Ramai Anak Cuci Darah, Kegagalan Kapitalisme Menjamin Keamanan Pangan
Tinta Media - Konsultan nefrologi anak dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K) menanggapi terkait ramai kabar anak-anak ke RSCM untuk cuci darah. Dia menegaskan tidak terjadi lonjakan kasus anak ke RSCM yang menjalani cuci darah. dr Eka mengatakan saat ini ada sekitar 60 anak yang menjalani terapi pengganti ginjal di RSCM. Sekitar 30 di antaranya melakukan terapi dialisis atau cuci darah, sementara sisanya menjalani CAPD atau dialisis mandiri yang datang sebulan sekali ke rumah sakit.
Melalui survei yang dilakukan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ditemukan kondisi hematuria dan proteinuria pada urine anak-anak, yakni adanya darah dan protein dalam air kencing mereka. Ketua umum IDAI dr. Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, bahwa kondisi ini merupakan salah satu indikator awal kerusakan ginjal, penyebabnya adalah pola makan dan minum anak-anak yang saat ini terbilang kurang baik yaitu suka mengonsumsi makanan atau minuman yang manis-manis.
Tren pola konsumsi saat ini memang meresahkan. Makanan siap saji, minuman dengan kadar gula tinggi, makanan bergluten tinggi belum lagi makanan yang rasanya sudah dimodifikasi dengan bahan kimia sudah menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi masyarakat termasuk anak-anak. Apalagi jika si anak tidak menyukai makanan real food. Tidak jarang orang tua akan memberikan makanan kesukaan si anak sekalipun itu tidak bergizi, yang terpenting bagi mereka si anak mau makan.
Pola konsumsi tidak sehat tentu tidak lepas dari pola konsumtif dan permisif mengikuti tren. Pola konsumtif menjadi tren, karena sistem kehidupan sekularisme kapitalisme membuat masyarakat tidak mengaitkan pola konsumsinya sesuai dengan syariat. Akibatnya, para konsumen hanya berpikir bagaimana bisa menikmati dan mengikuti tren makanan saja, tidak lagi memperhatikan halal dan thayyibnya makanan itu.
Sementara para produsen makanan juga hanya memikirkan keuntungan tanpa memperhatikan halal dan thayyib. Sedangkan negara hari ini berlepas tangan dari urusan pola konsumsi masyarakat. Alhasil, masyarakat khususnya anak-anak yang menjadi korban tren makanan yang tidak sehat ini.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah tatkala mengatur konsumsi masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Sebagai ideologi, Islam memiliki aturan yang sempurna dan paripurna untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan tujuan dari penciptaannya. Termasuk perihal makanan, Islam tidak membiarkan hal tersebut dipenuhi sesuai keinginan manusia namun harus dipenuhi sesuai aturan syariah. Islam telah menetapkan standar bahwa makanan dan apapun yang dikonsumsi harus halal dan thayyib. Allah SWT berfirman:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)
Halal artinya terbebas dari segala bentuk zat yang telah diharamkan dalam Islam seperti bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah berdasarkan Quran surah Al-Maidah ayat 3. Juga binatang yang bertaring dan memiliki cakar tajam atau binantang yang menjijikan ini juga diharamkan dalam Islam.
Sementara thayyib bermakna bagus (al-hasan), sehat (al-mu’afa), dan lezat (al-ladzidz). Yang berarti makanan itu harus baik untuk kesehatan. Maka makanan yang dikonsumsi tidak boleh merusak tubuh, kesehatan, akal dan kehidupan manusia.
Standar makanan yang harus halal dan thayyib ini bukan hanya sebagai anjuran, namun wajib dijalankan baik itu individu, masyarakat, bahkan negara. Karena itu, agar syariat makanan yang harus halal dan thayyib tersebut menjadi standar di tengah-tengah masyarakat, maka Daulah Khilafah akan menetapkan beberapa kebijakan.
Pertama, Daulah Islam akan memberikan edukasi kepada masyarakat melalui sistem pendidikan Islam. Dalam lembaga pendidikan negara, masyarakat akan dididik supaya memiliki kepribadian Islam, sehingga pola pikir dan sikapnya sesuai dengan Islam. Dengan pola pikir dan sikap Islami, masyarakat akan senantiasa mengkaitkan semua aktivitas mereka dengan hukum Islam. Sehingga ketika mereka menjadi produsen makanan atau konsumen, akan selalu memastikan makanan yang diproduksi ataupun yang dikonsumsi sesuai dengan syariah.
“Makanan harus halal dan thayyib, tidak boleh ada zat yang berbahaya di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
“Makanan tidak boleh berasal atau bercampur dengan zat yang haram.” (HR. Tirmidzi)
Ketika produsen ataupun konsumen memahami standar makanan sesuai syariah, di sinilah upaya preventif bisa dilakukan agar masyarakat termasuk anak-anak terhindar dari pola makan yang salah. Selain itu, dengan sistem pendidikan Islam masyarakat juga akan diberi pemahaman bahwa tujuan konsumsi adalah untuk membuat badan sehat dan terpenuhi gizinya, sehingga mereka akan optimal dalam beribadah.
Melalui pendidikan Islam pula Daulah akan menjaga agar rakyatnya termasuk anak-anak terjaga dari pola konsumsi yang konsumtif dan hanya sekedar mengikuti tren. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika beliau menjadi seorang khalifah (pemimpin) pernah menegur seorang rakyat yang memiliki perut buncit, lalu beliau memerintahkan agar dia memperbaiki pola makannya.
Kedua, Daulah Khilafah akan menetapkan undang-undang terkait produksi makanan berdasarkan surah Al-Maidah ayat 88 dan dalil syariah lainnya terkait makanan. Dalam buku Fikih Ekonomi Umar, tergambar jelas disana ketika Khalifah Umar dalam mengatur bahkan memastikan agar setiap rakyatnya terhindar dari produksi dan pola konsumsi yang buruk. Begitu juga pada masa Khilafah Utsmaniyah, Daulah memberlakukan Qanun Bursa yang mengatur standarisasi toko roti dalam memenuhi hak konsumen.
Ketiga, Daulah akan memberi sanksi yang tegas kepada siapa pun yang melanggar aturan syariat terkait makanan. Dengan mekanisme seperti ini, Daulah Islam mampu memastikan seluruh masyarakatnya termasuk anak-anak agar terhindar dari pola konsumsi yang buruk. Dengan begitu anak-anak bisa terhindar dari penyakit gagal ginjal, diabetes dan penyakit akibat pola makan yang salah lainnya.
Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah