Bunga Utang Nyaris 500 Triliun, Benarkah Ekonomi Aman?
Tinta Media - Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta mempertanyakan sikap pemerintah yang masih merasa aman meski bunga utang yang harus dibayar nyaris mencapai 500 triliun pada 2024.
“Pemerintah mengatakan bahwa utang Indonesia aman meski bunga utangnya mencapai hampir 500 triliun. Benarkah?” tanyanya di kajian Politik & Ekonomi: Nyaris Tembus 500 triliun Bayar Bunga Utang, Kok Bisa? Melalui kanal Khilafah Channel Reborn, Sabtu (26/8/2023).
Hatta mengulas, rasio debt to GDP kurang dari 60% sering dijadikan alasan pemerintah yang menunjukkan ekonomi aman. “Yang menjadi pertanyaan kenapa utang dibandingkan dengan GDP? Padahal kita tahu GDP itu bukan pendapatan negara,” kritiknya.
Menurutnya, jika negara berhutang maka utang itu hanya membebani pendapatan negara, bukan total produksi barang dan jasa dari banyak pihak.
“GDP adalah produksi barang dan jasa seluruh rakyat Indonesia. Jadi tidak tepat kalau mengambil komparasi total utang dibandingkan dengan GDP Indonesia,” simpulnya.
Seharusnya, ia menambahkan, yang dilakukan adalah membandingkan utang dengan penerimaan yang masuk ke kas negara. “Pendapatan negara itu 2.781 triliun, seharusnya dibandingkan dengan itu,” tukasnya.
Kedua, sebutnya, argumen lain dari pemerintah bahwa utang masih dianggap aman, karena digunakan untuk aktifitas produktif. Negara beralasan, utang untuk membangun infrastruktur agar menghasilkan produksi yang lebih banyak lagi.
“Pemerintah lupa, bahwa negara itu bukan entitas komersial. Kalau entitas komersial memang bicara profit, tapi kalau negara itu punya kewajiban melayani rakyat, sehingga akan bertabrakan kalau bicara profit,” ucapnya.
Karena negara menggunakan logika profit, lanjutnya, maka tidak heran fasilitas-fasilitas publik seperti bandara, jalan tol, dan lain-lain akan semakin mahal. “Jadi logika profit ini salah tempat,” tandasnya.
Argumen lain soal produktif ini, sebutnya, total dana infrastruktur sejak 2004 – 2024 diperkirakan sudah menghabiskan 4.400 triliun.
“Sudah belasan tahun infrastruktur dibangun, tapi kenapa tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia dalam bentuk beras murah misalnya? Ini beras naik, gula impor, kedelai impor, bahkan beras juga impor, garam impor.Lalu infrastruktur ini membangun apa? Mau berapa lama lagi agar utang tadi produktif? Apa harus menunggu 50 tahun lagi?” tanyanya heran.
Argumen ketiga, lanjutnya, Indonesia memiliki aset besar. Sri Mulyani sering mengulang-ulang jangan khawatir terhadap utang karena Indonesia punya aset besar.
“Audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2022, menyebut total aset pemerintah adalah 12.325 triliun sementara hutang hanya 7.800 triliun. Tapi mari kita lihat apa yang dimaksud aset itu?” terangnya.
Aset, sambungnya, memiliki dua komponen, pertama ekuitas dan kedua liabilitas. Liabilitas itu tidak lain dan tidak bukan adalah utang. “Jadi yang dimaksud dengan aset itu sebenarnya adalah utang itu sendiri atau ada utang di dalamnya,” tandasnya.
Dari total aset yang 12.325 triliun,bebernya, 72.38 % nya adalah dalam bentuk liabilitas utang. ekuitasnya itu hanya 27,62 % . “Kalau kita menggunakan rumus dept to equity ratio 2,62 %, artinya 1 ekuitas itu berbanding dengan 2,62 utang. Itu sebenarnya bangkrut,” jelasnya.
Hatta juga membantah bahwa dana APBN habis untuk subsidi, sebab berdarkan belanja pemerintah menurut fungsinya, dari lima komponen yaitu untuk perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, agama, pendidikan dan perlindungan sosial itu hanya 618,4 triliun. Lebih kecil dibanding dengan untuk membayar utang dan bunga yang sebesar 1.286 triliun.
“Padahal lima komponen diatas sangat penting bagi rakyat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun