Tinta Media: Demokrasi
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

Demokrasi Menyuburkan L68T



Tinta Media - Hasil survei CIA yang dilakukan pada tahun 2015, menyebutkan bahwa populasi L68T di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Cina, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survei independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan orang yang berperilaku L68T. (Topikmalaysia.com)

Ketika penulis membaca tulisan tersebut, timbul rasa penasaran bercampur tidak percaya dan ngeri. Bagaimana mungkin, Indonesia yang pada tahun 1970, penduduk muslimnya 95% dan kini (2020) masih 87.1%, bisa menjadi negara dengan urutan ke-5 dalam jumlah orang berperilaku L68T.

Kini 9 tahun setelah survei itu, kira-kira Indonesia di urutan berapa, naik atau turun, berapa % yang terinfeksi (berperilaku) LGBT dari jumlah penduduk Indonesia. L68T adalah bencana kemanusian dan sekaligus kemaksiatan yang amat besar, apalagi jika pelakunya adalah umat Islam, karena perbuatan ini dilaknat Allah. Atas dorongan rasa penasaran, sedih dan takut penulis kemudian melakukan penelusuran datanya.

Mengutip dari laman Statista, Rabu (24/5/2023), sebuah lembaga survei melakukan survei pada tahun 2021 di 27 negara, dari hasil survei terungkap, ada 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis, sekitar 3 persen menyatakan diri dengan tegas sebagai homoseksual ( gay atau lesbian), 4 persen mengaku biseksual, dan 1 persen mengaku omniseksual. Belanda, Belgia, Inggris Raya dan Australia responden homoseksual terbesar. Rusia dan Hongaria responden heteroseksual terbanyak.

Bagaimana dengan perkembangan L68T di Indonesia? Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021), menerbitkan sebuah studi berjudul “Eksistensi L68T di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila”. Studi dilakukan oleh tim yang beranggotakan Toba Sastrawan Manik, Dwi Riyanti, Mukhamad Murdiono, dan Danang Prasetyo dari lintas universitas. Mereka memaparkan bahwa ada peningkatan kelompok L68T di Indonesia. Peningkatan tersebut khususnya terjadi di kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Toba Sastrawan Manik dan timnya menulis bahwa kelompok LGBT memiliki organisasi bernama Gaya Nusantara dengan sebaran di 11 kota di Indonesia.

Dari data dan informasi tersebut penulis mencoba melihat dan membuktikan apakah benar L68T ini terus menyebar ke kota-kota di Indonesia. Maka penulis mencoba mencari informasi dari laman-laman media sosial terutama facebook di kota penulis sendiri. 

Dan sungguh mengejutkan penulis, bahwa di kota Tenggarong (Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan penduduk 128.211 orang). Terdapat 3 group facebook, yaitu : Gay Tenggarong-Kaltim dengan anggota 744, Gay Kaltim Samarinda Tenggarong Sebulu Muarakaman dengan anggota 1,2 ribu anggota dan Gay Tenggarong dengan 126 anggota. Dan ada yang bersifat facebook pribadi seperti Gay Tenggarong dengan 427 teman dan Gay Aldi dengan 121 teman. Dari 5 laman facebook total anggota berjumlahkan 2.618 orang, dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Tenggarong yang berjumlah 128.211 orang, maka prosentasenya adalah 2%. Data ini menunjukkan bahwa L68T tumbuh dan berkembang dari kota-kota besar (metropolitan) sampai ke kota-kota kecil (Kabupaten/ Kecamatan).

Hal penting yang perlu segera diketahui adalah, apa yang membuat L68T tumbuh dan terus menjalar ke kota-kota kecil di Indonesia? Adakah ini sebuah pertumbuhan yang alami atau ada yang memfasilitasi? Kalau ada yang memfasilitasi bagaimana mungkin sebuah kemaksiatan difasilitasi? untuk tujuan apa? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di kepala dan hati kita sebagai seorang muslim.

Pada satu titik akhirnya penulis, melihat ada benang merah antara tumbuh dan berkembangnya L68T dengan seiring tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Memang tidak mudah atau bahkan sangat sulit untuk “mengaitkannya”. Maka untuk memberikan gambaran singkat, lugas dan masuk akal. Mari kita menelisik, dimulai dari pertanyaan pokok yaitu apa tujuan diterapkannya demokrasi?. Secara umum minimal ada 5 tujuan, yaitu : 1. Memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi, 2. Mencegah perselisihan antar kelompok, 3. Menciptakan keamanan dan ketertiban bersama, 4. Mendorong masyarakat aktif dalam pemerintahan, dan 5. Membatasi kekuasaan pemerintah.

Mari kita fokus pada tujuan nomor 1, yaitu memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Secara singkat kemudian tujuan ini kemudian dilegalkan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pasal 27 ayat (1) ini kemudian lahir UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi negara dan pemerintah.

Selanjutnya dari UU HAM inilah kemudian menjadi wadah berlindung, tumbuh dan berkembangnya LGBT di Indonesia. Bagaimana korelasinya?, mari lihat fakta lapangannya. Bukankah orang-orang yang hidupnya menyimpang dari kenormalan kemudian berdalih, ini kan kodrat, ini kan dilindungi HAM. Sehingga kemudian mereka berani muncul di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara dan di berbagai acara. Ada dalam acara-acara seni yang memerankan “bencong”, ada laki-laki yang berpakaian wanita, ada seminar-seminar yang membahas tentang kelainan gender, dll. Dan puncaknya di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi telah mengesahkan UU yang memperbolehkan perkawinan sejenis, dan hari ini sudah ada di 33 negara. Ini semua jika ditarik benang merahnya adalah hasil diterapkannya sistem demokrasi diterapkan oleh suatu negara.

Bagaimana logika sederhananya?, UU dibuat Wakil Rakyat, Wakil Rakyat dipilih oleh Rakyat, sistem pemilihan yang menghasilkan Wakil Rakyat adalah sistem demokrasi, jelas!.

Lalu bagaimana Islam menilai dan menghukumi pelaku L68T. Islam sangat jelas melarang (mengharamkan) zina apalagi L68T. Al-Qur’an  sangat tegas menetapkan hukumannya, terdapat dalam surah An-Nur ayat (2), yang artinya “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali …”.  Sedangkan pelaku LGBT (liwath) Rasulullah saw sangat tegas memberlakukan hukuman mati, hal dapat kita temukan dalilnya dari  hadits : “Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda “Barang siapa yang kalian ketahui telah berbuat liwath (perbuatan kaum luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun partnernya” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i).

Jika Al-Qur’an  dan Hadits telah dengan tegas menetapkan hukuman terhadap pelaku zina dan liwath (LGBT). Lalu mengapa hukuman itu tidak bisa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Bukankah hari ini umat Islam di Indonesia ini berjumlah 87,1% (mayoritas). Jawabannya, tidak lain dan tidak bukan, karena umat Islam tidak memiliki kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam. Karena hanya kepemimpinan Islamlah yang mau dan berhak melaksanakan hukuman syariat Islam. Maka jika tidak ingin, LGBT terus berkembang di Indonesia khususnya dan di negara-negara muslim lainnya maka tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam harus kembali kepada penerapan Islam kaffah dengan sistem khilafah. Karena hanya sistem khilafahlah yang bisa menerapkan seluruh syariat Islam ditengah-tengah umat.

Wallahu a’lam bishawab
Kota Raja, 18.02.2024


Oleh : A. Darlan bin Juhri
Sahabat Tinta Media

Senin, 19 Februari 2024

Apakah Demokrasi Indonesia Sekotor Itu?



Tinta Media - Di hari tenang film “Dirty Vote” tayang mengungkap dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 yang terstruktur, sistematis, dan masif, yang menguraikan ihwal penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, adanya tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Apakah Demokrasi Indonesia sekotor itu? itu pertanyaan saya ketika selesai nonton film dokumenter Dirty Vote, yang sejak di-upload pada hari Ahad (11/2/2024) film dokumenter tersebut telah ditonton jutaan penonton baik di channel YouTube Dirty Vote maupun di channel PSHK Indonesia. 

Banyak fakta yang diungkap pada film dokumenter garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut, dari penjelasan ketiga narasumber yang dihadirkan di situ yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tatanegara, tergambar jelas bahwa sistem demokrasi yang menjadi harga mati bagi setiap pencintanya itu ternyata sedang tidak baik-baik saja. 

Poin pertama yang diungkap adalah terkait dugaan kecurangan melalui penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tujuannya tentu agar salah satu kandidat bisa memenangkan pemilu sekali putaran melalui sebaran wilayah, dengan berhasil menang di 20 daerah yang dipimpin PJ Gubernur dan Kepala Daerah tersebut, hal itu dipaparkan jelas oleh Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar di film tersebut, dan jika benar tentu ini merupakan persekongkolan jahat antara penguasa dan pejabat yang ditunjuknya, ini jadi bukti pertama betapa rusaknya sistem demokrasi jika mengacu pada film "Dirty Vote". 

Kedua, ada tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, ini jadi kejahatan berikutnya yang dipaparkan di film tersebut, dan sepertinya itu benar karena pernah muncul beritanya pada bulan November tahun lalu tentang deklarasi dukungan dari organisasi yang tergabung dalam Desa Bersatu terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Ketiga, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, dari data yang dipaparkan Bivitri Susanti begitu terlihat mencolok jumlah peningkatan bansos menjelang pemilu, dengan berbagai macam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah, bahkan baru bulan Januari sudah menghabiskan dana sebesar 78.06 Triliun untuk bantuan sosial, sehingga diduga kuat ada penyalahgunaan bansos yang dilakukan pemerintah untuk menarik simpati rakyat pada pemilu 2024 agar memilih kandidat tertentu. 

Dan terakhir kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang meloloskan kandidat cawapres termuda sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, dan seperti kita ketahui bersama bagaimana dengan mudahnya sebuah peraturan di sistem demokrasi diubah dengan sedemikian rupa untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. 

Lantas jika demokrasi sudah seperti itu, masihkah mengharapkan adanya keadilan dan kesejahteraan? 

Oleh: Herdi Kurniawan 
Sahabat Tinta Media

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Jiwa



Tinta Media - Pesta demokrasi rawan gangguan jiwa? Betul sekali. Dibuktikan dengan adanya sejumlah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang bersiap menangani calon legislatif (caleg) depresi akibat gagal terpilih. Hal ini dilakukan untuk antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, banyak pasien gangguan jiwa dari para caleg yang tidak terpilih. 

Mengapa bisa terjadi? Karena caleg mencalonkan diri dengan tujuan ingin menjadi terkenal atau  memperoleh untung, minimal balik modal atas dana yang telah dikeluarkan. Namun, ternyata mereka kalah, dan pasti akan mengalami kecewa berat. 

Nah, caleg yang mencalonkan diri dengan tujuan seperti itu jelas rentan mengalami gangguan mental. Banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg serta terlilit utang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, yang sangat diperlukan yakni belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. (dprd-dkijakartaprov.go.id, (24/01/2024)

Anehnya, mengapa sistem ini masih dipertahankan dan diperpanjang terus hingga dipercaya menjadi sistem yang terbaik dan terhebat, padahal banyak memakan korban? Ya, itulah yang terjadi di sistem demokrasi yang beraroma kapitalis. Semuanya diukur dengan materi. 

Memang, bila Anda ingin menjadi pemimpin di negara demokrasi beraroma kapitalis ini, maka bersiap-siaplah akan mengalami sakit jiwa, karena sistem ini memerlukan dana yang tidak sedikit, bahkan diperlukan pengorbanan yang sangat besar untuk menggiring rakyat agar mau memilih Anda. 

Tidak sedikit para caleg tersebut memiliki tujuan untuk kekuasaan ataupun materi, tetapi berujung kekalahan. Mereka kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, karena tidak dapat menerima kekalahan tersebut. 

Bahkan, anggota keluarga hingga tim suksesnya tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental. Maka, mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik merupakan modal utama bagi para pemimpin atau caleg. 

Menanamkan dalam jiwa untuk siap kalah adalah sebuah keharusan. Mengapa demikian? Karena di samping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia. Untuk itu, Anda, para caleg harus mempersiapkan mental sematang mungkin untuk mengikuti dinamika Pemilu 2024, bersiaplah sebagai caleg gagal pada pesta demokrasi.

Memang, pemilu di sistem demokrasi kapitalis berbiaya tinggi, sehingga membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala cara untuk meraih kemenangan.  Saat ini kekuasaan atau jabatan menjadi Impian semua caleg karena dianggap dapat menaikkan prestise dan bisa menjadi jalan mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan serta fasailitas lainnya. Kekuatan mental seseorang menentukan sikap seseorang terhadap hasil pemilihan. Pendidikan di sistem ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat, terbukti meningkatnya kasus gangguan mental.

Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. dan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan dari Sang Pencipta.

Sistem pendidikan Islam mencetak individu yang bertakwa dan menjadi orang yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat. Juga menjadi individu yang beriman pada qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan begitu mereka akan siap dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt.

Yakinlah bahwa sistem Islam akan melahirkan individu yang selalu dalam kebaikan karena selalu bersyukur dan bersabar, sehingga terhindar dari gangguan mental. Bismillah kembalilah ke dalam sistem Islam.


Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., 
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

Sabtu, 17 Februari 2024

"Serangan Fajar" Bumbu Pelengkap Pemilu Sistem Demokrasi




Tinta Media - Bagai mendorong mobil yang sedang mogok (tidak bisa berjalan) di jalan yang berpasir, maka ketika mobil tersebut telah melaju kencang, sebagai pendorong selain ditinggalkan juga mendapat debu-debu yang bertebaran. 

Begitulah gambaran kondisi hari ini, menjelang pesta demokrasi (pemilu serentak). Serangan fajar atau politik uang bak garam pelengkap bumbu masakan, tidak adanya garam pada masakan seperti ada sesuatu yang kurang. Begitu pun politik uang atau serangan fajar. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum baik bagi para paslon, atau juga masyarakat secara umum. 

Ironisnya serangan fajar sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat, seperti oase di tengah gurun. Serangan fajar umumnya berbentuk uang. Inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi. 

Dilansir dari cnbcindonesia.com, 13/02/2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan setidaknya butuh biaya hingga  40 miliar rupiah untuk bisa menjadi anggota DPR RI, di DKI Jakarta. Pria yang akrab dipanggil Cak Imin, berani buka-bukaan tentang modal yang dibutuhkan agar menjadi caleg memang cukup besar, apalagi di Jakarta. Ucap Cak Imin di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Jumat lalu (11/8/2023). 

Biaya yang sangat mahal untuk maju ke kursi kekuasaan, mengharuskan para paslon mencari sponsor yang dapat membiayai seluruh rangkaian pemilu. Mulai dari rangkaian Kampanye, pemasangan umbul-umbul, membiayai tim sukses, dan serangan fajar tentunya. 

Para kapital (pengusaha) menjadi tujuan sponsor para paslon, sebab merekalah yang mempunyai modal yang cukup besar. Di sisi lain mereka juga mempunyai kepentingan, terkait regulasi kebijakan. Jadi, hubungan keduanya adalah hubungan homogen (saling menguntungkan). Para paslon berkepentingan untuk duduk di kursi kekuasaan, sedangkan para kapital berkepentingan melanggengkan kekuasaan mereka terhadap Sumber Daya Alam (SDA). 

Hubungan homogen atau politik balas budi, hubungan inilah yang menjadi bumerang bagi masyarakat ketika para paslon tersebut telah sukses menduduki kursi kekuasaan, bagaimana tidak penguasa hanya menjadi corong kepentingan para kapital, alih-alih menjadi perpanjangan tangan aspirasi masyarakat. 

Di sinilah relevansi (hubungan) analogi di atas, masyarakat akan di tinggalkan, dan hanya mendapat debu-debu dari kepentingan antara Paslon dan para kapital. Sedangkan uang atau serangan fajar yang diterima masyarakat yang sekaligus menjadi utang budi para paslon, hal itu hanya menjadi pemanis demi mendapatkan suara masyarakat, Ironis. 

Praktik politik uang/serangan fajar dikategorikan sebagai praktik sogok atau suap. Dalam Islam praktik sogok atau menyuap diharamkan, pelakunya, orang yang menerima, dan perantara suap diancam laknat Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT melaknat orang yang melakukan suap, orang yang menerima suapan, dan orang yang berperan menjadi perantara antara keduanya" (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani). 

Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, seakan memaksa seseorang untuk berbuat curang demi untuk duduk di kursi kekuasaan, rela menghalalkan segala cara, meski menabrak syari'at. Tidak ada halal haram, yang ada hanya kepentingan di atas segalanya. 

Dalam Islam pemimpin adalah amanah yang sangat berat. Berat dalam timbangan dunia apatah lagi dalam timbangan akhirat. Mengurus umat yang begitu banyak, membutuhkan individu yang berkualitas, berkualitas secara keimanan dan ketundukan kepada syari'at, maupun kualitas dari segi ilmu dunia. 

Berangkat dari pemahaman tentang beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin di dalam Islam, ini meniscayakan tidak adanya para calon pemimpin, yang melakukan praktik sogok. Sebab, melakukan praktik sogok. Artinya, sebagai kriteria individu calon pemimpin saja telah gugur. Apabila bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat. 

Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islamlah yang akan menghasilkan para pemimpin berkualitas. Pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai sarana memperkaya diri. Pemimpin yang menjadikan halal haram sebagai tolak ukur dalam mengambil kebijakan, bukan menghalalkan segala cara. Pemimpin yang menjadi pelayan umat, bukan menjadi antek para kapital. Sekali lagi pemimpin seperti ini hanya didapatkan ketika Islam diambil sebagai pandangan hidup, dan diterapkan sebagai sistem pengaturan kehidupan.



Oleh: Syahdan Syarif
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 14 Februari 2024

Dirty Vote: Sebuah Film Penguak Tabir Kecurangan Pemilu Demokrasi di Indonesia


Tinta Media - Menjelang pertengahan Februari 2024, publik disuguhkan dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film ini dirilis tepatnya pada tanggal 11 Februari 2024 di kanal Youtube PSHK Indonesia. Bisa dibilang, film dokumenter Dirty Vote 'keren pake banget' karena lumayan detail menggambarkan bagaimana perjalanan politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. 

Tiga narasumber sekaligus aktor utama dari film ini adalah Zainal Arifin Mochtar (dosen FH UGM), Feri Amsari (dosen FH Universitas Andalas), dan Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ketiganya juga merupakan pakar hukum tata negara. 

Rangkaian peristiwa, nama-nama orang di dalam peristiwa tersebut, data-data penunjang, baik berupa angka, diagram, suara, bahkan video tersaji dengan runut dan apik. Film diawali dengan ungkapan harapan dan maksud dibuatnya film ini. Setelahnya, berlanjut dengan paparan penjelasan dari ketiga aktor utama, khususnya terkait kecurangan-kecurangan pemilu demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Durasi film 1 jam 57 menit 21 detik mungkin bisa dibilang belum cukup mengungkap semua fakta kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, sudah cukup lumayan mewakili dan menggambarkan kecurangan yang terjadi. 

Bagi yang sudah menonton, tercengangkah Anda? Atau merasa tidak heran dengan paparan dalam film tersebut? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui semua kecurangan-kecurangan tersebut karena memang dilakukan secara terang-benderang, seterang siang panas terik di bawah sinar matahari.  

Melihat kecurangan itu, seolah kita tidak berdaya untuk menghilangkannya. Para ahli saja tidak mampu, apalagi kita, masyarakat awam. Kenapa? Karena kita bisa melihat semua alat negara serta peraturan-peraturan hukum sudah didesain untuk menunjang kecurangan tersebut. Akhirnya, kita pasrah saja, padahal itu terjadi di depan mata. 

Pasrah? Jangan sampai ini melanda kaum muslimin.  Coba kita lihat, apa yang disampaikan dalam film Dirty Vote sebenarnya baru mengungkap dan membongkar fakta rusak demokrasi kapitalis. Film ini juga menunjukkan dengan terang benderang betapa rusaknya sistem buatan manusia, sistem yang akan menindas dan melindas lawan ataupun kawan. 

Pada tahap awal dalam membangun sebuah persepsi, setelah membongkar fakta rusak, tentu kita harus membangun sebuah konstruksi pemikiran yang kuat dan kokoh. 

Membangun konstruksi yang kuat dan kokoh ini diawali dengan memiliki sebuah standar pemikiran yang pasti, tetap, dan tentunya benar. Standar pemikiran yang memenuhi syarat ini tentunya adalah pemikiran yang berbasis akidah Islam. 

Pemikiran Islam akan membangun kembali atas fakta rusak dan bobrok dengan bangunan pemikiran yang benar dan tepat. Dengan pemikiran Islam ini pula, umat akan bergerak untuk meraih perubahan dengan Islam. Perubahan revolusionerlah  yang akan mengantarkan umat pada kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar mengubah rezim, tetapi perubahan yang akan mengganti sistem buruk demokrasi kapitalis menjadi sistem Islam.


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi 

Jangan Tertipu, Hakikat Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, Bukan Sekadar Memilih Pemimpin!

Tinta Media - Saudaraku! Hari ini genderang pesta telah ditabuh. Lelahkah dirimu? Kulihat peluh mengucur deras di dahimu. Berapa banyak waktu yang kauhabiskan? Berapa besar kesungguhan yang kaucurahkan? Bagaimana dengan pikiran, harta, tenaga? Bahkan, kejujuran dan kebenaran pun rela kaugadaikan. 

Apa yang sedang kauperjuangkan? Demokrasi, atau kekuasaan? 

Saudaraku, tidakkah kau ingat, hakikat demokrasi bukanlah sekadar memilih pemimpin, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bahwasanya segala aturan dalam kehidupan ini ditentukan oleh suara bulat rakyat, untuk dijalankan oleh rakyat, dan diharapkan bisa digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan kata lain, bahwasanya kedaulatan ada di tangan rakyat. 

Artinya, saat ini kau sedang mempertaruhkan hidup dan mati negeri ini di tangan rakyat. Bahkan, halal dan haram pun ditentukan oleh rakyat. Padahal, kamu tahu, rakyat adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Rakyat adalah makhluk lemah yang tidak luput dari salah dan dosa. 

Rakyat yang telah diwakili oleh segelintir orang tidak akan pernah bisa memberikan jaminan dan kepastian bahwa hidup masyarakat secara keseluruhan akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Alih-alih hidup dengan layak, fakta telah membuktikan bahwa 100 tahun di bawah naungan demokrasi, justru kesengsaraan dan kenestapaan yang kita dapatkan. 

Saudaraku! Rakyat bukan Tuhan. Jadi, suaranya tidak mewakili suara Tuhan. Memaksakan diri untuk menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan adalah suatu bentuk kemunduran dan keterbelakangan, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk kekufuran karena telah menyekutukan. 

Masih ingatkah engkau tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Adi bin Hatim? Melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, ia berkata, 

"Aku pernah datang kepada Nabi saw. sementara di leherku tergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, 

'Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!' 

Lalu aku mendengar beliau membaca Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 31 yang artinya: 

Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Nabi kemudian bersabda, 'Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu, akan tetapi ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya dan jika para rahib atau pembesar itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya." (HR. Tirmidzi) 

Ketika turun ayat di atas (At-Taubah ayat 31), Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum dan menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. 

Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuan-tuhan selain Allah sebagaimana penjelasan Rasulullah. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain Allah. 

Saat ini, dengan berlangsungnya pesta besar-besaran untuk memilih orang-orang yang ditunjuk sebagai wakil dari rakyat, baik sebagai penentu segala kebijakan dan aturan, ataupun sebagai pelaksana dan penerap hukum-hukum tersebut dalam ranah kehidupan, tidakkah disadari bahwa apa yang kaulakukan itu sama dengan mencari sekutu atau tandingan-tandingan Allah? 

Ingatlah, Allah Swt. berfirman di surat Yusuf ayat 40,
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ 

Artinya, yang berhak menetapkan hukum hanya Allah. 

Jadi, yang berhak menetapkan halal dan haram itu hanya Allah, bukan manusia atau segelintir orang yang mewakili suara dan kehendak rakyat. Bahkan, Rasulullah mengatakan bahwa hal yang seperti itu sama dengan menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. 

Saudaraku! Sejak runtuhnya daulah Islam tahun 1924 lalu, musuh-musuh Islam telah memahami bahwa kaum muslimin pasti akan menolak dengan tegas jika mengetahui esensi dari demokrasi karena jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Itu sebabnya, mereka membungkus ide jahat dan rusak dari demokrasi ini. Mereka sengaja menipu dan mengaburkan hakikat demokrasi ini dengan menonjolkan bahwasanya demokrasi adalah pemilihan pemimpin agar kaum muslimin dengan senang hati mau menerima ide-ide ini. 

Layak, jika saat ini banyak dari kaum muslimin yang bahdilan juhdi (mengerahkan semua kemampuan) untuk meraih kekuasaan dan kepemimpinan tersebut. Bahkan, orang-orang yang terpilih untuk mewakili rakyat lebih sibuk dan bersungguh-sungguh memikirkan segala cara untuk meraih kepemimpinan itu daripada menjalankan amanah yang telah dititipkan oleh rakyat. 

Tidakkah engkau takut dengan peringatan Allah bahwa siapa pun yang berpaling dari peringatan Allah, maka baginya adalah kehidupan yang sempit? 

Ini jelas terdapat dalam Al-Qur'an surat Taha ayat 124. 

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى 

Artinya: 

Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Taha: 124). 

Saudaraku, mari jadikan diri kita sebagai orang yang paling beruntung dengan mendapatkan kemenangan hakiki dengan curahan barakah dari langit dan bumi. Caranya, tentu dengan melakukan perubahan besar-besaran dengan menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dan mencampakkan demokrasi sejauh-jauhnya. Jangan lagi tertipu, karena kebahagiaan hakiki itu tidak bisa didapat dengan hanya mengubah sosok pemimpin, tetapi dengan perubahan secara fundamental dan mendasar yaitu dengan sistem yang diridai oleh Allah Swt, daulah khilafah Islamiyyah. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Ida Royanti
Editor Tinta Media dan Founder Komunitas Aktif Menulis 

Senin, 05 Februari 2024

Pamong Institute Ungkap Dua Variabel Penentu Kemenangan Paslon



Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengungkap ada dua variabel yang sangat berpengaruh besar terhadap kemenangan pasangan calon (paslon) dalam pemilu sistem demokrasi. 

“Kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi tentu sangat berpengaruh besar dalam pemilu sistem demokrasi. Kalau tidak memiliki kedua variabel itu, saya pikir orang tidak mungkin bisa menang atau bahkan bisa melenggang lebih lanjut,” ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tajuk Jokowi ‘Pasang Badan’ Buat Putranya? Rabu (31/1/2024) di kanal Youtube Khilafah News. 

Ia mengungkapkan alasannya, karena pemilu dalam sistem demokrasi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan akses atau jaringan yang luas. “Kedua variabel itu sangat berpengaruh besar, karena pemilu dalam sistem demokrasi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan akses atau jaringan yang luas,” ungkapnya. 

Menurutnya, kedua variabel tersebut ada pada kelompok oligarki yang dimiliki oleh berbagai pasangan calon kontestasi. “Oligarki ekonomi saja tentu tidak cukup, modal yang besar tapi tidak punya jaringan politik dan akses bagi massa untuk melakukan aktivitas kampanye dan penggalian suara, saya pikir juga akan kesulitan," ungkapnya. 

Oleh karena itu, lanjut Wahyudi, meski dua kelompok ini kecil, namun sangat penting dan sangat berpengaruh. "Dalam hal ini disebut sebagai oligarki. Itu juga sangat berpengaruh. Karena dengan kekuasaannya, kewenangannya, dia bisa mempengaruhi para pemilih sehingga bisa mengarahkan pilihan-pilihannya atau dukungan-dukungannya kepada pihak-pihak calon tertentu,” bebernya. 

Menurutnya, pemerintahan demokrasi adalah dari rakyat kecil, oleh rakyat menengah dan untuk rakyat besar. 

“Pemerintahan demokrasi adalah dari rakyat kecil, oleh rakyat menengah dan untuk rakyat besar. Dari rakyat kecil yang bekerja keras memberikan dukungan dan memberikan suara, ikut kampanye, ikut berkeringat. Oleh rakyat menengah, itu para politisi yang sedang mengelola  kegiatan-kegiatan politik maupun menjadi perwakilan-perwakilan rakyat di level-level menengah. Untuk rakyat besar hasilnya terutama mereka yang punya jabatan tinggi,” tuturnya. 

Menurutnya, oligarki ekonomi maupun oligarki politik itu, semakin lama akan semakin mengokohkan kedudukannya, semakin mencengkeram negeri ini dan semakin menguasai kekayaan alam maupun sumber daya alamnya. 

"Mereka mengeluarkan undang-undang dan aturan yang bisa menguntungkan bisnis mereka, menguntungkan praktik kekayaan mereka, melindungi aset-aset mereka, melindungi dan memperbesar kegiatan bisnis mereka, mengganti undang-undang yang tidak pro kepada mereka, undang-undang yang pro kepada rakyat mungkin mereka biarkan kalau tidak mengganggu kepentingan mereka, tetapi jika mengganggu maka mereka akan ubah, mereka akan revisi dan mereka akan membuat undang-undang yang baru," terangnya. 

"Akhirnya boleh saya katakan dengan sistem demokrasi ini, maka negara akan ditunggangi oleh kaum kapitalis dan kaum oligarki,” pungkasnya.[] Evi

Minggu, 04 Februari 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental



Tinta Media - Menggelitik, kegagalan berujung perawatan. Mirisnya lagi, ini adalah perawatan mental atau gangguan jiwa. Seperti yang dilansir oleh Kompas TV, sejumlah rumah sakit menyiapkan ruangan khusus untuk pasien yang stres atau mengalami gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) di gelaran pemilu 2024. Seperti Rumah sakit Oto Iskandar Dinata, rencananya menyiapkan 10 kamar khusus atau VIP sebagai antisipasi membeludaknya kasus ini. 

Irfan Agus, Wadir Pelayanan RSUD Oto Iskandar Dinata menyatakan bahwa pihaknya sudah memiliki dokter spesialis penyakit jiwa. Untuk pasien ringan, perawatan bisa dilakukan dengan rawat jalan. Pihaknya juga menyediakan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu. (kompas.tv, Jumat 24/12/2023)

Fenomena ini membuktikan bahwa sistem demokrasi rawan gangguan mental. Di sisi lain, menjadi seorang pejabat adalah impian karena dianggap dapat meningkatkan harkat martabat, juga jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan.

Mengapa para intelektual yang sedang berkuasa saat ini tidak mengambil banyak pelajaran dari segala masalah yang ada? Harusnya negara bisa memberikan solusi tuntas agar kondisi yang buruk bisa diperbaiki atau mencabut permasalahan sampai ke akar-akarnya. 

Untuk mewujudkan berbaikan, negara perlu mengambil sistem kepengurusan negara yang sahih berdasarkan syariat Islam, yakni bersumber dari Al-Qur'an. Dengan aturan tersebut, tidak ada seorang manusia pun yang bisa mengubah apalagi memperjualbelikan hukum demi kepentingan pribadi atau komplotannya. 

Umat harus sadar bahwa memilih pemimpin ada aturannya, bukan asal berani bayar berapa, bukan bermodalkan janji-janji manis belaka. Memilih pemimpin juga bukan dengan slogan-slogan, seperti "Untuk rakyat, demi rakyat". Faktanya, pejabat makan enak, rakyat masih melarat.

Masih banyak lagi cara-cara mereka dalam membujuk masyarakat untuk ikut serta memenangkan dirinya. Namun, setelah terpilih, rakyat atau masyarakat justru ditindas

Kekuatan mental seseorang akan menentukan sikap individu itu terhadap hasil pemilihan. Faktanya, pendidikan saat ini terbukti gagal membentuk kepribadian yang tangguh, kuat, dan taat. Alhasil, kasus seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal dalam pemilihan umum terus berulang dan meningkat di tengah masyarakat.  

Berbeda cerita dengan cara pemilihan pemimpin dalam sistem Islam. Islam menjawab semua permasalahan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam Islam, ada beberapa syarat untuk menjadi seorang pemimpin, di antaranya adalah harus seorang muslim, laki-laki (tidak boleh seorang perempuan) Syarat lainnya adalah akil dan baligh. Artinya, ia memiliki umur yang cukup sehingga bisa membedakan mana benar sehat jasmani dan rohani. Kalau sudah menunjukkan tanda-tanda "ketidakwarasan", artinya dia sudah gugur sebelum pemilihan. 
Syarat lainnya adalah harus adil dan memiliki kemampuan. 

Yang tidak kalah penting, mereka yang mewakili masyarakat dalam memilih pemimpin bukanlah orang biasa. Maksudnya apa? Mereka adalah para alim ulama yang berpegang teguh pada syariat Islam kaffah. Mereka merupakan representatif umat yang membaiat dengan baiat in'iqad untuk mengangkat seorang pemimpin.

Bukan seperti sistem demokrasi saat ini, penghafal Qur'an memilih, tukang togel juga memilih, ustaz ustazah memilih, bahkan maling dan tukang bohong juga memilih. Jadi, selain berbiaya tinggi, prosesnya lama dan hasil yang didapat juga jauh dari syariat agama 

Negara harus kembali ke jalan kebenaran yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Negara harus menerapkan syariat Islam secara kaffah sebagai dasar kepengurusan umat. 

Islam sudah terbukti mampu mengatur urusan umat manusia di dunia, memberikan rasa nyaman, aman, sejahtera, dan makmur ke dua pertiga dunia. Ini berlangsung selama berabad-abad dalam kekuasaan yang disebut khilafah 

Hanya sistem Islam yang mampu menjaga, melindungi, dan mengurus semua keperluan umat. Pemimpin dalam sistem Islam tahu dengan pasti akan amanah dan tanggung jawabnya, juga atas apa yang ia pikul dan ia pimpin karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Wallahu alam.


Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media

Jumat, 26 Januari 2024

Generasi Emas Hanya Ada di Sistem Islam, Bukan Demokrasi




Tinta Media - Kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan/ dilibatkan dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Oleh karena itu, demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendukung program digitalisasi sekolah untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional, HIBAR PGRI. Untuk menciptakan efektivitas kerja stakeholder pendidikan, kecerdasan artifisial itu perlu dimanfaatkan. Maka, beliau mengingatkan agar semua elemen pemerintah Indonesia mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni.

Hetifah mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis digital berpotensi membawa manfaat, seperti peningkatan pelayanan, penghematan biaya operasional dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Namun, upaya ini harus selaras dengan pengawasan penegakan hukum yang adil. Mengambil langkah strategis seperti pengembangan platform pelayanan daring, pemantapan konektivitas digital dan penyediaan akses gratis adalah langkah yang diharapkan akan dilakukan oleh pemerintah. Dukungan kecerdasan artifisial akan membantu mempercepat proses analisis data terkait pendidikan, lebih dari sekadar itu saja.

Pendidikan adalah hal penting untuk sebuah negara. Dengan pendidikan yang bagus, akan lahir generasi yang berkualitas seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengalami perkembangan pesat. Kecerdasan buatan ini memang sangat berpengaruh atau berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat diberikan kemudahan dalam mengerjakan tugas yang biasanya dikerjakan oleh manusia, juga dalam proses informasi, pendidikan serta pengambilan keputusan serta layanan kesehatan, keamanan, dan berbagai kemudahan lainnya.

Namun, di balik semua manfaat yang didapatkan, ada juga efek atau sisi negatif yang dirasakan oleh masyarakat, walaupun dengan segala kecanggihan teknologi digital yang disuguhkan. Di antaranya, penggantian pekerjaan manusia, privasi dan keamanan data dan ketergantungan yang tidak terkontrol. 

Apalagi, ketika sekularisme masih bercokol dan menjadi landasan berpikir dan bertindak seperti saat ini, justru semuanya bisa berakibat fatal. Dalam ranah pendidikan yang berbasis sekuler, berbagai kurikulum terus berganti. Pendidikan dengan kurikulum merdeka tidak akan menghasilkan generasi yang berkualitas, justru akan menghasilkan generasi rusak karena tidak adanya penjagaan secara sistematik. Imbasnya, banyak pelecehan seksual, perundungan, serta kekerasan yang terjadi di sekolah maupun pesantren yang notabene merupakan pendidikan Islam.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan adanya kecerdasan artifisial, akan hilang ladang pekerjaan yang berimbas pada guru, sehingga guru pun harus banting setir mencari alternatif pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi kalau hanya guru honorer yang gajinya tidak seberapa, bahkan sangat minim. Kecanggihan teknologi ini juga bisa menghilangkan pekerjaan manusia secara umum, ketika semua sudah diwakili oleh mesin atau robot. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan atau AI bukan jaminan keberhasilan generasi emas, walaupun ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. 

Untuk mewujudkan generasi emas, kita harus pindah haluan menuju ke pendidikan yang dibangun atas dasar paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam berlaku untuk semua warga, tidak pilih-pilih. Islam mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk kepribadian Islam, ilmu dan teknologi, serta pemahaman Islam yang benar. 

Dengan kurikulum berbasis akidah Islam, kita akan mampu membentuk generasi tangguh dan bertakwa, karena hal itu memang tujuannya. Fasilitas pendidikan yang merata dan memadai untuk semua jenjang, wilayah dan kalangan  sangat diprioritaskan sebagai bentuk kewajiban seorang khalifah dalam mengurus urusan rakyat. 

Semua fasilitas pendidikan adalah dari hasil kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk disalurkan lagi kepada rakyat, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. Guru yang berkualitas dan profesional dipersiapkan dengan upah yang tinggi, karena begitu besarnya jasa seorang guru dan begitu besarnya Islam memuliakan seorang guru. 

Islam pun sangat memperhatikan masalah infrastruktur pendidikan yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar yang baik, mulai dari laboratorium, perpustakaan, dan semua sarana yang berkaitan dengan pendidikan. Dari segi biaya, Islam sama sekali tidak memberatkan rakyat, namun justru memudahkan dengan biaya yang murah, bahkan gratis.

Begitulah ketika konsep pendidikan berdasarkan akidah Islam. Semua pihak akan mendapatkan manfaat dan kemudahan. Hasilnya pun akan melahirkan generasi unggul yang berkualitas, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Kuncinya adalah dengan adanya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Jadi, jelaslah bahwa kecerdasan artifisial jika tidak ditunjang dengan penerapan syariat secara kaffah, maka tidak akan mampu mencapai tujuan yang hakiki, yaitu mencetak generasi emas sebagai agen perubahan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 21 Januari 2024

Saat Pungli Menjadi Nadi dalam Sistem Demokrasi



Tinta Media - Kian hari kasus pungli kian tidak terkendali. Terlebih dalam badan pemerintahan yang sarat akan berbagai kepentingan. Salah satunya pungli dalam kasus korupsi yang makin tampak. 

Pungli, Niscaya dalam Sistem Demokrasi 

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Albertina Ho mengungkapkan ada perkiraan nilai pungutan liar di Rumah Tahanan (Rutan) KPK mencapai Rp6,148 miliar (radarbogor.com, 16/1/2024). Disebutkan juga bahwa ada 93 pegawai KPK yang "bermain" di dalamnya. 

Dalam proses pemeriksaan, ada 169 saksi yang diperiksa dalam kasus pungli rutan KPK, ada pihak internal dan eksternal KPK. Termasuk di antaranya para tahanan yang sudah menjadi narapidana. Dari 169 saksi yang dimintai keterangan, Dewan Pengawas KPK berhasil mengumpulkan bukti dalam bentuk dokumen. Uang yang diterima paling sedikit Rp 1 juta dan paling banyak Rp 504 juta. Pegawai KPK yang diduga melanggar dikenai pasal penyalahgunaan wewenang dan berhadapan dengan Majelis Sidang Kode Etik, 17 Januari 2024 (Radar Sukabumi, 16/1/2024). 

Fakta ini menunjukkan betapa buruknya tabiat penguasa saat wewenang dan jabatan tidak digunakan sebagai alat untuk melayani rakyat. Justru yang ada sebaliknya. Kekuasaan digunakan untuk mengembangbiakkan kejahatan demi memuluskan kepentingan-kepentingan yang sarat dengan keserakahan. 

Pungli alias pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum tidak  bertanggung jawab mencerminkan buruknya watak penguasa sistem demokrasi. Kepentingan uang mendominasi setiap keputusan dan kebijakan. Parahnya lagi, hal tersebut dianggap lumrah karena begitu banyak pelaku yang mewajarkannya. 

Sistem hukum yang berlaku pun memberikan ruang yang luas tentang masalah pungli selama ini. Sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera menjadikan para pelaku merasa "aman-aman" saja saat tertangkap melakukan pungli. Karena sistem hukum yang ada pun rawan kasus "suap menyuap" dan jual beli kasus. Sehingga politik kepentingan uang menjadi hal yang wajar terjadi. 

Inilah watak sistem demokrasi kapitalisme. Semua kebijakan dan ketetapan yang ada selalu berorientasi pada keuntungan materi semata. Sementara tujuan yang utama bak slogan semata. Tengok saja, lembaga KPK yang notabene sebagai lembaga anti rasuah, justru ramai kasus suap dan pungli. Tak terkecuali para narapidana yang telah dijebloskan ke bui pun masih bisa bermain uang. Rendahnya pengawasan dari negara menjadi salah satu penyebab maraknya kasus-kasus semacam ini. Di sisi lain, pertahanan iman setiap individu pun sangat rendah. 

Konsep nakal tentang materi terus merusak watak individu. Jelaslah, sekularisme begitu membabi buta merusak setiap pemahaman. Tidak peduli lagi standar benar salah ataupun halal haram. Yang ada, semua dihalalkan demi mendapatkan kesenangan dan keuntungan semata. Wajar saja, kerusakanlah yang pasti terjadi. 

Penjagaan Islam 

Islam menetapkan konsep kepemimpinan yang jelas. Pemimpin adalah pengurus seluruh urusan rakyat. Pondasi iman dan takwa mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena dengan konsep tersebut, watak pemimpin mampu terjaga dengan utuh. Setiap kebijakan yang ditetapkan senantiasa tertuju pada penjagaan rakyat. Semua dilakukan demi meraih ridha Allah SWT. 

Rasulullah SAW. bersabda, 

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari). 

Masalah pungli dan korupsi adalah masalah sistemis yang dapat tuntas disolusikan dengan penerapan syariat Islam secara sempurna. Syariat Islam yang menyeluruh hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah institusi khilafah. 

Dalam institusi khilafah, khalifah akan menerapkan cara preventif (pencegahan) dan kuratif (penuntasan masalah) dengan efektif. Pertama melalui proses pengawasan dan penguatan aspek ruhiyah para penguasa. Sehingga setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan senantiasa mengacu pada konsep halal haram yang shahih. Kedua, pengawasan masyarakat. Kontrol sosial mampu mengurangi atau bahkan mengeliminasi setiap perbuatan zalim, termasuk korupsi, rasuah atau sejenisnya. 

Masyarakat yang memahami syariat Islam akan senantiasa melakukan amar ma'ruf dan mengingatkan penguasa agar senantiasa menjalankan amanahnya sesuai pagar syariah. Ketiga, adanya pengawasan negara. Negara menjadi hal utama dalam mengatasi kasus korupsi. Setiap kebijakan hukum dan sistem sanksi yang diterapkan dalam khilafah, disesuaikan dengan aturan syara'. Setiap hukum dan sistem sanksi diterapkan agar mampu memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Sistem Islam-lah satu-satunya support system yang mampu menghentikan mata rantai kasus korupsi dan rasuah yang kini semakin parah. 

Demikianlah Islam menjaga kemuliaan setiap manusia. Penguasa amanah, rakyat terjaga dan hidup pun berkah.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor 

Jumat, 19 Januari 2024

Muncul Ajakan Mewaspadai Khilafah, MMC: Yang Seharusnya Diwaspadai Demokrasi



Tinta Media - Menanggapi munculnya ajakan untuk mewaspadai narasi kebangkitan Khilafah, Narator Muslimah Media Center (MMC) mengingatkan, yang seharusnya diwaspadai adalah sekularisme kapitalisme dengan sistem demokrasinya, bukan Khilafah. 

"Justru yang seharusnya diwaspadai dan dienyahkan adalah ideologi transnasional bernama sekularisme kapitalisme yang ditancapkan ke negeri ini melalui sistem demokrasi," ujarnya dalam Serba-serbi: Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai? Di kanal Youtube MMC, Selasa (16/1/2024). 

Narator lanjut menjelaskan, demokrasi adalah buatan manusia yang merupakan hasil berpikir orang-orang Eropa setelah mengalami penindasan oleh kerajaan dengan mengatasnamakan agama  yang bekerja sama dengan pihak gereja pada masa itu. 

"Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan manusia berdaulat atas hukum,"  jelasnya. 

Padahal, terang Narator, Allah Swt. telah memberi peringatan dalam Surah Thaha ayat 124 bahwa siapa saja yang berpaling dari peringatan (ayat-ayat) Allah maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang sempit. 

"Dan terbukti, dalam penerapan sistem sekularisme kapitalisme demokrasi, umat hanya merasakan kerusakan nyata di berbagai bidang. Kezaliman oligarki di mana-mana, kebatilan tersebar luas atas nama kebebasan, negara lepas tanggung jawab terhadap urusan rakyat dan para kapital berkuasa atas segala sesuatu," bebernya. 

Maka, kata Narator, sangat aneh ketika ada seorang muslim tapi menolak Khilafah dengan membuat narasi yang menyesatkan pemikiran umat terkait Khilafah. Dan di saat yang sama, ucapnya,  malah membela mati-matian sekularisme kapitalisme demokrasi. Padahal sistem tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasul saw., tidak ada dalam syariat Islam, bertolak belakang dengan akidah Islam dan hanya membawa kerusakan," urainya. 

Sebaliknya, ia pun menegaskan, seharusnya Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman, tapi sebuah kewajiban yang harus diperjuangkan. 

"Umat harus menyadari bahwa Khilafah adalah mahkota kewajiban. Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyuddin  an-Nabahni dan Imam al-Ghazali," ucapnya. 

Imam al-Qurtubi pun, terangnya,  menyebut bahwa Khilafah sebagai 'adzhamul wajibat, yaitu kewajiban yang paling agung. 

"Sebab tanpa adanya institusi Khilafah (sebagai pelaksana), maka hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan sistem politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan dan sistem sanksi tidak akan pernah bisa terwujud," terangnya. 

Tak hanya itu, ucapnya, dengan penerapan syariat secara praktis oleh negara Khilafah, akan menjadikan alam semesta merasakan kerahmatan Islam sebagaimana disebut dalam  Al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 107. 

"Juga datangnya keberkahan dari langit dan bumi untuk penduduk negeri berdasarkan al-Quran surah al-'Araf ayat 96," tandasnya. 

Sebelumnya, dikabarkan bahwa Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf  mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk mewaspadai narasi-narasi kebangkitan Khilafah yang bertepatan dengan momentum 100 tahun keruntuhan Khilafah Islamiyah.[] Muhar

Senin, 15 Januari 2024

Antara Islam dan Demokrasi



Tinta Media - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD mengemukakan, ketidakpastian hukum merupakan salah satu penyebab terjadinya kemunduran di Indonesia.

Ia mencontohkan investasi yang tidak maksimal dan pembangunan ekonomi yang tidak merata di negeri ini. "Karena salah satunya itu di Indonesia terlalu banyak ketidakpastian hukum," kata Mahfud MD. Perbaikan penegakan hukum, menurutnya, harus dilakukan secara komprehensif, baik dari segi regulasi, implementasi, serta birokrasi penegakan hukumnya. (Kompas.com, 6/1/2023)

Demokrasi Sistem Cacat

Indonesia merupakan salah satu negara dunia yang menerapkan Demokrasi. Sistem politik Demokrasi merupakan anak buah Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Demokrasi memberi kewenangan pada manusia untuk berdaulat membuat hukum sendiri. Maka tak heran, hukum-hukum yang dihasilkan banyak berpihak pada yang berkuasa.

Wewenang manusia membuat hukum jelas tidak disandarkan pada parameter halal dan haram. Aturan dibuat atas dasar manfaat. Konsekuensinya, hukum tidak bersifat baku dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai manfaat yang dicapai. Sehingga sering kali terjadi perselisihan, sebab pandangan baik buruk yang bersifat fleksibel atau tidak pasti.

Mirisnya lagi, hukum dalam demokrasi dapat diperjualbelikan. Asas manfaat tampak nyata ketika hukum dibuat hanya untuk segelintir kelompok. Kepentingan oligarki berjalan mulus dengan modal yang mereka berikan untuk membeli hukum. Rakyat lah yang menjadi korban. Tanpa kekuatan, rakyat dipaksa menerima aturan yang tak sedikit pun berpihak pada mereka. Justru rakyat adalah pihak yang dirugikan.

Demokrasi banyak menciptakan undang-undang kontroversial. Bukannya menyelesaikan problematika rakyat dan menciptakan kesejahteraan, justru undang-undang menjadi alat membungkam rakyat. Ruang gerak rakyat dibatasi. Sehingga tak heran problematika dalam demokrasi kian menumpuk dan menjadi-jadi.

Ini bukan sesuatu yang mencengangkan. Hakikatnya sistem politik Demokrasi dijalankan oleh korporasi. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak memenuhi hasrat oligarki. Nama rakyat hanya digunakan dalam pesta lima tahunan demokrasi. Setelah itu, rakyat tidak dapat berbuat di atas kekangan kebijakan pemerintah yang pro oligarki.

Begitulah. Nampak jelas kecacatan sistem politik Demokrasi. Dari asasnya saja sudah tidak beres. Tentu saja ketidakberesan yang menimbulkan ketidakpastian akan terus merambat ke berbagai peraturan yang ditegakkan sistem ini. Maka perbaikan penegakan hukum bagaimanapun ketika asasnya sudah salah, maka kecacatan akan terus melekat dalam sistem ini.

Kesempurnaan Hukum Islam

Sistem demokrasi jelas berbeda dengan sistem Islam. Aturan Islam berasal dari Rabb Semesta Alam Yang Maha Tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya. Aturan Islam bersifat baku dan tidak akan berubah sesuai kepentingan masing-masing.

Islam melarang tegas penerapan hukum selain hukum Islam, yakni hukum yang dibangun berlandaskan hawa nafsu manusia. Sehingga, hukum Islam ini bersifat adil dan satu-satunya hukum yang layak diterapkan mengatur manusia.

Aturan Islam juga memandang jelas halal-haram juga baik-buruk. Tidak dapat diputarbalikkan atau bahkan dicampuradukkan antara keduanya. Apalagi berubah karena adanya kepentingan yang dicapai. Hukum Islam bersifat tegas. 

Dan yang perlu diketahui, hukum Islam tidak dapat diperjualbelikan. Tidak dapat dibeli untuk memenuhi nafsu kekuasaan satu pihak dan menindas pihak yang lain.

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu pun aspek yang luput dari hukum Islam. Begitu sempurna Islam mengatur tanpa berpihak pada suatu golongan tertentu. Semua berlaku bagi umat manusia.

Negara yang menerapkan sistem Islam akan merasakan kesejahteraan serta kemajuan sebab hukum Islam bersifat pasti. Tidak seperti Demokrasi yang akan terus mengalami kemunduran serba hukum yang bersifat tidak pasti.

Oleh : Khansa Nadzifah
Sahabat Tinta Media


Selasa, 09 Januari 2024

Ilusi Demokrasi Menyelesaikan Konflik Agraria



Tinta Media - Penyelesaian urusan sertifikat tanah masyarakat ditargetkan selesai pada tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Beliau menyampaikan hal tersebut saat membagikan sertifikat tanah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada hari Rabu 27/12. Menurut Presiden Joko Widodo, sertifikat tanah sangat penting karena berperan sebagai bukti atas kepemilikan lahan yang dengan itu bisa meredam konflik atau sengketa tanah. 

Menurutnya, penyelesaian masalah sertifikat tanah masyarakat bukanlah perkara yang mudah. Terbukti sejak tahun 2015, ada sebanyak 126 juta lahan di seluruh penjuru tanah air yang harus di sertifikatkan. Hanya saja, baru 40 juta lahan yang memiliki sertifikat tanah, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) per tahun hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat tanah. Itu artinya, 80 juta belum bersertifikat dan itulah salah satu penyebab timbulnya konflik lahan, entah antara saudara dengan saudaranya, sesama tetangga, atau masyarakat dengan perusahaan swasta. 

Benarkah pembagian sertifikat tanah bisa menyelesaikan konflik agraria? Apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik Agraria selama ini? 

Lahan atau tanah adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup sejahtera dengan memiliki tempat tinggal serta lahan untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pengolahan lahan pertanian dan perkebunan. 

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, dan papan. Masalah sertifikat tanah adalah kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pengakuan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut. Namun, faktanya persoalan agraria terkait dengan hak milik atau sertifikat tanah masih belum bisa diselesaikan dengan baik. Akhirnya, masih sering timbul konflik agraria di tengah masyarakat. 

Jika ditelaah lebih dalam, permasalahannya bukan sekadar masalah sertifikat tanah, tetapi lebih kepada hukum tata kelola lahan yang diterapkan oleh sistem hari ini. Konteksnya memang sudah berbeda, karena jika punya sertifikat tanah pun bukan tidak mungkin akan terus terjadi konflik agraria. Sebab, yang banyak terjadi saat ini adalah perampasan hak atas tanah masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang masih awam tentang apa itu sertifikat tanah. Sehingga, muncullah sekelompok orang yang punya modal besar dengan leluasa membeli lahan untuk kepentingannya, atau bahkan bisa jadi mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya. 

Bahkan, orang yang sudah turun-temurun tinggal di suatu daerah sejak lama bisa dengan mudah digusur dengan alasan untuk kemajuan pembangunan. Ini melihat pada kasus Rempang dan kasus-kasus serupa di beberapa daerah. 

Kasus agraria masih mencengkeram negeri dan hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik. Masyarakat pun belum mendapatkan keadilan. Keadilan itu nihil didapatkan di sistem yang masih menerapkan demokrasi sekularisme liberal. Paham itulah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Oleh karena itu, jelas bahwa pemberian sertifikat tanah bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria. 

Sekularisme liberal adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang melahirkan kebebasan berpendapat dan berperilaku. Paham tersebut mengakibatkan para korporasi dengan bebas bisa memiliki lahan seluas-luasnya sesuai kehendaknya selagi ada uang untuk membelinya. Aktivitas tersebut dilegalkan oleh pemerintah saat ini. Rakyat kecil akhirnya semakin terpinggirkan, sedangkan pemerintah atau negara hanya menjadi regulator bagi korporasi, serta menjadi pelayan mereka. Negara justru membantu para elite ketika mereka membutuhkan lahan untuk kepentingannya. 

Begitulah kenyataan yang terjadi jika hukum tentang tata kelola tanah dan kepemilikan tanah tidak memakai hukum yang sesuai syariat, malah mengikuti hukum buatan manusia yang lemah dan terbatas. Dari sanalah akhirnya timbul berbagai konflik agraria kronis seperti saat ini yang terus membelenggu. Ditambah, untuk membuat sertifikat tanah juga butuh biaya lumayan besar yang memberatkan rakyat kecil. Disahkannya UU Cipta Kerja juga menambah derita rakyat, sebaliknya sangat menguntungkan pihak asing atau swasta. 

Jelas sekali bahwa yang harus diubah adalah sistemnya. Karena itu, perlu diterapkan sistem buatan Allah sebagai solusi hakiki problematika kehidupan. Dalam hal ini adalah tentang hak rakyat dalam mengelola dan memiliki tanah. Syariat Islam mengatur tentang harta kepemilikan terkait lahan sebagai harta sesungguhnya, tidak ada kebebasan kepemilikan seperti dalam sistem demokrasi. 

Harta dari sumber daya alam akan diurus sesuai apa yang disyariatkan Allah, yaitu menjadi tiga harta kepemilikan: kepemilikan umum, individu, dan negara. Sumber daya alam tidak boleh dikelola atau dimiliki secara bebas oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, tidak akan terjadi perampasan lahan secara halus yang berkedok investasi dan lain sebagainya. 

Sebaliknya, sistem Islam akan melahirkan individu dan pemimpin yang taat, bertakwa, dan takut kepada Allah. Untuk terwujudnya keadilan bagi si miskin yang tersisihkan, maka sistem kufur demokrasi harus dibuang dan menggantinya dengan sistem Islam buatan Allah Swt. yang sudah pasti mampu memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 02 Januari 2024

Dakwah dan Mengerahkan Tentara untuk Jihad Fisabilillah adalah Kewajiban Seluruh Umat Islam



Tinta Media - "Dakwah dan mengerahkan tentara untuk jihad fisabilillah adalah kewajiban kita semua," Ulama Aswaja Garut Jawa Barat Kiyai Ajengan Ustadz Suwar Abu Zulfan dalam acara Multaqo Ulama Jawa Barat, yang dihadiri ulama dan tokoh masyarakat dari berbagai kota di Jawa Barat secara Hybrid, dalam Muhasabah dan Tausiyah Akhir Tahun 2023: Tinggalkan Sistem Jahiliyah, Sekularisme -Kapitalisme - Demokrasi, Tegakkan Islam Kaffah dalam Naungan Khilafah," melalui kanal Youtube Rayah TV, Rabu (27/12/2023). 

Ia mengatakan, para tentara, para militer, menjadi orang-orang yang mulia disisi Allah. "Allah menjanjikan ketika kalian jihad di jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa kalian akan mendapatkan tempat yang terbaik di surga Adn," tegasnya. 

Selain seruan jihad pada para tentara dan militer, ia juga menyeru untuk segera memberikan loyalitas pada dakwah, mendukung syariah dan Khilafah. "Dan seharusnya kita bersama sama menegakkan Khilafah," pungkasnya.[] kang Apin.

Selasa, 26 Desember 2023

Renungan Usai Nonton Debat Calon Penguasa Demokrasi


.
Tinta Media - Kita semua mestilah dapat merasakan kualitas individu calon penguasa demokrasi dan calon wakil penguasa demokrasi dalam acara debat yang dipertontonkan. Namun jangan sampai hal itu membuat kita, kaum Muslim, lupa bahwa mereka semua adalah calon penguasa dan calon wakil penguasa sistem kufur demokrasi.
.
Maka, bila berhadapan dengan sistem kufur ini, yang dikedepankan haruslah ibadah nahyi mungkar (menolak kemungkaran) bukan maksiat amar mungkar (menyeru kemungkaran).
.
Kritik tajam atau sindir tipis-tipis hanyalah cara teknis dalam ibadah nahyi mungkar, keduanya sama baiknya selama sesuai dengan kondisinya masing-masing. Yang keliru itu, membenarkan kebatilan demi mendapatkan dukungan, simpatik, kerelaan lawan bicara ataupun publik. Karena itu sudah terkategori amar mungkar.
.
Mendukung salah satu calon penguasa demokrasi maupun wakil calon penguasa demokrasi termasuk amar mungkar, termasuk kebatilan. Karena, demokrasi itu sistem kufur. Haram mengamalkan/menerapkan, menjaga, dan menyebarluaskannya.
.
Bila terkesan menonjolkan keunggulan salah satu calon penguasa maupun calon wakil penguasa sistem kufur demokrasi tanpa menjelaskan kufurnya demokrasi, dikhawatirkan dianggap publik merekomendasikan salah satu calon penguasa maupun wakil calon penguasa demokrasi, sehingga mereka pun memilihnya.
.
Bila tidak berani menjelaskan kekufuran demokrasi, baiknya tidak perlu memuji salah satu calon penguasanya maupun salah satu calon wakil penguasanya, itu lebih selamat bagi kita di sisi Allah SWT.
.
Dan, bila bangsa ini ingin selamat dari kerusakan dunia dan siksa neraka, memang tidak ada pilihan lain selain mengganti sistem kufur demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yakni khilafah. Wallahu a'alam bish shawwab.[]
.
Depok, 11 Jumadil Akhir 1445 H | 24 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo
Jurnalis

Senin, 25 Desember 2023

Perubahan Regulasi dalam Demokrasi adalah Wajar



Tinta Media - Keputusan MK yang menjadi pedoman bagi KPU sehingga terjadi perubahan peraturan terkait hak pilih, Narator MMC mengatakan perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar. 

"Perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar," tuturnya dalam tayangan Serba-Serbi MMC: " ODGJ Diberi Hak Nyoblos? melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (23/12/2023). 

"Regulasi terkait pemilih kalangan ODGJ ini diduga kuat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup suara," ungkapnya. 

Menurutnya, ketetapan ODGJ boleh memanfaatkan hak pilihnya membuktikan bahwa negara memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya.
Ia beralasan negara memberi perlakuan berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lain. 

"Dalam kasus kriminalisasi ulama yang banyak terjadi beberapa tahun terakhir pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ justru dibebaskan oleh negara atau tidak diberi sanksi," cetusnya. 

"Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitas-aktivitasnya dan tidak mampu berpikir benar," terangnya. 

Menurutnya masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, lebih dari itu berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu. 

"Demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang-orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ," pungkasnya.[] Muhammad Nur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab