Tinta Media: Catatan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 November 2023

Dua Catatan Dr Riyan Terkait Pernyataan Kapolri yang Mengaitkan Isu Terorisme pada Tragedi di Palestina



Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. Riyan, M.Ag. memberikan dua catatan terhadap pernyataan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mengaitkan perang antara penjajah Zionis Yahudi dan Hamas di Palestina dapat membangkitkan sel-sel yang terafiliasi dengan teroris di Indonesia. Hal itu disampaikan dalam program Kabar Petang: Stop Kaitkan Isu Terorisme dengan Tragedi di Gaza! Di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (27/11/2023).

"Pertama, catatan saya adalah bahwa kita mesti mengingatkan, teroris yang sesungguhnya itu adalah entitas Zionis penjajah beserta pendukungnya. Dalam hal ini tentu saja kita tahu, ya Amerika dan sekutu-sekutunya," sebutnya.

Sehingga menurut Riyan, harus ditegaskan pula, bahwa Hamas juga rakyat Palestina dan siapapun yang kemudian mendukungnya bukanlah teroris sebagaimana stigma yang dibuat oleh Amerika dan entitas penjajah Zionis Yahudi.

"Karena merekalah justru yang harusnya dijadikan sebagai teroris sesungguhnya. Bahkan teroris dalam skala internasional," tegasnya.

Jadi, Riyan memandang, apa yang disampaikan Kapolri dalam konteks ini jelas merupakan hal yang tidak nyambung.

"Bagaimana mungkin pelaku teroris yang sesungguhnya yaitu entitas Zionis dan didukung oleh Amerika serta sekutu-sekutunya itu malah justru kemudian dianggap sebagai sesuatu yang baik. Dalam konteks ini bahwa seolah-olah yang salah itu adalah Palestina dan juga para pejuang-pejuangnya," herannya.

Kedua, Riyan melanjutkan, masyarakat harus dipahamkan betul bahwa akar masalah daripada persoalan Palestina ini adalah penjajahan.

"Penjajahan yang dilakukan oleh entitas  Zionis Yahudi  yang didukung oleh Amerika dan juga negara-negara sekutunya," terangnya.

Ia pun meyakini, bahwa perjuangan rakyat Palestina dan siapapun yang kemudian mendukungnya tidak ada hubungannya dengan terorisme.

Riyan lantas menilai, berita isu tentang terorisme adalah sebuah pengalihan permasalahan negara, karena menurutnya, hal itu senantiasa muncul ketika banyak sekali terjadi kasus-kasus besar persoalan yang lain, terutama yang terjadi di negeri ini.

" Ya misalnya seperti sekarang kita lihat, banyak pihak mengkritik adanya dinasti politik yang dilakukan oleh keluarga Presiden. Maka kemudian, kita tidak tahu tiba-tiba ada isu terorisme," pungkasnya. [] Muhar

Kamis, 29 Desember 2022

Refleksi Hukum 2022, LBH Pelita Umat Berikan Enam Catatan

Tinta Media - Merefleksi berbagai peristiwa hukum yang terjadi sepanjang tahun 2022 Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan enam catatan yang berimplikasi terhadap Islam.
 
“Berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki implikasi terhadap Islam dan umat Islam,” tuturnya kepada Tinta media, Selasa  (27/12/2022).
 
Pertama, kriminalisasi kebebasan pendapat. “Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” jelasnya.
 
Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut, menurutnya, pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu. 
 
“Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga  pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat,” bebernya.
 
Kedua, sebutnya, pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi di beberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut di antaranya di Surabaya, Yogyakarta dan lain-lain.
 
“Bahkan Amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama),” imbuhnya.
 
Padahal, lanjut Chandra, jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
 
“Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,”urainya.
 
Ketiga, kampanye radikal, ekstrimisme dan toleransi terus terjadi. Chandra mengatakan Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’. ‘Radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme’. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantaranya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. “Kampanye toleransi pun terus digalakkan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran,”kesalnya.
 
Keempat, terkait dengan penindakan terduga teroris yang tampak  menyasar umat Islam. Ia mencontohkan kasus dr. Sunardi yang ditembak mati  oleh Densus 88 lantaran diduga terlibat terorisme.
 
“Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan,”jelasnya.
 
Negara ini, terangnya, merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku.
 
Kelima, penistaan agama. Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama.  Kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah Saw. dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan, para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan,” bebernya.
 
 Keenam, pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi: 
 
 (1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
 
“KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun,”.ungkapnya.
 
Ia mengkhawatirkan norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
 
“Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru,”khawatirnya.  
 
Pasal karet, lanjut Chandra berpotensi akan ditafsirkan oleh penguasa. Hal ini pernah terjadi pada zaman Romawi Kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah tercover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.
 
“Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.
 
 

Selasa, 29 November 2022

Tak Habis Pikir dengan Deklarasi Manut Jokowi, Ini Catatan Hanif...

Tinta Media - Analis Politik-Media Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Hanif Kristianto tak habis pikir dengan Deklarasi '2024 Manut Jokowi' yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku relawan dan terhimpun dalam Gerakan Nusantara Bersatu.

"Tak habis pikir. Sebab secara catatan, tak bisa dipungkiri bahwa di era rezim Jokowi muncul polarisasi politik, pecah belah di antara ormas dan kelompok, kriminalisasi aktivis dan ulama, serta yang tak kalah memprihatinkan utang yang terus menumpuk," ujarnya kepada Tintamedia.web.id, Ahad (27/11/2022).

"Yang lebih mengherankan ialah islamofobia dikaitkan dengan politik identitas," tekannya.

Menurutnya, baru kali ini ditemukan relawan yang memberikan dukungan abadi. Seolah selama dua periode ini model terbaik kepemimpinan, padahal banyak sekali catatan. Bahkan ia pun heran, mengapa relawan harus kembali bersatu untuk manut kepada Jokowi? "Bukankah beliau juga akan mengakhiri kepemimpinan negeri ini," herannya.

Diberitakan, pertemuan yang dilaksanakan di Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat pada Sabtu (26/11/2022) tersebut menyatakan untuk manut atau patuh terhadap Jokowi di tahun 2024 mendatang.

Hal tersebut disampaikan perwakilan relawan di atas panggung seraya diikuti oleh para relawan yang hadir di lokasi. "Maka kami relawan Jokowi berhimpun dalam Gerakan Nusantara Bersatu, bersama Presiden Jokowi kami berkomitmen membentuk barisan kuat, mengawal Indonesia emas 2045, Indonesia yang maju. 2024 Manut Jokowi! 2024 Manut Jokowi!," kata mereka di lokasi.

Di sisi lain ia mempertanyakan atas dasar apa relawan fanatik patuh dan tunduk pada perintah seseorang. "Apa tak takut semua ini dikendalikan oleh kelompok oligarki dan kapitalis global dalam agenda mencengkram Indonesia?" tanya Hanif.

Sehingga alangkah baiknya apabila energi relawan dioptimalkan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah, baik penjajahan ekonomi, politik, maupun budaya.

Adalah Islam, agama sekaligus sistem kehidupan yang menurut Hanif, mampu membebaskan dari penjajahan. Dengan kata lain, Islam memberi solusi atas seluruh persoalan kehidupan.

Untuk itu, ia berharap, para relawan tersebut harusnya manut kepada Allah SWT dan rasulNya. "Maka, yuk relawan, semua berjuang wujudkan syariah kaffah," pungkasnya. [] Zainul Krian
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab