Tinta Media - Kasus bullying, sepertinya tidak pernah berhenti dari
pemberitaan di media sosial. Banyak kasus yang terjadi secara berulang, yang
bisa mengakibatkan jatuhnya mental anak, luka-luka bahkan sampai menghilangkan
nyawa korban. Kondisi yang terus berulang seperti ini membuat orang tua khawatir melepaskan anak mereka ke
sekolah. Karena anggapan mereka, sekolah yang seharusnya menjadi tempat
mengemban ilmu dan mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya. Namun, tidak sedikit
sekolah yang didapati marak terjadi kasus bullying.
Seperti dikutip pada media tvOnenews – Seorang siswi SD di
Padang Pariaman disiram bensin oleh temannya hingga terbakar saat sedang
lakukan gotong royong di sekolah. Seorang siswi tersebut Bernama Adelia yang
menjadi korban bully oleh temannya yang menyiram bensin ke tubuhnya hingga
tewas terbakar. Adelia masih berusia 11 tahun, ia sempat dirawat di rumah sakit
selama kurang lebih satu bulan untuk mengobati luka bakarnya, namun nyawanya tak
tertolong. Adelia mengalami luka bakar 80 persen gara-gara perbuatan temannya
itu.
Kalau dilacak dalam sejarah, perilaku bullying sebenarnya
sudah ada sejak manusia mulai hidup berkelompok. Saat manusia berinteraksi
antara satu dengan yang lainnya. Kenapa? Karena manusia menurut Imam Al-Gazali
memiliki daya jiwa kebinatangan (bahimiyah), yang tercakup unsur ghadzab
(marah) dan syahwat (birahi). Sejak zaman Nabi Adam, sifat itu sudah ada. Kisah
Qabil dan Habil menjadi bukti akan hal ini. Mungkin lebih dekat disebut konflik
daripada bullying. Pada era pra Islam begitu banyak perilaku bullying. Suku
yang kuat bisa membully suku yang lemah. Demikian juga di lingkup sekolah, anak
yang merasa dirinya kuat dan berkuasa akan membully anak yang lemah, apalagi
adik kelasnya sendiri.
Tindakan bullying terhadap seseorang menunjukkan rusaknya
moral yang terjadi di kalangan pelajar. Meski tak semua pelajar melakukan
tindakan tersebut, fakta tentang bullying tampaknya juga banyak terjadi di
berbagai wilayah negeri. Krisis moral yang terjadi di kalangan pelajar
merupakan buah dari sistem pendidikan yang berasaskan sekularisme. Agama tidak
menjadi landasan prioritas kurikulum pendidikan. Bahkan, posisi pendidikan
agama dalam kurikulum pendidikan sangat sedikit yang diberikan kepada pelajar.
Diperparah oleh hilangnya peran keluarga khususnya ibu sebagai pendidik
generasi.
Selain itu, masyarakat sekuler yang terbentuk saat ini turut
memperparah krisis moral yang terjadi di kalangan pelajar. Akibatnya, tidak ada
kontrol masyarakat yang dapat membendung kelakuan buruk para pelajar. Apalagi
sistem sosial di dalam pemerintahan saat ini juga menggunakan adanya kebebasan
dalam bertingkah laku. Kasus bullying yang marak terjadi saat ini faktanya
tidak terjadi dalam pendidikan Islam. Yaitu sistem pendidikan yang menjadikan
akidah Islam sebagai landasan berpikir dan kurikulumnya. Oleh karena itu,
perilaku ini tidak muncul dengan sendirinya, namun karena konsekuensi logis
dari penerapan sistem yang salah.
Sistem pendidikan Islam yang dimaksud merupakan sistem
pendidikan yang lahir dari sistem pemerintahan yang berbasis Islam pula. Hal
ini harus ada sinkronisasi antara kurikulum dengan kebijakan di dalam sistem
pemerintahan. Islam memandang bahwa adab merupakan hal yang utama dan pertama
yang harus diajarkan kepada para pelajar. Bahkan adab sudah jauh lebih dulu
diajarkan sejak anak lahir.
Islam mencela seseorang yang memiliki adab buruk. Jika
akhlak buruk tersebut berkaitan dengan warga negara, maka negara Islam tidak
segan-segan menurunkan pasukan jihad untuk membela kehormatannya. Hal ini yang
pernah dilakukan oleh Khalifah Mu’tashim Billah. Pernah suatu ketika seorang Muslimah
mengalami perundungan saat ia berada di pasar. Saai itu penutup kepalanya
diikat dan dikaitkan ke paku hingga tersingkaplah auratnya saat ia berdiri.
Ketika mengalami bullying yang dilakukan
oleh salah satu dari orang Yahudi, sang Muslimah langsung berteriak
memanggil nama Khalifah Mu’tashim Billah. Singkat cerita, lalu sang Khalifah
mendengar kabar itu dan menugaskan pasukannya untuk memerangi kota tersebut.
Lalu takluklan yang disebut sebagai kota Ammuriah.
Islam diturunkan justru untuk memberantas perilaku bullying
dalam lini kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Seperti diuraikan di
atas bagaimana budaya bullying marak terjadi pada masyarakat Arab pra Islam,
bahkan sejarah manusia kuno. Kemunculan perbudakan dalam sejarah dunia akibat
peperangan, penculikan dan kemiskinan. Sistem perbudakan adalah sejatinya
bentuk bullying yang paling nyata karena adanya ketidakseimbangan dan Islam
datang untuk memberantasnya.
Karenanya, Islam datang dengan misi yang sangat luhur.
Sistem ajarannya mengarahkan pada penghapusan perbudakan secara gradual dan
tidak frontal. Karena dalam (QS.
Al-Hujuraat : 11). Ayat tersebut jelas melarang kita mengolok-olok, menghina,
apalagi menyakiti secara fisik kepada sesama, karena bisa jadi orang yang
diolok-olok atau dihina lebih mulia dari yang mengolok-olok. Dalam tinjauan apa
pun, penghinaan adalah perbuatan tercela karena menyakiti hati orang lain.
Jadi, hukum bullying adalah haram, karena termasuk sikap dan perilaku menyakiti
orang lain yang dapat merusak nama baik (citra) atau harkat martabat
kemanusiaan. Dengan alasan apa pun, bullying tetap dilarang oleh Islam.
Negara Islam juga nyatanya mampu melahirkan para pelajar
dengan akhlak mulia sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Perhatian umat Islam
terhadap pentingnya mempunyai akhlak mulia juga dapat dibuktikan dengan
banyaknya kitab yang dikarang oleh para ulama terdahulu terkait akhlak atau
adab. Seperti kitab Adabul Alim Wa Muta’alim.
Islam memberikan perhatian besar kepada generasi sebagai
pembangun peradaban gemilang. Menghentikan kasus bullying harusnya dilakukan
dengan dua langkah, yaitu preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan).
Upaya preventif dilakukan dengan mengembalikan peran keluarga, masyarakat dan
negara. Sedangkan upaya kuratif dilakukan untuk mengobati mereka yang memiliki
kecanduan melakukan bullying dengan pendekatan yang mempengaruhi pola pikir
remaja saat menghadapi fakta kehidupan. Sehingga mereka akan menghilangkan
perilaku tersebut dengan penuh kesadaran. Islam menempatkan keluarga sebagai
pembentuk karakter yang terpenting bagi seorang remaja, menjadi teladan bagi
anak-anak mereka. Sebab, tidak sedikit pelaku bullying yang berasal dari keluarga yang rusak akibat
pola komunikasi yang buruk dari orang tua.
Islam juga memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya
tugas orang tua, akan tetapi butuh peran dari masyarakat dan negara. Anggota
masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menasihati, mengajak pada kebaikan
dan mencegah perbuatan yang tercela. Sedangkan negara memiliki peran sentral
dalam menyaring segala tontonan di media yang berpengaruh besar dalam membentuk
karakter generasi.
Namun, sinergitas antara orang tua, masyarakat dan negara
dalam memutus rantai bullying akan sulit diwujudkan jika tata kehidupan yang
diterapkan adalah sekuler liberal. Hanya tata kehidupan yang sesuai aturan Sang
Pencipta yakni syariat Islam yang mampu membangun suasana ketakwaan masyarakat. Hingga menjauhkan mereka dari
kemaksiatan, sistem kehidupan Islam ini akan terwujud dalam institusi Islam
Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishowab.
Oleh : Rahma Al-Tafunnisa, Aktivis Dakwah