Tinta Media: Demokrasi
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Januari 2024

Generasi Emas Hanya Ada di Sistem Islam, Bukan Demokrasi




Tinta Media - Kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan/ dilibatkan dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Oleh karena itu, demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendukung program digitalisasi sekolah untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional, HIBAR PGRI. Untuk menciptakan efektivitas kerja stakeholder pendidikan, kecerdasan artifisial itu perlu dimanfaatkan. Maka, beliau mengingatkan agar semua elemen pemerintah Indonesia mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni.

Hetifah mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis digital berpotensi membawa manfaat, seperti peningkatan pelayanan, penghematan biaya operasional dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Namun, upaya ini harus selaras dengan pengawasan penegakan hukum yang adil. Mengambil langkah strategis seperti pengembangan platform pelayanan daring, pemantapan konektivitas digital dan penyediaan akses gratis adalah langkah yang diharapkan akan dilakukan oleh pemerintah. Dukungan kecerdasan artifisial akan membantu mempercepat proses analisis data terkait pendidikan, lebih dari sekadar itu saja.

Pendidikan adalah hal penting untuk sebuah negara. Dengan pendidikan yang bagus, akan lahir generasi yang berkualitas seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengalami perkembangan pesat. Kecerdasan buatan ini memang sangat berpengaruh atau berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat diberikan kemudahan dalam mengerjakan tugas yang biasanya dikerjakan oleh manusia, juga dalam proses informasi, pendidikan serta pengambilan keputusan serta layanan kesehatan, keamanan, dan berbagai kemudahan lainnya.

Namun, di balik semua manfaat yang didapatkan, ada juga efek atau sisi negatif yang dirasakan oleh masyarakat, walaupun dengan segala kecanggihan teknologi digital yang disuguhkan. Di antaranya, penggantian pekerjaan manusia, privasi dan keamanan data dan ketergantungan yang tidak terkontrol. 

Apalagi, ketika sekularisme masih bercokol dan menjadi landasan berpikir dan bertindak seperti saat ini, justru semuanya bisa berakibat fatal. Dalam ranah pendidikan yang berbasis sekuler, berbagai kurikulum terus berganti. Pendidikan dengan kurikulum merdeka tidak akan menghasilkan generasi yang berkualitas, justru akan menghasilkan generasi rusak karena tidak adanya penjagaan secara sistematik. Imbasnya, banyak pelecehan seksual, perundungan, serta kekerasan yang terjadi di sekolah maupun pesantren yang notabene merupakan pendidikan Islam.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan adanya kecerdasan artifisial, akan hilang ladang pekerjaan yang berimbas pada guru, sehingga guru pun harus banting setir mencari alternatif pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi kalau hanya guru honorer yang gajinya tidak seberapa, bahkan sangat minim. Kecanggihan teknologi ini juga bisa menghilangkan pekerjaan manusia secara umum, ketika semua sudah diwakili oleh mesin atau robot. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan atau AI bukan jaminan keberhasilan generasi emas, walaupun ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. 

Untuk mewujudkan generasi emas, kita harus pindah haluan menuju ke pendidikan yang dibangun atas dasar paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam berlaku untuk semua warga, tidak pilih-pilih. Islam mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk kepribadian Islam, ilmu dan teknologi, serta pemahaman Islam yang benar. 

Dengan kurikulum berbasis akidah Islam, kita akan mampu membentuk generasi tangguh dan bertakwa, karena hal itu memang tujuannya. Fasilitas pendidikan yang merata dan memadai untuk semua jenjang, wilayah dan kalangan  sangat diprioritaskan sebagai bentuk kewajiban seorang khalifah dalam mengurus urusan rakyat. 

Semua fasilitas pendidikan adalah dari hasil kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk disalurkan lagi kepada rakyat, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. Guru yang berkualitas dan profesional dipersiapkan dengan upah yang tinggi, karena begitu besarnya jasa seorang guru dan begitu besarnya Islam memuliakan seorang guru. 

Islam pun sangat memperhatikan masalah infrastruktur pendidikan yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar yang baik, mulai dari laboratorium, perpustakaan, dan semua sarana yang berkaitan dengan pendidikan. Dari segi biaya, Islam sama sekali tidak memberatkan rakyat, namun justru memudahkan dengan biaya yang murah, bahkan gratis.

Begitulah ketika konsep pendidikan berdasarkan akidah Islam. Semua pihak akan mendapatkan manfaat dan kemudahan. Hasilnya pun akan melahirkan generasi unggul yang berkualitas, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Kuncinya adalah dengan adanya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Jadi, jelaslah bahwa kecerdasan artifisial jika tidak ditunjang dengan penerapan syariat secara kaffah, maka tidak akan mampu mencapai tujuan yang hakiki, yaitu mencetak generasi emas sebagai agen perubahan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 21 Januari 2024

Saat Pungli Menjadi Nadi dalam Sistem Demokrasi



Tinta Media - Kian hari kasus pungli kian tidak terkendali. Terlebih dalam badan pemerintahan yang sarat akan berbagai kepentingan. Salah satunya pungli dalam kasus korupsi yang makin tampak. 

Pungli, Niscaya dalam Sistem Demokrasi 

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Albertina Ho mengungkapkan ada perkiraan nilai pungutan liar di Rumah Tahanan (Rutan) KPK mencapai Rp6,148 miliar (radarbogor.com, 16/1/2024). Disebutkan juga bahwa ada 93 pegawai KPK yang "bermain" di dalamnya. 

Dalam proses pemeriksaan, ada 169 saksi yang diperiksa dalam kasus pungli rutan KPK, ada pihak internal dan eksternal KPK. Termasuk di antaranya para tahanan yang sudah menjadi narapidana. Dari 169 saksi yang dimintai keterangan, Dewan Pengawas KPK berhasil mengumpulkan bukti dalam bentuk dokumen. Uang yang diterima paling sedikit Rp 1 juta dan paling banyak Rp 504 juta. Pegawai KPK yang diduga melanggar dikenai pasal penyalahgunaan wewenang dan berhadapan dengan Majelis Sidang Kode Etik, 17 Januari 2024 (Radar Sukabumi, 16/1/2024). 

Fakta ini menunjukkan betapa buruknya tabiat penguasa saat wewenang dan jabatan tidak digunakan sebagai alat untuk melayani rakyat. Justru yang ada sebaliknya. Kekuasaan digunakan untuk mengembangbiakkan kejahatan demi memuluskan kepentingan-kepentingan yang sarat dengan keserakahan. 

Pungli alias pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum tidak  bertanggung jawab mencerminkan buruknya watak penguasa sistem demokrasi. Kepentingan uang mendominasi setiap keputusan dan kebijakan. Parahnya lagi, hal tersebut dianggap lumrah karena begitu banyak pelaku yang mewajarkannya. 

Sistem hukum yang berlaku pun memberikan ruang yang luas tentang masalah pungli selama ini. Sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera menjadikan para pelaku merasa "aman-aman" saja saat tertangkap melakukan pungli. Karena sistem hukum yang ada pun rawan kasus "suap menyuap" dan jual beli kasus. Sehingga politik kepentingan uang menjadi hal yang wajar terjadi. 

Inilah watak sistem demokrasi kapitalisme. Semua kebijakan dan ketetapan yang ada selalu berorientasi pada keuntungan materi semata. Sementara tujuan yang utama bak slogan semata. Tengok saja, lembaga KPK yang notabene sebagai lembaga anti rasuah, justru ramai kasus suap dan pungli. Tak terkecuali para narapidana yang telah dijebloskan ke bui pun masih bisa bermain uang. Rendahnya pengawasan dari negara menjadi salah satu penyebab maraknya kasus-kasus semacam ini. Di sisi lain, pertahanan iman setiap individu pun sangat rendah. 

Konsep nakal tentang materi terus merusak watak individu. Jelaslah, sekularisme begitu membabi buta merusak setiap pemahaman. Tidak peduli lagi standar benar salah ataupun halal haram. Yang ada, semua dihalalkan demi mendapatkan kesenangan dan keuntungan semata. Wajar saja, kerusakanlah yang pasti terjadi. 

Penjagaan Islam 

Islam menetapkan konsep kepemimpinan yang jelas. Pemimpin adalah pengurus seluruh urusan rakyat. Pondasi iman dan takwa mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena dengan konsep tersebut, watak pemimpin mampu terjaga dengan utuh. Setiap kebijakan yang ditetapkan senantiasa tertuju pada penjagaan rakyat. Semua dilakukan demi meraih ridha Allah SWT. 

Rasulullah SAW. bersabda, 

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari). 

Masalah pungli dan korupsi adalah masalah sistemis yang dapat tuntas disolusikan dengan penerapan syariat Islam secara sempurna. Syariat Islam yang menyeluruh hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah institusi khilafah. 

Dalam institusi khilafah, khalifah akan menerapkan cara preventif (pencegahan) dan kuratif (penuntasan masalah) dengan efektif. Pertama melalui proses pengawasan dan penguatan aspek ruhiyah para penguasa. Sehingga setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan senantiasa mengacu pada konsep halal haram yang shahih. Kedua, pengawasan masyarakat. Kontrol sosial mampu mengurangi atau bahkan mengeliminasi setiap perbuatan zalim, termasuk korupsi, rasuah atau sejenisnya. 

Masyarakat yang memahami syariat Islam akan senantiasa melakukan amar ma'ruf dan mengingatkan penguasa agar senantiasa menjalankan amanahnya sesuai pagar syariah. Ketiga, adanya pengawasan negara. Negara menjadi hal utama dalam mengatasi kasus korupsi. Setiap kebijakan hukum dan sistem sanksi yang diterapkan dalam khilafah, disesuaikan dengan aturan syara'. Setiap hukum dan sistem sanksi diterapkan agar mampu memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Sistem Islam-lah satu-satunya support system yang mampu menghentikan mata rantai kasus korupsi dan rasuah yang kini semakin parah. 

Demikianlah Islam menjaga kemuliaan setiap manusia. Penguasa amanah, rakyat terjaga dan hidup pun berkah.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor 

Jumat, 19 Januari 2024

Muncul Ajakan Mewaspadai Khilafah, MMC: Yang Seharusnya Diwaspadai Demokrasi



Tinta Media - Menanggapi munculnya ajakan untuk mewaspadai narasi kebangkitan Khilafah, Narator Muslimah Media Center (MMC) mengingatkan, yang seharusnya diwaspadai adalah sekularisme kapitalisme dengan sistem demokrasinya, bukan Khilafah. 

"Justru yang seharusnya diwaspadai dan dienyahkan adalah ideologi transnasional bernama sekularisme kapitalisme yang ditancapkan ke negeri ini melalui sistem demokrasi," ujarnya dalam Serba-serbi: Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai? Di kanal Youtube MMC, Selasa (16/1/2024). 

Narator lanjut menjelaskan, demokrasi adalah buatan manusia yang merupakan hasil berpikir orang-orang Eropa setelah mengalami penindasan oleh kerajaan dengan mengatasnamakan agama  yang bekerja sama dengan pihak gereja pada masa itu. 

"Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan manusia berdaulat atas hukum,"  jelasnya. 

Padahal, terang Narator, Allah Swt. telah memberi peringatan dalam Surah Thaha ayat 124 bahwa siapa saja yang berpaling dari peringatan (ayat-ayat) Allah maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang sempit. 

"Dan terbukti, dalam penerapan sistem sekularisme kapitalisme demokrasi, umat hanya merasakan kerusakan nyata di berbagai bidang. Kezaliman oligarki di mana-mana, kebatilan tersebar luas atas nama kebebasan, negara lepas tanggung jawab terhadap urusan rakyat dan para kapital berkuasa atas segala sesuatu," bebernya. 

Maka, kata Narator, sangat aneh ketika ada seorang muslim tapi menolak Khilafah dengan membuat narasi yang menyesatkan pemikiran umat terkait Khilafah. Dan di saat yang sama, ucapnya,  malah membela mati-matian sekularisme kapitalisme demokrasi. Padahal sistem tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasul saw., tidak ada dalam syariat Islam, bertolak belakang dengan akidah Islam dan hanya membawa kerusakan," urainya. 

Sebaliknya, ia pun menegaskan, seharusnya Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman, tapi sebuah kewajiban yang harus diperjuangkan. 

"Umat harus menyadari bahwa Khilafah adalah mahkota kewajiban. Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyuddin  an-Nabahni dan Imam al-Ghazali," ucapnya. 

Imam al-Qurtubi pun, terangnya,  menyebut bahwa Khilafah sebagai 'adzhamul wajibat, yaitu kewajiban yang paling agung. 

"Sebab tanpa adanya institusi Khilafah (sebagai pelaksana), maka hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan sistem politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan dan sistem sanksi tidak akan pernah bisa terwujud," terangnya. 

Tak hanya itu, ucapnya, dengan penerapan syariat secara praktis oleh negara Khilafah, akan menjadikan alam semesta merasakan kerahmatan Islam sebagaimana disebut dalam  Al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 107. 

"Juga datangnya keberkahan dari langit dan bumi untuk penduduk negeri berdasarkan al-Quran surah al-'Araf ayat 96," tandasnya. 

Sebelumnya, dikabarkan bahwa Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf  mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk mewaspadai narasi-narasi kebangkitan Khilafah yang bertepatan dengan momentum 100 tahun keruntuhan Khilafah Islamiyah.[] Muhar

Senin, 15 Januari 2024

Antara Islam dan Demokrasi



Tinta Media - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD mengemukakan, ketidakpastian hukum merupakan salah satu penyebab terjadinya kemunduran di Indonesia.

Ia mencontohkan investasi yang tidak maksimal dan pembangunan ekonomi yang tidak merata di negeri ini. "Karena salah satunya itu di Indonesia terlalu banyak ketidakpastian hukum," kata Mahfud MD. Perbaikan penegakan hukum, menurutnya, harus dilakukan secara komprehensif, baik dari segi regulasi, implementasi, serta birokrasi penegakan hukumnya. (Kompas.com, 6/1/2023)

Demokrasi Sistem Cacat

Indonesia merupakan salah satu negara dunia yang menerapkan Demokrasi. Sistem politik Demokrasi merupakan anak buah Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Demokrasi memberi kewenangan pada manusia untuk berdaulat membuat hukum sendiri. Maka tak heran, hukum-hukum yang dihasilkan banyak berpihak pada yang berkuasa.

Wewenang manusia membuat hukum jelas tidak disandarkan pada parameter halal dan haram. Aturan dibuat atas dasar manfaat. Konsekuensinya, hukum tidak bersifat baku dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai manfaat yang dicapai. Sehingga sering kali terjadi perselisihan, sebab pandangan baik buruk yang bersifat fleksibel atau tidak pasti.

Mirisnya lagi, hukum dalam demokrasi dapat diperjualbelikan. Asas manfaat tampak nyata ketika hukum dibuat hanya untuk segelintir kelompok. Kepentingan oligarki berjalan mulus dengan modal yang mereka berikan untuk membeli hukum. Rakyat lah yang menjadi korban. Tanpa kekuatan, rakyat dipaksa menerima aturan yang tak sedikit pun berpihak pada mereka. Justru rakyat adalah pihak yang dirugikan.

Demokrasi banyak menciptakan undang-undang kontroversial. Bukannya menyelesaikan problematika rakyat dan menciptakan kesejahteraan, justru undang-undang menjadi alat membungkam rakyat. Ruang gerak rakyat dibatasi. Sehingga tak heran problematika dalam demokrasi kian menumpuk dan menjadi-jadi.

Ini bukan sesuatu yang mencengangkan. Hakikatnya sistem politik Demokrasi dijalankan oleh korporasi. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak memenuhi hasrat oligarki. Nama rakyat hanya digunakan dalam pesta lima tahunan demokrasi. Setelah itu, rakyat tidak dapat berbuat di atas kekangan kebijakan pemerintah yang pro oligarki.

Begitulah. Nampak jelas kecacatan sistem politik Demokrasi. Dari asasnya saja sudah tidak beres. Tentu saja ketidakberesan yang menimbulkan ketidakpastian akan terus merambat ke berbagai peraturan yang ditegakkan sistem ini. Maka perbaikan penegakan hukum bagaimanapun ketika asasnya sudah salah, maka kecacatan akan terus melekat dalam sistem ini.

Kesempurnaan Hukum Islam

Sistem demokrasi jelas berbeda dengan sistem Islam. Aturan Islam berasal dari Rabb Semesta Alam Yang Maha Tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya. Aturan Islam bersifat baku dan tidak akan berubah sesuai kepentingan masing-masing.

Islam melarang tegas penerapan hukum selain hukum Islam, yakni hukum yang dibangun berlandaskan hawa nafsu manusia. Sehingga, hukum Islam ini bersifat adil dan satu-satunya hukum yang layak diterapkan mengatur manusia.

Aturan Islam juga memandang jelas halal-haram juga baik-buruk. Tidak dapat diputarbalikkan atau bahkan dicampuradukkan antara keduanya. Apalagi berubah karena adanya kepentingan yang dicapai. Hukum Islam bersifat tegas. 

Dan yang perlu diketahui, hukum Islam tidak dapat diperjualbelikan. Tidak dapat dibeli untuk memenuhi nafsu kekuasaan satu pihak dan menindas pihak yang lain.

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu pun aspek yang luput dari hukum Islam. Begitu sempurna Islam mengatur tanpa berpihak pada suatu golongan tertentu. Semua berlaku bagi umat manusia.

Negara yang menerapkan sistem Islam akan merasakan kesejahteraan serta kemajuan sebab hukum Islam bersifat pasti. Tidak seperti Demokrasi yang akan terus mengalami kemunduran serba hukum yang bersifat tidak pasti.

Oleh : Khansa Nadzifah
Sahabat Tinta Media


Selasa, 09 Januari 2024

Ilusi Demokrasi Menyelesaikan Konflik Agraria



Tinta Media - Penyelesaian urusan sertifikat tanah masyarakat ditargetkan selesai pada tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Beliau menyampaikan hal tersebut saat membagikan sertifikat tanah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada hari Rabu 27/12. Menurut Presiden Joko Widodo, sertifikat tanah sangat penting karena berperan sebagai bukti atas kepemilikan lahan yang dengan itu bisa meredam konflik atau sengketa tanah. 

Menurutnya, penyelesaian masalah sertifikat tanah masyarakat bukanlah perkara yang mudah. Terbukti sejak tahun 2015, ada sebanyak 126 juta lahan di seluruh penjuru tanah air yang harus di sertifikatkan. Hanya saja, baru 40 juta lahan yang memiliki sertifikat tanah, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) per tahun hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat tanah. Itu artinya, 80 juta belum bersertifikat dan itulah salah satu penyebab timbulnya konflik lahan, entah antara saudara dengan saudaranya, sesama tetangga, atau masyarakat dengan perusahaan swasta. 

Benarkah pembagian sertifikat tanah bisa menyelesaikan konflik agraria? Apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik Agraria selama ini? 

Lahan atau tanah adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup sejahtera dengan memiliki tempat tinggal serta lahan untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pengolahan lahan pertanian dan perkebunan. 

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, dan papan. Masalah sertifikat tanah adalah kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pengakuan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut. Namun, faktanya persoalan agraria terkait dengan hak milik atau sertifikat tanah masih belum bisa diselesaikan dengan baik. Akhirnya, masih sering timbul konflik agraria di tengah masyarakat. 

Jika ditelaah lebih dalam, permasalahannya bukan sekadar masalah sertifikat tanah, tetapi lebih kepada hukum tata kelola lahan yang diterapkan oleh sistem hari ini. Konteksnya memang sudah berbeda, karena jika punya sertifikat tanah pun bukan tidak mungkin akan terus terjadi konflik agraria. Sebab, yang banyak terjadi saat ini adalah perampasan hak atas tanah masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang masih awam tentang apa itu sertifikat tanah. Sehingga, muncullah sekelompok orang yang punya modal besar dengan leluasa membeli lahan untuk kepentingannya, atau bahkan bisa jadi mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya. 

Bahkan, orang yang sudah turun-temurun tinggal di suatu daerah sejak lama bisa dengan mudah digusur dengan alasan untuk kemajuan pembangunan. Ini melihat pada kasus Rempang dan kasus-kasus serupa di beberapa daerah. 

Kasus agraria masih mencengkeram negeri dan hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik. Masyarakat pun belum mendapatkan keadilan. Keadilan itu nihil didapatkan di sistem yang masih menerapkan demokrasi sekularisme liberal. Paham itulah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Oleh karena itu, jelas bahwa pemberian sertifikat tanah bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria. 

Sekularisme liberal adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang melahirkan kebebasan berpendapat dan berperilaku. Paham tersebut mengakibatkan para korporasi dengan bebas bisa memiliki lahan seluas-luasnya sesuai kehendaknya selagi ada uang untuk membelinya. Aktivitas tersebut dilegalkan oleh pemerintah saat ini. Rakyat kecil akhirnya semakin terpinggirkan, sedangkan pemerintah atau negara hanya menjadi regulator bagi korporasi, serta menjadi pelayan mereka. Negara justru membantu para elite ketika mereka membutuhkan lahan untuk kepentingannya. 

Begitulah kenyataan yang terjadi jika hukum tentang tata kelola tanah dan kepemilikan tanah tidak memakai hukum yang sesuai syariat, malah mengikuti hukum buatan manusia yang lemah dan terbatas. Dari sanalah akhirnya timbul berbagai konflik agraria kronis seperti saat ini yang terus membelenggu. Ditambah, untuk membuat sertifikat tanah juga butuh biaya lumayan besar yang memberatkan rakyat kecil. Disahkannya UU Cipta Kerja juga menambah derita rakyat, sebaliknya sangat menguntungkan pihak asing atau swasta. 

Jelas sekali bahwa yang harus diubah adalah sistemnya. Karena itu, perlu diterapkan sistem buatan Allah sebagai solusi hakiki problematika kehidupan. Dalam hal ini adalah tentang hak rakyat dalam mengelola dan memiliki tanah. Syariat Islam mengatur tentang harta kepemilikan terkait lahan sebagai harta sesungguhnya, tidak ada kebebasan kepemilikan seperti dalam sistem demokrasi. 

Harta dari sumber daya alam akan diurus sesuai apa yang disyariatkan Allah, yaitu menjadi tiga harta kepemilikan: kepemilikan umum, individu, dan negara. Sumber daya alam tidak boleh dikelola atau dimiliki secara bebas oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, tidak akan terjadi perampasan lahan secara halus yang berkedok investasi dan lain sebagainya. 

Sebaliknya, sistem Islam akan melahirkan individu dan pemimpin yang taat, bertakwa, dan takut kepada Allah. Untuk terwujudnya keadilan bagi si miskin yang tersisihkan, maka sistem kufur demokrasi harus dibuang dan menggantinya dengan sistem Islam buatan Allah Swt. yang sudah pasti mampu memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 02 Januari 2024

Dakwah dan Mengerahkan Tentara untuk Jihad Fisabilillah adalah Kewajiban Seluruh Umat Islam



Tinta Media - "Dakwah dan mengerahkan tentara untuk jihad fisabilillah adalah kewajiban kita semua," Ulama Aswaja Garut Jawa Barat Kiyai Ajengan Ustadz Suwar Abu Zulfan dalam acara Multaqo Ulama Jawa Barat, yang dihadiri ulama dan tokoh masyarakat dari berbagai kota di Jawa Barat secara Hybrid, dalam Muhasabah dan Tausiyah Akhir Tahun 2023: Tinggalkan Sistem Jahiliyah, Sekularisme -Kapitalisme - Demokrasi, Tegakkan Islam Kaffah dalam Naungan Khilafah," melalui kanal Youtube Rayah TV, Rabu (27/12/2023). 

Ia mengatakan, para tentara, para militer, menjadi orang-orang yang mulia disisi Allah. "Allah menjanjikan ketika kalian jihad di jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa kalian akan mendapatkan tempat yang terbaik di surga Adn," tegasnya. 

Selain seruan jihad pada para tentara dan militer, ia juga menyeru untuk segera memberikan loyalitas pada dakwah, mendukung syariah dan Khilafah. "Dan seharusnya kita bersama sama menegakkan Khilafah," pungkasnya.[] kang Apin.

Selasa, 26 Desember 2023

Renungan Usai Nonton Debat Calon Penguasa Demokrasi


.
Tinta Media - Kita semua mestilah dapat merasakan kualitas individu calon penguasa demokrasi dan calon wakil penguasa demokrasi dalam acara debat yang dipertontonkan. Namun jangan sampai hal itu membuat kita, kaum Muslim, lupa bahwa mereka semua adalah calon penguasa dan calon wakil penguasa sistem kufur demokrasi.
.
Maka, bila berhadapan dengan sistem kufur ini, yang dikedepankan haruslah ibadah nahyi mungkar (menolak kemungkaran) bukan maksiat amar mungkar (menyeru kemungkaran).
.
Kritik tajam atau sindir tipis-tipis hanyalah cara teknis dalam ibadah nahyi mungkar, keduanya sama baiknya selama sesuai dengan kondisinya masing-masing. Yang keliru itu, membenarkan kebatilan demi mendapatkan dukungan, simpatik, kerelaan lawan bicara ataupun publik. Karena itu sudah terkategori amar mungkar.
.
Mendukung salah satu calon penguasa demokrasi maupun wakil calon penguasa demokrasi termasuk amar mungkar, termasuk kebatilan. Karena, demokrasi itu sistem kufur. Haram mengamalkan/menerapkan, menjaga, dan menyebarluaskannya.
.
Bila terkesan menonjolkan keunggulan salah satu calon penguasa maupun calon wakil penguasa sistem kufur demokrasi tanpa menjelaskan kufurnya demokrasi, dikhawatirkan dianggap publik merekomendasikan salah satu calon penguasa maupun wakil calon penguasa demokrasi, sehingga mereka pun memilihnya.
.
Bila tidak berani menjelaskan kekufuran demokrasi, baiknya tidak perlu memuji salah satu calon penguasanya maupun salah satu calon wakil penguasanya, itu lebih selamat bagi kita di sisi Allah SWT.
.
Dan, bila bangsa ini ingin selamat dari kerusakan dunia dan siksa neraka, memang tidak ada pilihan lain selain mengganti sistem kufur demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yakni khilafah. Wallahu a'alam bish shawwab.[]
.
Depok, 11 Jumadil Akhir 1445 H | 24 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo
Jurnalis

Senin, 25 Desember 2023

Perubahan Regulasi dalam Demokrasi adalah Wajar



Tinta Media - Keputusan MK yang menjadi pedoman bagi KPU sehingga terjadi perubahan peraturan terkait hak pilih, Narator MMC mengatakan perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar. 

"Perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar," tuturnya dalam tayangan Serba-Serbi MMC: " ODGJ Diberi Hak Nyoblos? melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (23/12/2023). 

"Regulasi terkait pemilih kalangan ODGJ ini diduga kuat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup suara," ungkapnya. 

Menurutnya, ketetapan ODGJ boleh memanfaatkan hak pilihnya membuktikan bahwa negara memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya.
Ia beralasan negara memberi perlakuan berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lain. 

"Dalam kasus kriminalisasi ulama yang banyak terjadi beberapa tahun terakhir pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ justru dibebaskan oleh negara atau tidak diberi sanksi," cetusnya. 

"Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitas-aktivitasnya dan tidak mampu berpikir benar," terangnya. 

Menurutnya masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, lebih dari itu berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu. 

"Demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang-orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Rabu, 13 Desember 2023

Butet Dilarang Mementaskan Teater Satir Politik, Ahmad Sastra: Andai Benar, Ini Kemunafikan Demokrasi



Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad sastra menilai bahwa dugaan adanya larangan Butet Kartaredjasa untuk mementaskan teater satir politik merupakan paradoks atau kemunafikan demokrasi dalam membungkam kebebasan berpendapat. 

”Andaikan benar yang alami oleh Butet, seperti itulah sesungguhnya wajah paradoks atau kemunafikan demokrasi dalam membungkam kebebasan berpendapat,” ungkapnya dalam Kabar Petang: Loh! Butet “Dibungkam” Bicara Politik di Pentas Teater? Melalui Khilafah News Youtube Channel, Senin (11/12/2023). 

Menurut Ahmad, wajah paradoks atau kemunafikan demokrasi menjadikan ungkapan berbeda dengan kenyataan. 

“Wajah paradoks demokrasi yang selama ini selalu dibangga-banggakan, diperbincangkan di mana-mana bahkan juga diharapkan akan memperbaiki negeri tapi fakta sebenarnya adalah kebalikannya. Berbeda gitu antara apa yang diungkapkan dengan kenyataan," ujarnya. 

"Misalnya di dalam pemilu itu kampanyenya kesejahteraan nanti faktanya justru kemiskinan, teriaknya itu tentang kebebasan berpendapat faktanya justru pembungkaman, khususnya ketika mulai mengkritik rezim. Dari dulu juga sudah seperti itu, kemudian salah satu kompetensi abad 21 dalam bidang pendidikan yang  diprogramkan negara adalah membangun critical thinking, tapi justru sekarang malah dilarang,” jelasnya. 

Menurutnya, berbagai kebijakan dibuat untuk membungkam kebebasan berpendapat. “Faktanya di lapangan setelah lahir undang-undang ITE, ruang digital atau ruang publik jadi dibatasi,” bebernya. 

Menurut Ahmad, semua terjadi karena demokrasi dikendalikan oleh kepentingan oligarki. “Itulah masalahnya sehingga kritik-kritik politis dianggap mengancam kedudukan dan status quo,” ungkapnya. 

Ahmad mengutip perkataan Plato, bahwa “Demokrasi bisa melahirkan oligarki bahkan anarki,” tuturnya. 

“Sebenarnya memang gen bawaan kekuasaannya seperti itu, demokrasi sekalipun yang namanya kekuasaan itu pengen berlama-lama, kalau perlu ya berkuasa sampai mati. Kalau perlu, mati pun bisa berkuasa melalui anaknya atau siapa gitu,” jelasnya. 

Ahmad mencontohkan bahwa dirinya, HTI dan FPI di antara beberapa pihak yang menjadi korban rezim karena melakukan kritik terhadap kebijakan rezim. 

“Saya sendiri adalah salah satu korban rezim orde baru,  saya dipenjara tahun 98 atau 99 hanya karena menyuarakan kritik kenaikan minyak goreng. HTI dan FPI  dicabut BHP-nya atau dibubarkan, itu kan sebenarnya dua ormas Islam yang memang selama ini kritis, tapi kritisnya sangat ilmiah bahkan kalau dipelajari itu bisa membantu pemerintah sebenarnya," bebernya. 

"Bagaimana HTI dan FP itu misalnya anti kapitalisme, anti komunisme, anti oligarki, pro kepada kesejahteraan rakyat, bagaimana sumber daya alam itu dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk rakyat serta tidak dikuasai oleh segelintir orang, kemudian bagaimana Islam itu harus menjadi standar hukum halal dan haram bukan seperti hari ini, semua berorientasi kepada materialisme,” tandasnya. 

Pandangan Islam 

Menurutnya, Islam memberikan ruang begitu luas dan penghargaan tinggi kepada para ulama, para ilmuwan, para seniman dan berbagai profesi lainnya dengan berkontribusi positif untuk  membangun dan mengisi kesempurnaan peradaban Islam.

“Islam memberikan ruang begitu luas dan penghargaan tinggi kepada para ulama, para ilmuwan, para seniman untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Para seniman mengembangkan seni-seni yang meningkatkan iman, ilmuan mengembangkan sains yang mengisi peradaban Islam, ulama mengisi studi Islam dan ini sudah jelas di dalam lembaran sejarah peradaban Islam,” pungkasnya. [] Evi

Selasa, 12 Desember 2023

Politik Demokrasi Hanya untuk Kekuasaan, Perubahan Hakiki Hanya dengan Islam


Tinta Media - Bertebaran makna politik di sepanjang jalan yang memaknai politik hanya bersenang-senang untuk meraih kekuasaan. Politik riang gembira, politik jalan ninja kita atau pernyataan lainnya yang tidak memahami politik sebagai aktivitas untuk mengurusi umat. Berjoget riang gembira dengan bagi-bagi amplop atau bingkisan sembako menjelang pemilu dianggap langkah pragmatis untuk meraih simpati rakyat agar mau menjatuhkan pilihannya. Aturan dibuat untuk dilanggar, money politik dianggap sedekah yang dilakukan caleg atau capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan. Blusukan dan janji-janji manis ditebar dengan memberikan harapan palsu pada rakyat yang menginginkan perubahan dan bisa hidup srjahtera. Namun, pergantian aktor politik atau rezim tidak membawa angin perubahan ke arah yang lebih baik, malah ambisi untuk terus berkuasa ditampakkan secara vulgar  oleh mereka yang sudah menikmati kue kekuasaan. Koalisi dilakukan hanya untuk menggalang kekuatan.

 

 

 

Kedaulatan ditangan rakyat adalah ide utopis, janji demokrasi yang tidak pernah terbukti, faktanya kedaulatan ditangan oligarki. Rakyat diberi angan-angan semu untuk menentukan nasib mereka sendiri. Nyatanya, atas nama rakyat banyak aturan dibuat hanya menguntungkan oligarki, tapi merugikan rakyat. Suara buruh yang menyuarakan perbaikan nasib mereka tidak ditanggapi. Suara oligarki lebih didengar dan diberi jalan untuk menguasai negeri yang memiliki kejayaan dan keindahan yang luar biasa. Masihkah sistem demokrasi layak dipertahankan jika ingin sebuah perubahan hakiki.

Sejarah membuktikan demokrasi sistem yang tidak manusiawi. Pergantian rezim tidak membawa perubahan hakiki. Setiap rezim menginginkan politik dinasti yang menjadikan anak keturunannya terus berkuasa, meskipun menghalalkan segala cara bahkan melanggar prinsip-prinsip dalam berdemokrasi. Ambisi kuat untuk mempertahankan kekuasaan ditunjukkan dengan menyalahgunakan kekuasaan, bahkan dengan mengubah aturan yang mereka buat sendiri.

Tentunya hanya dengan Islam kita berharap untuk melakukan perubahan hakiki, yang memaknai politik tidak hanya berebut kekuasaan, tapi lebih pada usaha untuk mengurusi rakyat agar terpenuhi hak dan kebutuhan mereka untuk bisa hidup aman dan sejahtera. Keadilan akan dirasakan oleh semua rakyat dengan menerapkan hukum dari Sang Pencipta manusia, hidup dan alam semesta. Sebuah sistem yang menjaga jiwa, keamanan, kehormatan manusia. Menjaga rakyat dan juga pemimpinnya dari keburukan, bujukan setan yang terkutuk dengan selalu mengaitkan setiap perbuatan dengan semua perintah dan larangan-Nya agar Allah SWT. Ridho pada mereka. Pemimpin yang amanah dan dicintai rakyat akan mampu membawa gerbong perubahan menuju Indonesia maju.

Sementara, politik demokrasi hanya jalan di tempat, Indonesia maju hanya janji semu yang jauh dari kenyataan. Bagaimana bisa Indonesia maju ditopang oleh hutang riba yang terus menggunung tanpa ada usaha untuk menyelesaikannya. Biaya politik yang tinggi membuat para pejabat yang terpilih menyalahgunakan kekuasaan dengan mencuri uang rakyat. Korupsi menggurita karena hikum buatan manusia telah menyuburkannya. Hukum tidak tegas dan memberi celah bagi koruptor, pencuri uang rakyat terbebas dari hukuman. Kehidupan sekuler membuat hidup semakin sulit karena pintu berkah dari langit dan bumi tertutup bagi penduduk suatu negeri yang lebih memilih diatur dengan hukum peninggalan kolonial penjajah.

Politik kotor hanya demi kekuasaan harus diganti dengan politik bersih dan mulia dalam sistem Islam agar kehidupan Islami bisa terwujud untuk menciptakan penduduk suatu negeri yang beriman dan bertakwa. Allah SWT. Membuka pintu berkah langit dan bumi, karena penduduknya yang beriman dan bertakwa.  “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Surat Al-A’raf Ayat 96). Saatnya beralih ke politik Islam untuk perubahan hakiki dengan meninggalkan politik demokrasi yang hanya untuk ambisi merebut kekuasaan. Politik dalam sistem Islam yang menghasilkan pemimpin amanah untuk mengurusi rakyat karena dorongan iman dan takwa. Begitu pula rakyat peduli dan mencintai pemimpinnya dengan terus melakukan muhasabah agar pemimpinya bisa tetap lurus menjalankan tugasnya dengan menerapkan Islam secara kaffah.

Seorang muslim yakin bahwa penerapan Islam secara kaffah akan membawa kebaikan. Sebaliknya meninggalkan dan mendustakan syariat-Nya, hanya akan mendatangkan keburukan dan azab yang pedih. Kehidupan dunia yang hanya sementara tidak layak dijadikan tujuan, karena semua ini akan segera tinggalkan. Semua yang ada di dunia akan menjadi cerita pada waktunya nanti saat kita harus kembali kepada-Nya. Sementara, kehidupan akhirat akan menjadi nyata dan kita akan tinggal selama-lamanya. Lalu bagaimana bisa kita meninggalkan Islam saat berpolitik dan mati-matian mengejar kekuasaan dan nikmat dunia yang segera kita tinggalkan. Sudah saatnya kita berpikir cerdas untuk mengatur hidup kita dengan Islam termasuk juga saat kita berpolitik agar Allah SWT. Ridho dengan apa yang kita kerjakan sehingga kita akan mendapatkan kebaikan di dunia terlebih di akhirat nanti.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Jumat, 08 Desember 2023

Ridwan Kamil Sebut Demokrasi Tidak Memilih Orang Cerdas, Om Joy: Inilah Kelemahan Sistem Kufur Jebakan Kafir Penjajah

Tinta Media - Merespon pernyataan Ridwan Kamil yang kini menjadi tim sukses salah satu paslon capres-cawapres yang menyebut, "Demokrasi tidak selalu memilih orang pintar, cerdas. Demokrasi yang kita pilih adalah memilih orang yang disukai", Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) menilai ini merupakan pengakuan jujur dari praktisi demokrasinya sendiri akan kelemahan sistem kufur jebakan kafir penjajah tersebut.

"Pengakuan jujur dari praktisi demokrasinya sendiri akan kelemahan sistem kufur jebakan kafir penjajah tersebut," ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (7/12/2023).

Om Joy menegaskan bahwa dalam Demokrasi adalah memilih orang yang disukai, itulah kelemahan fatal dari sistem pemerintahan kufur demokrasi dalam memilih kepala negaranya. 

"Orang yang tidak memiliki kapasitas bisa terpilih menjadi kepala negara dan wakilnya, karena yang penting populer dan disukai," ulasnya.

Lebih parahnya lagi, ungkapnya, setelah menjabat kepala negara tersebut umumnya membuat kebijakan yang lebih disukai oligarki, asing, dan aseng.

 "Meski merugikan rakyat yang telah memilihnya atas dasar rasa suka itu," terangnya.

Berbeda dengan demokrasi, menurut Om Joy, calon kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam khilafah, harus memenuhi tujuh syarat bai'at in'iqad (baiat pengangkatan).

"Syarat in'iqad itu, yakni: lelaki, Muslim, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/tidak didikte oligarki, asing, dan aseng), adil (menempatkan segala sesuatu sesuai syariat Islam), dan mampu mengemban amanah kepemimpinan," imbuhnya.
.
Walhasil katanya, hanya yang memenuhi syarat bai'at in'iqad sajalah yang berhak ikut pemilu dan dipilih oleh rakyat. 

"Jadi, bisa dipastikan siapa saja yang disenangi rakyat sehingga diba'iat adalah benar-benar pemimpin yang bukan hanya populer dan disukai," simpulnya.

Lebih lanjut, Om Joy menjelaskan bahwa pemimpin dalam Islam itu benar- benar memenuhi standar kelayakan sebagai orang yang berkewajiban mengurus urusan rakyat.

 "Dengan syariat Islam secara kaffah di dalam negeri dan menjadikan dakwah dan jihad sebagai asas politik luar negerinya," pungkasnya.[] Muhammad Nur

𝐏𝐄𝐍𝐆𝐀𝐊𝐔𝐀𝐍 𝐉𝐔𝐉𝐔𝐑 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐏𝐑𝐀𝐊𝐓𝐈𝐒𝐈 𝐀𝐓𝐀𝐒 𝐊𝐄𝐋𝐄𝐌𝐀𝐇𝐀𝐍 𝐃𝐄𝐌𝐎𝐊𝐑𝐀𝐒𝐈

Tinta Media - Pernyataan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang kini menjadi tim sukses salah satu paslon capres-cawapres yang menyebut, "Demokrasi tidak selalu memilih orang pintar, cerdas. Demokrasi yang kita pilih adalah memilih orang yang disukai," merupakan pengakuan jujur dari praktisi demokrasinya sendiri akan kelemahan sistem kufur jebakan kafir penjajah tersebut. 
.
Sekali lagi saya tegaskan, itulah kelemahan fatal dari sistem pemerintahan kufur demokrasi dalam memilih kepala negaranya. Sehingga orang yang tidak memiliki kapasitas bisa terpilih menjadi kepala negara dan wakilnya, karena yang penting populer dan disukai. Lebih parahnya lagi, setelah menjabat umumnya membuat kebijakan yang lebih disukai oligarki, asing, dan aseng meski merugikan rakyat yang telah memilihnya atas dasar rasa suka itu.
.
Berbeda dengan demokrasi, semua calon kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam khilafah harus memenuhi tujuh syarat bai'at in'iqad (baiat pengangkatan), yakni: lelaki, Muslim, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/tidak didikte oligarki, asing, dan aseng), adil (menempatkan segala sesuatu sesuai syariat Islam), dan mampu mengemban amanah kepemimpinan.
.
Walhasil, hanya yang memenuhi syarat bai'at in'iqad saja yang berhak ikut pemilu dan dipilih oleh rakyat. Jadi, dapat dipastikan siapa saja yang disenangi rakyat sehingga diba'iat adalah benar-benar pemimpin yang bukan hanya populer dan disukai tetapi juga memenuhi standar kelayakan sebagai orang yang berkewajiban mengurus urusan rakyat dengan syariat Islam secara kaffah di dalam negeri dan menjadikan dakwah dan jihad sebagai asas politik luar negerinya.[]
.
Depok, 24 Jumadil Awal 1445 H | 7 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab