Tinta Media - Jika kita memiliki sebuah sumber daya, kemudian ditanya, mana yang lebih menguntungkan, dikelola sendiri atau dikelola orang lain? Jelas jawabannya adalah dikelola sendiri. Maka, aneh jika Indonesia, negara yang memiliki banyak orang terampil dan jenius, menyerahkan sebagian besar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)-nya kepada swasta, lebih-lebih swasta asing.
Namun, inilah fakta yang terjadi di Indonesia. Hampir seluruh SDA yang ada, semuanya dikelola oleh asing. Yang paling mahsyur adalah tambang emas terbesar di dunia, dikelola oleh Amerika atas nama PT Freeport Indonesia (PT FI).
PT Freeport Indonesia terletak di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Namun, lihatlah bagaimana kehidupan masyarakat asli Papua, jauh dari kata layak. Bahkan, kehidupan mereka bisa dikatakan masih primitif. Padahal, tambang emas terbesar di dunia berada tepat diybawah tanah yang mereka pijak. Andai dikelola sendiri oleh negara, emas itu tidak hanya memakmurkan rakyat Papua, tapi seluruh rakyat Indonesia.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan bahwa PT FI sedang mengajukan perpanjangan Kontrak Karya (KK) dua kali 10 tahun hingga 2041. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memberi sinyal kuat bahwa pemerintah akan memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia atau PTFI. Kontrak PTFI dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) akan berakhir pada 2041.
"Tidak menutup kemungkinan untuk kami, pemerintah, mengkaji keberlangsungan Freeport pasca-kontraknya (berakhir). Karena itu, kasih kami waktu untuk mengkaji yang baik,” ujar Bahlil seusai Orasi Ilmiah di Universitas Hasanuddin, Makassar, Jumat, 7 Oktober 2022 (tempo.com, 08/10/2022).
Sejarah panjang PT FI dimulai sejak lebih dari 50 tahun lalu. Pada 1967, pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PT FI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PT FI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun. Kontrak tersebut kemudian terus diperpanjang hingga saat ini.
Banyak dalih pemerintah untuk menyetujui usulan perpanjangan kontrak dengan PT FI. Di antaranya, jika kontrak tidak diperpanjang pemerintah Indonesia justru akan merugi. Aneh tapi nyata. Alasannya, akan terjadi ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi, khususnya ke Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua yang amat besar. Sebab, 90 persen kegiatan ekonomi dari 300.000 penduduk Mimika bergantung pada operasional PT FI.
Alasan lainnya, jika Indonesia mengakhiri perjanjian, berdasarkan ketentuan KK, pemerintah pun tidak akan memperoleh tambang emas tersebut secara gratis. Merujuk pada KK pasal 22-2 (Termination Value), pada akhir masa kontrak, semua aset PT FI akan ditawarkan ke pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Bila pemerintah tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Pada tahun 2017, nilai buku aset PT FI berada di kisaran 6 miliar dollar AS atau setara dengan Rp87 triliun.
Alasan-alasan tersebut sebenarnya sangat lemah dan mudah dipatahkan. Semua itu hanyalah konsekuensi kecil jika dibandingkan keuntungan yang diperoleh pemerintah jika mampu mengelola tambang itu sendiri. Bayangkan saja, berdasarkan data 2018, Freeport memproduksi 6.065 ton konsentrat per hari. Konsentrat ini adalah pasir olahan dari batuan tambang (ore), yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Cadangan ini akan terus ada hingga kontrak Freeport berakhir di 2041. Bahkan masih ada cadangan tembaga dan emas di bawahnya lagi sekitar 2 miliar ton, yang bisa terus digali hingga 2052 bila kontrak Freeport diperpanjang pemerintah Indonesia.
Nominal yang mereka dapat per-tahun antara 40 hingga 100 Triliun, atau lebih. Jika kontrak berlangsung selama 20 tahun, pemerintah bisa mendapatkan sekitar 2000 T. Maka, modal 80 T untuk membeli aset PT FI sebenarnya bukan apa-apa.
Lalu, apakah sekian banyak orang di pemerintahan tidak memahami kondisi ini? Jelas, siapa pun pasti mengetahui bahwa mengelola SDA sendiri sangat menguntungkan dilihat dari segi apa pun, baik segi ekonomi, sosial budaya, dan stabilitas keamanan negara. Namun, para penguasa dan kapitalis sedang mencari keuntungan pribadi yang instan, tidak memikirkan bagaimana dampak keputusan mereka bagi bangsa dan negara Indonesia di masa depan. Inilah akibat rendahnya moralitas dan empati penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Cara Islam Mengelola SDA
Membangun dan mengelola negara dengan sistem demokrasi ditambah absennya nilai-nilai akidah Islam menyebabkan penguasa tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Apabila para penguasa negeri ini memegang teguh akidah, maka mereka tidak akan membuat kebijakan atas dasar keuntungan pribadi. Menegakkan sebuah negara maju dan kokoh adalah mustahil tanpa menerapkan akidah Islam sebagai pondasinya.
Islam hadir tidak semata sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umat. Kepemilikan umat atau kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan merata untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Demikianlah, untuk mengakhiri pengelolaan sumber daya alam yang salah kaprah seperti yang terjadi saat ini, langkah paling tepat adalah kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya kita akan kehilangan berkahnya.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al A'raf ayat 96:
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media