Remaja Cari Popularias Lewat CFW, Iwan Januar: Mereka Tak Paham Konsekuensinya
Tinta Media - Menanggapi maraknya anak-anak remaja yang mencari popularitas seperti melalui Citayam Fashion Week (CFW), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai bahwa mereka tidak paham konsekuensinya.
“Nah anak-anak ini, mereka kan mencari popularitas. Ingin eksis, ingin populer bahkan, karena tidak paham konsekuensi yang terjadi dari popularitas itu,” ujarnya pada acara Hijrah VS Hedon, Ahad (31/7/2022) di kanal YouTube Media Umat.
Menurut Iwan, kondisi ini disebabkan beberapa sebab. “Pertama karena kita harus akui bahwa ruang atau kanal bagi anak-anak generasi Z untuk ekspresif sudah sangat terbatas, yang sifatnya offline ya,” ungkapnya.
Kemudian menurutnya, yang kedua karena anak-anak ini dalam kondisi tidak seberuntung kawan-kawannya, bisa sekolah, kuliah, secara sosial juga menghadapi problem di tengah keluarga, di tengah lingkungan. “Mereka sebagai remaja dan sebagai manusia secara fitrahnya, itu kan juga ingin diakui, terutama di usia 11, 15, 17,” paparnya.
Ia mengungkapkan bahwa anak yang pintar banget bisa eksis di mata guru-guru, yang bandel banget juga. “Nah gini kan kalau anak-anak ini punya keberanian, pinter, it's oke. Tapi anak-anak yang kemudian mereka merasa tidak bisa berkompetisi dengan kemampuan otak mereka, itu kan dengan cara-cara lain, mereka sering disebut sebagai bandel, tapi sebetulnya ingin mengekspresikan diri, walaupun di sisi lain juga ada tadi faktor-faktor memang sosial yang mereka hadapi,” ungkapnya.
Iwan menyampaikan karena problem yang mereka hadapi, membuatnya ingin eksis dengan cara lain.
“Anak-anak yang kemudian jadi fenomenal di Citayam Fashion Week ini, mereka sebetulnya mewakili sebagian remaja Indonesia yang secara ekonomi tidak beruntung. Menghadapi kondisi sosial di keluarga yang juga tidak beruntung. Seperti itu, tapi mereka ingin eksis lagi, gimana caranya? Itu yang mereka lakukan,” paparnya.
Ia menilai ini juga disebabkan karena hidup masyarakat yang serba kapitalistik. “Barangkali ya, kalau kita lihat dari apa yang mereka lakukan, bahwa kita sudah hidup di masyarakat ya serba kapitalistik,” nilainya.
“Jadi, banyak sekarang ini tolak ukur orang itu oke, keren, begitu di kalangan remaja itu kan yang sifatnya materi,” lanjutnya.
Dia mencontohkan artis yang terkenal di tahun 2000-an dengan beberapa filmnya, namun kemudian ingin hidup normal. “Karena sudah mengalami banyak pahit, manis, asam, getirnya menjadi selebritis seperti itu,” ungkapnya.
Menurutnya, kalau para remaja ini nanti sudah mengalami itu pastikan akan mundur. “Dia enggak akan mau kembali, kapok gitu,” tuturnya.
“Apalagi dengan bertambahnya umur, yang mudah-mudahan nanti semakin dewasa, semakin kemudian berpikir dengan bijak, mudah-mudahan kemudian sadar bahwa gak begitu,” tegasnya kemudian.
Iwan menjelaskan bahwa kapitalisme itu menciptakan kesenangan semu. “Ada satu istilah adalah kebahagiaan itu dia mengalami seperti marginal utility value, semakin banyak dia pakai semakin kemudian dia bosan. Bahkan kemudian dia meninggalkan,” jelasnya.
Ia juga menggambarkan kondisi ini seperti orang yang lari di treadmill. “Jadi kayaknya sukses, tapi di situ-situ aja, sebetulnya. Makanya, muncullah kemudian hedonism treadmill, jadi orang itu senang, puas, tapi sebetulnya di situ-situ aja. Akhirnya, dia mengalami satu momentum kejenuhan,” tamsilnya.
“Tapi kalau enggak sadar itu memang makin terseret ke dalam budaya yang semakin parah,” pungkasnya. [] Raras