Tinta Media: Demo
Tampilkan postingan dengan label Demo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demo. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Februari 2024

Demo Kades, Suara Warga atau Suara Hati?



Tinta Media - Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para Kades (Kepala Desa) yang terjadi di depan gedung MPR/DPR RI pada 31 Januari 2024, berakhir ricuh. Para demonstran menuntut Revisi UU Desa. Dalam Revisi tersebut, Apdesi mengusulkan agar masa jabatan kepala desa diubah menjadi 9 tahun, serta dapat diemban selama 3 periode, sehingga bisa menjabat selama maksimal 27 tahun. Selain itu, Apdesi juga menuntut peningkatan alokasi anggaran desa menjadi 10 persen dari APBN. 

Tidak ada perwakilan anggota dewan yang keluar gedung pun, memancing emosi para demonstran sehingga tindakan anarkis tidak dapat dihindarkan. Akibatnya, beberapa tembok dan besi pagar gedung MPR/DPR RI mengalami kerusakan. Pelemparan batu pun dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, menyebabkan adanya korban yang mengalami luka di bagian kepala. Petugas keamanan pun mengamankan beberapa orang yang dianggap sebagai provokator kericuhan.  

Sebagian masyarakat menilai peristiwa ini harusnya tidak terjadi, Kepala Desa yang dianggap sebagai pemimpin warga tidak memberikan contoh yang baik di hadapan publik. Apalagi disertai dengan tindakan anarkis yang dianggap tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin. Haus akan jabatan, dianggap masyarakat penyebab terjadinya hal tersebut. Sebagian di wilayah lainnya pun, masyarakat yang tidak setuju akan revisi UU yang ada. Hal tersebut lantaran masih ditemukannya kinerja Kepala Desa yang tidak mumpuni bahkan condong menjadikan jabatan sebagai lahan basah meraup keuntungan pribadi.  

Sistem aturan liberalis kapitalis yang masih diberlakukan, menjadikan segala sesuatunya hanya untuk mengejar materi dan kepentingan sebagian kelompok. Merampas segala hak rakyat menghalalkan segala cara untuk ambisi yang dikejar. Sehingga aksi demonstrasi yang ada dianggap bukanlah untuk memenuhi suara rakyat namun suara hati pribadi untuk ambisi akan mempertahankan jabatan yang diemban namun abai terhadap kewajiban. Maka, sudah seharusnya ada perubahan terhadap aturan yang ada. Aturan yang mampu menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai hal utama, memunculkan para pemimpin yang amanah bukan hanya dalam lingkup daerah namun juga seorang pemimpin negara.  

Islam dengan aturannya, mempunyai aturan menyeluruh terhadap problematika kehidupan. Hukum yang mampu menjadikan para pengembannya amanah terhadap kewajiban. Hukum sanksi yang tegas, menjadikan oknum yang tidak bertanggungjawab jera terhadap perbuatannya. Sehingga kehidupan masyarakat yang sejahtera dapat terlaksana. 

Oleh: Putri YD
Sahabat Tinta Media

Jumat, 07 April 2023

Demonstrasi Terjadi Lagi, Siapa Biang Masalahnya?

Tinta Media - Lagi dan lagi permasalahan buruh di tanah air tak kunjung selesai. Nasib buruh kian mengenaskan dengan adanya peraturan baru yang disahkan. Seperti yang dilansir dalam  CNBC Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengizinkan perusahaan berorientasi ekspor atau eksportir untuk memotong gaji buruh serta mengurangi jam kerjanya. Kebijakan ini dilakukan pada eksportir yang terdampak ekonomi global.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. 
Perizinan yang dikeluarkan oleh menteri ketenagakerjaan ini sontak menjadi pro dan kontra dari berbagai kalangan sekaligus kecaman keras dari para buruh di Indonesia.  

Demo kali ini dalam rangka menolak aturan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. 
Dalam Permenaker tersebut, pengusaha dalam hal ini eksportir yang terdampak ekonomi global bisa memangkas upah buruh 25%. Tidak hanya itu, mereka juga bisa mengurangi jam kerja. 

Demo besar-besaran pun dilakukan oleh serikat buruh dalam rangka menolak aturan baru ini.  Demo kali ini dalam rangka menolak aturan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Dalam Permenaker tersebut, pengusaha dalam hal ini eksportir yang terdampak ekonomi global bisa memangkas upah buruh 25%. Tidak hanya itu, mereka juga bisa mengurangi jam kerja. 

Pemotongan upah buruh sebesar 25% dinilai tidak berdasar dan bertentangan dengan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 
Inilah permasalahan buruh kerja yang tak kunjung selesai. Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini? 

Jawabannya adalah negara. Negara yang seharusnya mengatasi segala problematika yang terjadi. Namun, karena dibawah naungan sistem kapitalisme, maka negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus maslahat rakyat termasuk buruh. Apakah permasalahan buruh akan bisa selesai dengan sistem sekarang? Tentu tidak, tak ada harapan pada sistem kapitalisme. 

Perlu dipahami bahwa asas dari sistem kapitalisme adalah asas kemanfaatan, materi menjadi tujuan utamanya. Sistem kapitalisme lahir dari perseteruan antara gerejawan dan cendikiawan, sehingga terjadilah jalan tengah atau kompromi yakni memisahkan agama dari kehidupan. Dari awal lahirnya saja sudah bermasalah, bagaimana dengan aturannya yang semakin bermasalah. Aturan itu dibuat oleh manusia, yang kita sadari bahwa manusia itu akalnya terbatas, sifatnya lemah. Dan benar saja jika penerapannya menjadi kerusakan seperti saat ini. 

Para pejabat dengan mudah mengesahkan undang-undang yang itu justru menyengsarakan rakyat. Ketika rakyat tidak menerima dan melakukan demonstrasi seperti saat ini, ratusan polri diterjunkan untuk mengamankan. Apakah suara rakyat di dengar? Tidak, suara itu hanya menjadi nyanyian yang tak merdu bagi penguasa semata.  

Apa manfaatnya untuk mereka ketika mendengar suara rakyat? Tidak ada bukan? Karena yang mereka junjung adalah asas kemanfaatan, bukan untuk kemaslahatan masyarakat sendiri. Dan yang terjadi, PHK besar-besaran, upah karyawan dipangkas begitu besarnya. Bukankah semakin menderita masyarakat? Di tambah pengangguran semakin tak terkendali jumlahnya. Aturan yang mereka sah kan bukan menjadi solusi, malah semakin menambah masalah baru.  Itulah buruknya penerapan sistem kapitalisme. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana negara bertanggungjawab betul terhadap masyarakat. Bahkan aturan yang diberlakukan pun merujuk pada Al-Qur’an dan As-sunah. Kemaslahatan masyarakat pun terjaga. Bahkan ketika seorang pencari nafkah tidak memiliki pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. 

Pendidikan, kesehatan dibiayai oleh negara. Ketika seorang mengkritik aturan yang dibuat oleh Khalifah, maka Khalifah saat itu terbuka lebar menerima kritik tersebut. Seperti pada masanya Umar bin Khattab, ketika beliau mengumumkan aturan mengenai mahar tidak boleh lebih dari sekian. Seorang wanita, mengangkat tangannya dan berkata, “Wahai amirul mukminin, bagaimana engkau bisa membatasi mahar sedangkan Allah saja tidak membatasi”.

Dan yang Amirul Mukminin lakukan adalah mendengarnya dan mencabut aturan tersebut dan mengatakan, “Sebaik-baik laki-laki adalah yang paling baik dalam memberi mahar dan sebaik-baik perempuan adalah yang meringankan mahar“. 

Dari peristiwa itu, tergambar jelas bagaimana sosok pemimpin dalam sistem Islam. Sudah seharusnya, kita kembali kepada sistem Islam, dimana dalam sistem Islam kesejahteraan masyarakat itu terjaga. Kebutuhan masyarakat terpenuhi dan tidak ada kemiskinan yang merata seperti saat ini. 

Dan seorang pemimpin pun tak akan mengambil kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Ketika ada rakyat yang mengkritik pun seorang pemimpin harusnya terbuka dan menerima kritik tersebut, bukan memberikan sanksi pidana bagi yang mengkritik pemerintahan. Islam itu agama yang lengkap, Aturannya pun begitu sempurna karena aturan itu berasal dari Sang Pencipta yang Maha sempurna. Dan hukum-hukum dalam Islam tak akan tergerus oleh zaman, sehingga tidak akan berganti setiap tahunnya yang malah membingungkan masyarakat. Apakah kita masih ingin di sistem kapitalisme saat ini? Yang jelas kita tahu betapa bobroknya aturan yang diterapkan atau kita memilih kembali kepada syariatnya Allah, yang jelas-jelas telah terbukti 1.200 tahun lamanya dalam memimpin dunia. 

Wallahua’lam bi showab

Oleh: Dita Serly Nur Cahyanti
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 23 Februari 2023

Demo Marak, Bukti Wakil Rakyat Tidak Tanggap dengan Suara Rakyat

Tinta Media - Saat menjelang pemilu, calon wakil rakyat berusaha mendekat agar rakyat mau menjatuhkan pilihan pada mereka. Bahkan, tidak jarang mereka memberikan hadiah serta menyebar janji-janji manis jika terpilih nanti. 

Namun, apa yang terjadi saat mereka sudah duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat? Mereka lupa dengan komitmen dan janji-janji manis untuk berpihak pada rakyat. Mereka tidak lagi membela kepentingan rakyat, tetapi lebih pada oligarki yang dianggap telah berjasa mengantarkan mereka meraih kursi kekuasaan. 

Utang budi politik membuat wakil rakyat tidak berdaya untuk membela rakyat yang diwakilinya. Demo adalah bukti nyata wakil rakyat yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka tidak peka dan tanggap dengan suara rakyat yang sudah dibeli oleh oligarki. Mereka hanya melayani tuannya, dan lupa dengan janji-janji mereka sebagai wakil rakyat. 

Saat rancangan UU yang tidak membela kepentingan rakyat hendak diterbitkan, suara rakyat menolak, tetapi jeritan mereka dianggap angin lalu. UU yang tidak berpihak pada rakyat terus saja dilegalkan, meskipun secara legal formal cacat hukum, bertentangan dengan UUD. Sebagai contoh nyata, disahkannya UU Cipta Kerja yang diprotes banyak kalangan karena sangat merugikan rakyat. 

Saat banyak penyimpangan terjadi di negeri ini, rakyat bersuara dan melakukan demo. Namun, wakil rakyat seolah tidak peduli dan menutup mata dan telinga. Rakyat butuh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan, tetapi wakil rakyat tidak mau memperjuangkannya. 

Rakyat sering diperlakukan tidak adil oleh penguasa, tetapi wakil rakyat tidak datang untuk membela. Tuduhan radikal, intoleran, anti kebhinekaan, bahkan makar dan terorisme sering tidak berdasar. Banyak rakyat yang dikriminalkan, bahkan dihukum tanpa proses peradilan, tetapi di mana wakil rakyat yang dulu menjelang pemilu berjanji untuk membela?

Mereka asyik menikmati berbagi kue kekuasaan dengan penguasa. Saat rakyat menggugat penguasa, dianggap menyebar hoaks dan menyebarkan ujaran kebencian sehingga bisa ditangkap tanpa proses peradilan. Sementara, penguasa bebas menghasilkan kebohongan tanpa bisa disalahkan dan diproses hukum.

Lalu, untuk apa mereka duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat jika tidak mau memperjuangkan urusan rakyat? Demo berjilid-jilid adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak lagi peka mendengar aspirasi rakyat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri agar bisa merasa aman menduduki kursi kekuasaan. Mereka juga menganggarkan uang rakyat hanya untuk kesejahteraan mereka sendiri. 

Saat rakyat disakiti dan diperlakukan tidak adil seperti yang terjadi pada tragedi Morowali, apakah wakil rakyat bereaksi untuk membela rakyat yang terzalimi? 

Kebijakan yang membiarkan banyak tenaga kerja asing membanjiri negeri ini, menghilangkan peluang bagi penduduk lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Membiarkan sumber daya alam dikuasai swasta asing adalah bentuk penjajahan gaya baru yang memberi karpet merah bagi asing untuk menguasai negeri ini dengan dalih investasi. Satu persatu sumber kekayaan alam yang bisa menyejahterakan rakyat diserahkan pada swasta asing. 

Lalu, apakah wakil rakyat harus diam saja melihat hak-hak rakyat dirampas dan tidak dipenuhi oleh penguasa zalim? 

Jangan merasa aman dan enak-enakan menikmati semua fasilitas yang diperoleh dari tetesan keringat rakyat. Ingatlah, pengadilan akhirat yang akan meminta pertanggungjawaban mereka sebagai wakil rakyat yang tidak amanah. Mereka tidak memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang seharusnya berpihak, membela, dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya menjadi stempel yang selalu mendukung apa kata penguasa. 

Saat keyakinan umat dihina dan dinistakan, mereka tidak peduli. Saat aksi pembakaran Al-Qur'an oleh Paludan di Swedia menyakiti hati mayoritas rakyat yang beragama Islam di negeri ini, wakil rakyat terdiam seribu bahasa dan tidak melakukan tindakan apa-apa. Mereka menutup mata, telinga dan menganggap itu bukan urusan mereka. 

Rakyat marah dan turun ke jalan dengan melakukan aksi demo. Ini adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak peka dengan apa yang dirasakan oleh rakyat. Saat hati rakyat tersakiti, wakil rakyat tidak merasa sakit, seolah mereka sudah mati rasa dengan apa yang dirasakan rakyat yang diwakilinya. Lalu, untuk apa mereka duduk di kursi parlemen, jika hanya menghabiskan uang rakyat, tetapi tidak perduli dengan urusan rakyat.

Demo, aksi turun ke jalan adalah ungkapan rasa tidak puas dari rakyat yang harus didengar, diperhatikan, dan diperjuangkan. Aksi demo jangan dimusuhi dengan tuduhan radikal dan pembuat kegaduhan, tetapi harus didengar dan dipahami untuk diperjuangkan dan diwujudkan. Aksi turun ke jalan bukanlah keinginan, tetapi tuntutan agar mereka yang duduk di kursi kekuasaan ingat dengan kewajibannya mengurusi urusan rakyat. 

Hanya dengan satu cara agar rakyat terjamin keamanan, keadilan, dan kesejahteraan, yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. Terbukti hukum buatan manusia hanya menguntungkan segelintir orang yang ada di lingkaran kekuasaan dan juga para pemilik modal, bukan seluruh rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45. 

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (Al-Maidah ayat 50).

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Selasa, 04 Oktober 2022

Gerakan Lepas Jilbab di Iran Pasca Kematian Mahsa Amini, Pengamat: Berbahaya!

Tinta Media - Terkait gerakan lepas jilbab di Iran, pasca kematian Mahsa Amini, Pengamat Politik Luar Negeri, Umar Syarifudin menegaskan sebagai gerakan berbahaya yang dapat menyebabkan kemudaratan bagi kaum muslim. "Gerakan berbahaya, karena dapat menyebabkan kemudaratan bagi kaum muslim, khususnya muda-mudi, tegasnya kepada Tinta Media, Sabtu (1/10/22).

Umar memaparkan di tengah gempuran sekularisme, melaksanakan syariat memang penuh tantangan. "Pemahaman agama yang sulit didapat dan banjirnya pemahaman Barat, menjadikan kaum muslim berada di persimpangan," imbuhnya.

Ia menerangkan bahwa fokus barat, jelas ingin menyerang syariah jilbab dan model pergaulan Islami yang bertentangan dengan nilai - nilai liberalisme. "Demonstrasi di Iran sedang dikapitalisasi oleh Amerika Serikat dan Eropa untuk mengalihkan perhatian rakyat Iran dari kemiskinan dan nasib Palestina dan menyibukkan kawasan Timur Tengah agar sibuk dengan isu Iran," tuturnya. 

Umar menganalisa hal tersebut untuk menjadikan Iran menjadi musuh pertama di kawasan Timur Tengah, dan kemudian akhirnya fokus Timur Tengah diarahkan pada Iran. "Maka perhatian umat Islam mulai berkurang atau makin redup dari entitas Israel pencaplok Palestina," terangnya.

Ia menyakinkan adanya negara-negara imperialis itu mempermainkan masa depan negeri-negeri Muslim. "Tidak lain disebabkan para penguasa zalim yang bertanggung jawab terhadap urusan negeri kaum Muslim, tetapi setia kepada perangkap para musuhnya dan cenderung kepada mereka," sesalnya.

Umar kemudian menjelaskan munculnya perlawanan terhadap kewajiban jilbab di Iran sebagai buah dari penerapan sekulerisme di Iran ditunjang kepemimpinan diktator di negara tersebut. "Iran terus menerus diuji dengan tampilnya rezim zalim dan berkontribusi dalam menzalimi kehidupan umat Islam dengan kezaliman yang bertumpuk dan mengalami ketergantungan pada proyek Amerika khususnya, dan kolonialis pada umumnya, serta nasionalisme yang busuk, dan sektarianisme berdarah," bebernya.

Ia melanjutkan adanya ketergantungan pada proyek Amerika, maka itu sangat jelas bagi mereka yang tidak tertipu oleh debu slogan-slogan. "Kematian bagi Amerika, kebisingan poros kejahatan, dan kicauan si dungu yang ditaati. Dalam hal ini, bukti-bukti yang masih segar dalam ingatan kita adalah bantuan rezim Iran untuk penjajah Amerika di Baghdad dan Kabul," paparnya.

Ia mengungkapkan bertumpuk kekecewaan rakyat Iran atas pemaksaan sistem kapitalisme-sekuler di Iran. Termasuk terkait nasionalisme, maka rezim telah membuat umat kembali terpecah-belah, memprovokasinya, sehingga ketika masyarakat terpantik atas kematian Amini membuat situasi bertambah panas. "Ini sangat ironis. Iran masih membanggakan bahasa persinya dan hendak mengembalikan rasa dan sejarahnya," ujarnya.

Menurutnya, adanya musibah dan bencana besar ini adalah akibat dari peran sektarian yang berselimut dosa, yang telah membagi umat dengan perbatasan dan sungai darah, juga yang menyediakan benih-benih kebencian yang kemudian dieksploitasi oleh beberapa rezim dan para penindas untuk memuluskan adegan sektarian. 

Umar menekankan bahwa rakyat Iran harus bangkit untuk menang. Mereka harus menyadari bahaya rezim-rezim diktator yang telah membuat hidup umat ini diselimuti berbagai kezaliman, kemiskinan dan ketidakadilan. "Mereka harus sadar, bahwa terwujudnya kehidupan Islam yang bersih dan murni akan membuat Iran menjadi bangkit dan bermartabat," pungkasnya.[] Nita Savitri

Sabtu, 24 September 2022

HUKUM DEMO DALAM FIQIH ISLAM

Tinta Media - Pengertian Demonstrasi
Demonstrasi (al-muzhâharât) adalah penyampaian pendapat atau perasaan di hadapan publik secara berjama’ah baik kepada penguasa, partai politik, maupun kepada pihak-pihak lainnya. (Abdurrahman Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 6; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Tashîl Al-Syar’i Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm. 3).

Hukum Demontrasi

Mengenai hukum demonstrasi, ada dua pendapat di kalangan ulama kontemporer.
Pendapat pertama, mengharamkan, misalnya pendapat Syekh Nashiruddin Al-Albani, Syekh Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Shalih Al-Fauzan.

Alasan keharaman demonstrasi menurut mereka antara lain karena dianggap pemberontakan kepada penguasa (al-khurûj ‘ala waliy al-amr) dan banyak menimbulkan berbagai penyimpangan syariah seperti ikhtilât (campur baur pria dan wanita) dan berbagai mudharat (seperti perusakan fasilitas publik).

Pendapat kedua, membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ziyad Ghazzal, Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari, dan Syekh Muhyiddin Al-Qarahdaghi.

Alasan mereka membolehkan demonstrasi karena demonstrasi dianggap sebagai salah satu cara (uslûb) dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau menyampaikan nasehat kepada penguasa. Mereka menetapkan syarat-syarat tertentu untuk kebolehan demonstrasi, misalnya tujuan demonstrasi harus sesuai syariah, dan tidak disertai hal-hal yang diharamkan seperti ikhtilât dan tidak boleh menggunakan kekerasan/senjata. (Lihat Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 14-47; Ziyad Ghazal, Masyrû’ Qânûn Al-Ahzâb fî Ad-Dawlah Al-Islâmiyyah, hlm.15-27; M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 39-59; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Tashîl Al-Syar’î Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm.5-19).

Tarjih

Pendapat yang râjih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini dikarenakan bolehnya demonstrasi sesungguhnya sudah tercakup dalam dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar atau dalil-dalil umum yang mensyariatkan menyampaikan nasehat kepada penguasa. (M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 5).

Dalil-dalil umum tersebut, misalnya firman Allah SWT yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar seperti ayat :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran : 104).

Selain itu juga terdapat dalil-dalil umum dari hadits Nabi SAW yang mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada pemimpin (muhâsabah al-hukkâm), misalnya sabda Rasulullah SAW :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada (di surga kelak) adalah Hamzah bin Abdil Muthallib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan Imam (Khalifah) yang zalim, lalu laki-laki itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, no. 4884, hadits shahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah Ash-Shahîhah, no. 374).

Selain itu, juga terdapat dalil umum yang mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpin yang zalim, dan bahkan perbuatan ini disebut afdholul jihâd (seutama-utama jihad) oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam hadits berikut :

عَنْ أبي سعيدٍ الخدري – رضي الله عنه- عنِ النَّبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: أفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ. رواه أبو داود، والترمذي، وقال: حديث حسنٌ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah DSAW telah bersabda,”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, no. 4344, Ibnu Majah, no. 4011, dan Tirmidzi, no. 2174. Imam Tirmidzi berkata,”Ini adalah hadits hasan”).

Dalil-dalil umum di atas merupakan dalil wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada para pemimpin/penguasa (muhâsabah al-hukkâm), dengan berbagai macam cara (al-uslûb) yang dibolehkan syariah, yang salah satunya adalah dengan cara melakukan demonstrasi (al-muzhâharât).

Mengomentari dalil-dalil tersebut, Syaikh Muhammad Abdullah Al-Mas’ari berkata bahwa nash-nash hadits tersebut bersifat mutlak, yakni tidak membatasi cara tertentu dalam menasehati nasehat penguasa, sehingga kritikan kepada penguasa boleh disampaikan secara rahasia dan boleh juga disampaikan secara terbuka. (Muhammad Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 60).

Namun bolehnya demonstrasi tersebut wajib dibatasi dengan 3 (tiga) syarat agar tidak terjadi penyimpangan syariah, yaitu ;

Pertama, tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah, misal mengajak penguasa menerapkan syariah Islam secara kâffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Dalil untuk syarat ini kaidah fiqih yang berbunyi :

اَلْوَسَائِلُ تَتَّبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا

“Al-Wasa`il tattabi’u al-maqashid fi ahkamiha”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausû’ah Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99).

Kedua, demonstrasi yang dilaksanakan wajib dilaksanakan secara damai, yakni tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata, misalnya membakar fasilitas publik (seperti halte bus umum), menggunakan senjata tajam, senjata api, bahan peledak, dsb. Dalilnya adalah larangan Nabi SAW untuk menggunakan senjata dalam menasehati penguasa :

مَن حَمَلَ عليْنا السِّلاحَ فليسَ مِنَّا

”Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami maka dia bukanlah golongan kami.” (man hamala ‘alaynâ as-silâh falaysa minna). (HR Bukhari, no. 6480, Muslim, no. 161).

Tiga, demonstrasi yang dilakukan tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah, misalnya merusak fasilitas publik, melakukan ikhtilâth (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya), dan melakukan tabarruj (perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya). Dalil untuk syarat ketiga ini adalah dalil-dalil umum yang telah melarang melakukan segala hal yang diharamkan syariah Islam.

Benarkah Mengkritik Pemimpin Harus Diam-Diam?

Sebagian ulama ada yang mengharamkan demonstrasi berhujjah dengan dalil yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin secara terbuka. Dalil tersebut adalah hadits dari Iyadh bin Ghanam RA, bahwa Nabi SAW bersabda :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

”Barangsiapa hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).

Namun hadits ini dinilai sebagai hadits dha’if (lemah) oleh Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari dalam kitabnya Muhâsabah Al-Hukkâm, sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dalil). Ada dua alasan mengapa hadits ini dha’if : (1) sanadnya terputus (inqitha’), yaitu periwayat hadits bernama Syuraih bin Ubaid tidak mendengar (simâ’) hadits ini secara langsung dari Iyadh bin Ghanam, dan (2) ada periwayat hadits yang dinilai lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayâsy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 41-43).

Andaikata hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah dicontohkan oleh para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar RA, ketika menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin Khaththab tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal RA memprotes dengan berkata,”Bagilah tanah itu atau kami ambil tanah itu dengan pedang!” (HR Baihaqi, no 18764, hadits sahih). Hadits ini menunjukkan Bilal mengkritik Khalifah Umar secara terbuka di hadapan umum. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fi Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).

Juga terdapat riwayat dari ‘Ikrimah RA, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas RA, maka berkatalah beliau,”Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda,”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW,’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari). Hadits ini juga jelas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib RA secara terbuka. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).

Berdasarkan dalil-dalil yang diuraikan di atas, boleh hukumnya melakukan demonstrasi untuk mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum, asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang sudah diterangkan di atas.

Boleh juga secara syariah mengkritik penguasa secara terbuka di berbagai forum yang seluas-luasnya, misalnya di berbagai pengajian di masjid-masjid, kajian-kajian Islam di kampus, obrolan-obrolan santai di pasar, warung kopi, dan juga di berbagai sarana media massa apa pun juga yang memungkinkan, seperti membuat video kritikan di Youtube, menulis artikel di koran, majalah, buletin Jumat, dan lain-lain, khususnya melalui media sosial (medsos) yang luas jaringannya, seperti WA (Whatsap), Facebook, Twitter, Tiktok, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 23 September 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Kamis, 19 Mei 2022

Aksi Mahasiswa Turun ke Jalan, Harapan Perubahan Menuju Islam?


Tinta Media  - Isu penundaan pemilu masih hangat diperbincangkan. Ketika sejumlah ketua umum Parpol mendukung penuh penundaan pemilu, ternyata hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mereka turun ke jalan pada Minggu, 10 April 2022, melakukan aksi demo meminta wacana tersebut dihentikan.

Terus bergulirnya wacana tentang penundaan pemilu dan perpanjangan kekuasaan rezim menjadi tiga periode tersebut dilatarbelakangi oleh klaim hasil survei yang menyatakan, bahwa ada kepuasan rakyat atas kinerja rezim. Padahal, realitas yang ada berbanding terbalik dengan hal tersebut.

Adanya aksi mahasiswa yang menolak wacana tersebut merupakan simbol aspirasi rakyat dalam menggambarkan kekecewaan mereka atas kinerja rezim. Fakta kenaikan harga minyak goreng setelah sebelumnya terjadi kelangkaan, juga kenaikan harga salah satu jenis BBM, serta baru-baru ini kenaikan PPN menjadi 11%, merupakan berbagai kebijakan yang semakin menyengsarakan kehidupan rakyat, di tengah dampak pandemi covid yang masih dirasakan. Apalagi, sebelumnya rezim pun telah mengesahkan UU Omnibuslaw Ciptakerja, Minerba, dan kenaikan listrik secara berkala, serta UU lainnya yang jelas-jelas tidak prorakyat.

Ekonomi rakyat semakin morat marit, apalagi selama pandemi yang berdampak pada tingginya jumlah pengangguran akibat terjadi PHK besar-besaran di sektor industri. Hal ini menyebabkan jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan sangat melarat. Sebelum pandemi saja kemiskinan sudah menimpa banyak rakyat, apalagi ketika terjadi pandemi, kesengsaraan ini meningkat tajam. Ini merupakan bukti kegagalan rezim dalam mengatur urusan rakyat.
    
Namun, di balik kegagalannya, rezim malah ingin memperpanjang masa jabatan dengan menggulirkan wacana penundaan pemilu. Sontak hal ini membuat rakyat geram, sehingga memicu para mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia melakukan aksi demo menuntut penguasa.

Dalam press release yang diunggah, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyebut tuntutan atas berbagai polemik yang terjadi, di antaranya tentang kenaikan harga minyak goreng, konflik Wadas yang telah ada sejak tahun 2019, juga tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai dipaksakan dan belum ada pondasi yang  kuat serta semakin membebani rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa menuntut dan mendesak Jokowi-Maruf untuk berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji-janji kampanye di sisa masa jabatan dan menolak dengan tegas penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode, karena jelas mengkhianati konstitusi negara.

Sebagai kaum intelektual, mahasiswa dipandang memiliki peran besar dalam mengubah tatanan sosial. Mahasiswa merupakan agent of change atau agen perubahan masyarakat yang memiliki daya nalar kritis dan idealis. Selain itu,  mahasiswa sebagai guardian of value  harus mampu berpikir secara ilmiah dan mencari apa saja bentuk-bentuk dari fakta atau kebenaran yang terdapat dalam permasalahan-permasalahan yang terlihat maupun tertutup dari masyarakat.

Oleh karena itu, pemikiran mereka selayaknya digunakan untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang terjadi. Pemikiran yang kritis tidak boleh berhenti hanya mengkritik kekeliruan rezim. Namun, pemikiran kritis tersebut harus bisa membaca tentang apa akar masalah sebenarnya dari segala persoalan yang ada dalam setiap kebijakan rezim, sesuai fungsinya sebagai guardian of value.

Setiap kebijakan akan lahir dari sistem yang diterapkan, sehingga setiap kebijakan yang buruk pastinya lahir dari sistem yang buruk pula. Maka, jika banyak kebijakan rezim yang menyengsarakan rakyat, artinya sistem yang mengatur negara kitalah yang bermasalah.

Sistem Demokrasi Sekuler Kapitalis yang diterapkan di negeri ini adalah sistem kepemimpinan yang memisahkan agama dari kehidupan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, orientasi hidup hanya untuk mencari keuntungan dan materi semata.
Setiap aturan dibuat oleh manusia yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, yang akan dijalankan oleh para pemangku jabatan yang memiliki kekuasaan.

Namun, dalam pelaksanaannya, negara yang seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat dan berperan sebagai distributor rakyat justru hanya berperan sebagai regulator saja dan menghamba kepada kepentingan para oligarki, yang notabene sebagai pihak yang memainkan semua kebijakan penguasa.

Maka wajar, jika setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa selalu tidak prorakyat karena sering menyengsarakan rakyat, tetapi menguntungkan para oligarki. Agar para oligarki dapat terus meraup keuntungan dengan  terus  melanggengkan kekuasaannya, diwacanakanlah penundaan pemilu.

Oleh karena itu, aksi demo mahasiswa selayaknya menjadi angin segar perubahan untuk mengganti sistem yang batil ini, mencari sistem alternatif dan menghentikan setiap kezaliman yang terjadi, bukan sekadar ingin mengganti rezim penguasa. Alternatif satu-satunya dari sistem pengganti tersebut hanyalah sistem Islam.

Menjadikan Islam sebagai sistem pengganti merupakan solusi, karena Islam bukan  sekadar agama spiritual ataupun ritual saja. Namun, Islam juga merupakan agama politis. Dalam arti lain, Islam merupakan sebuah ideologi, karena Islam mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia yang berasal dari Allah Swt.

Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam hal akidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam hal makanan, minuman, akhlak dan pakaian, juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik dalam dan luar negeri, dan sebagainya. Seluruh aturan Islam ini akan diterapkan secara kaffah oleh sebuah institusi negara, yaitu khilafah, sebagai solusi dari berbagai masalah yang timbul di tengah kehidupan masyarakat, yang akan mengundang keberkahan dari Allah Swt, seperti firman-Nya:

" Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan limpahkan berkah dari langit dan bumi ...."
(TQS Al-' Araf; 96)

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 01 Mei 2022

Ketua GP-PMI: Perubahan Hakiki Tidak Lahir dari Sistem yang Salah


Tinta Media  - Ketua Gerakan Persatuan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (GP-PMI) Rizqy Awal dalam himbauannya ke kalangan mahasiswa, buruh, berbagai elemen dan beberapa gerakan yang terjun tanggal 21 April 2022  menyatakan perubahan hakiki tidak lahir dari sistem yang salah dan dipertahankan ini. 

“Dari kenyataan yang terjadi, sudah sepatutnya aksi kita butuh visi jelas sebab perubahan hakiki tidak lahir dari sistem yang salah dan dipertahankan ini,” tuturnya dalam live aksi 21 April: Sampaikan Pesan Penting Untuk Aksi Mahasiswa dan Buruh, Kamis (21/4/2022) di kanal Youtube MimbarTube.

Ia mengungkapkan aksi yang dilakukan harus membawa perubahan yang tidak bersifat sementara dan parsial tersebab tuntutan aksi terpusat pada perkara yang cabang. Harus ada perubahan hakiki yang terwujud dengan menyadari solusi yang besar dari ini (solusi yang ditawarkan dalam aksi)

“Maka visi kita yang benar akan melahirkan perubahan yang benar sehingga terwujud perubahan hakiki ketika kita menyadari bahwasanya ada solusi yang lebih besar dari ini,” ungkapnya.

Ia berharap aksi yang dilakukan ini menemui solusi pada setiap permasalahan. “Kita berharap meluruskan aksi dengan mencari apa penyebab semua permasalahan bukan menyelesaikan akibat agar negara ini membaik. Kita tidak menginginkan penggantian pemimpin tapi pada faktanya kondisi negeri ini tidak berubah membaik,” harapnya.

Ia mengingatkan pada bulan Ramadhan ini, meminta kepada semua pihak untuk kembali menjadi pribadi yang bertakwa dengan menjadikan Islam sebagai bagian dari solusi. “Bukankah keberkahan pun akan tercurah pada negeri yang menerapkan Islam secara sempurna. Sebagaimana janji Allah SWT dalam Surat Al-Araf ayat ke 96 (yang artinya) kalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka atas perbuatannya,” ujarnya.

Baginya mimpi jika berharap penguasa di sistem ini mengurusi rakyatnya. “Bagi penguasa, rakyat hanya diperlukan suaranya di 5 tahun sekali, juga sebagai background foto pencitraan dan sumber wajib pajak. Maka wajar menurutnya berbagai tuntutan yang diajukan pada aksi tidak terwujud dengan tuntas," ungkapnya.

Tuntutan Aksi

Menurutnya, ada enam tuntutan yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo beserta pemerintahannya untuk segera ditindaklanjuti, yakni:

Pertama, menolak penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Sejak masa reformasi berganti-ganti pemimpin tapi kondisi negeri kita sendiri tidak lebih baik dari sebelumnya, pokok persoalannya ada di dalam penerapan sistem kita pada hari ini. Bagi demokrasi Pemilu adalah harga mati,” katanya.

Kedua, mengkaji ulang Undang-Undang (UU) IKN yang berimbas pada kerusakan ekologi dan sosiologi. "Tak kalah mengkhawatirkan lagi dampak sosial dari UU IKN yang sengketa lahannya antara rakyat dan penguasa,” ucapnya.

Ketiga, mendesak menstabilkan kebutuhan harga pokok. “Kenaikan harga sembako seolah-olah menjadi hal biasa terutama menjelang puasa dan tahun baru. Tidak ada solusi, yang terjadi justru kenaikan harga-harga barang dan jasa yang termasuk kebutuhan dasar manusia sementara individu tidak juga naik, tak satu pun pemimpin hasil pemilu yang mampu mengatasi hal ini dengan tuntas,” ujarnya

Keempat, mengusut mafia minyak goreng. Karut-marut persoalan minyak goreng mulai dari langka dan dilepaskannya ke pasaran dengan harga yang fantastis.
“Sebagai penghasil CPO terbanyak di seantero dunia namun tidak mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Tuntutan mahasiswa untuk mengusut mafia minyak goreng kemungkinan tidak akan terlaksana meskipun kita tahu sudah ditetapkan sejumlah nama menjadi tersangka,” terangnya.

Kelima yaitu menyelesaikan konflik agraria. Dan tuntutan keenam, yakni memenuhi janji-janji kampanye.
“Diduga kuat akan teramat berat dan utopia untuk terealisasi,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 24 April 2022

Direktur Pamong Institute Ungkap Penyebab Mahasiswa Turun ke Jalan


Tinta Media - Ramainya aksi nasional mahasiswa sejak tanggal 8 April hingga puncaknya 21 April, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky menyebutkan sejumlah penyebab mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan.

“Jika mahasiswa sampai melakukan aksi turun ke jalan, pasti ada persoalan yang belum terselesaikan. Hal ini juga sebagai pertanda bahwa pemerintahan tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Minimal ada tiga penyebab mahasiswa turun ke jalan,” tuturnya dalam Mukmin Talk: Mahasiswa Turun Aksi, Tanda Demokrasi Mati? Rabu (20/4/2022) di kanal Youtube Mukmin TV.

Pertama, pemerintahan otoriter hingga menimbulkan upaya perlawanan. “Mahasiswa turun ke jalan karena pemerintahannya otoriter dan dzalim. Sehingga memicu untuk melakukan perlawanan,” ungkapnya.

Kedua, ada masyarakat yang tidak sejahtera. Aktivis dari Papua ini menambahkan, jika pemerintah atau rezim itu dzalim namun masyarakat kenyang dan sejahtera, maka tidak mungkin mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan.  

“Misalnya, mahasiswa kuliah bebas, gratis, dikasih uang saku serta dikasi kartu Indonesia pintar, Kalau itu dilakukan, mereka tidak kepikiran akan turun ke jalan walaupun pemerintahannya otoriter. Mereka akan berfikir, tidak apa-apa otoriter yang penting kita nyaman dan kenyang,” imbuhnya.

Ketiga, masih ada mahasiswa yang memiliki kesadaran hidup. Selain ketiga penyebab diatas, Ustadz Al-Maroky juga menyebutkan penyebab lain munculnya aksi yaitu saluran dari sistem politik demokrasi atau saluran suara rakyat tidak berjalan.

“Seandainya suara rakyat itu didengar, kuping rezim berfungsi dengan baik, maka tidak mungkin terjadi aksi turun ke jalan. Karena semua persoalan selesai. Nah, (saat) ini (persoalan) tidak selesai. Akhirnya, fungsi menyalurkan aspirasi rakyat tidak berjalan. Pemerintah tidak mendengarkan apa yang disampaikan (rakyat) sehingga mahasiswa harus turun,” pungkasnya. [] Ikhty

Jumat, 15 April 2022

Untuk Mewujudkan Perubahan, Ketua GP-PMI: Ganti dengan Sistem yang Kuat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1LStscnGrXQMqE6-lTmpiiytpaKIjPXjo

Tinta Media - Ketua Gerakan Persatuan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (GP-PMI) Rizqy Awal menuturkan bahwa untuk mewujudkan perubahan, dengan mengganti sistem yang kuat bukan hanya mengganti rezimnya.

“Mewujudkan perubahan bukan hanya mengganti rezim saja tapi mengganti dengan sistem yang baru, sistem yang kuat,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: Saatnya Mahasiswa Bersatu Bergerak Mewujudkan Perubahan, Senin (11/4/2022) di kanal Youtube Khilafah News.

Ia berpendapat saat ini mahasiswa harus mempunyai arah pandangan untuk mengganti tidak sekedar arah rezimnya saja. “Yang harus kita perhatikan adalah saat ini mahasiswa harus mempunyai arah pandangan untuk mengganti tidak sekedar arah rezimnya saja yang membangun akhlak rezim saja, tetapi juga membangun sistem yang baru, sistem yang kuat,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa Islam sebagai solusi yang bisa ditawarkan untuk memperbaiki bangsa.
“Di bulan Ramadhan ini, kenapa tidak kita menjadikan syariat Islam sebagai jalan untuk memperbaiki bangsa,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintahan saat ini tidak layak untuk dipertahankan. “Sistem yang hari ini dibangun itu harus diganti karena percuma jika kita memilih rezimnya diganti tapi sistem yang ada itu tetap,” ujarnya.

Ia melanjutkan alasannya dengan istilah untuk sistem yang ada seperti memelihara mobil yang rusak.
“Siapa pun presidennya akan tetap mobil rusak yang dipakai,” tegasnya.

Baginya, demokrasi saat ini tidak perlu diperbaiki tetapi harus diganti dengan sesuatu yang kuat yaitu sistem Islam.

Ia mengungkapkan bahwa selama ini Pancasila yang didengung-dengungkan tidak bertentangan dengan Islam, maka seharusnya Islam bisa diterapkan di dalam kehidupan negara. “Karena nilai-nilai Islam sesuai dengan bernegara, bahkan saya cukup meyakini pernyataan Bung Rocky Gerung, ia melihat hanya Islam saja yang bisa menunjukkan keadilan ini. Kita meresponsnya itu dengan bahasa politik bahwasanya keadilan itu hanya bisa ditegakkan ketika sistem Islam yang sempurna ini tegak,” jelasnya.

Ia menyatakan selama ini jika sepakat Pancasila disebut bagian dari Islam maka harus mengusung Islam.

“Ya sudah, kita mengusung Islam saja untuk bisa menjadi jalan pintas, jalan utama dalam menyelesaikan kondisi problematik kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada hari ini,” pungkasnya.[] Ageng Kartika

Selasa, 29 Maret 2022

Solusi Krisis Minyak Goreng dengan Demo Masak ala PDIP, Sastrawan Politik: Tidak Nyambung!

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Wf24xf7iH1IUyufMCzXFQZeYUo31Ifb_

Tinta Media - Terkait demo masak tanpa minyak goreng sebagai solusi problem minyak goreng yang diadakan oleh PDI Perjuangan, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menilai tidak nyambung dengan masalah yang tengah dihadapi.

“Masalah bangsa apa, solusinya apa, tidak nyambung. Demo masak tak perlu partai, cukup emak-emak kelas RT atau RW sudah bisa melakukannya,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin(28/3/2022).

Seperti disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristianto di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta Pusat (Minggu 27/3/2022) bahwa demo masak akan dibuka langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Sekolah Partai DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada Senin (28/3/2022) pukul 13.30 WIB.

Sastrawan politik ini beranggapan, demo ini diselenggarakan kemungkinan hanya untuk menutupi rasa malu Ketumnya, atas komentar yang tak berempati perihal kelangkaan dan mahalnya minyak goreng.

“Mungkin saja ini hanyalah cara PDIP menutup malu Ketumnya Megawati, yang sebelumnya banyak disemprot emak-emak akibat komentar tak berempati terkait mahal dan langkanya minyak goreng,” ujarnya.

Operasi pasar minyak goreng yang sebelumnya dilakukan PDIP, merupakan upaya bermain citra. Menyeret nama PDIP dan partai PSI pada masalah kelangkaan minyak goreng. Seperti diketahui sebanyak 10 ton minyak goreng dibagikan oleh PDIP, sedangkan PSI menggelar pasar murah. "Lah itu minyak 10 ton darimana? Dari menimbun?” sindir Khozi.

Menurutnya, solusi yang ditawarkan PDIP tidak jelas, padahal  sebenarnya kelangkaan dan mahalnya minyak goreng juga tanggung jawab PDIP sebagai partai berkuasa, dan Presiden Jokowi adalah petugasnya.

“Alih-alih menyelesaikan masalah dengan menegur petugas partainya yang tidak becus mengurusi minyak goreng, malah sibuk mau demo masak tanpa minyak goreng,” kilahnya.

“Mungkin nanti makanan seperti keripik, kerupuk, gorengan dan sejenisnya cukup direbus saja. Mungkin penjual nasi pecel lele, bebek Madura, cukup direbus saja,” sindirnya lagi.

Meski menurutnya tak elok jika PDIP bersikap oposisi dalam masalah minyak goreng, namun tidak etis jika berkomentar tak pantas terkait  minyak goreng.
Dijelaskannya pula, sebagai partai berkuasa, Ketua DPR dari PDI-P, Presiden dari PDI-P, harusnya untuk mengatasi masalah minyak goreng, mesin politiknya yang di DPR maupun di eksekutif digunakan.

“Partai mestinya gunakan mesin politiknya, baik di DPR maupun eksekutif untuk mengatasi minyak goreng. Apalagi, PDI-P partai berkuasa. Ketua DPR dari PDI-P, Presiden dari PDI-P, kurang apalagi?” tegasnya.

“Kalau cuma bikin demo masak, udah ganti aja PDI-P jadi panitia pengurus gizi di posyandu. Gak usah koar-koar masalah politik lagi,” tandasnya. []Sarie Rahman


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab