Tinta Media: Citayam Fashion Week
Tampilkan postingan dengan label Citayam Fashion Week. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Citayam Fashion Week. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Agustus 2022

Remaja Cari Popularias Lewat CFW, Iwan Januar: Mereka Tak Paham Konsekuensinya

Tinta Media - Menanggapi maraknya anak-anak remaja yang mencari popularitas seperti melalui Citayam Fashion Week (CFW), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai bahwa mereka tidak paham konsekuensinya.

“Nah anak-anak ini, mereka kan mencari popularitas. Ingin eksis, ingin populer bahkan, karena tidak paham konsekuensi yang terjadi dari popularitas itu,” ujarnya pada acara Hijrah VS Hedon, Ahad (31/7/2022) di kanal YouTube Media Umat.

Menurut Iwan, kondisi ini disebabkan beberapa sebab. “Pertama karena kita harus akui bahwa ruang atau kanal bagi anak-anak generasi Z untuk ekspresif sudah sangat terbatas, yang sifatnya offline ya,” ungkapnya.

Kemudian menurutnya, yang kedua karena anak-anak ini dalam kondisi tidak seberuntung kawan-kawannya, bisa sekolah, kuliah, secara sosial juga menghadapi problem di tengah keluarga, di tengah lingkungan. “Mereka sebagai remaja dan sebagai manusia secara fitrahnya, itu kan juga ingin diakui, terutama di usia 11, 15, 17,” paparnya.

Ia mengungkapkan bahwa anak yang pintar banget bisa eksis di mata guru-guru, yang bandel banget juga. “Nah gini kan kalau anak-anak ini punya keberanian, pinter, it's oke. Tapi anak-anak yang kemudian mereka merasa tidak bisa berkompetisi dengan kemampuan otak mereka, itu kan dengan cara-cara lain, mereka sering disebut sebagai bandel, tapi sebetulnya ingin mengekspresikan diri, walaupun di sisi lain juga ada tadi faktor-faktor memang sosial yang mereka hadapi,” ungkapnya.
  
Iwan menyampaikan karena problem yang mereka hadapi, membuatnya ingin eksis dengan cara lain.

“Anak-anak yang kemudian jadi fenomenal di Citayam Fashion Week ini, mereka sebetulnya mewakili sebagian remaja Indonesia yang secara ekonomi tidak beruntung. Menghadapi kondisi sosial di keluarga yang juga tidak beruntung. Seperti itu, tapi mereka ingin eksis lagi, gimana caranya? Itu yang mereka lakukan,” paparnya.

Ia menilai ini juga disebabkan karena hidup masyarakat yang serba kapitalistik. “Barangkali ya, kalau kita lihat dari apa yang mereka lakukan, bahwa kita sudah hidup di masyarakat ya serba kapitalistik,” nilainya.

“Jadi, banyak sekarang ini tolak ukur orang itu oke, keren, begitu di kalangan remaja itu kan yang sifatnya materi,” lanjutnya. 

Dia mencontohkan artis yang terkenal di tahun 2000-an dengan beberapa filmnya, namun kemudian ingin hidup normal. “Karena sudah mengalami banyak pahit, manis, asam, getirnya menjadi selebritis seperti itu,” ungkapnya.

Menurutnya, kalau para remaja ini nanti sudah mengalami itu pastikan akan mundur. “Dia enggak akan mau kembali, kapok gitu,” tuturnya.

“Apalagi dengan bertambahnya umur, yang mudah-mudahan nanti semakin dewasa, semakin kemudian berpikir dengan bijak, mudah-mudahan kemudian sadar bahwa gak begitu,” tegasnya kemudian.

Iwan menjelaskan bahwa kapitalisme itu menciptakan kesenangan semu. “Ada satu istilah adalah kebahagiaan itu dia mengalami seperti marginal utility value, semakin banyak dia pakai semakin kemudian dia bosan. Bahkan kemudian dia meninggalkan,” jelasnya.

Ia juga menggambarkan kondisi ini seperti orang yang lari di treadmill. “Jadi kayaknya sukses, tapi di situ-situ aja, sebetulnya. Makanya, muncullah kemudian hedonism treadmill, jadi orang itu senang, puas, tapi sebetulnya di situ-situ aja. Akhirnya, dia mengalami satu momentum kejenuhan,” tamsilnya.

“Tapi kalau enggak sadar itu memang makin terseret ke dalam budaya yang semakin parah,” pungkasnya. [] Raras

Selasa, 02 Agustus 2022

Fenomena CFW Gambaran Pemuda Krisis Jati Diri

Tinta Media - Mewabahnya racun Citayam Fashion Week (CFW) dinilai Muslimah Media Center menampilkan gambaran pemuda yang krisis jati diri.

"Terlepas dari masalah kreativitas anak muda, Fenomena CFW ini menampilkan gambaran pemuda yang krisis jati diri bahkan niat sholat saja tidak hafal. Korban kemiskinan sistemik dan gaya hidup liberal bahkan yang mengerikan adalah munculnya bibit-bibit L68T, " ungkap narator dalam Serba-serbi MMC: Kasus Bullying Hingga Racun Citayam, Bukti Perusakan Potensi Generasi, Jumat (29/7/2022) Melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.

"Fenomena baru ini sebenarnya menunjukkan cara pandang kehidupan yang diadopsi oleh masyarakat sekarang. Melihat realita, saat ini masyarakat positif terpapar sistem sekuler kapitalisme," lanjutnya.

Menurut narator, sistem ini membuat pemikiran, perasaan dan aturan yang berlaku terpisah dari agama. Agama diserahkan kepada individu masing-masing tanpa ada penjagaan terhadapnya. Sementara, untuk mengatur kehidupan, manusia merasa bebas melakukan apapun dan menilai standar kebahagiaan maupun kesuksesan terpaku pada tolak ukur kapitalisme yang bersifat materialistik.

"CFW menjadi salah satu fenomena tersebut. Kehidupan yang sekuler dan materialistik membuat para remaja yang seharusnya terikat dengan hukum Islam malah bebas mengekspresikan diri. Alhasil perundungan LGBT, haus eksistensi, menjadi viral dan menghasilkan uang menjadi cara pandang para remaja sekarang," bebernya.

Narator menegaskan, inilah bukti nyata perusakan dan pembajakan potensi generasi secara sistemik, sedangkan negara sekuler kapitalisme hanya membuat kebijakan, pernyataan normatif seperti mencarikan tempat untuk Fashion Week, memberi beasiswa dan menganggap itu adalah sebuah kreativitas.

"Dibutuhkan peran negara yang mampu mengeluarkan kebijakan dengan perubahan arah orientasi dan pembinaan generasi. Jika arah orientasi dan pembinaan generasi masih terkungkung dengan sistem kapitalisme, kerusakan generasi dimasa depan akan jelas semakin parah," pungkasnya.[] Yupi UN

Minggu, 31 Juli 2022

CFW, Replikasi dari Gerakan Sebelumnya

Tinta Media - Influencer Dakwah Doni Riwayanto, sebut fenomena  Citayam Fashion Week (CFW) sebagai replikasi dari gerakan yang sudah ada sebelumnya.

"Itu replikasi dari gerakan-gerakan yang sudah ada sebelumnya," ujarnya dalam Rubrik Dialogika Peradaban: CFW, Potensi Wisata atau Perusak Generasi? Sabtu (16/07/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, jika ditanyakan apakah CFW itu sebagai sebuah kreatifitas. "Ndak, ndak ada kreatifitasnya disitu. Ya hanya membebek saja. Oh di sana ada, orang bikin. Oh di sana ada, kita bikin, dan lain sebagainya," imbuhnya.

Ia memandang untuk menilai sesuatu itu kreatifitas, maka harus didefinisikan dulu apa arti dari kreatifitas itu sendiri.

"Kalau di dalam buku Hand Book of Creativity itu, the ability to create works in no form but approvide," kutipnya.

Maksudnya, ia melanjutkan, kreatifitas itu adalah sebuah kemampuan untuk memproduksi, membuat, menggagas, sesuatu yang bersifat baru. Tetapi, tidak hanya baru, tetapi sekaligus approvide, sesuatu yang diterima, sesuatu yang bisa bermanfaat, sesuatu yang memiliki dampak.

"Nah, kita mulai dari CWF. Ini jelas bukan gagasan baru. Kalau kita melihat, misalnya di Jepang. Mereka sendiri mengatakan ini semacam kayak gerakan di Jepang, harajuku. Berarti memang konsepnya kurang lebih seperti itu, kan? Harajuku kan?" ungkapnya.

Apakah hanya harajuku? lanjutnya. "Ndak juga. Di Korsel kita mengenal gangnam style. Itu sempat viral juga. Lagunya gangnam style itu juga sama," ujarnya.

Kalau di kajian kebudayaan, Doni memaparkan, "Itu adalah fashion street, fashion street culture (budaya ekspresi busana yang digelar di jalanan). Dan itu biasanya nanti disandingkan sebagai sub culture dari fashion yang lenggak-lenggok di cat walk di gedung megah gitu. Misalnya di Paris Fashion Week. Itu lenggak-lenggok fashion di tempat yang mewah," paparnya.

Menurutnya, Paris Fashion Week itu disubkultur oleh fashion street semacam itu (Citayam Fashion Week). "Sekarang kita melihat Citayam Fashion Week, ternyata di Jepang juga ada, di Korsel ada gangnam dan ternyata ini ada di mana-mana. Di Eropa kita mengenal Kopenhagen, kemudian kita mengenal Milan yang sama-sama memiliki semacam ini. Yang mengcounter fashion main stream high level, seperti Paris Fashion Week," terangnya.

Ia memandang, fenomena ini menggejala setelah Perang Dunia kedua. Perang Dunia kedua selesai tahun 1945. Di tahun 50-an, lima tahun setelah Perang Dunia kedua itu selesai, di negeri pemenang perang yaitu Amerika, geliat industri mulai bangkit. Geliat fashion yang ada di Prancis itu tetap ada seperti yang kita lihat. Kemudian ada subkultur yang melawannya, yaitu jalanan.

"Kalau kita di Amerika itu mengenalnya  hippies. Yang pertama-tama sekitar tahun 50-an akhir itu ada gerakan hippies. Terus kemudian ada gerakan skin head, ada gerakan funk yang mungkin kita bisa lihat sampai hari ini masih banyak di Indonesia. Misalnya di perempatan-perempatan gitu, ada orang yang mengenakan pakaian style funk itu juga bagian dari street fashion," urainya.

Biasanya, perlawanan cultural dari pinggiran ini, tidak hanya fashion. Fashion itu hanya satu bagian.

"Fashion, music, musik itu fun. Terus kita menyebutnya nanti itu food, fun , and fashion. Food, fun, and fashion ini satu kemasan culture yang kemudian nanti kalau saya sampaikan ada sesuatu yang ada di baliknya," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 30 Juli 2022

Fenomena Citayam, ImuNe: Akibat Pembangunan Kapitalistik

Tinta Media - Fenomena Citayam yang sedang tren, dinilai Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara sebagai akibat pembangunan yang kapitalistik.

“Fenomena Citayam merupakan akibat pembangunan kapitalistik yang berporos pada materi, tidak memperhatikan pembangunan manusia,” ungkapnya dalam acara Rubrik Muslimah Negarawan: Pemuda Citayam: Bergaya atau Tak berdaya? Senin (25/7/2022) melalui kanal Youtube Peradaban Islam.

Di samping itu, katanya, pembangunan perkotaan yang kapitalistik melahirkan kesenjangan serta tidak punya mekanisme untuk menghapus kesenjangan itu.

“Fenomena kesenjangan dibalik megahnya SCBD (Sudirman Central Business District), bisa kita lihat. Anak-anak Citayam ada yang putus sekolah, anak jalanan, ngamen, enggak mau ketinggalan, mereka bisa eksis dengan segala keterbatasannya di SCBD” paparnya.

Fika mengatakan, kapitalisme memaksa manusia berkumpul dan hidup di perkotaan agar bisa mengakses sumber-sumber kehidupan di zona-zona  pusat pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, ungkap Fika, aktor pembangunan, modal-modal pembangunan kebanyakan dari investor swasta, gratifikasi, suap, korupsi, menjadi budaya.

“Pemda atau Pemkot hanya meregulasi, memberi izin. Pada proses pemberian izin itulah sering ada transaksional, gratifikasi, upeti yang disetorkan,” ungkapnya.

Fika lalu menyimpulkan, wajar kalau tidak ada keberkahan, karena modal pembangunannya ribawi, aktor pembangunannya dilingkupi budaya suap menyuap, gratifikasi untuk memuluskan proyek, perputaran hartanya pun perputaran yang haram.

“Kemacetan, kesemrawutan, banjir, akhirnya terjadi,” ungkapnya sembari mengatakan ada yang lebih bahaya dari itu, yaitu kerusakan aspek mental, narkoba, pergaulan bebas, L68T dan lain-lain.

Masyarakat Islam

Fika mengatakan, bangunan masyarakat dalam Islam berbeda dengan kapitalisme. “Dalam Islam Rasul mencontohkan, sebelum membangun secara fisik, yang dibangun mental. Sebelum membangun peradaban yang megah, kota dengan  kecanggihan dan kemajuan teknologi, yang dibangun adalah masyarakatnya dulu,” terang Fika.

Makanya, lanjut Fika,  dikatakan dalam hadis “Al Madînatu kal kîr”.  “Rasulullah menggambarkan kota Madinah itu sebagai tungku api yang membersihkan dari kotoran-kotoran masyarakat, karena asas peradaban Islam, masyarakat Islam adalah ketakwaan kepada Allah (akidah Islam),” bebernya.

Fika juga menjelaskan bahwa gambaran kehidupan Islam adalah menggabungkan materi dengan ruh. “Iman kepada Allah sebagai ruh yang  terwujud dalam perbuatan-perbuatan takwa di tengah masyarakat. Makna kebahaginya adalah ridha Allah,”jelasnya.

Fika mengutip pendapat Imam al-Mawardi agar kita bisa membangun dunia termasuk membangun perkotaan, masyarakat urban yang beradab, masyarakat  pedesaan yang beradab, wajib menanamkan 6 kaidah pokok.

“Pertama, agama yang dianut (agama resmi negara); kedua, pemimpin yang berdaulat; ketiga,keadilan sosial bagi seluruh rakyat; keempat, keamanan dan ketentaraman masyarakat; kelima, negeri yang subur; keenam, cita-cita luhur,” bebernya.

Fika mengatakan, kalau agama sejak awal sudah diabaikan, tidak hadir pada ruang-ruang  publik, tidak terlalu hadir dalam ruang-ruang perkotaan, termasuk tidak hadir ketika generasi mudanya butuh di akui, butuh untuk dibesarkan, butuh untuk diberi apresiasi, ini kemudian menjadi persoalan.
 
Dakwah

Fika berpendapat bahwa dakwah Islam bukan semata-mata membuat seseorang hijrah secara individual, tapi dakwah Islam juga harus memberi sentuhan pada isu-isu yang  lebih makro, hijrah peradaban, hijrah perkotaan, bagaimana masyarakat muslim perkotaan itu mengenal pembangunan perkotaan yang baik dan benar sesuai arahan Islam.

“Para dai dan daiyah perkotaan harus bisa merespon ini dari segala sisinya, bagaimana berkomitmen mengembalikan kehidupan Islamini tergambar di benak masyarakat perkotaan, generasi perkotaan, membangun mental mereka, membangun cita-cita mereka,” tukasnya.

Menurut Fika, penggabungan materi dan ruh ini seharusnya juga mengisi ruang-ruang publik, menjadi inspirasi utama buat anak-anak di Citayam dalam mengekspresikan dirinya. “Mengekspresikan  imannya, mengekspresikannya ketaatannya  kepada Allah, bukan sekedar eksistensi dan aktualisasi,” tegasnya.

“Pengemban dakwah di perkotaan harus mampu menangkap tantangan ini. Para da’i harus betul-betul menguasai medan dakwah, melakukan observasi medan dakwah sehingga memiliki pemahaman utuh pada peristiwa,” sarannya.

Hasil observasinya,lanjut Fika, dijadikan materi dakwah dikaitkan dengan Al-Quran dan hadis tentang ruang hidup perkotaan dan tantangan generasi.

“Generasi bukan persoalan yang terpisah dengan keruangan. Artinya masalah ruang ini harus diperhatikan menjadi medan dakwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Minggu, 24 Juli 2022

Analis: Citayam Fashion Week Perlihatkan Dua Krisis

Tinta Media - Analis Sosial Media Rizqi Awal mengatakan, viralnya Citayam Fashion Week (CFW) di media sosial memperlihatkan adanya dua krisis.

“Sebenarnya ada dua krisis yang diperlihatkan," tuturnya dalam Kabar Petang: Sisi Gelap Citayam Fashion Week, Sabtu (23/7/2022) di Kanal Youtube Khilafah News. 

Pertama, krisis identitas. "Anak-anak muda kita, remaja-remaja ini pada akhirnya kekurangan identitas. Bagaimana membangun sikap mental yang baik,” ungkapnya.

Menurutnya, ada dua serangan utama yang dilakukan kapitalisme yaitu kehidupan sekuler dan Islamofhobia yang membuat wajah remaja saat ini menjadi suram. “Kenapa bisa begitu? Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan anak-anak remaja kita nantinya tidak mau tunduk pada aturan agama. Sehingga, norma-norma kehidupan mereka banyak terjadi penyimpangan. Kedua, wacana Islamofhobia ini akan muncul terus menerus,” ungkapnya. 

Bung Rizky, sapaan akrabnya membuat pengandaian, jika di kawasan Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok (SCBD) itu ada pembacaan Al Qur’an serentak, seperti halnya di Jogja dan bebarapa daerah yang sempat heboh sebelumnya, tentu akan dituding sebagai radikalisme. “Akan dituding sebagai gerakan intoleran yang bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
 
Padahal, menurutnya, seharusnya kawasan SCBD jika digeneralisai bisa dihidupkan wacana syariah, bisa dihidupkan dengan kajian, dengan baca Al Quran dan segala macam. “Lagi-lagi, kehidupan negara kita itu tertekan dengan baca-baca yang saya bilang tadi,” jelasnya.  

Kedua, krisis moral. Menurutnya, jika mengharapkan anak-anak muda punya persepsi yang berbeda, moralnya harus dibenerin dulu. 

“Kenapa? Karena antara identitas dan moral tidak ada dasar yang menjadi penopang anak-anak muda ini memiliki eksistensi yang baik. Harusnya, anak-anak muda saat ini kita dorong dengan dasar beragama yang bagus. Sehingga ketika mereka menampilkan aktualisasi, menjadi aktualisasi yang positif. Aktualisasi yang membanggakan bagi orang tuanya, masyarakat dan negara,” pungkasnya. [] Ikhty
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab