Tinta Media: CPO
Tampilkan postingan dengan label CPO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CPO. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2022

Tipu-Tipu Penguasa Melalui Kebijakan Setengah Hati


Tinta Media  - Harga minyak goreng masih menjadi bulan-bulanan bagi rakyat Indonesia.  Keberadaannya yang hingga kini masih tinggi membuat rakyat serba salah. Tidak dibeli mereka membutuhkan, hendak dibeli mereka tidak memiliki kemampuan.

Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah meniupkan angin segar dengan mengumumkan pelarangan ekspor CPO (crude palm oil) alias minyak goreng mentah ke luar negeri. Awalnya, kebijakan ini dimaksudkan agar pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah sehingga harga menjadi murah. Namun, kenyataan jauh dari harapan.

Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa  kebijakan tersebut belum tentu akan menurunkan harga minyak goreng dalam negeri. Dirinya menambahkan bahwa tingginya harga minyak goreng setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pada  HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah untuk rakyat. Kedua, penyebab kelangkaan pasokan minyak goreng domestik adalah karena lemahnya pengawasan terhadap para produsen dan distributor minyak.

Menilik pernyataan di atas, kita bisa melihat bahwa sejatinya kebijakan pelarangan ekspor CPO yang dikeluarkan oleh pemerintah tak ubahnya sekadar "lip service" penguasa di hadapan rakyat. Kebijakan tersebut nihil menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, jika tidak diiringi dengan regulasi untuk mengawasi para produsen dan distributor minyak goreng. Mereka akan tetap memilih untuk menjual minyak ke luar negeri jika dirasa lebih menguntungkan.

Lebih miris, pejabat eselon 1  (Dirjen) Kementrian Perdagangan (Kemendag) resni ditetapkan sebagai salah satu tersangka ekspor minyak goreng. Hal itu menjadi preseden buruk  bagi pemerintah karena terbukti terlibat dalam ekspor minyak secara besar-besaran sehingga menyebabkan kelangkaan minyak domestik. 

Bisa dibayangkan, pihak yang diamanahi untuk mengurusi kebutuhan  rakyat memilih bergandengan tangan dengan pengusaha untuk meraup rupiah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Perjalanan mafia minyak goreng yang melibatkan penguasa adalah fakta umum dalam sistem kapitalisme. Penguasa bekerjasama dengan pengusaha  membuat lingkaran oligarki dan berhasil menguasai seluruh sektor ekonomi. Di sinilah negara berganti kostum dari pelayan rakyat menjadi "penghisap darah" rakyat.

Rakyat tak lagi diurusi, bahkan kini mereka diekploitasi melalui tingginya harga minyak goreng dan bahan kebutuhan pokok lainnya.

Jika demikian faktanya, masihkah kita percaya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa? Lantas, bagaimana nasib negeri kita tercinta kelak?

Bagaimanapun, umat Islam wajib mengawal negeri ini agar tidak jatuh dalam lubang kehancuran. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan terus melakukan dakwah serta muhasabah terhadap penguasa.

Melakukan koreksi terhadap penguasa, serta menasihatinya agar berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari kemunkaran merupakan sesuatu yang penting. Bahkan, Rasulullah saw. menyebutnya sebagai sebaik-baik jihad.

Dari Umu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda :

“Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang hak di depan penguasa yang zalim.”

Muhasabah terhadap penguasa dilakukan untuk menyeru mereka agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan, menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar. Hanya Islam yang mampu membebaskan negeri ini dari jeratan kehancuran dan mengembalikan seluruh potensi yang dimiliki agar menjadi negeri yang makmur berdikari. Wallahu alam bishshawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media 

Larangan Ekspor CPO: Kebijakan Setengah Hati, Bagaimana Nasib Petani Sawit Kecil?



Tinta Media  - Pemerintah resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sejumlah produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022). 

Kebijakan ini akan berlaku sampai kebutuhan minyak goreng di dalam negeri tercukupi dan harga minyak goreng di masyarakat  mencapai HET, yaitu Rp14.000 per liter. Munculnya kebijakan ini merupakan imbas dari krisis minyak goreng di dalam negeri yang tidak kunjung selesai.

Di satu sisi, kebijakan yang diambil oleh pemerintah memperlihatkan dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun, Alih-alih ingin mengatasi persoalan minyak goreng dalam negeri, kebijakan setengah hati ini justru menuai kritik.

Board Member Center for Indonesia Policy studies (CIPS) Arianto Patunru mengatakan bahwa kebijakan pelarangan ekspor CPO akan mengakibatkan banjirnya stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan merugikan petani sawit (Republika, 29/4/22).

Tidak dapat dimungkiri, kebijakan ini hanya akan menguntungkan pengusaha yang memiliki modal besar dan merugikan petani sawit kecil yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO. Kebijakan yang diharapkan bisa menurunkan harga minyak goreng di tingkat konsumen justru merugikan masyarakat di tingkat produsen.

Penyebab melonjaknya harga minyak goreng adalah ditemukannya mafia-mafia minyak goreng, sementara pemerintah tidak menindak tegas pelaku. Selain itu, paradigma sekuler kapitalistik yang digunakan dalam pengaturan produksi hingga distribusi telah membuka peluang besar munculnya mafia minyak goreng.

Penguasa menggunakan kepentingan rakyat sebagai alibi untuk menerbitkan kebijakan ini. Padahal, yang menuai keuntungan dari kebijakan ini adalah pengusaha yang berkepentingan. Lagi-lagi rakyat yang terdampak kerugian.

Melihat situasi seperti ini kita harus sadar bahwa negara sedang melakukan kezaliman besar-besaran kepada rakyat. Bagaimana bisa penguasa di negeri muslim terbesar di dunia ini,  tidak takut kepada Allah Swt.? Apakah mereka yakin bahwa ketika di akhirat tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena tidak mengurus urusan rakyat?

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” (HR al-Bukhari).

Pengaturan hajat hidup rakyat menjadi kewajiban penguasa. Sebab, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus. Begitu juga dengan hubungan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat. Hubungan tersebut merupakan pelayanan, bukan bisnis.

Islam mengatur bagaimana peran negara dalam bidang ekonomi untuk menyejahterakan rakyat. Lahan yang digunakan untuk kelapa sawit merupakan lahan milik umum yang harusnya dikelola oleh negara, bukan individu atau swasta dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Penguasa akan memetakan kebutuhan pangan seluruh warga negara, dalam hal ini termasuk minyak goreng. Negara menjamin agar kebutuhan minyak tersebut terpenuhi dan tidak terjadi kelangkaan. Sistem Islam akan mendorong perdagangan berjalan sesuai syariat dan mencegah terjadi liberalisasi perdagangan.

Islam melarang penimbunan yang dapat menyebabkan harga barang melonjak naik. Aktivitas penimbunan minyak goreng akan mendapatkan sanksi yang tegas. Selain itu, Islam juga melarang negara mematok harga untuk umum dan memaksa mereka melakukan jual beli sesuai harga patokan tersebut, dengan memastikan bahwa tidak terjadi penyimpangan sehingga harga melonjak. Di sisi lain, rakyat diberi kesempatan melakukan kontrol atau amar makruf nahi munkar sehingga potensi penyelewengan akan mudah terdeteksi.

Inilah syariat Islam yang harus kita yakini kebenarannya. Bila Islam diterapkan di negeri ini, rakyat tidak akan sampai kesusahan karena harga minyak goreng yang melambung tinggi. Sejatinya, fakta ini terjadi akibat negara kita meninggalkan aturan Allah. Kita sedang bermaksiat terhadap perintah Allah. Karena itu, situasi ini makin sulit. Sudah seharusnya sebagai orang yang beriman kepada kebenaran Allah dan dan semua aturan-Nya, kita segera menyadari kesalahan, insaf, lalu kembali pada aturan Allah yang sempurna.
Wallahua'lam bishawab.

Oleh: Elda Widya I. K.
Komunitas Menulis Setajam Pena

Selasa, 26 April 2022

Agenda Tersembunyi di Balik Isu Penghentian Ekspor CPO


Tinta Media - Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia belakangan ini sangat massif dan mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Apalagi sebagai salah satu penyedia CPO terbesar di dunia, pemerintah juga memberikan kemudahan atas penggunaan tanah negara sebagai lahan perkebunan.

Namun, apakah ada korelasi antara luas lahan sawit dengan keuntungan negara? Kebun sawit hanya 10 persen dikelola oleh perusahaan negara, 60 persen dikelola oleh investor, 30 persen dikelola oleh petani plasma yang akan dibeli pula oleh para pengusaha minyak. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa sebagian besar pengelola minyak sawit adalah para korporat besar.

Itulah mengapa ketika harga CPO di luar negeri melonjak tinggi, harga minyak goreng di Indonesia justru mengalami kenaikan, bahkan dua kali lipat dari harga sebelumnya yang juga sudah tinggi. Pemerintah membuat operasi pasar dan menggunakan dana APBN untuk melakukan subsidi, alih-alih menekan kebrutalan oligopoli.

Nah, saat ini ada wacana baru yang cukup memberi harapan bagi masyarakat, yaitu dihentikannya kegiatan ekspor CPO yang beberapa waktu lalu membuat suplai di dalam negeri menjadi rendah sehingga harga melonjak tinggi.
Masih ingat tiga langkah perang asimetri?

Pertama, isu sebagai pemantik opini. Isu tentang dihentikannya ekspor minyak goreng sudah digulirkan. Isu ini harus disosialisasikan secara massif bahwa saat ini, rezim telah melakukan langkah strategis untuk menghentikan ekspor minyak goreng ke luar negeri. Sebisa mungkin, sebagian besar rakyat harus mendengar kabar yang menggembirakan ini.

Kedua, setelah itu diupayakan pengarusutamaan opini, rakyat harus mengira bahwa kebijakan ini adalah upaya yang terlihat membela negeri ini dari cemoohan negara lain karena pengekspor CPO terbesar, tetapi harga minyaknya sangat mahal.

Rezim diopinikan telah melakukan kebijakan yang pro-rakyat, yaitu menghentikan ekspor CPO agar suplai minyak goreng melimpah sehingga harga menjadi murah. Harapannya, rakyat senang dengan janji ini sehingga semakin mencintai rezim dengan opini palsu tersebut.

Ketiga, ketika rakyat sudah termakan pengarusutamaan opini, tinggal melaksanakan agenda tersembunyi. Namun, rakyat yang sudah terlanjur mencintai rezim tidak akan banyak melakukan tuntutan atas penipuan yang telah dilakukan. Bahkan, mereka yang sudah cinta buta akan meradang terhadap kritik yang ditujukan pada kebijakan junjungannya.

Padahal, sesungguhnya ada tujuan yang sedang disembunyikan oleh rezim dari pandangan masyarakat umum. Rezim kemungkinan akan mengalokasikan CPO ke Pertamina untuk dibuat energi terbarukan, yaitu bio diesel yang memiliki demand tinggi di pasar luar negeri.

Lagi-lagi korporat dan rezim akan diuntungkan dan masyarakat hanya akan menerima janji palsu yang akan dipenuhi dengan solusi palsu pula. Hal ini sudah terjadi berulang kali dan akan terus berulang lagi. Lalu sampai kapan?

Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab