Tinta Media - Meski sudah melahirkan tiga orang anak, penampilannya masih
tomboy: pakai kaos, celana 𝑗𝑒𝑎𝑛𝑠 dan
sepatu sket bila bepergian. Bila sekadar berada di sekitar rumah atau ke
warung, celana pendek dan kaos menjadi favoritnya.
“Malu pakai baju perempuan, apalagi pakai kerudung,” ujar
Nur Aliyah, warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, kepada 𝐴𝑙-𝑊𝑎’𝑖𝑒,
akhir Juni 2011.
Namun, tidak lama sejak mengikuti tabligh akbar dai mantan
artis Hari Moekti awal Februari 2009 di Masjid Al-Birru, Jagakarsa,
penampilannya berubah 180 derajat: kerudung dan jilbab selalu dia kenakan tiap
kali ke luar rumah.
Bahkan perempuan kelahiran Jakarta 46 tahun lalu itu kini
menjadi seorang aktivis dakwah. Suami, ketiga anaknya, kedua orang tuanya,
saudara-saudaranya, serta tetangganya, semua dia ajak memahami Islam kaffah.
𝐊𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐤𝐮𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐦𝐞
Aliyah mulai benar-benar melepaskan kerudung sejak duduk di
bangku SMP. Sebelumnya, semasa SD ia rajin mengaji dan mengenakan karebo
(sebutan untuk pakaian Muslimah saat itu), namun pulang ngaji karebo-nya
kembali dilepas.
“Terus sudah selesai 𝑑𝑖𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑖𝑛.
Pakai celana pendek lagi. Kalau keluar, baru pakai celana panjang,” kenangnya.
Aliyah merasa tidak bersalah dengan caranya berpakaian. Ia
pun memiliki karakter yang tidak mau diam bila melihat hal-hal yang dia anggap
tidak benar. Celakanya, nilai yang dianggap benar olehnya saat itu adalah nilai
sekularisme, nilai yang memisahkan kehidupan sehari-hari dengan agama.
Makanya ketika duduk di bangku SMA dan melihat ada temannya
mengenakan kerudung dan rok yang lebih panjang dari anak sekolah lainnya, ia
langsung angkat bicara.
“Ini sekolahan. Kamu jangan pakai kerudung begitu. Kalau
pakai kerudung itu di pengajian!” ketusnya saat itu.
𝐌𝐞𝐧𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠
𝐊𝐞𝐳𝐚𝐥𝐢𝐦𝐚𝐧
Meski demikian, Aliyah pun termasuk orang yang peduli. Ia
tidak suka bila melihat ada orang yang dizalimi. Ia langsung melabrak
teman-temannya yang mengejek teman sekelasnya yang terkena penyakit kulit
eksim.
Ia pun muak dengan pemerintahan yang korup yang
dipertontonkan di televisi. Ia senang sekali ketika melihat ada suara-suara
lantang di televisi menentang kezaliman pemerintah. Apalagi melihat ormas Islam tersebut di televisi yang mengibarkan bendera hitam dan putih demo menentang
kenaikan harga BBM, menentang kezaliman lain yang dilakukan pemerintah.
Makanya, ketika melihat ada pamflet tablig akbar yang
diselenggarakan oleh ormas Islam Jagakarsa, ia dan salah satu anak perempuannya datang. Ia
mendengar ceramah Kang Hari Moekti dengan saksama dan mengisi angket kesediaan
mengenal ormas Islam tersebut lebih lanjut.
Dua pekan setelah ia melingkari opsi bersedia, kemudian
datanglah seorang aktivis Muslimah Jagakarsa yang diutus mengontak dirinya.
Usai mendengar aktivis itu menjelaskan visi, misi dan aksinya, Aliyah langsung
berkomentar, “Ih, ini mah 𝑛𝑔𝑎𝑗𝑎𝑘𝑖𝑛
mendirikan negara Islam.”
Dengan enteng sang aktivis menjawab, “𝐸𝑚𝑎𝑛𝑔
iya.”
Sejenak Aliyah tertegun memikirkan jawaban aktivis tersebut.
“Apa iya, jangan-jangan nanti aku jadi pemberontak? Tapi ya sudah deh, ikutin
saja dulu,” ujarnya menceritakan jalan pikirannya saat itu.
Ia pun menyangka nantinya dirinya akan disuruh melakukan bom
bunuh diri. Namun, sangkaan itu sirna setelah dijelaskan bahwa metode
mendirikan negara Islam itu dengan dakwah bukan dengan bom.
Setelah dijelaskan tentang akidah Islam dan kewajiban
terikat terhadap syariah, maka dua bulan setelah pertemuan itu, tanpa membantah
ia pun langsung bersedia mengamalkan Al-Qur’an surah an-Nur Ayat 31, yakni
mengenakan kerudung (𝑘ℎ𝑖𝑚𝑎𝑟) hingga
menutup dada, serta menggunakan baju terusan tanpa terpotong (𝑗𝑖𝑙𝑏𝑎𝑏)
hingga di bawah mata kaki (𝑖𝑟𝑘ℎ𝑎), sesuai
dengan Al-Qur’an surah al-Ahzab Ayat 59.
Ia selalu mengenakan keduanya setiap kali ke luar rumah atau
ketika menemui laki-laki yang bukan mahram di dalam rumah sesuai perintah Nabi
Muhammad SAW di dalam berbagai haditsnya.
Ilmu yang dia dapat dari pertemuan rutin sepekan sekali, ia
sampaikan kembali kepada teman-teman, tetangga dan keluarganya. Teman dan
keluarganya tidak semua tinggal di Jagakarsa. Ada yang di kecamatan lain,
bahkan di luar Jakarta.
Karena itu, pada hari ini ia bisa di Lenteng Agung, esoknya
ke Pondok Labu, di hari lain ke Bogor. Semua dia ajak untuk mengkaji Islam
lebih dalam. Selain itu ia pun memberikan oleh-oleh bacaan buat mereka.
“Waktu aku kontak-kontak itu, ngasih Media Umat, al-Wa’ie
dan al-Islam. Pokoknya, itu tas penuh. Biar kata 𝑔𝑎 ada duit, 𝑏𝑖𝑎𝑟𝑖𝑛
saya beli, nanti rezekinya Allah beri lagi,” ujar wanita yang berlangganan lima
eksemplar tabloid Media Umat itu.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐚𝐡
“Ibu Aliyah itu orangnya mau berpikir, mau berubah ke arah
yang lebih baik, banyak ibu-ibu yang dikontak, meski sudah dijelaskan tentang
akidah Islam, keterikatan terhadap syariah dan dibacakan dalil-dalilnya tetap
saja tidak berubah,” ujar aktivis yang mengontak Aliyah kepada 𝐴𝑙-𝑊𝑎’𝑖𝑒.
Hari Moekti dalam tablig akbarnya di Al-Birru dua tahun
lalu, dengan tegas mengatakan semoga yang hadir dalam majelisnya saat itu
mendapatkan berkah dari Allah SWT.
“Berkah artinya 𝑧𝑖𝑦𝑎𝑑𝑎𝑡𝑢𝑙
𝑘ℎ𝑎𝑖𝑟 (bertambahnya kebaikan)!” lantangnya di
depan Aliyah dan ratusan warga Jagakarsa lainnya.
Masyaallah, rupanya Aliyah mendapat keberkahan itu. “Yang
istiqamah, ya Bu!” 𝐴𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛. []
Oleh: 𝐉𝐨𝐤𝐨 𝐏𝐫𝐚𝐬𝐞𝐭𝐲𝐨
𝐷𝑖𝑚𝑢𝑎𝑡 𝑑𝑖
𝑚𝑎𝑗𝑎𝑙𝑎ℎ 𝐴𝑙-𝑊𝑎’𝑖𝑒
𝐸𝑑𝑖𝑠𝑖 𝐾ℎ𝑢𝑠𝑢𝑠
𝑁𝑜. 131: 𝐺𝑒𝑚𝑝𝑖𝑡𝑎
𝐾𝑜𝑛𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑠𝑖
𝑅𝑎𝑗𝑎𝑏 1432 𝐻 (𝐽𝑢𝑙𝑖
2011).
Assalaamu'alakum Wr. Wb.
Telah wafat sdr. Nur Aliyah M.Pd/Alumni Program Studi MPI STAI ALHIKMAH Jakarta Angkatan 2020. Semoga beliau termasuk من اهل الخير و اهل الجنة...🤲🤲, dan marilah sejenah kita membacakan Al-Fatihah kepada Almarhumah...الفاتحة...
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
(Suhada)