Koalisi Cari Jodoh Kemenangan Pemilu 2024, Demi Rakyat atau Kekuasaan?
Tinta Media - Ketua DPR-RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani melakukan kunjungan ke Kediaman Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Hambalang, 4 Agustus 2022 lalu. Kunjungan tersebut dikatakan Puan sebagai awal untuk menjalin komunikasi terbuka antara PDI Perjuangan dan Gerindra.
"Komunikasi terbuka ini untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya koalisi antara kedua partai untuk menjadi pasangan capres dan cawapres dalam pemilu 2024 nanti. Karena segala kemungkinan bisa terjadi jelang pemilu," ungkap Prabowo.
Saling lirik pasangan sudah gencar dilakukan oleh partai-partai peserta pemilu 2024. Mereka berlomba-lomba main mata cari jodoh untuk dapat meraih kemenangan dalam pemilu mendatang. Safari politik dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas, walaupun dengan biaya yang sangat mahal.
Miris memang melihat tingkah polah para pejabat hari ini. Di saat rakyat menjerit merasakan kesulitan hidup akibat pandemi serta kenaikan harga BBM, mereka justru menutup mata dan telinga, seolah buta serta tuli dengan kondisi yang ada. Bukannya memberikan solusi atas permasalahan rakyat, mereka justru sibuk menyiapkan pencalonan diri untuk pemilu 2024.
Dukung-mendukung dan mengatur koalisi demi kemenangan pemilu 2024, menunjukkan keinginan mereka untuk bertengger lebih lama di kursi kekuasaan. Sementara posisi mereka di kekuasaan pada saat ini pun, belum menunjukkan kapabilitasnya dalam menyelesaikan persoalan rakyat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kesengsaraan hidup yang dirasakan oleh rakyat, tanpa ada solusi nyata dan tuntas.
Di sisi yang lain, terbentuknya koalisi antar partai, sesungguhnya menggambarkan lemahnya ideologi partai-partai tersebut. Setiap partai sejatinya haruslah memiliki ideologi dengan asas dan tujuan yang jelas. Namun, saat partai melakukan koalisi, maka fungsi kontrolnya akan melemah, bahkan mandul. Partai akan menjadi pragmatis dan melupakan ideologi yang menjadi asasnya.
Pragmatisme ini akan membuat sikap politik partai berubah-ubah setiap saat, seiring perubahan tempat dan waktu untuk meraih kursi kekuasaan. Hal ini menjadikan idealisme partai luntur, karena lebih mengedepankan target jabatan dan kedudukan. Ketika kader-kader partai politik tersebut berhasil duduk di kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif, maka jabatan yang dimiliki akan sangat mudah disetir oleh kepentingan dari pihak-pihak yang berkoalisi dengannya.
Semisal kader yang berhasil terpilih sebagai anggota DPR, yang berfungsi untuk membuat undang-undang, maka undang-undang tersebut akan sarat dengan kepentingan partai lain yang berkoalisi dengan partainya. Maka, terjadilah penyalahgunaan fungsi partai yang akhirnya berasas pada kemanfaatan untuk dirinya, partainya, dan rekan koalisinya.
Peraihan jumlah kursi parlemen yang besar, dimanfaatkan untuk menguasai suara mayoritas demi legalisasi suatu undang-undang untuk melanggengkan kekuasaan atau kepentingan mereka, walaupun harus menyengsarakan rakyat. Ingatlah jawaban para pejabat saat rakyat mengalami berbagai kesulitan hidup.
Bukannya memberikan solusi, mereka justru memberikan jawaban yang menyakitkan hati. Ketika cabai mahal, disuruh tanam sendiri, listrik mahal, disuruh cabut meteran, BPJS naik, disuruh jangan sakit, dan masih banyak lagi. Bahkan para "emak-emak dinyinyirin", dengan sebutan tidak kreatif mengolah masakan saat adanya kelangkaan minyak goreng. Ketika kini mahasiswa demo menolak kenaikan harga BBM, penguasa negeri ini berjanji menemui pendemo, tetapi malah kabur lewat pintu belakang.
Maka jangan heran, selama demokrasi masih bercokol di negeri ini, walaupun berulangkali pemilu dan berganti penguasa, fenomena seperti ini akan terus terjadi. Biaya politik yang mahal untuk meraih kekuasaan dalam sistem demokrasi menjadikan para politisi tak akan lepas perhatiannya dari target politik untuk semata-mata meraih tampuk kekuasaan, tanpa ada keinginan untuk melayani kepentingan rakyat, bahkan malah menyengsarakan rakyat.
Inilah wujud asli demokrasi. Plato sebagai pencetus awal konsep ini telah memprediksi bahwa dalam sistem ini akan lahir para penguasa tiran. Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat justru menjebak rakyat untuk mendukung kekuasaan yang dikendalikan olah oligarki. Para oligarkilah yang kelak akan mewujudkan diri sendiri sebagai para tiran.
Rakyat ditipu oleh wajah polos demokrasi. Janji-janji manis dan palsu selalu disebarkan politisi menjelang pemilu. Bahkan, saat mereka menang, janji tersebut tidak pernah terealisasi.
Hal ini berbeda dengan Islam yang merupakan sistem kehidupan. Dalam Islam, keberadaan partai politik diperintahkan oleh Allah Swt. dalam surah Ali-Imran ayat 104. Partai memiliki fungsi menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Partai politik Islam semestinya melakukan pembinaan kepada umat sekaligus membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah). Caranya adalah dengan menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok ukur yang benar sesuai Syariat Islam. Dengan itu, mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat dan benci jika berhukum dengan selainnya. Selain itu, partai politik Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran Islam kepada umat melalui sejumlah halqah muraqazah (pembinaan intensif) serta mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikirannya.
Dengan demikian, partai berperan sebagai pembimbing bagi umat. Partai politik Islam terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah pemikiran Islam mengenai akidah dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam bentuk yang dapat menyatukan umat. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan yaitu menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya hakim (pemutus perkara).
Aktivitas ini dilakukan kepada umat dan penguasa yang menjalankan kekuasaannya kepada umat. Inilah aktivitas politik yang seharusnya dilakukan partai politik, yakni menjaga agar kehidupan bernegara tetap terjaga dan berada di dalam rel yang benar, yakni sesuai Syariat Islam, bukan seperti partai politik saat ini yang mencari kursi dan kekuasaan, walaupun dengan menebar janji palsu.
Ada tiga orang yang Allah enggan berbicara kepada mereka pada hari kiamat kelak. Dia tidak sudi memandang wajah mereka dan tidak akan membersihkan mereka dari dosa. Serta akan mempersiapkan siksa yang amat pedih untuk mereka. Salah satunya adalah penguasa yang suka berdusta .... (HR. Muslim)
Wallahu'alam bishawwab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media