Rektor UIN Sebut Agama Candu, Tabayyun Center: Itu Pandangan Sekuler
Tinta Media - Mengkritisi pendapat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yograkarta, Prof. Al Makin yang menyoroti konten media sosial yang katanya penuh dengan simbol agama yang berlebihan sehingga agama menjadi candu, Abu Zaid dari Tabayyun Center mengatakan itu pandangan sekuler.
“Kita duga kuat memang sudut pandang yang dipakai oleh Prof. Al-Makin ini sudut pandang sekuler bahkan mungkin sekuler liberal,” tuturnya di Kabar Petang: Polemik Rektor UIN Sunan Kalijaga Menyebut Agama Menjadi Candu, Kamis (26/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Abu Zaid menjelaskan bahwa sekuler maknanya kehidupan itu tidak boleh diatur oleh agama (Islam). Islam itu hanya persoalan privat persoalan pribadi bukan perkara publik. “Sehingga kalau di ranah publik seperti sosial media itu dipenuhi konten-konten beragama dianggap sebagai sesuatu yang tidak santun.Kita bisa tangkap seperti itu. Jadi sudut pandang yang dipakai sekuler, “ tegasnya mengkritisi pernyataan Prof. Al-Makin.
“Tentu komentar beliau itu sangat tidak bisa kita terima karena komentar itu lahir dari akidah atau keyakinan sekuler yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam,” imbuhnya.
Moderasi Beragama
Terkait anjuran Prof. Al-Makin untuk mengemas pesan agama di medsos yang salah satunya melalui konten moderasi beragama, Abu Zaid menegaskan bahwa moderasi beragama itu sendiri harus dikritisi.
Menurut Abu Zaid, diantara ide moderasi agama yang paling kuat adalah pluralisme yang menganggap semua agama sama. “Sehingga kalau yang mengatakan Islam saja yang benar dianggap radikal. Kalau mengakui semua agama sama, baru dikatakan sebagai moderat,” tukasnya.
Abu Zaid menilai moderasi beragama itu proses menjadikan umat Islam bisa menerima sekulerisme sebagai ideologi mereka. “Jadi moderasi beragama itu supaya umat Islam bisa menerima sekularisme sebagai ideologi mereka dan kapitalisme ataupun demokrasi lebih khusus sebagai sistem hidup mereka,” tandasnya.
Jadi, umat Islam tidak lagi menuntut pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. “Itu sebenarnya yang diinginkan, sehingga umat Islam tidak lagi mempersoalkan penjajahan yang menimpa mereka yang dilakukan oleh ideologi sekuler kapitalis yang sekarang menguasai dunia,” tegasnya.
Abu Zaid mengatakan, ujung moderasi beragama adalah menjinakkan umat Islam supaya berakidah moderat, menyamadudukkan semua agama, tidak menganggap syariat itu perkara penting yang harus diterapkan secara kaffah.
“Moderasi beragama tidak bisa diterima oleh akidah Islam karena Islam mengatakan sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah itu hanya Islam. Jadi Islam saja yang benar yang lain tidak benar,” tegasnya.
Abu Zaid mengingatkan, meski Islam saja yang benar tidak identik dengan sikap garang, keras bahkan teroris. “Itu enggak ada hubungannya. Faktanya kaum muslimin di Indonesia ini sudah 700 tahun lebih ada dan sebagai agama mayoritas. Tapi tidak pernah membantai penduduk non Muslim. Kenapa? Karena Islam punya syariat yang mengatur hubungan dengan non Muslim," cetusnya.
“Jadi, kalau mengatakan Islam saja yang benar terus identik dengan kekerasan, bar bar, itu fitnah keji. Karena faktanya selama berabad-abad umat Islam mayoritas di negeri ini dan mengatakan agama Islam saja yang benar tapi tidak pernah terjadi hal-hal yang seperti dituduhkan,” terangnya.
Candu
Ungkapan agama itu menjadi candu dinilai Abu Zaid menyerupai pernyataan komunisme. "Menurut mereka agama itu meninabobokkan manusia sehingga tidak berani melawan kezaliman para kapitalis. Ini terjadi di Eropa,” paparnya.
Makna agama menjadi candu bagi tokoh agama, lanjutnya, adalah sebagai tameng. Sedang candu bagi umatnya dimaksudkan tidak berani melawan dominasi tokoh-tokoh agama dan kapitalis. “Ini tentu perkara yang harus kita kritisi bagaimana bisa terjadi seorang muslim menganggap agama itu candu,” jelasnya.
Abu Zaid pun berharap agar umat Islam lebih semangat belajar agama agar bisa membedakan mana yang sesuai syariat Islam mana yang tidak secara rinci. Bukan hanya mengandalkan tulisan atau video di sosial media.
Sekulerisme
Abu Zaid menyebut bahaya jika seorang muslim meyakini sekulerisme. “Berarti ia telah keluar dari Islam,” tandasnya.
“Apalagi komunisme. itu bahaya paling besar . Sadar atau tidak dia telah keluar dari Islam,” ungkapnya.
Bahaya selanjutnya kata Abu Zaid, ini akan berpengaruh terhadap pola hidupnya karena pandangan sekuler dan komunis itu nanti akan membuat dia tidak terikat lagi dengan akidah dan syariat Islam. Akibatnya, gaul bebas, hidup untuk dirinya saja, ngga jelas, suka-suka, ngga ada rasa tanggung jawab.
Untuk menghindari itu semua, menurut Abu Zaid, harus ngaji Islam kaffah. Tidak perlu takut dituduh jadi radikal. Ini tuduhan yang tidak terbukti sampai hari ini, karena betapa banyak justru faktanya semakin paham Islam itu akan semakin santun.
“Semakin tahu hak dan kewajibannya dia akan semakin santun pada dirinya sendiri, orang tuanya, keluarga dan masyarakatnya. Karena Islam memang memerintahkan untuk berbuat adil serta melaksanakan kewajiban untuk semua orang,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
“Kita duga kuat memang sudut pandang yang dipakai oleh Prof. Al-Makin ini sudut pandang sekuler bahkan mungkin sekuler liberal,” tuturnya di Kabar Petang: Polemik Rektor UIN Sunan Kalijaga Menyebut Agama Menjadi Candu, Kamis (26/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Abu Zaid menjelaskan bahwa sekuler maknanya kehidupan itu tidak boleh diatur oleh agama (Islam). Islam itu hanya persoalan privat persoalan pribadi bukan perkara publik. “Sehingga kalau di ranah publik seperti sosial media itu dipenuhi konten-konten beragama dianggap sebagai sesuatu yang tidak santun.Kita bisa tangkap seperti itu. Jadi sudut pandang yang dipakai sekuler, “ tegasnya mengkritisi pernyataan Prof. Al-Makin.
“Tentu komentar beliau itu sangat tidak bisa kita terima karena komentar itu lahir dari akidah atau keyakinan sekuler yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam,” imbuhnya.
Moderasi Beragama
Terkait anjuran Prof. Al-Makin untuk mengemas pesan agama di medsos yang salah satunya melalui konten moderasi beragama, Abu Zaid menegaskan bahwa moderasi beragama itu sendiri harus dikritisi.
Menurut Abu Zaid, diantara ide moderasi agama yang paling kuat adalah pluralisme yang menganggap semua agama sama. “Sehingga kalau yang mengatakan Islam saja yang benar dianggap radikal. Kalau mengakui semua agama sama, baru dikatakan sebagai moderat,” tukasnya.
Abu Zaid menilai moderasi beragama itu proses menjadikan umat Islam bisa menerima sekulerisme sebagai ideologi mereka. “Jadi moderasi beragama itu supaya umat Islam bisa menerima sekularisme sebagai ideologi mereka dan kapitalisme ataupun demokrasi lebih khusus sebagai sistem hidup mereka,” tandasnya.
Jadi, umat Islam tidak lagi menuntut pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. “Itu sebenarnya yang diinginkan, sehingga umat Islam tidak lagi mempersoalkan penjajahan yang menimpa mereka yang dilakukan oleh ideologi sekuler kapitalis yang sekarang menguasai dunia,” tegasnya.
Abu Zaid mengatakan, ujung moderasi beragama adalah menjinakkan umat Islam supaya berakidah moderat, menyamadudukkan semua agama, tidak menganggap syariat itu perkara penting yang harus diterapkan secara kaffah.
“Moderasi beragama tidak bisa diterima oleh akidah Islam karena Islam mengatakan sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah itu hanya Islam. Jadi Islam saja yang benar yang lain tidak benar,” tegasnya.
Abu Zaid mengingatkan, meski Islam saja yang benar tidak identik dengan sikap garang, keras bahkan teroris. “Itu enggak ada hubungannya. Faktanya kaum muslimin di Indonesia ini sudah 700 tahun lebih ada dan sebagai agama mayoritas. Tapi tidak pernah membantai penduduk non Muslim. Kenapa? Karena Islam punya syariat yang mengatur hubungan dengan non Muslim," cetusnya.
“Jadi, kalau mengatakan Islam saja yang benar terus identik dengan kekerasan, bar bar, itu fitnah keji. Karena faktanya selama berabad-abad umat Islam mayoritas di negeri ini dan mengatakan agama Islam saja yang benar tapi tidak pernah terjadi hal-hal yang seperti dituduhkan,” terangnya.
Candu
Ungkapan agama itu menjadi candu dinilai Abu Zaid menyerupai pernyataan komunisme. "Menurut mereka agama itu meninabobokkan manusia sehingga tidak berani melawan kezaliman para kapitalis. Ini terjadi di Eropa,” paparnya.
Makna agama menjadi candu bagi tokoh agama, lanjutnya, adalah sebagai tameng. Sedang candu bagi umatnya dimaksudkan tidak berani melawan dominasi tokoh-tokoh agama dan kapitalis. “Ini tentu perkara yang harus kita kritisi bagaimana bisa terjadi seorang muslim menganggap agama itu candu,” jelasnya.
Abu Zaid pun berharap agar umat Islam lebih semangat belajar agama agar bisa membedakan mana yang sesuai syariat Islam mana yang tidak secara rinci. Bukan hanya mengandalkan tulisan atau video di sosial media.
Sekulerisme
Abu Zaid menyebut bahaya jika seorang muslim meyakini sekulerisme. “Berarti ia telah keluar dari Islam,” tandasnya.
“Apalagi komunisme. itu bahaya paling besar . Sadar atau tidak dia telah keluar dari Islam,” ungkapnya.
Bahaya selanjutnya kata Abu Zaid, ini akan berpengaruh terhadap pola hidupnya karena pandangan sekuler dan komunis itu nanti akan membuat dia tidak terikat lagi dengan akidah dan syariat Islam. Akibatnya, gaul bebas, hidup untuk dirinya saja, ngga jelas, suka-suka, ngga ada rasa tanggung jawab.
Untuk menghindari itu semua, menurut Abu Zaid, harus ngaji Islam kaffah. Tidak perlu takut dituduh jadi radikal. Ini tuduhan yang tidak terbukti sampai hari ini, karena betapa banyak justru faktanya semakin paham Islam itu akan semakin santun.
“Semakin tahu hak dan kewajibannya dia akan semakin santun pada dirinya sendiri, orang tuanya, keluarga dan masyarakatnya. Karena Islam memang memerintahkan untuk berbuat adil serta melaksanakan kewajiban untuk semua orang,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun