Kajian Sejarah Hubungan antara Dakwah dan Khilafah Turki Utsmani dengan Islam di Nusantara merupakan Historiografi Baru Sejarah Islam Indonesia
Tinta Media - Menanggapi kajian sejarah hubungan dakwah dan khilafah Turki Utsmani dengan Islam di Nusantara, Sejarawan Muslim Moeflich H. Hart, menyampaikan bahwa hal itu merupakan historiografi baru sejarah Islam Indonesia.
"Nah, ini yang saya sebut sebagai historiografi baru sejarah Islam Indonesia," tuturnya dalam acara Diskusi Buku Dafatir Sultaniyah, Jumat (21/10/2022), yang ditayangkan melalui Kanal Youtube Rayah TV.
Menurutnya, yang dimaksud dengan historiografi baru sejarah Islam di Indonesia itu adalah kajian-kajian sejarah tentang hubungan dakwah melalui institusi politik kekhilafahan dan hubungan diplomatik antara Turki Utsmani dengan Islam Nusantara.
"Yaitu buku 'Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda' karya Nicko (Nicko Pandawa), buku
'Turki Utsmani dan Indonesia' tentang bukti-bukti arsip hubungan Islam Nusantara dan Khilafah Turki Utsmani, termasuk buku kecil Dafatir Sulthaniyah yang merupakan intisari atau rangkuman dari dua buku besar 'Southeast Asian Relation with The Ottoman Empire' karya sejarawan Turki, Ismail Keddi dkk yang sekarang dibaca di Indonesia," paparnya.
Ia mengungkapkan juga bahwa perhatian sejarah Islam Indonesia terhadap topik kekhilafahan, sebelumnya, selama ini.. jarang sekali.
"Sejarah Islam Indonesia kebanyakan tentang islamisasi, peran ulama, tentang kitab-kitab, naskah-naskah, gerakan dakwah, kerajaan, politik. Itu saja yang dominan dipelajari oleh para penstudi sejarah," terangnya.
Ia menilai tentang khilafah sangat jarang disentuh. Paling-paling bagian dari analisis tentang hubungannya ke Timur Tengah, misalnya sejarah haji.
"Itu pasti ada hubungannya. Hubungan antara negara bicaranya. Kemudian menyinggung kekhilafahan. Nah, sekarang ini, ini menjadi topik baru yang menarik setelah menjadi isu yang kontroversial di Indonesia," imbuhnya.
Ia menyebutkan bahwa perhatian, studi, penelitian tentang hubungan khilafah Turki Utsmani dengan Nusantara sebagai relasi politik, relasi sejarah, relasi islamisasi, selama ini belum muncul.
"Ini..., selama ini belum muncul, enggak ada! Hampir tidak ada! Akan sulit ditemukan!. Tidak ada lah!" tandasnya.
Mulai Muncul
Sejarawan yang akrab dipanggil Prof Moeflich ini mengungkapkan bahwa istilah khilafah ini muncul pertama kali setelah ada HT1.
"Nah, mulai munculnya itu pertama setelah ada HT1 yang terus mendakwahkan khilafah, kemudian ramai se-Indonesia, karena pengaruhnya makin meluas," jelasnya.
Ia memandang selama ini sejarah di kalangan masyarakat Islam Indonesia, sejarah Islam apalagi di komunitas studi -studi ilmiah Perguruan Tinggi, di buku-buku akademik, di jurnal itu, sejarah bukan sebagai api (Api Sejarah-judul buku).
"Tapi, sejarah sebagai abu, sejarah sebagai materi yang kering dan gersang, tidak ada ruhnya," sesalnya.
Ia menilai, kata-kata jihad, syariat Islam, khilafah, perlawanan ulama, pemberontakan ulama pada Belanda, peperangan, yang terdapat di dalam buku-buku, hampir semua kata-katanya tanpa ruh.
"Saya baca dalam semua, hampir semua buku-buku itu, kata-katanya tanpa ruh! Ga ada gairah! Ga ada ghirah! Ga ada ruh kata-kata itu!" imbuhnya.
Semuanya, lanjutnya, hanya penjelasan ilmiah akademik yang ketika orang membacanya, tidak ada untuk, misalnya mengagumi peperangan zaman dulu, mengagumi perlawanan ulama pada kolonial Belanda, kemudian syariat Islam yang diterapkan oleh beberapa atau banyak kesultanan itu menjadi inspirasi.
"Misalnya untuk solusi sekarang bangsa Indonesia yang kacau balau, yang lemah secara kedaulatan di mata dunia. Misalnya di negeri-negeri asing, negara oligarki, dan sebagainya, hampir tanpa solusi kita harus bagaimana? Terus-terusan ganti presiden tapi belum pernah kita menemukan presiden yang bisa mengatasi masalah berat itu di Indonesia," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka