Tinta Media: Demokrasi
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Maret 2024

IJM: Upaya Menggoyang kekuasaan adalah Ciri Khas Pemerintahan Demokrasi



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan sebagai salah satu upaya untuk menggoyang kekuasaan menjelang pemilu adalah merupakan ciri khas pemerintahan demokrasi. 

“Adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan merupakan salah satu upaya menggoyang kekuasaan yang dilakukan menjelang pemilu sudah menjadi ciri khas pemerintahan demokrasi,” ulasnya dalam video Gerakan Rakyat Pendukung Pemakzulan Semakin Dahsyat? di kanal Youtube Justice Monitor, Selasa (27/2/2024). 

Menurut Agung, di sisi yang lain pihak berkuasa di banyak negara termasuk negeri ini tentunya akan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan aparat dan memberdayakan kelompok masyarakat. 

“Entah mereka digunakan untuk melindunginya maupun digunakan untuk menghadang oposannya.  Demikian seterusnya setiap rezim berganti, instabilitas politik tidak kunjung reda,” ucapnya 

Ia melihat sebagai sebuah kewajaran dalam demokrasi ketika kekuasaan digunakan untuk mengamankan posisi dan kelompok pendukungnya, bukan untuk melayani rakyat. Elite politik tidak peduli pada konflik masyarakat akibat dari keegoan masing-masing karena di mata mereka rakyat adalah kendaraan politik menuju kekuasaan. 

“Dampak dari kisruh elite politik, ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban. Terkadang rasionalitas terabaikan. Kubu pendukungnya akan membela membabi buta tanpa melihat objektif  kehidupan seluruh masyarakat,” ujarnya prihatin.

Ia juga menyampaikan bahwa kubu yang menginginkan perubahan pun berpotensi menjadi korban persekusi penguasa dan ‘bullying’ dari kelompok pendukung rezim. Aktor di balik elite politik tetap memantau situasi keberpihakan rakyat pada jagoannya. 

“Jika angin tetap mengarah pada petahana maka ia akan support penuh. Dan jika angin mengarah pada oposan, tak segan-segan ia akan beralih untuk segera mendukungnya,” bebernya. 

Saat jagoannya berkuasa, lanjutnya, ia akan menagih keberpihakan mereka dengan sejumlah perundang-undangan yang mengabaikan kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyalahgunaan kekuasaan atau ‘abuse of power’ oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kesejahteraan umum (‘public welfare’) dan peraturan hukum sering kali terjadi dalam pemerintahan demokrasi. 

“Hukum dalam demokrasi liberal mengabaikan kepentingan umum dan sering kali tidak dirumuskan secara jelas sehingga interpretasi yang sah dilakukan secara sepihak untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan. Hukum juga menjadi alat untuk mencapai maksud dan tujuan penguasa yang terkadang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Lalu sampai kapan kita seperti ini?” pungkasnya.[] Erlina

Sabtu, 02 Maret 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental?


Tinta Media - Euforia Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah berlalu beberapa hari kemarin dan prosesnya masih berlanjut. Bahkan setahun sebelumnya yaitu sejak pengumuman pasangan calon presiden, euforianya sudah hangat dirasa. Kampanye tipis-tipis pun mulai digerilyakan. Apalagi awal tahun ini.  Sudah banyak baliho berdiri di sudut-sudut kota bahkan desa juga. Iklan kampanye di media elektronik dan media sosial juga bermunculan di jam-jam aktif (kerja). Bahkan tak jarang, kampanye tatap muka dengan dalih entah acara keagamaan, seminar pendidikan, sosial seperti bagi-bagi sembako atau konser musik pun merebak dimana-mana. Pemilu dengan gelontoran dana yang tidak sedikit. Yah itulah fenomena pesta demokrasi. 

Yup, tepat tanggal 14 Februari 2024, masyarakat negeri ini yang memiliki hak pilih, telah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk periode 2024-2029. Bisa dibayangkan ya, betapa ramainya hari itu dan pastinya betapa banyak biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelenggarakannya.

Melansir dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id (1/11/2023), untuk perhelatan pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun. Anggaran bahkan sudah diberikan sejak jauh-jauh hari, sekitar 20 bulan sebelum Pemilu terselenggara. Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp 3,1 triliun. Tahun 2023, alokasi anggaran Pemilu bertambah menjadi Rp 30 triliun. Pada tahun 2024 saat terselenggaranya Pemilu, alokasinya naik lagi menjadi Rp 38,2 triliun. Wow, bukan?!

Belum lagi dengan salah satu peran penting dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) yang dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024. Perannya begitu sangat penting karena dialah yang menentukan kualitas proses pemungutan dan perhitungan suara. Bahkan hal ini, dibuat jokes di media sosial karena ini sangat membantu para pengangguran. Kenapa ? Karena barang siapa yang mendaftar menjadi PTPS, maka akan diberi gaji. Berapa gajinya? Berdasarkan dari Surat Menteri Keuangan No. 5/571/MK.302/2022, nominalnya sebesar Rp 750.000 hingga Rp 2.200.000.

Dari data di atas, seolah-olah masyarakat dimanjakan oleh negara dengan pesta yang masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun, padahal biaya yang dikeluarkan adalah biaya dari penarikan pajak ke masyarakat salah satunya. Berarti tidak gratis, ‘kan? Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa calon-calon yang akan dipilih oleh masyarakat itu, harus menggelontorkan sejumlah uang agar punya hak untuk dipilih. Berapa biayanya?

Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2014-2019 yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Raya (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, Rabu (24/5/2023) untuk menjadi calon presiden maka harus punya modal sebesar Rp 5 triliun. Sedang modal untuk menjadi calon kepada daerah hingga calon anggota DPR RI, butuh Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar. Lantas, dengan modal sebanyak itu, berapa gaji yang akan mereka dapat saat mereka jadi ?

Sesuai UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden, maka gaji presiden adalah 6 kali gaji pokok tertinggi pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden, sedang Wakil Presiden sebesar 4 kali. Sementara pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden adalah setingkat Ketua DPR dan Ketua MPR dengan gaji pokok sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga mendapatkan tunjangan sebesar Rp 32.500.000 untuk Presiden, Rp 22.000.000 untuk Wakil Presiden. Sehingga ditotal per bulan, Presiden mendapat Rp 62.740.000 sedang Wakil Presiden mendapat Rp 42.160.000. Adapun pejabat negara lainnya seperti anggota DPR akan mendapatkan minimal Rp 50 juta per bulan sudah termasuk tunjangannya. 

Dengan modal yang diberikan serta gaji yang akan didapat maka harapan besar itu ada di masing-masing calon. Namun, seperti yang kita tahu bahwa jumlah calon yang ada lebih banyak dibanding jabatan yang ada sehingga bisa dipastikan akan ada beberapa calon yang tidak terpilih padahal modal yang dikeluarkan sudah sangat banyak. 

Berkaca dari pesta demokrasi pada periode sebelumnya, maka Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam diskusi daring dengan antaranews.com (11/12/2023) mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan jelas seperti tujuan kekuasaan, materiil dan berujung kekalahan maka jelas rentan mengalami gangguan mental. Hal ini tidak hanya melanda caleg saja, tetapi juga keluarga hingga tim suksesnya. Untuk itu, mereka datang ke psikiater karena stres bahkan ada yang harus dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa.

Senada dengan itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz pada news.detik.com (26/1/2024) meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, kedua hal tersebut sangat diperlukan.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pesta demokrasi (pemilu) sangat rawan mengakibatkan gangguan mental. Karena berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, jabatan menjadi sebuah impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri/prestise, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan/fasilitas lainnya. Jadi ingat, dengan slogan seseorang bahwa dia masuk sebuah partai adalah jalan ninja baginya untuk mendapatkan keuntungan. 

Kekuatan mental para caleg, menentukan sikapnya dalam menghadapi hasil pemilihan. Dan itu didasari dari pendidikan yang dia punya. Faktanya, pendidikan hari ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat. Sehingga memandang bahwa kekuasaan dan jabatan bukanlah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Hawa nafsu mendominasi sehingga menjadikan dirinya sebagai individu yang kurang bersyukur dan bersabar yang berisiko mentalnya terganggu. Itulah akibat jika sistem Islam tidak diterapkan. Sistem yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah sehingga dia akan berupaya taat dengan aturan yang Allah telah tetapkan karena Allah selalu melihat apa yang dia kerjakan.


Oleh: Dwi R Djohan
Aktivis Muslimah

Rabu, 28 Februari 2024

PAKTA: Demokrasi Itu Instrumen Kapitalisme


Tinta Media - Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengungkapkan, sistem demokrasi itu merupakan instrumen kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan.

“Demokrasi itu merupakan instrumen bagi kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan mereka,” ujarnya dalam acara Kabar Petang: Kecurangan Pilpres Sulut Huru-Hara Politik? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (21/2/2024).

Menurutnya, melalui instrumen demokrasi ini para pemilik modal, pengusaha, oligarki dan para kapitalis bisa bebas menguasai aset-aset publik dan juga kekayaan alam dengan berbagai macam potensi luar biasa terutama di Indonesia. 

“Misalnya belum lama ini, baru saja informasinya ada 9 perusahaan menguasai tambang emas baru mendapatkan ijin tambang dan batu bara. Buka saja di situs Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), itu kan semacam lelang pertambangan. Gimana ceritanya negeri ini dilelang?” kesalnya.

Padahal lanjutnya, itu bukanlah milik orang tuanya, miliknya, bahkan bukan milik presiden. “Itu milik semua rakyat Indonesia. Ketika itu milik semua rakyat Indonesia maka tidak boleh satu pun orang melelang itu, termasuk negara,” tegasnya.

Kalau negara sampai berani melelang, bebernya, itu berarti negara melangkahi kedaulatan rakyat, melangkahi rakyat dan kelak pertanggungjawabannya besar di hadapan Allah Swt.

“Padahal kekuasaan itu dipilih masyarakat lho, mestinya dia tidak punya hak untuk menjual itu ( tambang emas dan batu bara),” ungkapnya.

Mestinya negara mengelola dengan baik dan keuntungannya dibagi secara merata ke tengah-tengah masyarakat bukan malah dijual. “Kalau diserahkan ke swasta keuntungannya untuk swasta,” bebernya.

Oligarki

Erwin juga mengungkap, siapa pun presidennya, yang akan menang hakikatnya oligarki, pengusaha, para pemilik modal, para kapitalis. “Sedangkan masyarakat yang di bawah kebagian kecil rempahnya saja,” kritiknya.

Karena menurutnya, perampasan sumber daya alam terutama di negeri ini sudah dibenarkan atau diboleh kan oleh Undang-Undang (UU) yang faktanya sudah di-setting bahwa UU tersebut untuk kepentingan kapitalis dan yang mensetting adalah penguasa.

“Para kapitalis, pengusaha, para pemilik modal, dan oligarki, mereka seperti mendapatkan surga di alam demokrasi ini,” tukasnya.

Bahkan kata Erwin, ketiga capresnya pun di-support oleh kapitalis, pengusaha, para pemilik modal dan oligarki.

“Meskipun tidak di-support oligarki tapi dia (capres) di-support partai politik, di belakangnya partai politik ada oligarki, jadi tidak ada satu pun yang tidak di-support oligarki,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Siapakah Pemenang Sesungguhnya dalam Demokrasi 2024?



Tinta Media - Gegap gempita pesta demokrasi memilih calon presiden dan wakil rakyat, 14 Februari 2024 serentak telah berlangsung di seluruh Indonesia. Prediksi kemenangan diantara Paslon presiden melalui penghitungan suara nyata (real count) atau penghitungan cepat (quick count) telah beredar di media masa. Bahkan Paslon nomor urut 2 (dua), Prabowo – Gibran  sudah menggelar pidato kemenangan Pilpres 2024   berdasar  hasil quick count bersama pendukungnya di Istora Senayan Jakarta, Rabu malam, 14 Februari 20024 (Liputan6.com). 

Berbicara kemenangan dalam setiap pesta demokrasi, sebenarnya siapakah yang dimenangkan? Pertama, apakah rakyat Indonesia selaku  pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistim demokrasi? 

Jawabannya bukan,  rakyat hanya sebatas dijadikan sarana para ambisius kekuasaan untuk melenggang ke kursi kekuasaan. Secara mendasar rakyat belum memahami apa yang mereka lakukan, mereka hanya berpikir ikut berpartisipasi memberikan suara, mereka belum memahami dengan benar risiko akhir dari memberikan suaranya. Mereka hanya pokoke manut dan percaya dengan para kandidat tanpa melakukan penilaian mendalam terkait landasan dari visi dan misi kandidatnya. Kondisi ini terdapat pada pemilih dengan latar belakang pendidikan yang relatif kurang, hampir 60 persen pemilih berpendidikan maksimal setingkat SMP (Kompas.id, 2023).

Bagi pemilih yang terkategorikan pemilih cerdas dengan mengusung perubahan, ini pun tampak masih kabur dalam memaknai perubahan itu sendiri. Tidak adanya kejelasan dalam landasan visi perubahan dan metode untuk menjalankannya. 

Mereka tetap saja menggunakan kendaraan yang sama dari yang bukan pengusung perubahan, yakni gerbong politik demokrasi yang notabenya akan  mengikat siapa pun yang masuk di dalamnya untuk taat kepada rule domokrasi. Para pengusung slogan perubahan berkumpul dan berikat dengan alasan merasa memiliki kepentingan dan kemanfaatan yang sama, yakni isu perubahan. Sementara diantara mereka sendiri memiliki tujuan yang berbeda-beda. Setelah kepentingan diantara mereka terselesaikan, apakah kandidat mereka menang ataukah kalah berkompetisi, selanjutnya mereka akan berpisah dan kembali kepada habitatnya masing-masing.

Keadaan yang demikian dapat terjadi disebabkan kurangnya pemahaman politik secara global dari para pengusung perubahan. Pemahaman politik yang diketahuinya hanya berkutat kepada politik yang  diterapkan saat ini, yakni politik demokrasi. 

Keadaan tersebut terus dipertahankan dengan berbagai argumen pembenaran, seakan politik demokrasi adalah paling benar dan paling pas diterapkan di muka bumi ini. Padahal selain  itu terdapat  politik Islam yang sudah terbukti keunggulannya. Mereka enggan menengok kepada peradaban sebelum era demokrasi, ditambah lagi minimnya motivasi membaca dan mengkaji literatur fakta sejarah, bahwa pernah ada peradaban politik Islam yang masyhur dan  berkuasa sekitar 13.5 abad lamanya. Sebuah peradaban politik yang telah membawa perubahan besar terhadap kemajuan dunia dan kesejahteraan manusia.

Perlu diketahui andaikan para pengusung perubahan itu menang dalam kancah pesta demokrasi, hakikatnya perubahan hanya akan bisa dilakukan pada tatanan teknik saja, dan tidak akan pernah masuk pada perubahan tatanan yang bersifat mendasar, yakni asas demokrasi itu sendiri. Padahal pangkal perubahan  dan kebangkitan suatu bangsa, sangat tergantung dari asas politik yang diusungnya. 

Asas merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan metode pelaksanaan dari politik itu sendiri. Politik demokrasi adalah politik dengan asas sekuler, yakni  pemahaman yang pemisahan agama dari urusan kehidupan.  Asas ini  menjadi landasan setiap pemikiran dan sikap pengemban atau pengusung demokrasi dalam menetapkan langkah politik untuk mencapai kekuasaan. Dalam konsep politik demokrasi tidak akan ada sandaran halal dan haram, yang ada bagaimana cara untuk memenangkan kekuasaan. Sekalipun terdapat rambu-rabu etika yang mengaturnya, toh pada faktanya tetap saja banyak pelanggaran politik yang terjadi selama proses berlangsung.

Kedua, apakah kemenangan pesta demokrasi adalah kemenangan umat Islam sebagai mayoritas pemilih? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Umat Islam adalah umat yang paling dirugikan. Suara umat Islam lagi-lagi hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan. Kekalahan umat Islam yang paling fatal adalah tidak adanya Paslon yang mengusung untuk diterapkannya kembali aturan Allah Swt dan Rasul-Nya sebagai sumber aturan kehidupan dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Padahal  energi dan semua sumber daya umat telah terkuras, umat justru  terjebak kepada kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Seyogianya umat Islam tersadar,  bahwa perjuangan untuk perubahan dan kebangkitan umat hanya bisa dilakukan  bila landasan perjuangannya adalah asa akidah Islam. Sedangkan jalan perjuangan yang digunakan untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti (I’tiba) kepada jalan perjuangan Rasulullah, baik perjuangan beliau sebelum hijrah, setelah hijrah dan perjuangan setelah wafatnya Rasulullah dengan kepemimpinan para sahabat.

Ketiga, siapakah sesungguhnya yang dimenangkan dalam pesta demokrasi? Adalah mereka imperialis barat yang telah mengendalikan kekuasaannya melalui boneka-boneka kekuasaan di negeri ini. Mereka adalah pencetus, pengusung sekaligus penjaga demokrasi dunia melalui penjajahan politik dan ekonomi  negeri-negeri muslim, termasuk negeri muslim Indonesia. Demokrasi terlahir dari pemahaman sistim sekuler. Paham ini semenjak lahirnya diciptakan dengan mengusung kebebasan individu dalam semua bidang, termasuk politik dan ekonomi. 

Para penguasa ekonomi (oligarki) memainkan peran kunci dalam sistim ini. Mereka akan memanfaatkan kekuatan modal yang  mereka  miliki untuk menguasai, mempengaruhi, bahkan menekan para penguasa dalam menetapkan kebijakan-kebijakan  supaya pro dengannya. karenanya bila dicermati secara mendalam, kemenangan seorang calon penguasa dalam pesta demokrasi, sejatinya bukanlah pemenang yang sesungguhnya, mereka hanyalah representasi dari kemenangan imperialis barat penjajah negeri ini.

Konsep demokrasi sesungguhnya bertentangan dengan konsep Islam. Islam menstandarkan segala bentuk pemenuhan kebutuhan manusia, baik hajat hidup dan naluri adalah terikat dengan hukum syariat. Setiap muslim yang memenuhi ketentuan syariat berkesempatan sama dalam memperoleh kekuasaan untuk menjadi pemimpin/imam/khalifah. Kekuasaan dalam sistim Islam adalah ditangan rakyat yang kemudian kekuasaan tersebut diserahkan kepada seorang pemimpin /imam/khalifah melalui mekanisme bai’at. 

Penyerahan kekuasan rakyat kepada pemimpin/imam/khalifah adalah penyerahan amanat untuk menerapkan hukum Allah Swt. dalam kehidupan umat manusia. Karena kekuasaan ditangan rakyat, kewajiban memberikan teguran, nasihat dan pengawasan kepada pemimpin/imam/khalifah berada ditangan rakyat melalui majlis umat (Majlis Syura). 

Amanat kekuasaan seorang pemimpin/imam/khalifah dapat diambil Kembali oleh rakyat bila mana  pemimpin/imam/khalifah mengundurkan diri, tidak mampu menjalankan amanah karena udzur syar’I, melakukan  pelanggaran  atau tidak menjalankan amanah penegakan hukum Allah dengan benar. Sementara kedaulatan dalam sistim Islam bukan ada ditangan rakyat, melainkan ada pada pembuat hukum (Allah Swt.). Dengan penerapan  sistim Islam akan menutup celah rapat-rapat terhadap pihak-pihak yang akan menekan seorang pemimpin/imam/khalifah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan negara untuk melayani rakyatnya. Seorang imam/pemimpin/khalifah senantiasa mempertanggungjawabkan amanahnya kepada Allah juga umat Islam. Karenanya keridhoan Allah Swt. adalah kunci keberkahan dari semua aktivitas kehidupan yang dijalankan dalam sistim kehidupan Islam. Wallahu a’laam bi ash shawaab

Purwokerto,  12 Sya’ban 1445 H / 22 Februari 2024 M

Oleh: Amir Mahmudin
Sahabat Tinta Media

Demokrasi Menyuburkan L68T



Tinta Media - Hasil survei CIA yang dilakukan pada tahun 2015, menyebutkan bahwa populasi L68T di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Cina, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survei independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan orang yang berperilaku L68T. (Topikmalaysia.com)

Ketika penulis membaca tulisan tersebut, timbul rasa penasaran bercampur tidak percaya dan ngeri. Bagaimana mungkin, Indonesia yang pada tahun 1970, penduduk muslimnya 95% dan kini (2020) masih 87.1%, bisa menjadi negara dengan urutan ke-5 dalam jumlah orang berperilaku L68T.

Kini 9 tahun setelah survei itu, kira-kira Indonesia di urutan berapa, naik atau turun, berapa % yang terinfeksi (berperilaku) LGBT dari jumlah penduduk Indonesia. L68T adalah bencana kemanusian dan sekaligus kemaksiatan yang amat besar, apalagi jika pelakunya adalah umat Islam, karena perbuatan ini dilaknat Allah. Atas dorongan rasa penasaran, sedih dan takut penulis kemudian melakukan penelusuran datanya.

Mengutip dari laman Statista, Rabu (24/5/2023), sebuah lembaga survei melakukan survei pada tahun 2021 di 27 negara, dari hasil survei terungkap, ada 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis, sekitar 3 persen menyatakan diri dengan tegas sebagai homoseksual ( gay atau lesbian), 4 persen mengaku biseksual, dan 1 persen mengaku omniseksual. Belanda, Belgia, Inggris Raya dan Australia responden homoseksual terbesar. Rusia dan Hongaria responden heteroseksual terbanyak.

Bagaimana dengan perkembangan L68T di Indonesia? Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021), menerbitkan sebuah studi berjudul “Eksistensi L68T di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila”. Studi dilakukan oleh tim yang beranggotakan Toba Sastrawan Manik, Dwi Riyanti, Mukhamad Murdiono, dan Danang Prasetyo dari lintas universitas. Mereka memaparkan bahwa ada peningkatan kelompok L68T di Indonesia. Peningkatan tersebut khususnya terjadi di kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Toba Sastrawan Manik dan timnya menulis bahwa kelompok LGBT memiliki organisasi bernama Gaya Nusantara dengan sebaran di 11 kota di Indonesia.

Dari data dan informasi tersebut penulis mencoba melihat dan membuktikan apakah benar L68T ini terus menyebar ke kota-kota di Indonesia. Maka penulis mencoba mencari informasi dari laman-laman media sosial terutama facebook di kota penulis sendiri. 

Dan sungguh mengejutkan penulis, bahwa di kota Tenggarong (Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan penduduk 128.211 orang). Terdapat 3 group facebook, yaitu : Gay Tenggarong-Kaltim dengan anggota 744, Gay Kaltim Samarinda Tenggarong Sebulu Muarakaman dengan anggota 1,2 ribu anggota dan Gay Tenggarong dengan 126 anggota. Dan ada yang bersifat facebook pribadi seperti Gay Tenggarong dengan 427 teman dan Gay Aldi dengan 121 teman. Dari 5 laman facebook total anggota berjumlahkan 2.618 orang, dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Tenggarong yang berjumlah 128.211 orang, maka prosentasenya adalah 2%. Data ini menunjukkan bahwa L68T tumbuh dan berkembang dari kota-kota besar (metropolitan) sampai ke kota-kota kecil (Kabupaten/ Kecamatan).

Hal penting yang perlu segera diketahui adalah, apa yang membuat L68T tumbuh dan terus menjalar ke kota-kota kecil di Indonesia? Adakah ini sebuah pertumbuhan yang alami atau ada yang memfasilitasi? Kalau ada yang memfasilitasi bagaimana mungkin sebuah kemaksiatan difasilitasi? untuk tujuan apa? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di kepala dan hati kita sebagai seorang muslim.

Pada satu titik akhirnya penulis, melihat ada benang merah antara tumbuh dan berkembangnya L68T dengan seiring tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Memang tidak mudah atau bahkan sangat sulit untuk “mengaitkannya”. Maka untuk memberikan gambaran singkat, lugas dan masuk akal. Mari kita menelisik, dimulai dari pertanyaan pokok yaitu apa tujuan diterapkannya demokrasi?. Secara umum minimal ada 5 tujuan, yaitu : 1. Memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi, 2. Mencegah perselisihan antar kelompok, 3. Menciptakan keamanan dan ketertiban bersama, 4. Mendorong masyarakat aktif dalam pemerintahan, dan 5. Membatasi kekuasaan pemerintah.

Mari kita fokus pada tujuan nomor 1, yaitu memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Secara singkat kemudian tujuan ini kemudian dilegalkan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pasal 27 ayat (1) ini kemudian lahir UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi negara dan pemerintah.

Selanjutnya dari UU HAM inilah kemudian menjadi wadah berlindung, tumbuh dan berkembangnya LGBT di Indonesia. Bagaimana korelasinya?, mari lihat fakta lapangannya. Bukankah orang-orang yang hidupnya menyimpang dari kenormalan kemudian berdalih, ini kan kodrat, ini kan dilindungi HAM. Sehingga kemudian mereka berani muncul di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara dan di berbagai acara. Ada dalam acara-acara seni yang memerankan “bencong”, ada laki-laki yang berpakaian wanita, ada seminar-seminar yang membahas tentang kelainan gender, dll. Dan puncaknya di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi telah mengesahkan UU yang memperbolehkan perkawinan sejenis, dan hari ini sudah ada di 33 negara. Ini semua jika ditarik benang merahnya adalah hasil diterapkannya sistem demokrasi diterapkan oleh suatu negara.

Bagaimana logika sederhananya?, UU dibuat Wakil Rakyat, Wakil Rakyat dipilih oleh Rakyat, sistem pemilihan yang menghasilkan Wakil Rakyat adalah sistem demokrasi, jelas!.

Lalu bagaimana Islam menilai dan menghukumi pelaku L68T. Islam sangat jelas melarang (mengharamkan) zina apalagi L68T. Al-Qur’an  sangat tegas menetapkan hukumannya, terdapat dalam surah An-Nur ayat (2), yang artinya “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali …”.  Sedangkan pelaku LGBT (liwath) Rasulullah saw sangat tegas memberlakukan hukuman mati, hal dapat kita temukan dalilnya dari  hadits : “Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda “Barang siapa yang kalian ketahui telah berbuat liwath (perbuatan kaum luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun partnernya” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i).

Jika Al-Qur’an  dan Hadits telah dengan tegas menetapkan hukuman terhadap pelaku zina dan liwath (LGBT). Lalu mengapa hukuman itu tidak bisa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Bukankah hari ini umat Islam di Indonesia ini berjumlah 87,1% (mayoritas). Jawabannya, tidak lain dan tidak bukan, karena umat Islam tidak memiliki kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam. Karena hanya kepemimpinan Islamlah yang mau dan berhak melaksanakan hukuman syariat Islam. Maka jika tidak ingin, LGBT terus berkembang di Indonesia khususnya dan di negara-negara muslim lainnya maka tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam harus kembali kepada penerapan Islam kaffah dengan sistem khilafah. Karena hanya sistem khilafahlah yang bisa menerapkan seluruh syariat Islam ditengah-tengah umat.

Wallahu a’lam bishawab
Kota Raja, 18.02.2024


Oleh : A. Darlan bin Juhri
Sahabat Tinta Media

Senin, 19 Februari 2024

Apakah Demokrasi Indonesia Sekotor Itu?



Tinta Media - Di hari tenang film “Dirty Vote” tayang mengungkap dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 yang terstruktur, sistematis, dan masif, yang menguraikan ihwal penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, adanya tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Apakah Demokrasi Indonesia sekotor itu? itu pertanyaan saya ketika selesai nonton film dokumenter Dirty Vote, yang sejak di-upload pada hari Ahad (11/2/2024) film dokumenter tersebut telah ditonton jutaan penonton baik di channel YouTube Dirty Vote maupun di channel PSHK Indonesia. 

Banyak fakta yang diungkap pada film dokumenter garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut, dari penjelasan ketiga narasumber yang dihadirkan di situ yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tatanegara, tergambar jelas bahwa sistem demokrasi yang menjadi harga mati bagi setiap pencintanya itu ternyata sedang tidak baik-baik saja. 

Poin pertama yang diungkap adalah terkait dugaan kecurangan melalui penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tujuannya tentu agar salah satu kandidat bisa memenangkan pemilu sekali putaran melalui sebaran wilayah, dengan berhasil menang di 20 daerah yang dipimpin PJ Gubernur dan Kepala Daerah tersebut, hal itu dipaparkan jelas oleh Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar di film tersebut, dan jika benar tentu ini merupakan persekongkolan jahat antara penguasa dan pejabat yang ditunjuknya, ini jadi bukti pertama betapa rusaknya sistem demokrasi jika mengacu pada film "Dirty Vote". 

Kedua, ada tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, ini jadi kejahatan berikutnya yang dipaparkan di film tersebut, dan sepertinya itu benar karena pernah muncul beritanya pada bulan November tahun lalu tentang deklarasi dukungan dari organisasi yang tergabung dalam Desa Bersatu terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Ketiga, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, dari data yang dipaparkan Bivitri Susanti begitu terlihat mencolok jumlah peningkatan bansos menjelang pemilu, dengan berbagai macam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah, bahkan baru bulan Januari sudah menghabiskan dana sebesar 78.06 Triliun untuk bantuan sosial, sehingga diduga kuat ada penyalahgunaan bansos yang dilakukan pemerintah untuk menarik simpati rakyat pada pemilu 2024 agar memilih kandidat tertentu. 

Dan terakhir kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang meloloskan kandidat cawapres termuda sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, dan seperti kita ketahui bersama bagaimana dengan mudahnya sebuah peraturan di sistem demokrasi diubah dengan sedemikian rupa untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. 

Lantas jika demokrasi sudah seperti itu, masihkah mengharapkan adanya keadilan dan kesejahteraan? 

Oleh: Herdi Kurniawan 
Sahabat Tinta Media

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Jiwa



Tinta Media - Pesta demokrasi rawan gangguan jiwa? Betul sekali. Dibuktikan dengan adanya sejumlah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang bersiap menangani calon legislatif (caleg) depresi akibat gagal terpilih. Hal ini dilakukan untuk antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, banyak pasien gangguan jiwa dari para caleg yang tidak terpilih. 

Mengapa bisa terjadi? Karena caleg mencalonkan diri dengan tujuan ingin menjadi terkenal atau  memperoleh untung, minimal balik modal atas dana yang telah dikeluarkan. Namun, ternyata mereka kalah, dan pasti akan mengalami kecewa berat. 

Nah, caleg yang mencalonkan diri dengan tujuan seperti itu jelas rentan mengalami gangguan mental. Banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg serta terlilit utang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, yang sangat diperlukan yakni belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. (dprd-dkijakartaprov.go.id, (24/01/2024)

Anehnya, mengapa sistem ini masih dipertahankan dan diperpanjang terus hingga dipercaya menjadi sistem yang terbaik dan terhebat, padahal banyak memakan korban? Ya, itulah yang terjadi di sistem demokrasi yang beraroma kapitalis. Semuanya diukur dengan materi. 

Memang, bila Anda ingin menjadi pemimpin di negara demokrasi beraroma kapitalis ini, maka bersiap-siaplah akan mengalami sakit jiwa, karena sistem ini memerlukan dana yang tidak sedikit, bahkan diperlukan pengorbanan yang sangat besar untuk menggiring rakyat agar mau memilih Anda. 

Tidak sedikit para caleg tersebut memiliki tujuan untuk kekuasaan ataupun materi, tetapi berujung kekalahan. Mereka kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, karena tidak dapat menerima kekalahan tersebut. 

Bahkan, anggota keluarga hingga tim suksesnya tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental. Maka, mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik merupakan modal utama bagi para pemimpin atau caleg. 

Menanamkan dalam jiwa untuk siap kalah adalah sebuah keharusan. Mengapa demikian? Karena di samping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia. Untuk itu, Anda, para caleg harus mempersiapkan mental sematang mungkin untuk mengikuti dinamika Pemilu 2024, bersiaplah sebagai caleg gagal pada pesta demokrasi.

Memang, pemilu di sistem demokrasi kapitalis berbiaya tinggi, sehingga membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala cara untuk meraih kemenangan.  Saat ini kekuasaan atau jabatan menjadi Impian semua caleg karena dianggap dapat menaikkan prestise dan bisa menjadi jalan mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan serta fasailitas lainnya. Kekuatan mental seseorang menentukan sikap seseorang terhadap hasil pemilihan. Pendidikan di sistem ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat, terbukti meningkatnya kasus gangguan mental.

Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. dan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan dari Sang Pencipta.

Sistem pendidikan Islam mencetak individu yang bertakwa dan menjadi orang yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat. Juga menjadi individu yang beriman pada qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan begitu mereka akan siap dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt.

Yakinlah bahwa sistem Islam akan melahirkan individu yang selalu dalam kebaikan karena selalu bersyukur dan bersabar, sehingga terhindar dari gangguan mental. Bismillah kembalilah ke dalam sistem Islam.


Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., 
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

Sabtu, 17 Februari 2024

"Serangan Fajar" Bumbu Pelengkap Pemilu Sistem Demokrasi




Tinta Media - Bagai mendorong mobil yang sedang mogok (tidak bisa berjalan) di jalan yang berpasir, maka ketika mobil tersebut telah melaju kencang, sebagai pendorong selain ditinggalkan juga mendapat debu-debu yang bertebaran. 

Begitulah gambaran kondisi hari ini, menjelang pesta demokrasi (pemilu serentak). Serangan fajar atau politik uang bak garam pelengkap bumbu masakan, tidak adanya garam pada masakan seperti ada sesuatu yang kurang. Begitu pun politik uang atau serangan fajar. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum baik bagi para paslon, atau juga masyarakat secara umum. 

Ironisnya serangan fajar sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat, seperti oase di tengah gurun. Serangan fajar umumnya berbentuk uang. Inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi. 

Dilansir dari cnbcindonesia.com, 13/02/2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan setidaknya butuh biaya hingga  40 miliar rupiah untuk bisa menjadi anggota DPR RI, di DKI Jakarta. Pria yang akrab dipanggil Cak Imin, berani buka-bukaan tentang modal yang dibutuhkan agar menjadi caleg memang cukup besar, apalagi di Jakarta. Ucap Cak Imin di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Jumat lalu (11/8/2023). 

Biaya yang sangat mahal untuk maju ke kursi kekuasaan, mengharuskan para paslon mencari sponsor yang dapat membiayai seluruh rangkaian pemilu. Mulai dari rangkaian Kampanye, pemasangan umbul-umbul, membiayai tim sukses, dan serangan fajar tentunya. 

Para kapital (pengusaha) menjadi tujuan sponsor para paslon, sebab merekalah yang mempunyai modal yang cukup besar. Di sisi lain mereka juga mempunyai kepentingan, terkait regulasi kebijakan. Jadi, hubungan keduanya adalah hubungan homogen (saling menguntungkan). Para paslon berkepentingan untuk duduk di kursi kekuasaan, sedangkan para kapital berkepentingan melanggengkan kekuasaan mereka terhadap Sumber Daya Alam (SDA). 

Hubungan homogen atau politik balas budi, hubungan inilah yang menjadi bumerang bagi masyarakat ketika para paslon tersebut telah sukses menduduki kursi kekuasaan, bagaimana tidak penguasa hanya menjadi corong kepentingan para kapital, alih-alih menjadi perpanjangan tangan aspirasi masyarakat. 

Di sinilah relevansi (hubungan) analogi di atas, masyarakat akan di tinggalkan, dan hanya mendapat debu-debu dari kepentingan antara Paslon dan para kapital. Sedangkan uang atau serangan fajar yang diterima masyarakat yang sekaligus menjadi utang budi para paslon, hal itu hanya menjadi pemanis demi mendapatkan suara masyarakat, Ironis. 

Praktik politik uang/serangan fajar dikategorikan sebagai praktik sogok atau suap. Dalam Islam praktik sogok atau menyuap diharamkan, pelakunya, orang yang menerima, dan perantara suap diancam laknat Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT melaknat orang yang melakukan suap, orang yang menerima suapan, dan orang yang berperan menjadi perantara antara keduanya" (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani). 

Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, seakan memaksa seseorang untuk berbuat curang demi untuk duduk di kursi kekuasaan, rela menghalalkan segala cara, meski menabrak syari'at. Tidak ada halal haram, yang ada hanya kepentingan di atas segalanya. 

Dalam Islam pemimpin adalah amanah yang sangat berat. Berat dalam timbangan dunia apatah lagi dalam timbangan akhirat. Mengurus umat yang begitu banyak, membutuhkan individu yang berkualitas, berkualitas secara keimanan dan ketundukan kepada syari'at, maupun kualitas dari segi ilmu dunia. 

Berangkat dari pemahaman tentang beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin di dalam Islam, ini meniscayakan tidak adanya para calon pemimpin, yang melakukan praktik sogok. Sebab, melakukan praktik sogok. Artinya, sebagai kriteria individu calon pemimpin saja telah gugur. Apabila bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat. 

Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islamlah yang akan menghasilkan para pemimpin berkualitas. Pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai sarana memperkaya diri. Pemimpin yang menjadikan halal haram sebagai tolak ukur dalam mengambil kebijakan, bukan menghalalkan segala cara. Pemimpin yang menjadi pelayan umat, bukan menjadi antek para kapital. Sekali lagi pemimpin seperti ini hanya didapatkan ketika Islam diambil sebagai pandangan hidup, dan diterapkan sebagai sistem pengaturan kehidupan.



Oleh: Syahdan Syarif
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 14 Februari 2024

Dirty Vote: Sebuah Film Penguak Tabir Kecurangan Pemilu Demokrasi di Indonesia


Tinta Media - Menjelang pertengahan Februari 2024, publik disuguhkan dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film ini dirilis tepatnya pada tanggal 11 Februari 2024 di kanal Youtube PSHK Indonesia. Bisa dibilang, film dokumenter Dirty Vote 'keren pake banget' karena lumayan detail menggambarkan bagaimana perjalanan politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. 

Tiga narasumber sekaligus aktor utama dari film ini adalah Zainal Arifin Mochtar (dosen FH UGM), Feri Amsari (dosen FH Universitas Andalas), dan Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ketiganya juga merupakan pakar hukum tata negara. 

Rangkaian peristiwa, nama-nama orang di dalam peristiwa tersebut, data-data penunjang, baik berupa angka, diagram, suara, bahkan video tersaji dengan runut dan apik. Film diawali dengan ungkapan harapan dan maksud dibuatnya film ini. Setelahnya, berlanjut dengan paparan penjelasan dari ketiga aktor utama, khususnya terkait kecurangan-kecurangan pemilu demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Durasi film 1 jam 57 menit 21 detik mungkin bisa dibilang belum cukup mengungkap semua fakta kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, sudah cukup lumayan mewakili dan menggambarkan kecurangan yang terjadi. 

Bagi yang sudah menonton, tercengangkah Anda? Atau merasa tidak heran dengan paparan dalam film tersebut? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui semua kecurangan-kecurangan tersebut karena memang dilakukan secara terang-benderang, seterang siang panas terik di bawah sinar matahari.  

Melihat kecurangan itu, seolah kita tidak berdaya untuk menghilangkannya. Para ahli saja tidak mampu, apalagi kita, masyarakat awam. Kenapa? Karena kita bisa melihat semua alat negara serta peraturan-peraturan hukum sudah didesain untuk menunjang kecurangan tersebut. Akhirnya, kita pasrah saja, padahal itu terjadi di depan mata. 

Pasrah? Jangan sampai ini melanda kaum muslimin.  Coba kita lihat, apa yang disampaikan dalam film Dirty Vote sebenarnya baru mengungkap dan membongkar fakta rusak demokrasi kapitalis. Film ini juga menunjukkan dengan terang benderang betapa rusaknya sistem buatan manusia, sistem yang akan menindas dan melindas lawan ataupun kawan. 

Pada tahap awal dalam membangun sebuah persepsi, setelah membongkar fakta rusak, tentu kita harus membangun sebuah konstruksi pemikiran yang kuat dan kokoh. 

Membangun konstruksi yang kuat dan kokoh ini diawali dengan memiliki sebuah standar pemikiran yang pasti, tetap, dan tentunya benar. Standar pemikiran yang memenuhi syarat ini tentunya adalah pemikiran yang berbasis akidah Islam. 

Pemikiran Islam akan membangun kembali atas fakta rusak dan bobrok dengan bangunan pemikiran yang benar dan tepat. Dengan pemikiran Islam ini pula, umat akan bergerak untuk meraih perubahan dengan Islam. Perubahan revolusionerlah  yang akan mengantarkan umat pada kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar mengubah rezim, tetapi perubahan yang akan mengganti sistem buruk demokrasi kapitalis menjadi sistem Islam.


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi 

Jangan Tertipu, Hakikat Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, Bukan Sekadar Memilih Pemimpin!

Tinta Media - Saudaraku! Hari ini genderang pesta telah ditabuh. Lelahkah dirimu? Kulihat peluh mengucur deras di dahimu. Berapa banyak waktu yang kauhabiskan? Berapa besar kesungguhan yang kaucurahkan? Bagaimana dengan pikiran, harta, tenaga? Bahkan, kejujuran dan kebenaran pun rela kaugadaikan. 

Apa yang sedang kauperjuangkan? Demokrasi, atau kekuasaan? 

Saudaraku, tidakkah kau ingat, hakikat demokrasi bukanlah sekadar memilih pemimpin, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bahwasanya segala aturan dalam kehidupan ini ditentukan oleh suara bulat rakyat, untuk dijalankan oleh rakyat, dan diharapkan bisa digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan kata lain, bahwasanya kedaulatan ada di tangan rakyat. 

Artinya, saat ini kau sedang mempertaruhkan hidup dan mati negeri ini di tangan rakyat. Bahkan, halal dan haram pun ditentukan oleh rakyat. Padahal, kamu tahu, rakyat adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Rakyat adalah makhluk lemah yang tidak luput dari salah dan dosa. 

Rakyat yang telah diwakili oleh segelintir orang tidak akan pernah bisa memberikan jaminan dan kepastian bahwa hidup masyarakat secara keseluruhan akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Alih-alih hidup dengan layak, fakta telah membuktikan bahwa 100 tahun di bawah naungan demokrasi, justru kesengsaraan dan kenestapaan yang kita dapatkan. 

Saudaraku! Rakyat bukan Tuhan. Jadi, suaranya tidak mewakili suara Tuhan. Memaksakan diri untuk menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan adalah suatu bentuk kemunduran dan keterbelakangan, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk kekufuran karena telah menyekutukan. 

Masih ingatkah engkau tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Adi bin Hatim? Melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, ia berkata, 

"Aku pernah datang kepada Nabi saw. sementara di leherku tergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, 

'Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!' 

Lalu aku mendengar beliau membaca Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 31 yang artinya: 

Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Nabi kemudian bersabda, 'Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu, akan tetapi ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya dan jika para rahib atau pembesar itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya." (HR. Tirmidzi) 

Ketika turun ayat di atas (At-Taubah ayat 31), Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum dan menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. 

Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuan-tuhan selain Allah sebagaimana penjelasan Rasulullah. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain Allah. 

Saat ini, dengan berlangsungnya pesta besar-besaran untuk memilih orang-orang yang ditunjuk sebagai wakil dari rakyat, baik sebagai penentu segala kebijakan dan aturan, ataupun sebagai pelaksana dan penerap hukum-hukum tersebut dalam ranah kehidupan, tidakkah disadari bahwa apa yang kaulakukan itu sama dengan mencari sekutu atau tandingan-tandingan Allah? 

Ingatlah, Allah Swt. berfirman di surat Yusuf ayat 40,
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ 

Artinya, yang berhak menetapkan hukum hanya Allah. 

Jadi, yang berhak menetapkan halal dan haram itu hanya Allah, bukan manusia atau segelintir orang yang mewakili suara dan kehendak rakyat. Bahkan, Rasulullah mengatakan bahwa hal yang seperti itu sama dengan menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. 

Saudaraku! Sejak runtuhnya daulah Islam tahun 1924 lalu, musuh-musuh Islam telah memahami bahwa kaum muslimin pasti akan menolak dengan tegas jika mengetahui esensi dari demokrasi karena jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Itu sebabnya, mereka membungkus ide jahat dan rusak dari demokrasi ini. Mereka sengaja menipu dan mengaburkan hakikat demokrasi ini dengan menonjolkan bahwasanya demokrasi adalah pemilihan pemimpin agar kaum muslimin dengan senang hati mau menerima ide-ide ini. 

Layak, jika saat ini banyak dari kaum muslimin yang bahdilan juhdi (mengerahkan semua kemampuan) untuk meraih kekuasaan dan kepemimpinan tersebut. Bahkan, orang-orang yang terpilih untuk mewakili rakyat lebih sibuk dan bersungguh-sungguh memikirkan segala cara untuk meraih kepemimpinan itu daripada menjalankan amanah yang telah dititipkan oleh rakyat. 

Tidakkah engkau takut dengan peringatan Allah bahwa siapa pun yang berpaling dari peringatan Allah, maka baginya adalah kehidupan yang sempit? 

Ini jelas terdapat dalam Al-Qur'an surat Taha ayat 124. 

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى 

Artinya: 

Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Taha: 124). 

Saudaraku, mari jadikan diri kita sebagai orang yang paling beruntung dengan mendapatkan kemenangan hakiki dengan curahan barakah dari langit dan bumi. Caranya, tentu dengan melakukan perubahan besar-besaran dengan menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dan mencampakkan demokrasi sejauh-jauhnya. Jangan lagi tertipu, karena kebahagiaan hakiki itu tidak bisa didapat dengan hanya mengubah sosok pemimpin, tetapi dengan perubahan secara fundamental dan mendasar yaitu dengan sistem yang diridai oleh Allah Swt, daulah khilafah Islamiyyah. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Ida Royanti
Editor Tinta Media dan Founder Komunitas Aktif Menulis 

Senin, 05 Februari 2024

Pamong Institute Ungkap Dua Variabel Penentu Kemenangan Paslon



Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengungkap ada dua variabel yang sangat berpengaruh besar terhadap kemenangan pasangan calon (paslon) dalam pemilu sistem demokrasi. 

“Kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi tentu sangat berpengaruh besar dalam pemilu sistem demokrasi. Kalau tidak memiliki kedua variabel itu, saya pikir orang tidak mungkin bisa menang atau bahkan bisa melenggang lebih lanjut,” ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tajuk Jokowi ‘Pasang Badan’ Buat Putranya? Rabu (31/1/2024) di kanal Youtube Khilafah News. 

Ia mengungkapkan alasannya, karena pemilu dalam sistem demokrasi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan akses atau jaringan yang luas. “Kedua variabel itu sangat berpengaruh besar, karena pemilu dalam sistem demokrasi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan akses atau jaringan yang luas,” ungkapnya. 

Menurutnya, kedua variabel tersebut ada pada kelompok oligarki yang dimiliki oleh berbagai pasangan calon kontestasi. “Oligarki ekonomi saja tentu tidak cukup, modal yang besar tapi tidak punya jaringan politik dan akses bagi massa untuk melakukan aktivitas kampanye dan penggalian suara, saya pikir juga akan kesulitan," ungkapnya. 

Oleh karena itu, lanjut Wahyudi, meski dua kelompok ini kecil, namun sangat penting dan sangat berpengaruh. "Dalam hal ini disebut sebagai oligarki. Itu juga sangat berpengaruh. Karena dengan kekuasaannya, kewenangannya, dia bisa mempengaruhi para pemilih sehingga bisa mengarahkan pilihan-pilihannya atau dukungan-dukungannya kepada pihak-pihak calon tertentu,” bebernya. 

Menurutnya, pemerintahan demokrasi adalah dari rakyat kecil, oleh rakyat menengah dan untuk rakyat besar. 

“Pemerintahan demokrasi adalah dari rakyat kecil, oleh rakyat menengah dan untuk rakyat besar. Dari rakyat kecil yang bekerja keras memberikan dukungan dan memberikan suara, ikut kampanye, ikut berkeringat. Oleh rakyat menengah, itu para politisi yang sedang mengelola  kegiatan-kegiatan politik maupun menjadi perwakilan-perwakilan rakyat di level-level menengah. Untuk rakyat besar hasilnya terutama mereka yang punya jabatan tinggi,” tuturnya. 

Menurutnya, oligarki ekonomi maupun oligarki politik itu, semakin lama akan semakin mengokohkan kedudukannya, semakin mencengkeram negeri ini dan semakin menguasai kekayaan alam maupun sumber daya alamnya. 

"Mereka mengeluarkan undang-undang dan aturan yang bisa menguntungkan bisnis mereka, menguntungkan praktik kekayaan mereka, melindungi aset-aset mereka, melindungi dan memperbesar kegiatan bisnis mereka, mengganti undang-undang yang tidak pro kepada mereka, undang-undang yang pro kepada rakyat mungkin mereka biarkan kalau tidak mengganggu kepentingan mereka, tetapi jika mengganggu maka mereka akan ubah, mereka akan revisi dan mereka akan membuat undang-undang yang baru," terangnya. 

"Akhirnya boleh saya katakan dengan sistem demokrasi ini, maka negara akan ditunggangi oleh kaum kapitalis dan kaum oligarki,” pungkasnya.[] Evi

Minggu, 04 Februari 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental



Tinta Media - Menggelitik, kegagalan berujung perawatan. Mirisnya lagi, ini adalah perawatan mental atau gangguan jiwa. Seperti yang dilansir oleh Kompas TV, sejumlah rumah sakit menyiapkan ruangan khusus untuk pasien yang stres atau mengalami gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) di gelaran pemilu 2024. Seperti Rumah sakit Oto Iskandar Dinata, rencananya menyiapkan 10 kamar khusus atau VIP sebagai antisipasi membeludaknya kasus ini. 

Irfan Agus, Wadir Pelayanan RSUD Oto Iskandar Dinata menyatakan bahwa pihaknya sudah memiliki dokter spesialis penyakit jiwa. Untuk pasien ringan, perawatan bisa dilakukan dengan rawat jalan. Pihaknya juga menyediakan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu. (kompas.tv, Jumat 24/12/2023)

Fenomena ini membuktikan bahwa sistem demokrasi rawan gangguan mental. Di sisi lain, menjadi seorang pejabat adalah impian karena dianggap dapat meningkatkan harkat martabat, juga jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan.

Mengapa para intelektual yang sedang berkuasa saat ini tidak mengambil banyak pelajaran dari segala masalah yang ada? Harusnya negara bisa memberikan solusi tuntas agar kondisi yang buruk bisa diperbaiki atau mencabut permasalahan sampai ke akar-akarnya. 

Untuk mewujudkan berbaikan, negara perlu mengambil sistem kepengurusan negara yang sahih berdasarkan syariat Islam, yakni bersumber dari Al-Qur'an. Dengan aturan tersebut, tidak ada seorang manusia pun yang bisa mengubah apalagi memperjualbelikan hukum demi kepentingan pribadi atau komplotannya. 

Umat harus sadar bahwa memilih pemimpin ada aturannya, bukan asal berani bayar berapa, bukan bermodalkan janji-janji manis belaka. Memilih pemimpin juga bukan dengan slogan-slogan, seperti "Untuk rakyat, demi rakyat". Faktanya, pejabat makan enak, rakyat masih melarat.

Masih banyak lagi cara-cara mereka dalam membujuk masyarakat untuk ikut serta memenangkan dirinya. Namun, setelah terpilih, rakyat atau masyarakat justru ditindas

Kekuatan mental seseorang akan menentukan sikap individu itu terhadap hasil pemilihan. Faktanya, pendidikan saat ini terbukti gagal membentuk kepribadian yang tangguh, kuat, dan taat. Alhasil, kasus seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal dalam pemilihan umum terus berulang dan meningkat di tengah masyarakat.  

Berbeda cerita dengan cara pemilihan pemimpin dalam sistem Islam. Islam menjawab semua permasalahan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam Islam, ada beberapa syarat untuk menjadi seorang pemimpin, di antaranya adalah harus seorang muslim, laki-laki (tidak boleh seorang perempuan) Syarat lainnya adalah akil dan baligh. Artinya, ia memiliki umur yang cukup sehingga bisa membedakan mana benar sehat jasmani dan rohani. Kalau sudah menunjukkan tanda-tanda "ketidakwarasan", artinya dia sudah gugur sebelum pemilihan. 
Syarat lainnya adalah harus adil dan memiliki kemampuan. 

Yang tidak kalah penting, mereka yang mewakili masyarakat dalam memilih pemimpin bukanlah orang biasa. Maksudnya apa? Mereka adalah para alim ulama yang berpegang teguh pada syariat Islam kaffah. Mereka merupakan representatif umat yang membaiat dengan baiat in'iqad untuk mengangkat seorang pemimpin.

Bukan seperti sistem demokrasi saat ini, penghafal Qur'an memilih, tukang togel juga memilih, ustaz ustazah memilih, bahkan maling dan tukang bohong juga memilih. Jadi, selain berbiaya tinggi, prosesnya lama dan hasil yang didapat juga jauh dari syariat agama 

Negara harus kembali ke jalan kebenaran yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Negara harus menerapkan syariat Islam secara kaffah sebagai dasar kepengurusan umat. 

Islam sudah terbukti mampu mengatur urusan umat manusia di dunia, memberikan rasa nyaman, aman, sejahtera, dan makmur ke dua pertiga dunia. Ini berlangsung selama berabad-abad dalam kekuasaan yang disebut khilafah 

Hanya sistem Islam yang mampu menjaga, melindungi, dan mengurus semua keperluan umat. Pemimpin dalam sistem Islam tahu dengan pasti akan amanah dan tanggung jawabnya, juga atas apa yang ia pikul dan ia pimpin karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Wallahu alam.


Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab