Kemiskinan di Indonesia Masih Sangat Tinggi
Tinta Media - Kemiskinan di Indonesia bisa jadi masih sangat tergolong tinggi lebih dari sekadar data angka-angka yang telah diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), yakni adanya penurunan data angka kemiskinan 0,21%, yaitu dari 9,57% per September 2023 menjadi 9,36 % hingga Maret 2023. [https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/07/17/2016/profil-kemiskinan-di-indonesia-maret-2023.html]
Sebab BPS juga mencatat, bahwa batas garis kemiskinan Indonesia adalah sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan.
[https://nasional.kontan.co.id/news/garis-kemiskinan-naik-penghasilan-rp-550458-per-bulan-masuk-kategori-miskin].
Penetapan batas garis kemiskinan tersebut tentu dapat dinilai masih sangat begitu rendah.
Apalagi sebagian besar penghasilan masyarakat, juga faktanya digunakan untuk membeli fasilitas publik dan kebutuhan dasar atau pokok yang kini harganya begitu tinggi alias mahal. Seperti biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik dan air, serta kebutuhan-kebutuhan lain.
Padahal, fasilitas publik dan kebutuhan dasar atau pokok yang dibutuhkan bagi hajat hidup orang banyak tersebut seharusnya berbiaya murah atau terjangkau oleh masyarakat jika benar-benar serius ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kemiskinan Struktural
Jika kita kaji secara mendalam, kemiskinan yang terjadi di negeri ini sesungguhnya kemiskinan struktural sistemik, bukan kemiskinan alami yang hakiki.
Kemiskinan struktural sistemik adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh penerapan sistem politik tertentu. Dalam hal ini adalah sistem politik demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalisnya yang telah membuat sebagian besar masyarakat kesulitan mengakses sumber daya alam (SDA) yang menjadi kebutuhan mereka.
Sistem ekonomi kapitalis meniscayakan pengelolaan SDA yang sejatinya milik rakyat, tetapi diserahkan kepada swasta para pemilik modal dalam negeri maupun asing.
Demikian pula dalam pengelolaan fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan transportasi dan SDA baik migas maupun non migas, sistem ekonomi kapitalis juga melibatkan peran swasta yang cukup besar di dalamnya.
Alhasil rakyat harus membeli dengan harga mahal segala kebutuhan mereka karena pihak swasta hanya berorientasi pada profit atau keuntungan kepentingan bisnis, bukan pelayanan.
Kondisi ini jelas sekaligus mengonfirmasi bahwa peran negara dalam sistem politik demokrasi dengan ekonomi kapitalismenya hanya sebagai regulator, bukan pengurus urusan rakyat.
Sebagaimana yang kita saksikan, kebijakan dan aturan yang ditetapkan negara justru menjamin kebebasan pihak swasta untuk mengelola SDA, fasilitas publik hingga pelayanan publik.
Dengan kata lain, negara condong kepada kepentingan swasta dan asing, bukan kepada kepentingan untuk rakyat. Akibatnya, biaya kehidupan menjadi tinggi sedangkan pendapatan rakyat rendah, sehingga daya belinya pun menjadi rendah.
Solusi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam berikut sistem politik dan pemerintahannya (Khilafah) yang menjalankannya, Syariah Islam di bidang ekonomi ketika diterapkan pasti mampu meningkatkan daya beli masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.
Ketika sistem ekonomi Islam diterapkan secara Kaffah, sangat mungkin bahkan pasti akan bisa menghasilkan kesejahteraan bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya.
Sebab, dalam sistem ekonomi Islam, fasilitas publik seperti transportasi pendidikan dan layanan kesehatan wajib disediakan oleh negara dengan harga yang semurah-murahnya, bahkan gratis.
Hal ini, karena Islam memposisikan penguasa sebagai pengurus urusan umat atau ro'in. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW yang artinya,
"Imam atau Khalifah adalah ro'in atau pengurus rakyat. Dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhori)
Pelayanan publik yang diberikan negara secara gratis tersebut akan ditopang oleh penerapan konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam dikenal adanya konsep kepemilikan umum untuk keadilan pendistribusian, yakni harta yang setiap orang (individu) boleh memiliki hak dan andil di dalamnya dan harta-harta yang dibutuhkan hajat hidup orang banyak yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau sekelompok individu.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya,
"Bahwa manusia bersekutu dalam kepemilikan atas tiga hal, yaitu air, padang gembalaan (tanah) dan api (energi). (H.R. Ahmad)
Islam juga telah menetapkan, harta milik umum tersebut hanya boleh dikelola oleh negara untuk dikembalikan pemanfaatan atau keuntungannya kepada rakyat.
Sebagaimana halnya migas dan nonmigas seperti tambang emas, batubara, nikel, dan SDA yang lainnya, ini hanya boleh dikelola negara untuk dimanfaatkan rakyat. Pemanfaatannya bisa dalam bentuk BBM dan listrik murah hingga biaya pendidikan dan kesehatan berbiaya murah, bahkan gratis. Negara tidak boleh melibatkan pihak swasta dalam pengelolaannya yang terkategori harta-harta milik umum tersebut.
Dan dari sisi peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, sistem ekonomi Islam juga mewajibkan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.
Bahkan dalam kondisi tertentu negara membantu masyarakat secara langsung dengan memberi subsidi (pemberian) sebagai penunjang pembiayaan hidup yang meningkatkan daya beli bagi rakyatnya.
Lapangan pekerjaan dalam Khilafah akan sangat luas, sebab industri-industri strategis yang mengelola SDA berada di bawah pengelolaan negara. Industri-industri inilah yang akan menyerap banyak tenaga kerja.
Demikianlah sistem ekonomi Islam akan mampu mencegah munculnya persoalan kemiskinan di tengah masyarakat. Dan sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan oleh institusi Khilafah Islamiyah. []
Oleh: Muhar
Sahabat Tinta Media