CAK IMIN, SIAPAPUN BOLEH NYALON KHALIFAH KECUALI YANG TERLIBAT KASUS DURIAN?
Tinta Media - "Saya pernah diskusi dengan penganut khilafah ini, saya jawab, saya setuju khilafah, asal satu khalifahnya saya sebagai pimpinan tertingginya, bukan orang yang ada di Inggris sana,"
[Muhaimin Iskandar, 23/6/2022]
Urusan Khilafah itu urusan agama, tidak bisa dianggap main-main. Hukumnya wajib, para Ulama empat mahzab sepakat akan hal ini. Tanpa Khilafah, seluruh kewajiban syara' yang pelaksanaannya harus dengan kekuasaan menjadi terbengkalai.
Terbengkalainya taklif syariat, seperti pelaksanaan hudud, Qisos diyat, Ta'jier dan Mukholafah yang merupakan wewenang Khilafah, adalah maksiat besar. Seluruh kaum muslimin menanggung beban dosa atas hal ini, kecuali mereka yang dengan segenap usaha berjuang sungguh-sungguh menegakkan Khilafah, namun Khilafah belum dapat ditegakkan.
Sangat tidak elok, bahkan tabu bagi seorang putra kiyai, akhir-akhir ini balihonya ingin dirinya disebut 'Gus' mengolok-olok Khilafah. Muhaimin Iskandar, atau Cak Imin, Ketua Umum PKB belum lama ini meledek soal Khilafah.
Dia mengaku setuju dengan konsep Khilafah, asal dirinya yang menjadi Khilafah. Dia tidak setuju kalau Khalifahnya dari inggris.
Pernyataan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) inj disampaikan usai memberi materi dalam seminar yang diadakan di Universitas Muslim Nusantara Al Wasliyah, Kamis (23/6/2022).
Statemen Cak Imin ini mengkonfirmasi beberapa hal :
Pertama, pernyataan ini menunjukan betapa jahilnya Cak Imin tentang konsep politik (siyasah) Islam. Kalau dia belajar politik Islam, tentu dia paham bahwa untuk menjadi Khalifah itu syaratnya harus : Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan memiliki kemampuan untuk mengemban tugas kekhalifahan. Hanya 7 ini saja syarat untuk menjadi Khalifah.
Tidak ada syarat menjadi Khalifah harus orang arab, inggris, perancis, afrika, eropa, indonesia atau harus orang jombang. Sepanjang memenuhi 6 syarat diatas, siapapun berhak menjadi calon Khalifah.
Calon Khalifah juga tidak butuh lolos Presidential Treshold 20 % dan diusung oleh Parpol. Syarat syarat seperti ini tidak berlaku, karena batil, tidak sejalan dengan dalil syariat.
Kedua, konfirmasi sikap yang menjadikan ajaran Islam yakni Khilafah sebagai bahan olok-olok, candaan, ledekan, yang ini tidak sejalan dengan teladan para pendahulu yang sangat menghormati bahkan mensakralkan ajaran Islam. Semestinya, kalaupun tidak sejalan lebih baik diam dan menahan diri dari mendiskreditkan ajaran Islam Khilafah.
Padahal, sudah ada fatwa MUI yang menegaskan Khilafah ajaran Islam dan merekomendasikan kepada Pemerintah dan masyarakat agar tidak mendiskreditkan Khilafah. Mungkinkah Cak Imin belum mengetahui fatwa MUI ini? Semakin kelihatan jahilnya, kalau tidak tahu.
Ketiga, statemen ini ahistoris, para pendahulu Bangsa Indonesia justru konsen pada perjuangan Khilafah pasca mendengar kabar Khilafah di runtuhkan di Turki pada tahun 1924.
Saat itu sejumlah Ulama merespons runtuhnya Kekhilafahan kaum muslimin di Turki. Salah satu wujud perhatian itu adalah lewat digelarnya permusyawaratan bernama Kongres Umat Islam yang muncul dengan penggagasnya H.O.S Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Agus Salim.
Kongres Umat Islam menghimpun para ulama di Nusantara untuk menemukan solusi keumatan terbaik. Terhitung dalam kurun waktu antara 1921 hingga 1941, kongres tahunan Umat Islam telah dilakukan sebanyak 12 kali di berbagai tempat dari Cirebon, Garut, Surabaya hingga puncaknya di Yogyakarta pada November 1945.
Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menulis tujuan diadakannya Kongres ini adalah untuk menyikapi kondisi umat Islam di dunia, terutama pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyah di Turki sekaligus menyikap situasi dalam negeri Indonesia yang pada masa itu banyak terjadi pelecehan terhadap Islam dan pemeluknya, terutama dari kelompok sekular dan zending.
Sementara itu buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat bahwa tujuan diadakannya Kongres Umat Islam adalah untuk menggalang persatuan umat, mengurangi perselisihan furu’iyyah dengan semangat pan Islamisme untuk hubungan internasional.
Kongres Umat Islam juga bertujuan untuk menegaskan pentingnya persatuan kaum muslimin dan pentingnya bekerjasama untuk menyelesaikan masalah khilafah yang saat itu menjadi problem bagi dunia Islam.
Puncaknya adalah ketika para Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir menggelar Kongres Muktamar Dunia untuk merespon kejatuhan Khilafah Ustmani pada 3 Maret 1924.
Menanggapi undangan Al-Azhar, umat muslim kembalig menggelar Kongres Al Islam luar biasa di Surabaya pada 24-26 desember 1924. Dihadiri oleh 1000 kaum muslimin, Kongres Umat Islam ini melahirkan berdirinya Centraal Comite Chilafat (CCC) yang digagas sebagai delegasi umat Islam Indonesia.
Centraal Comite Chilafat atau CCC sendiri adalah komite yang beranggotakan puluhan muslim dari berbagai latar belakang. Di dalamnya ada Tjokroaminoto dari Central Sarekat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, Haji Fachrodin dari PP Muhammadiyah, dan Suryopranoto dari PSI. Meskipun pada akhirnya Muktamar Khalifah di Kairo batal digelar.
Belum usai fokus umat Islam terhadap kejatuhan Khilafah selesai, kaum muslimin kembali dikejutkan dengan penguasaan Ibn Sa’ud yang berhasil menaklukkan Hijaz dan menyatukan semenanjung Arab.
Kesempatan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta, dimanfaatkan oleh tokoh Islam tradisional, Kiai Wahab Chasbullah untuk merespon penaklukan itu dengan mengusulkan delegasi CCC di kemudian hari mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab.
Undangan Ibn Sa’ud kepada kaum muslimin Indonesia untuk hadir dalam Kongres Muktamar Dunia di Makkah pada 1 Juni 1926 membuat kaum muslimin kembali menggelar Kongres Umat Islam ketujuh di Surabaya pada tahun 1926 yang memutuskan Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Kiai Mas Mansyur sebagai perwakilan delegasi ke Makkah.
Untuk keperluan ini, CCC sebagai badan delegasi diubah namanya menjadi Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindis Sjarqiyah (MAIHS). Berbeda dengan MAIHS, kelompok muslim tradisional yang merasa aspirasinya kurang diperhatikan sejak awal dan kurang mendapatkan tempat di Kongres Umat Islam akhirnya membuat mereka membentuk utusan sendiri bernama Komite Hidjaz.
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat Komite Hidjaz dengan tokoh utama Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri dari Denanyar, dan lain-lain, ini adalah generasi NU pendahulu Cak Imin.
Semua ini mengkonfirmasi bahwa sejarah Khilafah tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia. Lalu tiba-tiba Cak Imin mengolok-olok Khilafah. Ahistoris bukan ?
Keempat, agak sulit untuk menjadikan Cak Imin Khalifah. Sebab dengan ketua PBNU saja tidak bisa adil, ngemong dan menunjukan sikap pemimpin. Padahal, khalifah itu pemimpin untuk segenap kaum muslimin, bukan hanya NU.
Untuk kalangan NU saja masih bermasalah, banyak yang tidak ridlo, bagaimana mungkin Cak Imin bisa menjadi Khalifah bagi segenap kaum muslimin.
Yang jelas, bagi seorang calon Khalifah tidak boleh memiliki cacat muro'ah yang merusak sifat keadilannya. Cak Imin, konon tersandung kasus korupsi durian.
Rasanya, akan menjadi aib bagi seluruh kaum muslimin kalau memiliki Khalifah yang kena kasus durian. Jadi, adalah hil yang mustahal, Cak Imin menjadi Khalifah, wong dia kena kasus durian.[]
.
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik