasi malah semakin merusak. Hal ini membuktikan bahwa revolusi mental yang dibangun oleh rezim ini berlandaskan kapitalisme, hanya berpandangan soal untung dan rugi, bukan untuk tindakan atau menegakkan kedisplinan sebagaimana yang ibu guru tersebut lakukan terhadap anak didiknya. 

Ditambah lagi ketidakadilan yang tampak semakin nyata. Hukum bisa diutak-atik oleh yang berkuasa sesuai kepentingan mereka, seolah keadilan hanya bagi pemilik modal atau yang ber-uang saja. Rakyat kecil mudah dijadikan tersangka hanya dengan perkara yang belum terbukti nyata.

Jelaslah bahwa semua masalah tersebut bersifat sistematis. Pangkal persoalan ini adalah akibat sistem pendidikan yang menganut paham kapitalis-sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Orientasinya hanya untuk keuntungan/kepuasan  materi, bukan untuk menghasilkan anak didik yang bertakwa. 

Penerapan sistem kapitalisme sekuler menjadikan lembaga pendidikan hanya mengajarkan agama sebagai ilmu, bukan sebagai tsaqafah yang berpengaruh dalam kehidupan. Wajar jika jam pelajaran agama semakin terkikis, ditambah dengan arus moderasi beragama yang semakin membutakan generasi dari hakikat Islam yang merupakan sistem kehidupan. 

Kapitalisme telah menghilangkan rasa hormat dan takdzim kepada guru, padahal rasa takdzim kepada guru adalah bagian syariat yang harus dijalani di dunia yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Justru perasaan egoisme pribadi yang semakin menguat. 

Sistem kapitalisme juga membuat ketidakpercayaan antara orang tua dan guru. Adanya undang-undang perlindungan anak rentan dijadikan senjata untuk mengkriminalisasikan guru demi kepentingan pribadi. 

Solusi Teknis dan Sistemik

Kriminalisasi terhadap guru sekolah yang tengah marak belakangan ini membutuhkan solusi yang paripurna, baik teknis dan sistematis. Demi terciptanya perlindungan hukum untuk guru, maka sekolah perlu membuat peraturan yang disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua siswa. Oleh karena itu, sekolah sepatutnya membuat peraturan sekolah, tata tertib, dan kode etik sekolah yang diketahui dan disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua.

Di dalam peraturan tersebut, terdapat klasifikasi dalam bentuk tindakan pendisiplinan. Untuk mengurangi kriminalisasi terhadap guru, sebaiknya sekolah membuat komisi atau divisi yang menegakkan peraturan sekolah. Sehingga, jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, guru cukup melaporkan kepada divisi atau komisi yang bertugas menegakkan disiplin. Sehingga, bukan guru yang melakukan tindakan pendisiplinan, melainkan komisi atau divisi tersebut.

Untuk menghindari kriminalisasi terhadap divisi atau komisi pendisiplinan, maka perlu dibuat mekanisme. Tindakan apa yang akan dilakukan untuk pendisiplina, di mana tempatnya. Pendisiplinan itu harus disaksikan oleh minimal dua orang guru dan dua orang siswa. Untuk memperkuat alat bukti, sebaiknya dipasang CCTV. Perlu juga adanya saksi dan alat bukti ketika proses pendisiplinan tersebut berlangsung.

Selain itu, guru tidak dapat dipidana saat menjalankan profesinya, tidak terlepas dalam hal pendisiplinan. Karena pendisiplinan tidak termasuk kategori tindakan diskriminasi atau penganiayaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak sekolah untuk membuat ketentuan yang jelas, bersih, dan berlaku bagi seluruh siswa agar tidak dapat dikategorikan tindakan diskriminasi.

Ada dua pasal untuk memperkuat posisi guru sebagai tenaga pendidik di sekolah. Pasal tersebut yakni Pasal 39 Ayat (1) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 dan Pasal 39 ayat (2) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 tentang Guru. Pasal 39 Ayat 1 dan 2 mengatur tentang gurun untuk memiliki kebebasan dalam memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar. Sanksi tersebut dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengganti sistem kapitalisme sekuler demokrasi dengan sistem yang sahih yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sistem pendidikan Islam akan membentuk pemahaman agama yang menjadikan mental dan iman yang kuat, baik guru, orang tua maupun murid. 

Strategi pendidikan harus dirancang untuk mewujudkan identitas keislaman yang kuat. Metode pengajarannya harus talaqqiyan fikriyan. Sehingga hubungan antara guru dengan murid, guru dengan orang tua akan memiliki kesadaran yang saling menghargai. Terdapat ajaran yang menekankan pentingnya adab (etika) dalam berinteraksi dengan guru. Murid diharapkan untuk menghormati, mendengarkan dengan baik, dan belajar dengan tekun dari guru mereka.

Sistem informasi dan komunikasi juga harus difilter dengan ketat agar semua tayangan yang beredar adalah tayangan yang memberikan edukasi dan dakwah ilal Islam. Penguasa harus benar-serius saat melakukan ini tanpa memihak kepada kepentingan -kepentingan sekelompok orang maupun pemodal. Tak boleh berlaku asas manfaat dalam hal ini.

Sistem sanksi juga akan diberlakukan dengan tegas agar kasus tidak berulang. Keadilan akan benar-benar ditegakkan supaya tidak ada yang terzalimi dan menzalimi. Semua itu membutuhkan sebuah institusi negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah. Tanpa khilafah, mustahil keadilan akan terwujud.


Oleh: Sri Syahidah 
(Aktivis Muslimah) 

Pilkada Boros di Sistem Demokrasi


Tinta Media - Pilkada serentak 2024 ditaksir anggarannya lebih dari Rp41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati Pemerintah Daerah (Pemda) dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. (kompas.com, Rabu 10/7/2024)

Luar biasa, sistem demokrasi mengharuskan rakyat untuk memilih pemimpin negara dan jajarannya dengan dana sebesar itu merupakan suatu pemborosan. Padahal, cara tersebut sangat tidak efektif karena 41 triliun bukan angka yang sedikit. Jika dana tersebut digunakan untuk kebutuhan lain, sudah pasti lebih bermanfaat.

Sangat disayangkan, dana yang begitu besar hanya digunakan untuk keperluan pilkada saja. Ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pemilihan pemimpin negara dan jajarannya tidak memerlukan biaya yang besar dan sudah dijamin bahwa yang menjadi pemimpin dan jajarannya akan bersikap adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya.

Karena itu, sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang menggunakan peraturan langsung bersumber dari Allah Swt. Yang Maha Pengatur.
Sudah dijamin bahwa tidak akan ada lagi masalah seperti sekarang ini, yang tidak bisa dituntaskan penyelesaianns.

Dalam sistem Islam, pemerintah senantiasa mengayomi dan melindungi rakyat dari segi apa pun. Sehingga, rakyat akan merasakan kesejahteraan yang hakiki.

Sudah terbukti, selama 13 abad diterapkan sistem Islam, kasus yang dihadapi hanya kurang dari 200 kasus. Itu pun bukan kasus berat. Terbayang, betapa sejahteranya kehidupan di masa itu. Tidak seperti sekarang ini, setiap hari ada saja berita kejahatan yang terjadi.

Alih-alih menyelesaikan, yang disalahkan hanya individu yang melakukan kejahatan itu saja, padahal ada peran negara. Faktanya, negara tidak bisa menyejahterakan rakyat sehingga melakukan hal hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Wallahu a'lam bish shawwab.



Oleh: Ummu Arvin
Sahabat Tinta Media



Jumat, 08 November 2024

Pemimpin Baru dalam Bingkai Demokrasi, Benarkah Menjanjikan Harapan?



Tinta Media - Baru saja kita menyelesaikan pemilu yang sangat dinantikan oleh sebagian masyarakat. Kita tahu, negeri Indonesia ini termasuk negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Pelantikan pemimpin baru Indonesia untuk 2024-2029 pun telah digelar. Astacita adalah visi besar yang diusung oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.  

Astacita berasal dari 2 kata, yaitu "asta" yang berarti delapan dan "cita" berarti tujuh atau aspirasi. Jadi, Astacita mengacu pada delapan cita-cita atau tujuan besar yang menjadi pandangan kepemimpinan dan kebijakan Prabowo-Gibran untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih maju, berdaulat, dan sejahtera.

Namun, ada beberapa tantangan bagi Indonesia ke depannya.

Pertama, ketimpangan sosial dan ekonomi. Saat ini Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas, seperti batu bara, minyak sawit, dan mineral. Belum lagi masalah kualitas SDM yang tidak merata dengan rendahnya pendidikan dan keterampilan di beberapa wilayah. 

Kedua, ketimpangan akses internet, rendahnya literasi digital dan minimnya investasi dalam teknologi. 

Ketiga, ketahanan ekonomi dan keuntungan global. 

Keempat, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Kelima, hubungan luar negeri dan peran Indonesia di kancah global. 

Keenam, stabilitas politik dan demokrasi. (Antaranews.com, 20/10/2024)

Harapan Baru Indonesia Maju

Apakah ini akan terwujud dengan banyaknya tantangan yang dihadapi? Jelas tidak, bahkan mustahil. Mengapa demikian?

Itu dikarenakan negeri ini adalah salah satu negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Sementara, demokras adalah buah dari sistem kapitalisme, dengan asas demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, pertanyaannya adalah rakyat yang mana? Nyatanya hanya rakyat yang menguntungkan sebagian kelompok yang tak lain dan tak bukan ialah para penguasa dan oligarki.  

Salah satu contoh tantangan yang harus dihadapi yaitu penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi yang dari tahun ke tahun tidak pernah selesai. Hal ini makin menjamur di kalangan penguasa, yang itu jelas merugikan negara dan rakyat. 

Kebijakan hukumnya pun lebih condong kepada keuntungan para penguasa dan pengusaha. Sudah menjadi hal biasa bahwa hukum hari ini tumpul ke atas dan runcing ke bawah. 

Belum lagi banyaknya terjadi ketimpangan ekonomi. Artinya, lebih banyak yang miskin dan dimiskinkan oleh para penguasa. Padahal, negeri ini kaya raya. 

Seharusnya, rakyat kecil pun bisa merasakan kekayaaan negara, tetapi nyatanya tidak bisa sama sekali. Itu semua dikuasai oleh para pemilik modal dan segelintir orang saja.

Demokrasi kapitalis ini adalah sistem yang rusak yang seharusnya tidak lagi digunakan. Sistem ini sejak lahir sudah cacat, sehingga menghasilkan aturan rusak dan merusak. Banyaknya masalah yang ada justru timbul akibat dari sistem ini.

Lantas, haruskah kita berharap akan kebaikan dalam sistem ini yang sudah jelas-jelas rusak?
Seharusnya tidak. Pergantian pemimpin ini pun tidak ada gunanya kalau sistemnya tetap sama, demokrasi kapitalis. Jelas tidak akan ada harapan untuk maju ataupun bangkit. Seharusnya, sistemnyalah yang diganti, bukan hanya pemimpinnya saja. 

Sesungguhnya, Islam bukanlah sekadar agama ruhiyah, melainkan sebuah mabda atau ideologi. Dari sana, lahirlah aturan-aturan hidup yang praktis. 

Dalam Islam, pemilihan pemimpin harus memenuhi 7 syarat in'iqad, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki laki, berilmu dan adil. Selain itu, sistem pemerintahan yang digunakan juga harus Islam karena datang dari Allah Swt. yang insyaallah sudah pasti penerapan aturannya juga akan mendapat keberkahan dalam hidup.

Dalam sistem Islam, kekuasaan harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam serta melayani kepentingan masyarakat. Bukan hanya umat Islam saja, yang non-muslim pun akan mendapatkan hak yang sama. Hal itu akan terjadi jika khilafah Islamiyah ditegakkan.  Khilafah Islam akan mengatur semua urusan rakyat, seperti menjamin kehidupan rakyat, menyelenggarakan pendidikan, melayani kesehatan masyarakat, dan dimudahkan segala urusannya.

Jika ingin negara ini maju dari kemunduran dan keterpurukan di berbagai bidang, seharusnya bukan hanya dengan mengganti pemimpinnya saja, tetapi juga dengan mengganti sistemnya. 

Sistem yang baik adalah khilafah Islamiyah. Dengan menggunakan sistem yang sesuai syariat, maka insyaallah akan baik ke depannya dan kesejahteraan umat terjamin. Selain itu, akan terwujud Islam rahmatan lil alamiin. Wallahu a’lam.



Oleh: Melda Utari, S.E 
(Pengajar & Aktivis Dakwah)

Selasa, 05 November 2024

Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?

Tinta Media - Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa (kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung jawab mereka.

Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri, menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.

Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum. Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda. Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).

Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.

Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya. Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.

Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.

Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan umat berdasarkan hukum Islam.

Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.

Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki. Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam.

Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah

Senin, 21 Oktober 2024

Demokrasi Cacat Sejak Lahir


Tinta Media - Kehidupan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) Iding Rosyidin membahas fenomena kemunduran demokrasi (Democratic backsliding). Menurut Iding, solusinya adalah reformasi di tubuh partai politik melalui perubahan rekrutmen kaderisasi dan distribusi kader. 

Iding berharap, kaum muda, khususnya mahasiswa menjadi agen perubahan dengan membekali pengetahuan politik mumpuni ketika duduk di bangku kuliah. 

Hal sama disampaikan Profesor Asrinaldi, pakar politik FISIP Universitas Andalas di acara konferensi Nasional bertema,  Indonesia's Future Democracy: Opportunities and Challenges, agar gen Z memperoleh bekal politik yang mumpuni sehingga mereka mau berpartisipasi dalam demokrasi (Bangkapos.com, 18/9/2024)

Cacat Demokrasi

Kehidupan demokrasi di Indonesia dianggap mengalami kemunduran hingga digelar konferensi nasional untuk memulihkan, termasuk bagaimana meningkatkan partisipasi gen z dalam demokrasi.

Pesta demokrasi lima tahunan, baik untuk presiden maupun pemilihan kepala daerah telah menelanjangi sifat asli demokrasi. Hukum bisa diutak-atik sesuai selera penguasa, sehingga tidak ada kepastian hukum. Hukum sekedar alat legitimasi penguasa untuk memuluskan ambisi dan kepentingannya demi melanggengkan kekuasaan.  Negara hukum tinggal hanya slogan, faktanya telah berubah menjadi negara kekuasaan. 

Ciri negara kekuasaan adalah tidak adanya kepastian hukum. Hal ini tampak dari perbedaan  sikap Presiden dalam menerima  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan pemilihan kepala daerah. Produk hukumnya sama, tetapi yang satu diterima, yang lain ditolak. Sikapnya didukung lembaga legislatif dengan membegal putusan MK No 60.

Slogan kedaulatan di tangan rakyat tinggal jargon. Faktanya, kedaulatan ada pada segelintir oligarki. Melalui elit penguasa, oligarki bisa mengendalikan partai politik, MK, KPU hingga Bawaslu. Rakyat dipaksa melegitimasi kecurangan yang dilakukan secara terang-benderang. Aturan ditabrak melalui prosedur yang legal dan konstitusional. 

Demi kekuasaan, elit menghalalkan segala cara, tidak peduli halal dan haram. Pemilu 2019 misalnya, menyisakan tanda tanya dengan kasus meninggalnya 894 petugas dan 5.175 petugas mengalami sakit (kompas.com, 22/1/2020).

Politisasi bansos juga dilakukan dengan menggunakan dana APBN hingga mobilisasi aparat. Inilah watak asli demokrasi yang memang cacat sejak lahir. Kebobrokan ini tidak mungkin bisa diperbaiki dengan pembekalan politik yang mumpuni bagi generasi muda.

Ketika aturan diserahkan pada manusia, maka akan menimbulkan konflik dan kepentingan. Sejatinya, manusia tidak layak untuk membuat aturan karena fitrahnya lemah sejak dalam penciptaan. Inilah pangkal kerusakan demokrasi, menyerahkan aturan ditangan manusia. 

Politik Islam, Sempurna dan Paripurna

Dalam sistem demokrasi, politik adalah cara meraih kekuasaan. Sementara, Islam memaknai politik adalah cara mengurus dan memelihara urusan-urusan umat sesuai hukum Islam dan pemecahannya secara syar'i. Politik dalam Islam bermakna dan berkaitan tugas mulia. Namun sayang, banyak umat Islam yang belum memahami, terlebih generasi muda. Oleh karena itu, urgen memahamkan umat, terlebih generasi muda tentang makna politik Islam.

Penyadaran umat membutuhkan peran partai politik Islam, yang bergerak di tengah-tengah umat, membina umat dengan akidah dan tsaqafah Islam. Selain itu, diperlukan juga pembinaan intensif yang akan membuka mata umat akan realitas kerusakan kondisi hari ini akibat penerapan sistem sekuler kapitalis demokrasi. Pembinaan ini juga akan mewujudkan individu yang memahami makna politik Islam, yakni individu yang mempunyai kesadaran untuk mengadakan perubahan realitas menjadi kondisi ideal, yakni ketika muslim hidup dalam tatanan Islam, diatur dengan syariat Islam.

Perubahan ini membutuhkan partai politik sahih yang menjadikan akidah Islam sebagai asas, sebagaimana yang dicontohkan Baginda Rasulullah saw. Ciri partai politik sahih adalah memiliki fikrah dan tariqah yang jelas dan benar, memiliki ikatan yang sahih untuk menyatukan individu-individu, serta menggabungkan orang yang memiliki kesadaran dan pemahaman Islam yang benar. Tugas partai politik ini adalah melakukan pembinaan di tengah-tengah umat, mengubah pemahaman umat ke arah Islam, serta melakukan muhasabah kepada penguasa bila kebijakannya tidak sesuai syariah dan menzalimi rakyat.

Khatimah 

Politik demokrasi cacat dari akarnya, hanya menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Maka, urgen bagi generasi muda mendapatkan pendidikan dan pembekalan ploitik Islam agar memahami realita rusaknya sistem demokrasi, serta mau dibina dan bergabung dengan partai ideologis Islam. Pembinaan ini akan melahirkan pemuda sebagai agen perubahan secara berjamaah dalam satu wadah partai politik.  Partai yang memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam diatur dengan syariat, yang pasti  membawa keberkahan dan keselamatan kehidupan dunia hingga akhirat.


Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat Tinta Media

Jumat, 04 Oktober 2024

Tindakan Represif Aparat, Bukti Demokrasi Kebal Kritik



Tinta Media - Masyarakat berbondong-bondong melakukan unjuk rasa beberapa waktu yang lalu karena diduga adanya pelanggaran yang dilakukan negara. Aksi ini dilakukan sebagai cara untuk mengingatkan. Mirisnya, aparat malah bertindak represif. Hal ini menunjukan bahwa sejatinya demokrasi kebal dan tidak memberikan ruang untuk dikoreksi oleh rakyat.

Ada tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi, seperti diungkapkan oleh ketua YLBHI, Muhammad Isnur. Hingga malam hari pada 22 Agustus 2024, YLBHI telah menerima laporan dari sebelas massa aksi yang terkonfirmasi diamankan oleh kepolisian. 

Dua puluh enam laporan juga telah masuk dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) hingga pukul 21.30 pada hari yang sama. (Tempo.co 23/08/2024)

Bahkan, seorang mahasiswa Universitas Bale Bandung yang bernama Andi Andriana harus menjalani perawatan intensif di RS Mata Cicendo Bandung, karena mengalami luka berat pada mata kirinya setelah terkena lemparan batu saat melakukan unjuk rasa menolakRUU pilkada di depan kantor DPRD Jawa Barat pada hari Kamis 22 Agustus yang lalu (Kompas.id 24/08/2024)

Unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota berakhir dengan kericuhan, karena tidak ada satu pun anggota DPR/DPRD yang menemui peserta aksi, sehingga menimbulkan kemarahan yang semakin memuncak. Padahal, rakyat hanya ingin menyampaikan muhasabah kepada pemerintah. Mirisnya, aparat yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat justru malah menembakan gas air mata, menyemprotkan water canon, melakukan pemukulan dan tindakan represif lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi kebal terhadap kritik dan tidak mau menerima pendapat rakyat. Selama ini demokrasi mengklaim sebagai sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat dan memberikan jaminan atas hak menyampaikan pendapat. Namun sayang, kenyataannya ketika rakyat menyampaikan pendapat atau muhasabah pada pemerintah, justru dibalas dengan kekerasan dari aparat.
Seharusnya negara memberi ruang untuk  berdialog, menemui utusan, dan tidak mengabaikan. Jadi, apakah masih layak demokrasi dipertahankan?

Muhasabah lil Hukam sebagai Solusi

Dalam Islam, salah satu cara agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam, yaitu upaya untuk mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah/penguasa. Kontrol atau koreksi dari rakyat terhadap penguasa disampaikan melalui Majelis Ummat. Selain itu, rakyat juga mempunyai hak untuk mengadakan syura yaitu hak rakyat terhadap penguasa untuk menyampaikan pendapatnya. Jadi, Majelis Umat inilah yang melakukan muhasabah dan syura. 

Majelis Umat sebagai wadah wakil rakyat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat serta mengoreksi khalifah/penguasa dan para pejabat negara lainnya tanpa pembatasan atau pun ancaman pencekalan ataupun keberatan. Khalifah atau penguasa dan pejabat pemerintahan wajib memberikan jawaban kepada Majelis Umat.

Selain Majelis Ummat, dalam sistem pemerintahan Islam ada Qadi Mazalim, yaitu suatu badan yang berfungsi untuk menyeselesaikan persengketaan antara rakyat dan negara. Para Qadi atau hakim ini akan memutuskan perkara berdasarkan syariat, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jadi, jelas sekali perpedaan Majelis Ummat dengan DPR atau parlemen pada sistem demokrasi. Dalam demokrasi, parlemen bertugas untuk membuat undang-undang dan peraturan atau menentukan kebijakan berdasarkan aturan yang dibuat oleh manusia, sedangkan Majlis Ummat hanya melakukan muhasabah dan syura berdasarkan syariat,  bukan menentukan UU atau kebijakan.

Amar makruf nahi munkar adalah merupakan kewajiban setiap individu dalam Islam. Sehingga, penguasa akan memahami tujuan dari muhasabah, yaitu untuk mencari rida Allah Swt. dan agar aturan Allah tetap tegak di muka bumi ini sehingga terwujud negara "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur", sebagaimana sabda Rasulullah saw.

“Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika dia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan dia berbuat adil, dengan itu dia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika dia menyuruh selain itu, dia menanggung dosanya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengandung pengertian bahwa imam/pemimpin merupakan manusia biasa yang bisa saja berbuat salah. Jadi, ketika pemimpin melakukan kemungkaran atau kesalahan, rakyat wajib mengingatkan dan memberi pendapat. Inilah bukti bahwa khilafah/Islam bukanlah sistem yang kebal dan antikritik, tetapi memberikan ruang bagi rakyat untuk memuhasabahi penguasa.

Tindakan represif terhadap rakyat yang melakukan muhasabah/kritik tidak akan dilakukan dalam khilafah, karena dalam khilafah semua pihak baik rakyat maupun penguasa telah paham akan pentingnya muhasabah, yaitu sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar. Penguasa menyadari bahwa tujuan muhasabah adalah menjaga agar mereka tetap berjalan sesuai tuntunan syariat. Dengan demikian, akan terwujud negara yang baik dan dilimpahi ampunan Allah Swt. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).





Oleh: Rini Rahayu 
(Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Jumat, 27 September 2024

MBG: Janji Politik dan Halusinasi Demokrasi



Tinta Media - Belakangan ini, susu ikan menjadi perbincangan setelah diusulkan sebagai alternatif pengganti susu sapi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintahan Prabowo Subianto di sekolah-sekolah Indonesia. Sontak hal ini menuai pro-kontra di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sorotan beberapa media asing. 

Koran asal Singapura, The Straits Times, melaporkan bahwa susu ikan merupakan inovasi pemerintah RI yang  dikembangkan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan. Namun, kritikus mengatakan susu ikan mungkin bukan alternatif terbaik bagi anak-anak, mengingat kadar gulanya tinggi dan kurang dukungan ilmiah yang memadai mengenai manfaat kesehatan jangka panjang.

Susu ikan adalah produk berbasis protein ikan yang diolah hingga menyerupai susu. Meskipun namanya 'susu ikan', produk ini sebenarnya tidak berasal dari kelenjar susu seperti pada susu sapi atau susu kambing, melainkan dari ekstraksi protein ikan. Jadi, bukan hasil perah ikan. 

Protein daging ikan segar  dengan memanfaatkan ikan rendah ekonomi seperti petek, selar, tamban, dan belok, diekstrak (hidrolisis), lalu ditambahkan sejumlah bahan, sebelum diseduh. 

Susu ikan ini pertama kali dirilis pada Agustus 2023, hasil kemitraan Koperasi Nelayan Mina Bahari (Indramayu) dengan PT Berikan Teknologi Indonesia, yang diresmikan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM), Teten Masduki.

Susu ikan dianggap sebagai solusi yang lebih ekonomis dan mungkin lebih ramah lingkungan dibandingkan susu sapi. Namun, peneliti ahli utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat, Badan Riset, dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Ekowati Chasanah mengatakan bahwa 'susu ikan' yang merupakan produk turunan dari hidrolisat protein ikan (HPI) tak dapat menggantikan protein yang ada pada susu sapi, hanya bisa dijadikan alternatif tambahan yang menawarkan manfaat gizi khusus dari protein ikan. 

Dokter sekaligus Ahli Gizi Tan Shot Yen mengatakan, susu ikan sebenarnya merupakan  produk olahan yang justru dapat menghilangkan 'esensi' dari makanan dan minuman bergizi. Alih-alih dibuat susu, ikan lebih baik dikonsumsi langsung tanpa harus melalui berbagai proses produksi. Selain harga ikan lebih murah dan bergizi, pengolahan ikan menjadi ekstrak  akan merusak kandungan gizi dan memunculkan masalah penyakit, seperti obesitas, diabetes, jantung, dan gangguan kesehatan lainnya.

Program makan bergizi gratis (MBG) yang dijanjikan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming memang baru akan diresmikan saat akan memimpin Indonesia di bulan Oktober ini. Nyatanya, program ini banyak menuai kritik karena akan memakan paling tidak Rp100 trilliun pada tahun pertamanya, bahkan akan dapat mencapai Rp460
triliun setahunnya ketika sudah dilaksanakan secara penuh tahun 2029.

Dari awal, Bank Dunia menyuarakan kekhawatirannya mengenai program ini. The Sydney Morning Herald, majalah asal Australia melaporkan bahwa para pengamat  mempertanyakan apakah negara ini mampu membiayai program tersebut. Bahkan, dalam artikel berjudul 'An Election Promise of Free Food May End Up with Fish Milk on the Menu', koran negeri Kanguru itu menyoroti rencana mengganti menu susu sapi dengan susu ikan demi menekan anggaran yang bengkak. 

Padahal, saat kampanye pilpres lalu, anggaran makan siang gratis per porsi diproyeksikan sebesar Rp15.000. Kini kemungkinan akan dipangkas menjadi Rp7.500 per porsi. Lantas, akankah program pemberian makan siang dan susu gratis ini dapat terwujud untuk memenuhi gizi generasi?

Berangkat dari isu stunting dan gizi buruk, serta isu ketahanan pangan yang merupakan isu global, pasangan Prabowo-Gibran memberi solusi  dengan wacana program makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis. Tujuan  program ini adalah untuk meningkatkan  kualitas gizi dan pendidikan  anak-anak Indonesia. Selain itu, program tersebut diharapkan dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan  kualitas hidup bagi generasi  mendatang di Indonesia. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memetakan multiplayer efek dalam menggunakan susu ikan pada program makan bergizi gratis, mulai dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang bisa naik kelas hingga menyerap tenaga kerja hingga ratusan ribu orang. 

Kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung telah memberi kesempatan, bukan pada UMKM, tetapi pada korporasi untuk meraup keuntungan. Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan), karena proses hidrolisis enzim protein ikan membutuhkan biaya mahal, proses panjang, dan pemanasan bersuhu tinggi. Teknologi dan modal yang dibutuhkan sangat besar untuk bisa dipenuhi UMKM, sehingga terbuka peluang bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini.

Jelas, inilah bukti pemerintah berlepas diri dari tanggung jawab untuk memenuhi gizi generasi, maupun membantu petani skala kecil dan produsen pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. 

Dimensi kebijakan seolah untuk rakyat, padahal memberi peluang usaha kepada banyak korporasi dan oligarki. Nyatanya, negara hanya menunggangi isu generasi untuk menyukseskan proyek industrialisasi. Program MBG dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini hanya dijadikan ajang bisnis para kapitalis untuk meraup cuan, rakyat sekadar menjadi tumbal.

Masalah stunting yang telah menjadi masalah nasional akibat rendahnya gizi anak,  pemenuhan gizinya tidak dapat terselesaikan hanya dengan pemberian makan gratis bagi anak-anak sekolah, jika tidak disertai dengan kebijakan pemerintah di berbagai sektor yang lain. Semisal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti kemudahan dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan. Juga kemudahan rakyat dalam mendapatkan lapangan pekerjaan, biaya hidup dan kebutuhan pokok yang terjangkau, serta pelayanan masyarakat lainnya. Hal-hal tersebutlah yang berkontribusi secara langsung terhadap munculnya kemiskinan, yang menjadi sebab tingginya kasus stunting.

Oleh karena itu,  pemerintah seharusnya lebih serius dalam memberantas penyebab kemiskinan rakyat, dengan membuat kebijakan yang pro-rakyat bukan pro-kapitalis. Hal tersebut tidak akan pernah terwujud kecuali jika penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini diganti dengan sistem yang memiliki konsep ri'ayah su'unil ummah (pengaturan urusan umat/rakyat) dalam kebijakan negara, yaitu sistem Islam.

Islam sebagai sistem sahih yang berasal Allah Swt. mewajibkan pemimpin negara mewujudkan generasi yang berkualitas. Pemimpin ibarat penggembala, pelayan yang harus mengurusi seluruh kebutuhan rakyat. Ini bertolak belakang dengan pemimpin dalam sistem demokrasi sekarang yang berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. 

Negara yang menerapkan sistem Islam atau khilafah akan menjamin setiap individu untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup, baik pangan, sandang, maupun papan dengan memberikan pekerjaan yang layak.

Ditambah lagi penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, serta keamanan secara murah ataupun gratis kepada rakyat. Hal ini dapat terwujud dengan pengelolaan sumber daya alam, baik tambang maupun lainnya yang serius dikelola negara dan hasilnya diberikan untuk rakyat, bukan oleh dan untuk korporasi, swasta asing maupun aseng, apalagi ormas.

Selain itu, Islam memiliki mekanisme pemasukan anggaran untuk baitul mal dari harta ganimah, anfal, fai, khumus, kharaj, jizyah, dharibah, serta zakat. Seluruh harta tersebut akan dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Dengan ini, khilafah akan mampu membangun peradaban generasi berkualitas dan gemilang. Wallahu'alam Bishawwab.


Oleh: Thaqiyunna Dewi, S I.Kom
Sahabat Tinta Media

Selasa, 24 September 2024

Tidak Ingin Gagal Lagi, Parpol Harus Berlepas dari Demokrasi

Tinta Media - Gagal mengikuti pilkada tahun 2024, Anies Baswedan berkeinginan untuk mendirikan partai politik (parpol) baru. Namun, parpol baru itu bakal mengulangi kegagalan parpol sebelumnya jika masih berpegang pada demokrasi.

Tersanderanya partai yang ada oleh kekuasaan disebut sebagai salah satu yang melahirkan keinginan Anies untuk membangun partai baru. Di samping itu parpol baru dianggap dapat mewadahi gerakan perubahan yang semakin hari semakin membesar.

Jika benar maksud Anies membangun parpol untuk mewujudkan perubahan, maka mau tidak mau parpol tersebut harus berlepas dari demokrasi bukan hanya berlepas dari tangan para penguasa. Sebab, demokrasi  yang sesungguhnya menggiring parpol saat ini tersandera oleh kekuasaan sekaligus memelihara kondisi yang semakin hari semakin rusak dan menyengsarakan.

Memang pada prinsipnya, demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dengan jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan prinsip itu, rakyat yang berhak memilih pemimpinnya, rakyat pula yang berhak membuat aturannya sendiri dengan diwakili oleh beberapa orang yang dipilih oleh rakyat. Pemimpin dan wakil rakyat tersebut tentunya diharapkan bekerja untuk kepentingan rakyat. Sedangkan peran parpol diantaranya mengader calon wakil rakyat di lembaga legislatif dan calon pemimpin untuk menjadi presiden maupun kepala daerah.

Namun, prinsip dan jargon manis demokrasi selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Demokrasi di satu sisi menuhankan rakyat, tapi di sisi yang lain demokrasi tidak berkutik membatasi hasrat para kapitalis. Hal itu karena demokrasi tersandera oleh prinsipnya yang lain yaitu menjamin kebebasan yang dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM).

Para kapitalis sebagai bagian dari rakyat juga memiliki hak yang harus dijamin oleh demokrasi. Dengan potensi dan modal yang dimiliki, para kapitalis lalu memanfaatkan kebebasannya berekspresi dan kebebasan hak miliknya sehingga tampillah mereka sebagai pemenang setelah berhasil memiliki kekayaan alam yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kekayaannya yang semakin besar dan luas, para kapitalis bebas membeli apa saja tanpa bisa dihalangi oleh demokrasi. Jangankan suara rakyat, jika para kapitalis menginginkan nyawa rakyat yang lain sekalipun, maka demokrasi tidak akan sanggup menghalanginya.

Inilah kenyataannya, demokrasi tidak akan berkutik menghadapi kapitalisme karena sesungguhnya kapitalisme dan demokrasi adalah saudara kandung yang lahir dari ibu yang sama yaitu sekularisme. Demokrasi dan kapitalisme dituntut saling mendukung agar sekularisme tetap berjaya dengan terpisahnya agama dari kehidupan manusia. Dengan menjamin kebebasan terutama kebebasan para kapitalis adalah cara paling realistis dan efektif agar sekularisme tetap berjaya dan agama mana pun tidak akan bisa kembali mengatur kehidupan.

Jelaslah, tersanderanya parpol hari ini oleh kekuasaan tidak lain akibat dari lemahnya sistem demokrasi dalam menghadapi ambisi para kapitalis. Alih-alih menjamin kebebasan seluruh rakyat, demokrasi nyatanya menjadi pelayan bagi para kapitalis. Jadilah para kapitalis sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya pada negara yang menganut sistem demokrasi. Parpol yang harusnya menjadi entitas yang memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menjadi sarana bagi para kapitalis untuk menjamin kepentingan-kepentingannya.

Di tangan para kapitalis parpol beroperasi layaknya perusahaan yang mendatangkan keuntungan materi. Awalnya, parpol dimodali oleh para kapitalis demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, parpol yang meraih banyak suara dari rakyat apalagi lolos kursi dewan perwakilan rakyat (DPR) bakal memiliki nilai tawar tinggi bagi para calon presiden maupun kepala daerah yang ingin mengendarainya. Tidak heran, jika ada yang menyebut ongkos pilkada gubernur bisa mencapai 100 miliar rupiah.

Di samping itu, parpol yang memiliki banyak kursi di DPR akan memiliki pengaruh besar saat penentuan keputusan di DPR. Karenanya, para kapitalis dengan kekuatan modal yang dimiliki akan berusaha memastikan keberpihakan parpol tersebut, sehingga peraturan-peraturan yang diputuskan tidak merugikan bahkan menguntungkan mereka.

Akhirnya dalam sistem demokrasi, parpol akan selalu tersandera oleh para kapitalis. Sebab, demokrasi akan selalu memberi jalan bagi para kapitalis untuk berkuasa, baik mereka sendiri yang tampil sebagai penguasanya maupun sebagai tuannya para penguasa.

Walhasil, selama parpol masih berpolitik sesuai demokrasi maka selama itu pula parpol akan selalu tersandera oleh para kapitalis selaku pemilik kekuasaan sesungguhnya dalam sistem demokrasi. Perubahan yang diimpikan berupa keadilan maupun kesejahteraan bagi seluruh rakyat tidak akan pernah terwujud.

Oleh karena itu, jika tidak ingin mengalami kegagalan sebagaimana parpol-parpol sebelumnya, maka parpol yang benar-benar menginginkan perubahan wajib berlepas dari demokrasi sembari memilih politik sesuai ideologi yang benar dan terbukti mampu mewujudkan keadilan bahkan kebahagiaan bagi umat manusia yaitu ideologi Islam.

Oleh: Muhammad Syafi'i, Aktivis Dakwah



Senin, 23 September 2024

Politik Demokrasi Mahal, Islam yang Paling Andal



Tinta Media - Fenomena wakil rakyat menggadaikan surat kuasa (SK) pasca dilantik adalah potret mahalnya biaya politik demokrasi. Saat ini, perilaku hedonis dari para wakil rakyat dan biaya politik yang tinggi di Indonesia telah meningkatkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Profesor Anang Sujoko, seorang pengamat politik dari Universitas Brawijaya menilai bahwa tindakan tersebut cukup memprihatinkan. Biaya proses demokrasi yang sangat mahal dapat menjadi alasan beratnya beban bagi para anggota legislatif yang terpilih. 
( www.detik.com/7/9/2024)

Pemilihan umum adalah momen penting dalam sebuah negara demokratis. Namun, biaya politik yang mahal dapat menghambat partisipasi orang-orang yang tidak memiliki cukup dana untuk mengikuti proses pemilihan. Pada akhirnya, orang-orang yang mampu membayar biaya politiklah yang akan memiliki kesempatan terbaik untuk mencapai kesuksesan dalam pemilihan.

Besarnya dana kampanye dan praktik jual beli suara menjadi faktor terpenting dalam demokrasi. Ditambah dengan adanya kecenderungan masyarakat bergaya hidup hedonistik yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme sekuler, terutama bagi mereka yang memiliki akses lebih terhadap sumber daya dan kekayaan. Semua hal tersebut menjadi akar dari masalah korupsi dalam sistem politik saat ini. Para politisi yang terpilih karena menggunakan uang cenderung menjadi korup dan mencari keuntungan sebanyak mungkin, karena mereka tidak mau rugi setelah terpilih menjadi pejabat.

Selain itu tingginya biaya politik juga menjadi penyebab maraknya praktik oligarki kapitalistik, di mana para politisi yang ingin maju dalam pencalonan didukung oleh para oligarki. Para politisi yang terpilih karena didanai oleh kelompok tertentu cenderung memprioritaskan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya daripada kepentingan publik. Hal ini jelas merugikan masyarakat karena kepentingan publik tidak diutamakan dalam pengambilan keputusan politik.

Dalam paradigma Islam, jabatan adalah  amanah yang harus diemban dengan sungguh-sungguh. Landasan pandangan tersebut berasal dari akidah dan standar yang digunakan adalah hukum syara'. Oleh karena itu, segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik harus berpijak pada nilai-nilai kepemimpinan yang dibangun dengan memperhatikan kepentingan umat. Namun, dalam demokrasi hampir semua pejabat publik tidak memenuhi standar tersebut.

Dalam politik Islam, terdapat tujuh pilar atau perangkat yang membentuk pemerintahan, di antaranya khalifah, muawin, wali, kadi, amiruljihad, majelis umat, dan jihaz idari. Khalifah merupakan pemimpin tertinggi dalam pemerintahan Islam yang memastikan penerapan hukum Islam di negara Islam. 

Selain itu, sistem Islam juga mampu memangkas biaya politik yang mahal. Contohnya, pemilihan khalifah dilakukan dalam waktu singkat, paling lambat 3 hari 3 malam saja,  tidak seperti dalam demokrasi yang memakan waktu lama dan mahal. 

Pemilihan khalifah juga tidak dilakukan secara reguler, yaitu 5 tahun sekali. Sebab, khalifah tetap menjadi kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam, sehingga tidak menguras biaya yang besar. 

Adapun kepala daerah, mereka dipilih oleh khalifah dan dapat diberhentikan kapan saja. Sistem politik Islam juga tidak disibukkan dengan pilkada rutin yang menguras energi, menimbulkan konflik, dan melibatkan biaya yang besar. 

Meski demikian, rakyat tidak perlu khawatir jika khalifah menjadi diktator. Sebab, rakyat tetap diperbolehkan mengoreksi kepala negara yang menyimpang dari kewajibannya. Ini karena dalam sistem Islam terdapat  Mahkamah Mazhalim yang akan siap mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa. 

Selain itu, di dalam Islam, dikenal Majelis Umat (MU), yaitu wakil langsung dari umat, bukan wakil partai. Fungsinya adalah melakukan muhasabah dan syuro. 

Berbeda dengan wakil rakyat saat ini (DPR), MU tidak memiliki fungsi legislasi (menetapkan hukum). Sebab, menetapkan hukum adalah hak Allah, sementara menerapkan hukum adalah tugas khalifah. Meski demikian, majelis umat bisa memberi masukan, tetapi sifatnya tidak mengikat. 

Syarat menjadi anggota MU juga sangat mudah. Sebab, baik muslim ataupun non-muslim dibolehkan menjadi anggota MU. Ini karena anggota MU dipilih berdasarkan kemampuan dan niat murni, bukan berdasarkan iklan atau pencitraan yang berbiaya mahal. Dengan demikian, penyalahgunaan jabatan dan korupsi dapat diminimalisir. 

Keberadaan MU dalam sistem politik tentunya dapat membantu mengatasi permasalahan yang kerap terjadi. Sebab, melalui MU, umat dapat menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum. 

Dengan adanya sistem politik Islam, campur tangan kapitalis dalam pembuatan UU yang berbahaya juga tidak akan ada. Sebab, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat, bukan pada manusia. Sehingga, para kapitalis tidak akan bisa membuat atau memengaruhi berbagai kebijakan dan produk hukum sebagaimana dalam demokrasi. Sebab, sumber hukum dalam sistem Islam adalah Al-Qur’an dan Sunah. 

Dengan demikian, jelas bahwa politik dalam Islam berjalan efektif, murah, dan efisien. Kendati kondisi hari ini telah demikian rusak akibat sistem kapitalis demokrasi, tetapi kita masih memiliki harapan. Dengan upaya keras, kita akan dapat memperbaiki sistem politik kita. Caranya mengganti sistem hari ini dengan sistem Islam. Wallahu alam.



Oleh: Indri Wulan Pertiwi 
Aktivis Muslimah Semarang 

Mekanisme Pemilu Jadi Masalah, Bukti Demokrasi Lemah


Tinta Media - Adanya kontestan pemilu di Pilkada Kabupaten Bandung yang masih menjabat kepemimpinan daerah (pejabat petahana) ada tiga orang, di antaranya adalah Dadang Supriatna selaku Bupati Bandung, Sahrul Gunawan selaku Wakil Bupati Bandung 2019-2024, serta Gun Gun Gunawan yang belum lama ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung 2024-2029.

Pemerhati kebijakan publik Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Direktur Jamparing Institute, Dadang Risdal Azis menyoroti tentang adanya perbedaan perlakuan regulasi petahana dan anggota legislatif yang menjadi kontestan di pilkada. Karena itu, perlu pendalaman komprehensif untuk menghindari dan meminimalisir konflik kepentingan. 

Dadang mengatakan bahwa jika kontestan pilkada merupakan pejabat petahana, maka cukup mengajukan cuti kampanye, sedangkan jika pesertanya masih anggota DPRD, maka harus mengundurkan diri dari jabatan yang tertuang dalam UU No.7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.

Dadang juga menyepakati soal adanya surat edaran menteri dalam negeri yang mengatur tentang pengunduran diri pejabat, Gubernur, dan Walikota pada pilkada 2024. Regulasi ini mengatur agar petahana yang akan mengikuti pilkada perlu mengundurkan diri. Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi anggota DPR, DPD, DPRD, serta PNS, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN/BUMD, yang juga wajib mundur di pilkada jika menjadi kontestan di pilkada. 

Pengaturan tentang hal tersebut menjadi masalah ketika ketetapan pemilu dilaksanakan secara berkala karena habisnya masa jabatan kepemimpinan, yaitu lima tahun. Oleh karena itu, harus ada UU dalam pengaturan pemilu, termasuk para kontestan yang sering kali diikuti oleh para pejabat yang masih berkuasa (petahana). 

Realitas ini sangat niscaya terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme, yang memandang jabatan sebagai kondisi yang menguntungkan, baik dari sisi pengaruh, fasilitas yang serba mewah, ataupun tunjangan serta sarana-pra sarana yang akan didapat jika meraih jabatan tersebut. 

Ini semua merupakan  sesuatu yang amat menggiurkan, sehingga banyak yang berlomba-lomba mencalonkan diri untuk meraihnya. Apalagi pejabat yang masih menjabat, mereka ingin terus mempertahankan jabatan dengan segala macam cara untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan berkeinginan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi, hingga rela mengorbankan apa pun demi jabatan tersebut. Selanjutnya, mereka ingin mencalonkan lagi dan lagi. Hal ini terjadi karena adanya peluang bagi siapa pun untuk mencalonkan diri, walaupun sekadar untuk memenuhi syahwat politik secara pribadi atau golongan. 

Mungkinan saja petahana menggunakan fasilitas negara ketika mencalonkan karena posisinya masih tetap berkuasa. Ini bisa terjadi manakala politik dijadikan sebagai tujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawannya baik dengan cara memukul maupun merangkul untuk memenangkan persaingan dalam pilkada.

Regulasi yang ada tidak serta-merta dapat mencegah peluang untuk berbuat curang walaupun dengan memanfaatkan kekuasaan. Apalagi dalam demokrasi, sah-sah saja menghalalkan segala cara dalam politik untuk meraih kekuasaan, seperti menggunakan bebagai macam  kekuatan tipu daya, manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan, selama memiliki kekuatan modal dan kekuasaan (pengaruh), yaitu dukungan dari para pemilik modal (kapitalis).

Hegemoni kepentingan para pemilik modal (kapitalis) melalui pemilu sebagai metode demokrasi inilah yang menyuburkan politik uang, suap, kolusi, dan korupsi, semata untuk kepentingan para kapitalis, dalam menguasai kendali politik dan kekuasaan dengan membentuk jaringan oligarki yang mampu memengaruhi jalannya pemerintahan beserta segala kebijakannya. Inilah demokrasi yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat. Pada realitasnya, demokrasi hanya menjadi sarana bancakan antara penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan para pengusaha.

Pemilu, termasuk pilkada menjadi pintu awal masuknya hegemoni para kapitalis ini, sehingga para penguasa ada dalam kendali pengusaha (kapitalis) dalam menjalankan pemerintahan. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi alat yang dipakai dalam meloloskan kebijakan yang pro-kapitalis, tapi tidak pro-rakyat. Hal ini menumbuhsuburkan para pemimpin yang rakus akan kekuasaan yang didukung oleh para kapitalis. Selamanya rakyat akan menjadi korban, seperti saat ini. 

Oleh karena itu, jika ingin terjadi perubahan di tengah masyarakat, yaitu tercipta kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan, maka tidak bisa dilakukan dengan sekadar mengubah pemimpin melalui pemilu. Namun, yang utama adalah mengubah sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan di negeri ini menjadi  sistem yang sahih dan paripurna, yaitu sistem Islam. 

Paradigma kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam adalah semata-mata untuk  melayani rakyat. Ini karena makna politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan umat (rakyat) yang dilakukan oleh seorang kepala negara (khalifah) melalui penerapan syariat Islam secara kaffah (keseluruhan). 

Untuk menjamin keberlangsungan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada khalifah tersebut, Islam menetapkan tujuh syarat in'iqad (sah) seorang khalifah tersebut, yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu.

Ketujuh syarat tersebut wajib dipenuhi oleh seorang khalifah agar memenuhi kelayakan sebagai seorang pemimpin yang amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Tanggung jawab itu bukan hanya kepada manusia (rakyat) yang dipimpin, tetapi juga kepada Allah Swt.

Seorang pemimpin wajib berhukum pada hukum Allah dalam mengatur urusan rakyat, sebab kedaulatan berada di tangan syara' (syariat). Keberadaan rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari syariat Islam, sehingga akan menutup kemungkinan terjadi tindakan pejabat yang menyimpang dari syariat.

Kalaupun terjadi penyimpangan, maka akan diadukan kepada Mahkamah Mazalim. Dialah yang akan memproses hal tersebut, hingga sampai pada keputusan, apakah khalifah bisa tetap melanjutkan kepemimpinannya ataukah di-impeachment (diberhentikan) akibat terbukti melakukan penyimpangan (zalim), yang berarti telah hilang salah satu syarat in'iqad-nya.

Jika khalifah diberhentikan, maka wajib segera dilakukan pemilihan khalifah yang baru. Syariat Islam menetapkan bahwa pemimpin tidak dibatasi masa jabatan, karena faktor yang dapat memberhentikannya sebagai pemimpin adalah ketika sudah tidak terpenuhinya lagi syarat in'iqad pada seorang khalifah meskiy hanya satu. 

Oleh karena itu, pemilu untuk memilih pemimpin tidak menjadi hal yang dilakukan secara berkala. Yang menjadi masalah dalam hal kepemimpinan bukan karena ia mencalonkan lagi atau tidak, tetapi apakah memenuhi syarat in'iqad ataukah tidak. 

Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang muslim di panggung kekuasaan. Yang utama adalah penerapan Islam kaffah di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia, dalam rangka mengatur urusan urus rakyat (umat). Wallahu alam bis shawab.





Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Minggu, 22 September 2024

Gadai Masal SK Anggota Dewan, Potret Demokrasi Berbiaya Mahal



Tinta Media - Baru saja dilantik menjadi anggota dewan, sejumlah Anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai gadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya ke bank. Hal ini menunjukan bahwa ada beban berat yang harus mereka tanggung selama proses pemilihan atau kampanye yang membuat mereka harus mengeluarkan banyak biaya. Inilah potret mahalnya biaya politik dalam demokrasi. (detik.Jatim 7/9/2024).

Sungguh memperihatinkan, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi di beberapa wilayah lain juga mengalami kejadian yang sama. Salah satunya di Subang. Sejumlah Anggota DPRD yang baru saja dilantik pada tanggal 4/9/2024 kedapatan menggadaikan SK ke bank sebagai agunan. Besarnya pinjaman pun beragam mulai dari 500 juta hingga 1 miliar (republika.co.id 7/9/2024)

Fenomena ini wajar terjadi di negara yang mengemban sistem demokrasi. Dalam sistem ini, uang dan materi menjadi ukuran kesuksesan. Jadi, tidak heran apabila membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses kampanye calon anggota dewan. 

Calon anggota legislatif harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk membiayai proses pemenangannya. Akibatnya, mereka harus segera berupaya untuk dapat melunasi utangnya setelah terpilih.

Politik Berbiaya Mahal

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi alasan mereka menggadaikan SK, antara lain:

Pertama, tentu saja beban keuangan yang tinggi selama proses kampanye, seperti perjalanan ke daerah pilihan, penyediaan peralatan kampanye, pembiayaan tim sukses, dan lainnya. 

Kedua, gaya hidup hedonis yang tentu saja membutuhkan biaya banyak, sehingga mendorong mereka untuk mencari sumber pembiayaan lain.

Ketiga, utang kepada pihak tertentu yang telah membiayai kampanye, sehingga saat sudah terpilih harus segera dikembalikan.

Politik yang berbiaya mahal ini telah menciptakan ikatan seperti benang kusut yang sulit diurai. Mau tidak mau, para calon harus mengeluarkan biaya mahal untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam masa kampanye. Maka, banyak di antara mereka yang mencari pinjaman dana atau sokongan dari para pengusaha atau pemodal untuk membiayai semua kegiatan mereka. 

Akibatnya, setelah terpilih, akan timbul persoalan lain, yaitu mereka harus mengembalikan modal yang telah digelontorkan atau bahkan harus membalas budi kepada para pemodal yang sudah ikut menyokong pembiayaan selama mereka kampanye.

Dampaknya, tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja, bahkan berpotensi memengaruhi keputusan politik mereka. Sehingga, mereka tidak lagi bekerja demi rakyat, tetapi demi uang, karena tidak ada yang gratis dalam negara dengan sistem demokrasi kapitalis ini. 

Para pemodal yang telah menyokong mereka dalam proses pemilihan, tentu saja akan menagih utang budi dan akan memaksa calon yang sudah terpilih untuk membuat aturan sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, sebenarnya mereka mewakili rakyat yang mana, rakyat yang telah memilihnya atau yang telah mendanainya? 

Potret sistem demokrasi yang rusak inilah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya.  Akan tetapi, masyarakat masih tetap meyakini bahwa sistem ini adalah yang paling baik, karena dianggap melibatkan rakyat dalam menjalankan proses berpolitik. 

Rakyat, melalui wakilnya dalam dewan dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Padahal, kenyataannya mereka hanya membawa suara rakyat yang telah ikut menyokong pembiayaan pada masa kampanye (pengusaha), bukan rakyat pada umumnya atau rakyat kecil yang tidak bermodal.

Selama ini, yang dianggap bermasalah adalah individu atau pelaku dalam sistem demokrasi, baik dalam pemerintahan maupun dalam dewan perwakilan rakyat. Padahal, akar permasalahan yang sebenarnya adalah sistem demokrasi itu sendiri. 

Siapa pun pemain dalam sistem ini akan terjebak dalam kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi, sebaik apa pun manusianya, tentu akan menjadi rusak karena mengemban sistem yang rusak. 

Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang lemah dan terbatas, sehingga aturan yang digunakan pun akan lemah dan terbatas. Aturan ini bahkan cenderung berubah-ubah sesuai dengan keinginan pihak tertentu, yaitu para pemilik modal bukan rakyat. Jadi, masih layakkah sistem ini dipertahankan?

Pemerintahan dalam Islam 

Islam merupakan agama dengan sistem kehidupan sempurna yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta (Hablumminallah), tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia (Hablumminannas). 

Allah menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan lengkap dengan buku panduannya, yaitu Al-Qur'an. Tidak hanya itu, Allah Swt. juga memberikan role model yang sempurna sebagai contoh, bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu Rasulullah Saw.

Jadi, manusia tidak perlu lagi repot membuat peraturan dan bingung memilih contoh tokoh yang patut ditiru dalam kehidupan ini, karena semua sudah lengkap diberikan oleh Allah.

Pun dalam hal berpolitik, Islam memberi tuntunan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dalam politik Islam, akidah dan  syariat menjadi landasan utama, berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Dengan demikian, manusia tidak akan mengejar jabatan hanya demi kehidupan di dunia saja.

Dalam sistem pemerintahan Islam, ada Majelis Umat (MU) yang beranggotakan wakil-wakil rakyat yang fungsinya adalah memberikan pendapat dan masukan kepada Khalifah (pemimpin) sebagai rujukan dalam berbagai permasalahan. MU juga melakukan kontrol dan koreksi (muhasabah) terhadap Khalifah dan para pejabat pemerintah (Al-Hukam).

MU merupakan wadah atau perantara yang menyampaikan aspirasi umat. Mereka dipilih karena kepercayaan dan kapabilitasnya, bukan karena pencitraan, sehingga tidak memerlukan biaya mahal dalam proses pemilihannya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, ada juga syura, yaitu hak rakyat terhadap penguasa untuk menyampaikan pendapat. Berbeda dengan parlemen dalam demokrasi, dalam Islam, MU tidak menentukan kebijakan, tetapi hanya melakukan kontrol dan koreksi saja terhadap Khalifah. Ini berbanding terbalik dengan parlemen dalam demokrasi yang salah satu tugasnya adalah membuat aturan atau kebijakan. Sudah sentu aturan ini akan berubah-ubah sesuai dengan keinginan pihak tertentu atau berdasarkan pesanan pihak-pihak yang sudah menyokong para wakil rakyat yang terpilih.

Dengan demikian, dalam sistem Islam tidak ada wakil rakyat yang harus terpaksa menggadaikan SK setelah terpilih, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar dalam proses pemilihan. Mereka dipilih karena kepercayaan dan kemampuan, sehingga akan bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat dengan hanya mengharapkan rida Allah Swt.

Sudah jelas bahwa hanya dengan kembali pada penerapan Islam secara kafahlah kita akan mendapatkan wakil rakyat yang amanah sehingga akan terwujud baldatun thayyibantun wa rabbun ghafur.



Oleh: Rini Rahayu 
(Pegiat Dakwah Peduli Umat)

Jumat, 20 September 2024

Pembacaan Hasil Kajian Ulama, Intelektual dan Tokoh Jatim, Sikapi Rusaknya Sistem Demokrasi Berjalan Khidmat

Tinta Media - Diawali dengan mengucap salam, pujian kepada Allah dan shalawat Nabi, Kiai Zainullah Muslim, ulama kharismatik asal Pasuruan, selaku Perwakilan Forum Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur (Jatim).

Dengan rona wajah yang teduh penuh ketenangan membacakan Al-Qur’an, surah Ar-Rum ayat 41.

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Melalui hal itu Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar,” bacanya menggetarkan suasana forum.

Pembacaan hasil kajian Forum Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur (Jatim) yang bertema “Demokrasi Rusak Parah, Mengikuti Partai Oportunis ataukah Jamaah Ulama? Saatnya Menuju Islam Kaffah dan Khilafah” itu pun berjalan dengan khidmat, serius tanpa gurauan, namun tetap dalam nuansa semangat perjuangan di jalan Islam.

Pembacaan hasil kajian yang sebelumnya diisi dengan penyampaian materi kajian dari beberapa para alim ulama, intelektual dan tokoh itu berlangsung di kediaman salah seorang ulama sekaligus tokoh Bangkalan Madura, K.H. Thoha Cholili dan juga disiarkan secara langsung (_live_) pada  Minggu, 25 Agustus 2024, melalui kanal YouTube Multaqo Ulama Aswaja, sejak pukul 08.00 hingga 11.30 WIB.

Berhimpun bersama puluhan ulama, tokoh dan intelektual di atas panggung, berdiri di posisi tengah menghadap sorotan kamera di depan panggung, Kiai Zainullah  menyatakan dengan gamblang bahwa telah banyak yang merasakan adanya kezaliman, kecurangan, ketidakadilan, bahkan kesewenang-wenangan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi. Akan tetapi, masih belum banyak yang sadar atau menyadari bahwa sumber dari semua kerusakan adalah sistem demokrasi.

Padahal, ia mengungkapkan, telah banyak yang mengetahui bahwa karakter perilaku politik dalam sistem demokrasi adalah pragmatis, oportunis dan machiavellis yang menghalalkan segala cara.

“Prinsip yang dianut adalah tidak ada teman dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Sedangkan rakyat hanya aset, alat, bahkan objek yang dieksploitasi sesuai dengan kepentingan yang menang dan berkuasa tanpa ada nilai. Baik etika, hukum, agama dan tanpa peduli apa pun yang terjadi,” ungkapnya lagi menggambarkan realitas kebobrokan tatanan kehidupan dalam naungan demokrasi.

Di sela-sela permulaan pembacaan hasil kajian itu, Kiai Zainullah blak-blakan menyatakan, itulah yang sedang diperankan oleh politisi dan partai politik peserta pemilu demokrasi, mengikuti skenario sistem demokrasi dengan _ending_ yang bisa menyayat hati.

“Untuk itulah, kami para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Intelektual dan Tokoh Jawa Timur berkumpul menyelenggarakan forum, berikhtiar dengan mengkaji dan berdiskusi, seraya bertawakal dan meminta petunjuk kepada Rabbul Izzati (Allah Swt.) agar ada solusi bagi kebaikan negeri tercinta ini,” ucap Kiai Zainullah menjelaskan dan mengumumkan kepada hadirin dan khalayak terkait latar belakang dan tujuan forum tersebut diselenggarakan.

*Pembacaan Tujuh Kesimpulan*

Meskipun acara yang dibersamainya saat itu sudah tiga jam lebih berjalan, namun tak tampak kelelahan pada rona wajah Kiai Zainullah.

Sembari memegang lembaran kertas bersampul map berwarna hijau yang berisi pernyataan hasil kajian di tangan kiri dan menggenggam mikrofon sebagai alat pengeras suara dengan tangan kanan, Kiai Zainullah yang terlihat tidak berusia muda lagi ditandai warna putih pada janggutnya,

Dengan serius, tegap dan bersemangat kemudian membacakan tujuh kesimpulan hasil kajian.

“Satu,” sebut Kiai Zainullah dengan suara yang lantang.

“Bahwa sistem demokrasi harus dihilangkan dari kehidupan. Sebab, sistem demokrasi adalah sistem kufur, sistem rusak dan merusak, bahaya dan membahayakan. Keji, rakus, serakah, penuh ilusi dan ambisi,” terangnya tanpa ragu.

Ia melanjutkan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thabrani,” tegasnya sembari sesekali memantapkan tatapan pandangan mata ke depan.

Yang kedua, Kiai Zainullah membeberkan bahwa koalisi apa pun yang dibentuk berdasarkan sistem demokrasi adalah koalisi yang sangat rapuh, tidak solid, gampang pecah dan tidak akan pernah menghantarkan pada kebaikan apapun.

“Sebab, keberadaannya bukan untuk kebaikan, melainkan untuk memusuhi Islam dan menghalang-halangi orang dari jalan Allah Swt.,” terangnya dengan tenang.

Dengan khidmat ia lanjut membacakan firman Allah, surah Al-Hasyr ayat 14,

لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ ۗ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ

“Mereka tidak akan memerangi kamu (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti,” bacanya menerjemahkan.

Yang ketiga, dengan penuh keberanian Kiai Zainullah mengajak sekaligus mengingatkan bahwa sudah saatnya bagi bangsa Muslim terbesar di dunia ini untuk menginggalkan demokrasi dan mengingat kebenaran dan kebaikan yang datang dari sisi Allah Swt., yakni IsIam dengan syariat yang ada di dalamnya untuk diadopsi dan diterapkan.

Sebagai peringatan, ia pun kembali membacakan firman Allah Swt.,

اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

“Apakah belum tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman, hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan kepada apa yang turun dari kebenaran (Al-Quran). Dan janganlah mereka berlaku seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik. Surah Al-Hadid ayat 16,” sebut Kiai Zainullah.

Yang keempat, suara lantangnya kembali mengingatkan hadirin dan khalayak, bahwa melakukan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya tugas para ulama saja, tetapi tugas seluruh umat Islam, termasuk intelektual, tokoh, pemuda, pelajar, mahasiswa, ormas, parpol dan rakyat.

“Tujuannya agar kebenaran dan keadilan tegak, kebatilan dan kezaliman hilang, serta dihindarkan dari azab Allah Swt.” Pesannya mengajak bangsa Indonesia khususnya umat Islam untuk takut kepada azab Allah Swt.

Diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman r.a, Kiai Zainullah juga menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw. Telah bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menurunkan hukumannya, kemudian jika kalian berdoa kepadanya maka Dia tidak akan mengabulkan doa kalian. Hadis riwayat Tirmidzi,” lantangnya mengingatkan.

Yang kelima, dengan keyakinan akan kepastian datangnya pertolongan Allah, dengan mantap ia menyatakan bahwa masa depan Indonesia dan dunia adalah Islam. Kepemimpinan dunia mendatang ada pada umat Islam dengan sistem khilafah islamiahnya sebagai negara utama atau _daulatul ula_ yang akan menghantarkan dunia pada keadaan yang aman dan sentosa.

“Takbir!” pekik Kiai Zainullah diikuti gemuruh pekikan takbir dari para ulama, intelektual, tokoh, baik yang berkumpul di atas panggung maupun di bawah panggung sambil bersemangat mengepalkan dan mengangkat tangan penuh keseriusan.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhainya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik,” ucapnya meyakinkan membacakan terjemah Al-Qur’an surah An-Nur ayat 55 sebagai dalil qath’i kepastian kebangkitan Islam dan umatnya di masa yang akan datang.

Yang keenam, sambungnya, bahwa untuk menyongsong tegaknya khilafah islamiah harus dipersiapkan generasi, baik pemuda, pelajar dan mahasiswa, agar memiliki kesanggupan untuk bersaing dan bertarung memperebutkan kepemimpinan dunia menggantikan Amerika Serikat, Eropa, Rusia dan China.

“Di dalam sebuah maqolah disebutkan, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan, sesungguhnya di tanganmulah urusan bangsa, dan dalam langkahmu tertanggung masa depan bangsa,” gugahnya.

Yang ketujuh, tetap dalam keadaan tegap dan tak berubah dari posisi sebelumnya, di tengah himpunan ulama, intelektual dan tokoh, Kiai Zainullah menyebutkan bahwa perjuangan menegakkan khilafah islamiah meniscayakan adanya kelompok jama’ah atau _hizbun siyasun_, yaitu partai politik berideologi Islam  yang mampu mewujudkan tujuannya, serta adanya dukungan dari umat kepada kelompok jama’ah  atau _hizbun siyasun_ tersebut.

وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ‌ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏

“Dan hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang-orang yang menyeru kepada kebajikan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 104. Demikian, assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” tutupnya mengakhiri.

“Waalaikum salam. Takbir! Allahu Akbar! Takbir! Allahu Akbar! Takbir! Allahu Akbar,” pekik para ulama, intelektual dan tokoh beriringan dengan penuh semangat dan keseriusan, namun tidak mengurangi khidmatnya keberlangsungan acara. []

Muhar, Sahabat Tinta Media

Tangsel, Minggu (1/9/2024)

Kamis, 12 September 2024

Demokrasi dan Pragmatisme Menyengsarakan, Syariah Islam Menyejahterakan

Tinta Media - Pragmatisme adalah upaya meraih kepentingan tertentu dengan cara-cara yang paling efektif dan paling praktis daripada berpegang pada prinsip/idealisme ataupun ideologi tertentu. Maka asas dari pragmatisme adalah aspek kemanfaatan (kemaslahatan) semata. Di dalam demokrasi, pragmatisme sangatlah menonjol. Penguasa, pejabat, wakil rakyat maupun partai politik menunjukkan sikap pragmatis. Mereka bertindak secara politik semata-mata demi meraih kepentingan tertentu, bukan kepentingan rakyat. Buktinya, banyak undang-undang, peraturan serta kebijakan penguasa dan wakil rakyat justru merugikan rakyat. Tetapi menguntungkan oligarki, penguasa dan para wakil rakyat termasuk partai politik.

Sedangkan politik Islam adalah aktivitas mengurus dan mengelola seluruh urusan rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Dan ini akan menyejahterakan rakyat. Politik Islam bukan sekedar permainan kekuasaan, tetapi tanggung jawab syar'i untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam mengatur kehidupan umat. Maka politik Islam terkait dengan halal dan haram, standarnya hukum-hukum Islam, bukan kemanfaatan (kemaslahatan) dan kepentingan. Yang disetir oleh dan untuk kemaslahatan atau kepentingan pihak tertentu dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak.

Pada dasarnya kaum Muslim wajib untuk terikat dengan al-Qur'an dan as sunnah dalam semua aspek kehidupan mereka termasuk dalam berpolitik. Banyak ayat al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu terikat dengan syariah Islam, seperti yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 208 dan QS. al-Maidah ayat 48. Rasulullah Saw juga bersabda: "Aku telah mewariskan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu: Kitab Allah SWT (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-nya", (HR. Malik dan al-Hakim).

Maka sudah saatnya umat Islam meninggalkan pragmatisme, juga sistem demokrasi yang terbukti hanya melahirkan banyak persoalan bagi umat ini. Yang tentu menyengsarakan dan semakin jauh dari kesejahteraan. Karena inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat maka  artinya manusia lah -melalui para wakil rakyat yang sering tidak memiliki rakyatnya- yang berwenang untuk membuat berbagai aturan atau hukum yang sering didasarkan pada akal dan hawa nafsu semata. Padahal jelas, hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah SWT (lihat QS. Yusuf ayat 40). Marilah kita semuanya bersegera untuk mengamalkan, menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah bangsa dan negeri ini akan bisa meraih ragam keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Oleh: Peni, Sahabat Tinta Media 

Wajah Asli Demokrasi



Tinta Media - Masyarakat Indonesia selalu disuguhi berbagai fenomena demokrasi yang mengecewakan dan membuat patah hati. Meski sebetulnya kesalahan dan kejahatan sudah ada sejak dahulu kala, tetapi gempuran rayap yang kian memperlihatkan sisi rapuhnya kayu mulai terlihat jelas sehingga masyarakat lebih mudah mengindra.  

Belum lama ini, masyarakat Indonesia menyaksikan pelanggaran pemerintah terhadap apa yang dianutnya, yakni demokrasi. Polemik tersebut membuat masyarakat geram dan melakukan protes dengan demo yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, bahkan oleh siswa menengah di beberapa wilayah Indonesia. Unjuk rasa dilakukan di gedung DPR sebagai bentuk protes dan mengingatkan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara.

Tagar #PeringatanDarurat menjadi trending topik awal bulan ini dalam menyikapi pelanggaran negara mengenai RUU Pilkada. Protes dan nasihat untuk pemerintah dilakukan di berbagai media sosial, selain unjuk rasa di lapangan. Tidak hanya sekali, unjuk rasa selalu berujung bentrok dengan aparat keamanan di lokasi. 

Pemerintah mengerahkan gabungan TNI-Polri di lokasi unjuk rasa. Terlapor, satu mahasiswa terancam kehilangan penglihatan akibat serangan gas air mata yang dilakukan oleh aparat guna meredam keributan di lokasi. 

Kasus gas air mata ini pernah menggemparkan dunia, terkhusus Indonesia di lapangan sepak bola yang menyebabkan kehilangan nyawa. Serangan yang dilakukan oleh sebagian oknum tidak seharusnya dibalas dengan serangan membahayakan oleh aparat yang berdampak kepada banyak orang. 

Hal demikian membuktikan bahwa sebetulnya demokrasi tidak memberikan ruang kepada rakyat untuk memberikan saran dan kritik atau bisa disebut ‘antikritik’. Selain itu, setelah kejadian unjuk rasa, dilaporkan ratusan mahasiswa hilang atau tidak pulang, alias ditangkap oleh aparat. Ini semakin membuktikan bahwa demokrasi tidak mau dikritik oleh siapa pun, dan barang siapa yang tidak sependapat dengan demokrasi maka akan dihilangkan. 

Padahal, demokrasi memperkenalkan diri dengan sangat elegan, yakni ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Tentu semua mengenal hal itu saat pendidikan di bangku sekolah dasar. Kita tidak pernah dijelaskan mengenai filosofi atau asasnya. Tidak dijelaskan pula bahwa para kapitalis dan oligarki juga termasuk rakyat. Hanya saja, rakyat jelata tidak memiliki uang, kekayaan, dan kekuasaan. Inilah wajah asli demokrasi.

Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kita bedah, satu prinsip ini sudah salah. Rakyat memiliki keterbatasan dalam hal akal. Masing-masing rakyat memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga setiap berganti kepemimpinan, akan lahir hukum yang baru alias tidak paten. Hukum akan dibuat sesuai dengan kepentingan masing-masing, tidak ada batasan dalam hal ini. Sementara itu, akal manusia  terbatas dan harus ada sesuatu di atas akal untuk membatasi segala risiko kerusakan akibat kebebasan akal. 

Demokrasi tidak sering memperkenalkan asasnya, yakni ‘vox populi, vox dei’ yang artinya ‘suara rakyat, suara Tuhan’. Asas ini tidaklah berbeda jauh dari arti demokrasi itu sendiri yang sering kita dengar, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Secara logika dan fitrah, asas ini bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia. Bagaimana manusia bisa disandingkan dengan Tuhan? Asas ini pula yang melahirkan sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan. 

Tuhan adalah Zat yang tidak bisa disandingkan dengan manusia. Secara fitrah, manusia membutuhkan Zat yang lebih tinggi darinya sebagai sandaran hidup. Sekuler ini menjadikan agama hanya sebagai ritual peribadatan semata, dan Tuhan seakan tidak hadir dalam kehidupan di luar ritual ibadah. Sejatinya, manusia tidak bisa dipisahkan dari agama dalam segala hal. 

Dalam demokrasi, sering kali kita mendengar ‘voting’. Namun, tahukah Anda esensi dari kata tersebut? Esensinya, penetapan hukum didasarkan pada voting atau pemilihan suara terbanyak, bukan yang paling benar. Bagaimana seseorang memilih pilot untuk mengemudikan pesawat berdasarkan banyaknya pilihan, bukan berdasarkan keahlian? Akankan pesawat terbang itu aman dan bisa sampai tujuan? Tidakkah kita berpikir bahwa pesawat akan jatuh? 

Dalam voting pula, apabila 99 orang dari 100 orang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan sedangkan hanya 1 orang yang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah lelaki, maka disimpulkan bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan. Sungguh hal ini tidak masuk akal. Inilah yang tidak dijelaskan dalam demokrasi bahwa kekeliruan dalam setiap aspek tidak dapat diterima oleh logika dan akal sehat. 

Maka wajar, jika demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme. Pada praktiknya, penerapan demokrasi-sekularisme telah mengabaikan hak-hak rakyat dan menggantinya dengan kepentingan korporasi. Oleh karena itu, voting dalam demokrasi merupakan hasil seting yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha atas nama oligarki.

Islam menempatkan syariat di atas akal. Kedaulatan berada di tangan syariat. Hanya Allah yang berhak menentukan hukum. Hukum bukan bersandarkan berdasarkan voting, melainkan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Allah adalah Zat yang jauh lebih tinggi dari manusia, yang tidak memiliki batas seperti manusia. Ilmu Allah meliputi segala hal yang ada di bumi, di langit, dan di antara keduanya. 

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat at-Talak ayat 12, yang artinya: 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” 

Sistem Islam memiliki satu mekanisme yang dapat digunakan sebagai solusi atas pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yakni muhasabah lil hukam untuk menjaga agar pemerintah atau negara tetap berada pada syariat Allah. 

Selain itu, ada lembaga yang disebut Majelis Ummah dan Qadli Mazalim. Kedua lembaga ini memiliki fungsi, salah satunya adalah mengawasi jalannya pemerintahan dengan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tolok ukurnya. Apakah pemerintahan berjalan sesuai syariat Allah, atau mulai menyimpang, maka kedua lembaga ini berkewajiban menasihati pemimpin supaya segera kembali kepada syariat Allah. 

Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban dari Allah untuk setiap individu, baik untuk dirinya sendiri, kelompok, masyarakat, ataupun negara. Sebuah sistem yang tidak memiliki batasan dan menjadikan akal sebagai pembuat hukum, maka akan berujung pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan demi mewujudkan hukum yang dibuat sendiri untuk kepentingan diri dan golongannya. 

Sedangkan Islam tidak menempatkan akal sebagai pembuat hukum, sehingga syariat Allah adalah hukum paten yang tidak dapat diubah sesuai dengan kepentingan manusia. Sudah saatnya manusia kembali kepada fitrahnya, yakni diatur oleh Pencipta manusia, bukan diatur oleh hukum buatan manusia.



Oleh: Syiria Sholikhah
Mahasiswi Universitas Indonesia

Selasa, 10 September 2024

Sinyal Darurat, Sinyal Rusaknya Demokrasi


Tinta Media - Beberapa waktu lalu, telah viral di media sosial Lambang Garuda Pancasila dengan latar biru, disertai tulisan Sinyal Darurat. Lambang tersebut mengajak untuk menyelamatkan demokrasi dalam bentuk perlawanan kepada DPR yang telah terlanjur menyepakati RUU Pilkada, pada rabu 21 agustus 2024. Perlawanan ini sebagai bentuk akumulasi kemarahan publik, lantaran RUU Pilkada yang disepakati oleh DPR dinilai menganulir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 tentang batas pencalonan kepala daerah. Hasilnya pada Kamis 22 agustus 2024, gelombang protes terhadap DPR dan pemerintah pun digelar di sejumlah wilayah di Indonesia. 

Tagar ini viral setelah DPR dianggap membangkang putusan MK dengan melakukan revisi UU Pilkada. Seruan untuk menyelamatkan demokrasi dan mengawal putusan MK menjadi opini yang bergaung dalam demonstrasi besar-besaran pada Kamis 22 Agustus 2024. Masa terdiri dari warga sipil, mahasiswa, serta pelajar yang mendesak DPR membatalkan pengesahan revisi Undang-undang Pilkada oleh DPR RI. Aksi menyerukan hal yang sama pun dilakukan di berbagai kota di Indonesia, hingga berlangsung berhari-hari.

Demonstrasi turun ke jalan dalam sebuah negara demokrasi merupakan hal yang biasa. Di Indonesia, gelombang unjuk rasa menolak kebijakan penguasa terkait penjagaan konstitusi telah terjadi sejak era orde lama. Demontrasi mahasiswa mulai bermunculan seiring memanasnya situasi politik dan ekonomi pada 1960 yang mendorong krisis ekonomi dan politik. Gelombang demonstrasi besar-besaran juga terjadi di akhir masa orde baru. Aksi ini mampu mengganti rezim dalam era reformasi yang berlangsung hingga sekarang, dengan beberapa orang pergantian pemimpin.

Namun, fakta menunjukkan bahwa perjuangan dari masa orde lama ke orde baru, orde baru ke reformasi, tidak menjadikan kondisi negeri ini menjadi lebih baik, malah semakin bertambah buruk, seperti yang terjadi saat ini. 

Eksistensi demokrasi diperjuangkan hanya dengan melakukan pergantian penguasa, tidak menghilangkan kezaliman, kecurangan, ketidakadilan, bahkan kesewang-wenangan penguasa oligarki. Banyak yang tidak menyadari bahwa sumber dari semua kerusakan di negeri ini adalah justru akibat penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme sekularisme. 

Demokrasi memberikan kedaulatan di tangan rakyat, yaitu pada para wakilnya. Di dalam demokrasi, ada prinsip bahwa tidak ada teman dan lawan yang abadi, tetapi hanya ada kepentingan yang abadi, yaitu kepentingan pribadi, golongan, dan kelompok, dalam hal ini para oligarki (kolaborasi pengusaha dan penguasa). 

Sementara, rakyat hanya menjadi alat untuk menghantarkan kalangan oligarki tersebut ke tampuk kekuasaan, baik di eksekutif, maupun legislatif. Bahkan, rakyat menjadi objek yang diekploitasi sesuai dengan kepentingan yang menang atau yang berkuasa. Itulah yang sedang diperankan partai dan politisi saat ini, yaitu mengikuti skenario sistem demokrasi dengan ending yang bisa menyayat hati nurani rakyat.

Itulah realitas bobroknya sistem demokrasi yang meniscayakan munculnya para penguasa oligarki yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan, hingga mengubah ketentuan konstitusi. Jadi, kesalahannya bukan hanya pada individu rezim yang berkuasa, tetapi pada sistem demokrasi yang bobrok dan cacat dari awal kelahiran.

Kondisi tersebut diperparah dengan penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupanm. Untuk meraih kekuasaan, mereka tidak mempedulikan halal atau haram, yang penting keinginan tercapai. 

Kondisi ini melahirkan kekuasaan oligarki yang dengan leluasa melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk mengubah peraturan atau undang-undang mereka semua. Mereka yang membuat hukum mereka sendiri yang melanggar hukum tersebut, sehingga menjadikan hukum itu kebal bagi pembuatnya, tetapi keras bagi lawannya, termasuk kepada rakyat yang kritis.

Oleh sebab itu, demokrasi dan sekuler kapitalisme adalah sistem kufur, rusak dan merusak, bahaya dan membahayakan, keji, serakah, rakus, dan penuh ilusi, dan ambisi. 

Dalam Al-Qur'an surat ar-Ruum: 41 Allah Swt. berfirman, yang artinya: 

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar." 

Oleh karena itu, jika ingin melakukan perubahan, maka bukan dengan menjaga demokrasi, tetapi justru dengan mencampakkan demokrasi beserta sistem sekuler kapitalismenya, digantikan dengan sistem yang sahih, yaitu sistem Islam. Hanya sistem Islam yang membawa kebaikan dan keberkahan yang datang dari Allah Swt. melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. 

Allah Swt. berfirman yang artinya:

"Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan turunkan berkah dari langit dan bumi ...."
(TQS. Al- 'Araf: 96)

Kekuasaan bisa menolong pemegangnya untuk berbuat kebaikan, tetapi bisa juga mencelakakan pemegangnya untuk melakukan berbagai kerusakan secara massif dan efektif. Untuk itu, jangan pisahkan kekuasaan dan kepemimpinan dari Islam karena akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dia pimpin. Kekuasaan dan kepemimpinan harusnya karena Islam dan untuk tegaknya Islam. Untuk itu, wajib bagi penguasa menerapkan syariat Islam saja, karena berasal dari Asy Syari' (Sang Pembuat Hukum), yaitu Allah Swt. Penguasa itu akan diminta pertanggungjawabannya atas kekuasaan yang dia jalankan.

Sabda Rasulullah saw.:

"Al-Imam (khalifah) adalah penanggung jawab (raa'in) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin."

Pemimpin dalam Islam bertugas untuk mengurusi kepentingan rakyat di dalam dan di luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat secara bersamaan. Negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut. 

Jika negara melakukan pelanggaran syariat Islam (bermaksiat), maka umat akan melakukan koreksi terhadap penguasa sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar. Ini bukan hanya tugas para ulam saja, tetapi semua elemen masyarakat, baik para intelektual, tokoh, pemuda, pelajar, mahasiswa, ormas, parpol, dan rakyat. Tujuannya adalah agar kebenaran dan keadilan tegak, kebatilan dan kezaliman hilang, serta dihindarkan dari azab Allah Swt.

Rasulullah saw. bersabda:

"Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, kalian harus melakukan amar ma'ruf nahi munkar atau Allah akan menurunkan hukumannya, kemudian jika kalian berdo'a kepada-Nya, maka Dia tidak akan mengabulkan do'a kalian."
(HR. Tirmidzi)

Maka, cara untuk keluar dari kekuasaan dan kepemimpinan zalim saat ini, baik di Indonesia atau di dunia, hanyalah dengan penerapan sistem Islam, yaitu khilafah islamiyah yang akan membawa keberkahan di langit dan bumi, serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu alam biss shawab.



Oleh: Dela
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab