Tinta Media: Bukti
Tampilkan postingan dengan label Bukti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bukti. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Februari 2024

DBD Kembali Meningkat, Bukti Negara Gagal Jamin Kesehatan Rakyat



Tinta Media - Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit ini banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis di dunia. Di Indonesia sendiri DBD menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat dan termasuk penyakit dengan penyebaran tertinggi dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. 

Indonesia, sebagai negara endemik dengue menghadapi tantangan yang sama setiap tahunnya. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) hingga minggu ke-52 tahun 2023 mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit yang sangat urgen karena dapat menyebabkan kematian tanpa adanya pengobatan khusus. (Liputan6.com, 04/02/24) 

Di awal tahun ini, kasus DBD kembali meningkat di berbagai daerah di Indonesia, bahkan kasus tersebut sudah merenggut jiwa, termasuk anak-anak. Dilansir dari laman pikiran-rakyat.com (04/02/24), DBD di Cianjur melonjak. Dua anak dilaporkan meninggal. Kasus Demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Cianjur mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan, pada awal 2024, terdapat ratusan warga yang terjangkit DBD. Hal ini dikarenakan musim hujan yang terjadi sehingga banyak genangan air yang menjadi salah satu tempat yang disukai nyamuk. 

Selain itu, DBD meningkat di Kabupaten Banyuasin, sebagaimana dikutip dari rmolsumsel.id (30/01/24), data Dinas Kesehatan (Dinkes) menunjukkan ada 74 kasus DBD yang terdeteksi selama Januari 2024. Sebanyak empat kasus berakhir dengan kematian. 

Jaminan Kesehatan dalam Kapitalisme Hanyalah Ilusi Belaka

Jika DBD termasuk penyakit endemik, seharusnya  pemerintah bisa memprediksi dan mengantisipasi terjadinya penularan penyakit tersebut. Namun, faktanya kasus penularan DBD kembali meningkat, bahkan hingga merenggut nyawa. Ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam menangani kasus penyakit endemik DBD belum efektif di tengah masyarakat. 

Sayangnya, hingga saat ini belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk mencegah penularan dan menyembuhkan penyakit DBD. Sementara, jika tidak ditangani dengan baik, maka penyakit ini bisa menyebabkan risiko kematian yang tinggi. Hal tersebut menjadi bukti bahwa negara gagal menjamin kesehatan bagi setiap warga negaranya.

Adapun penyebab tingginya angka kematian akibat DBD disebabkan adanya keterlambatan penanganan kasus tersebut. Keterlambatan yang terjadi diakibatkan karena banyak faktor. Beberapa di antaranya bisa jadi karena tidak adanya biaya untuk berobat, atau tidak memiliki ilmu yang cukup tentang penyakit tersebut. 

Sudah menjadi rahasia umum kalau biaya kesehatan saat ini tidaklah murah. Di tengah impitan ekonomi seperti sekarang, bagi sebagian orang pergi ke Rumah Sakit tentu hanya menambah beban pengeluaran. Faktanya, fasilitas kesehatan saat ini sulit diakses oleh masyarakat. Layanan kesehatannya juga cenderung tidak lengkap dan kurang berkualitas. Fasilitas dan layanan kesehatan yang baik dan berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayarnya.

Kesulitan hidup yang dialami masyarakat hari ini tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Rakyat dibuat serba sulit, akibat kemiskinan ekstrem yang melanda. Alhasil, bukan saja tidak bisa berobat ketika sakit, faktanya banyak rakyat tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. 

Kemiskinan juga menjadikan sulitnya keluarga mendapatkan makanan dengan gizi yang cukup. Hal ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh keluarga, khususnya bagi anak-anak yang masih dalam fase pertumbuhan. Selain itu, banyak masyarakat yang tinggal di tempat dan lingkungan yang tidak layak huni, jauh dari kata asri. Kurangnya akses air bersih, permasalahan sampah yang tak kunjung usai, hingga sanitasi yang bermasalah menjadi beberapa faktor rakyat rentan terpapar penyakit menular. 

Fakta di atas merupakan potret buram negara dengan sistem kapitalisme. Negara gagal menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Sistem kapitalisme sekulerlah yang menjadi akar masalahnya. Alih-alih mengurus urusan rakyat, pemerintah dalam sistem ini justru berperan seperti pedagang, yang menjadikan kebutuhan dasar masyarakat sebagai objek komersil layaknya barang dan jasa yang diperjualbelikan kepada rakyatnya.

Negara kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator saja, bahkan tak jarang menyerahkan pelayanan kesehatan pada pihak swasta. Pemerintah berdalih bahwa anggaran kesehatan dari APBN terbatas jumlahnya sehingga tak mampu mendanai. Alhasil, mahalnya biaya kesehatan yang ada justru berimplikasi pada sulitnya akses kesehatan bagi rakyat yang tidak mampu. 

Maka, tak heran jika banyak masyarakat yang mengeluh, bahkan merasa kecewa terhadap sistem kesehatan yang tak beres di negeri ini. Oleh karena itu, mengharapkan jaminan kesehatan yang berkualitas dalam sistem kapitalisme saat ini hanyalah ilusi belaka. 

Jaminan Kesehatan yang Unggul dalam Islam

Fakta di atas tentu sangat jauh berbeda dengan jaminan kesehatan dalam sistem Islam. Islam bukan hanya sebatas agama, tetapi juga pandangan hidup yang memiliki aturan sempurna dan paripurna dalam setiap aspek kehidupan. 

Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Salah satu bentuk tanggung jawab khalifah terhadap rakyat adalah memberikan jaminan kesehatan secara cuma-cuma alias gratis. 

Rasulullah dalam hadisnya mengatakan, “Kepala negara (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari) 

Untuk mencegah penularan penyakit seperti DBD, negara khilafah akan mendorong masyarakatnya untuk menerapkan pola hidup sehat, termasuk mengedukasi masyarakat terkait kesadaran masyarakat akan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Bagaimanapun, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk menekan peningkatan kasus penyakit menular. Negara khilafah juga akan memastikan rakyat tinggal di tempat yang layak huni, dengan tata ruang yang rapi, bersih, dan sesuai standar tata ruang perkotaan yang ideal. 

Masyarakat yang ada dalam negara khilafah merupakan masyarakat yang islami, yang memiliki karakteristik yang khas. Aktivitas amar makruf nahi munkar atau saling mengingatkan akan menjadi kebiasaan yang sangat berguna, khususnya dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar selalu terhindar dari penyakit-penyakit menular. Mereka menjaga kebersihan bukan hanya karena dorongan untuk sehat semata, melainkan juga ada dorongan dari sisi ruhiyah. Mereka memahami bahwa dengan kondisi tubuh yang sehat, mereka bisa menjalankan aktivitas ibadah dengan maksimal. 

Di sisi lain, negara khilafah akan mengupayakan penyediaan layanan kesehatan yang unggul dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Jika diperlukan pembuatan vaksin atau obat khusus, maka akan dilakukan di laboratorium yang mumpuni dengan teknologi mutakhir. 

Visi yang dimiliki khilafah dalam bidang kesehatan adalah melayani kebutuhan rakyat secara totalitas dan menyeluruh, baik di kota-kota besar maupun di pelosok desa, bahkan di dalam penjara sekalipun. Itu semua demi terjaminnya layanan kesehatan bagi setiap masyarakat negara khilafah. 

Untuk merealisasikan itu semua pasti dibutuhkan dana yang cukup banyak. Karenanya, dana kesehatan rakyat akan ditanggung secara penuh oleh negara. Dana yang digunakan oleh negara berasal dari baitul mal, yang diambil dari anggaran pos kepemilikan umum, yakni dari sumber daya alam yang dikelola secara mandiri oleh negara khilafah tanpa intervensi pihak mana pun. 

Pelayanan kesehatan berkualitas diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminasi, tidak memandang status miskin atau kaya, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda, muslim ataupun nonmuslim. Semuanya mendapatkan layanan dengan kualitas yang sama. 

Birokrasi layanan kesehatan dalam Islam juga tidak dibuat berbelit-belit, sehingga memudahkan rakyat untuk mengakses. Sebab, prinsip sistem administrasi dalam negara khilafah bersifat mempermudah, bukan mempersulit. 

Begitulah mekanisme negara khilafah dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit menular, sekaligus mekanisme jaminan kesehatan dalam Islam. Sudah saatnya umat sadar bahwa hanya Islam saja yang mampu memberikan jaminan kesehatan secara cuma-cuma dengan kualitas yang paripurna. Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Pemerhati Sosial dan Media)

Selasa, 26 Desember 2023

Bullying Kian Marak, Bukti Sistem Pendidikan Rusak?



Tinta Media - Kasus bullying seolah tidak pernah ada habisnya. Masyarakat selalu dikejutkan oleh peristiwa tersebut. Mirisnya, kasus bullying banyak terjadi di lingkungan sekolah, seperti yang dialami oleh siswa MAN 1 Medan. Ia menjadi korban bullying dan penyiksaan oleh teman satu sekolah dan kakak kelasnya yang sudah alumni. 

Diduga, korban di-bully dan disiksa karena menolak bergabung dalam geng motor yang berisikan pelajar MAN 1 Medan dan alumninya. Ia dipukul, disuruh makan sandal berlumpur, makan daun mangga, dan dipaksa meminum air yang telah diludahi oleh sekitar 20 orang. Tidak hanya itu, punggung telapak tangannya juga disudut oleh kunci motor yang telah dipanaskan dan dibentuk huruf PA. 

Kasus serupa juga dialami oleh 12 siswa kelas 10 di SMAN 26 Jakarta oleh 15 orang kakak kelasnya. Belasan siswa tersebut dianiaya secara brutal dan bergilir. Sebelum dianiaya, muka dan mata para korban ditutup oleh kain dan dipanggil satu persatu, lalu dipukuli. Beberapa korban ada yang mengalami lebam-lebam di tubuhnya. Kemaluannya terluka, dan ada juga yang tulang iganya patah. (tribunnews.com, 12-12-2023). 

Kasus bullying juga menimpa seorang siswa SD kelas 3. Ia di-bully oleh temannya di salah satu sekolah swasta di Sukabumi. Akibat pem-bully-an tersebut, korban mengalami patah tulang tangan dan harus menjalani operasi di rumah sakit. Diketahui bahwa kasus tersebut terjadi pada Februari 2023 di lingkungan sekolah. Hanya saja, baru terungkap akhir-akhir ini, akibat beritanya viral di media sosial. (Kompas.com, 9-12-2023) 

Dugaan bullying juga dialami oleh siswa kelas 6 SD di Bekasi. Ia di-bully hingga kakinya harus diamputasi dan yang lebih menyayat hati lagi, korban meninggal dunia ketika menjalani perawatan akibat sesak napas karena terdapat cairan di paru-parunya. 

Menanggapi kasus bullying ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) yang diwakili oleh Plt Asisten Deputi Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK), Atwirlany Ritonga mengatakan bahwa Kemen PPPA telah melakukan koordinasi dengan UPTD PPA Kabupaten Bekasi dalam hal pendampingan terhadap anak korban, memberikan penguatan psikologis kepada anak korban dan keluarga korban, melakukan dukungan psikososial dengan melakukan edukasi tentang dampak bullying kepada siswa dan siswi beserta para guru di beberapa sekolah. Ia juga memastikan berjalannya proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (detik.com, 9-12-2023). 

Berbagai Upaya Dilakukan Pemerintah 

Massifnya kasus bullying di sekolah membuat pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini, sebagaimana yang disampaikan oleh ketua DPR RI, Puan Maharani yang diterima oleh tim Parlementaria di Jakarta (19-09-2023). 

Puan mendorong pemerintah untuk mewujudkan sekolah ramah anak di Indonesia, yaitu dengan memberikan panduan yang tegas kepada sekolah dalam mengantisipasi, mengawasi, dan mengatasi tindak-tindak bullying. Caranya, dengan memberikan buku panduan tentang bagaimana cara mengurangi bullying di sekolah, mengadakan kegiatan dan program kerja sama, persahabatan, dan pemahaman antar siswa. 

Pemerintah harus memberikan edukasi kepada para guru dan staf di sekolah tentang pelatihan keterampilan komunikasi, kampanye antiperundungan, seminar tentang keberagaman, serta pedoman yang jelas ketika terjadi kasus bullying yang parah. 

Pihak sekolah juga harus mengintegrasikan pendidikan antibullying ke dalam kurikulum dan harus memiliki kebijakan zero toleransi terhadap aksi bullying. Hal ini perlu diimplementasikan agar semua pihak , baik siswa, guru, staf sekolah, maupun orang tua memahami bahwa tidak ada toleransi bagi tindakan bullying. 

Akibat Penerapan Sistem Sekuler Liberal 

Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi kasus bullying di sekolah. Namun, sangat disayangkan bahwa apa yang diharapkan nyatanya tidak membuahkan hasil. Semakin hari, kasus bullying kian massif. Hal ini membuktikan bahwa solusi yang diberikan pemerintah tidak mampu menyentuh akar permasalahan bullying. 

Di lain sisi, ini juga menunjukkan bagaimana rusaknya sistem pendidikan saat ini. Sekolah yang seharusnya mampu membentuk etika dan nilai-nilai moral pada siswa, nyatanya malah mencetak generasi amoral. 

Sejatinya, kasus bullying lahir dari penerapan sistem sekuler liberal di dalam kehidupan saat ini. Sistem ini memisahkan peran agama dari kehidupan, melahirkan individu-individu berpikiran liberal dan permisif. Mereka tidak mau diatur dengan aturan agama, bahkan lebih menyukai kehidupan yang bebas semau mereka. 

Cara pandang seperti ini menyebabkan pelaku bullying tidak memiliki standar yang benar atas tindakannya, sehingga output-nya adalah perbuatan tercela dan sadis. Bahkan, perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu pencapaian yang luar biasa dan mereka bangga akan hal tersebut. 

Ketika cara pandang kehidupan sekuler liberal telah menancap kuat di dalam kehidupan, maka suatu hal yang pasti bahwa sistem pendidikan hari ini juga berdasar pada aspek tersebut, yaitu pendidikan yang hanya fokus pada aspek akademik, tetapi abai pada aspek agama. Padahal, dapat dipahami bahwa agama adalah kunci yang mampu mengendalikan diri kita. Jika demikian yang terjadi, maka wajar saja jika kasus bullying tumbuh subur di lingkungan sekolah. 

Akibat penerapan sekuler liberal ini juga, peran keluarga dan masyarakat pun seolah hilang begitu saja. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat pendidikan pertama bagi anak, sering kali menjadi lalai dalam menjalankan peran tersebut. 

Ditambah lagi, kondisi lingkungan yang rusak juga menjadi pemicu bagi anak untuk melakukan tindak bullying akibat tidak adanya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. 

Belum lagi peran media, banyak informasi sampah dan tidak bermanfaat tersebar luas di media sosial. Setiap orang dapat mengakses informasi apa pun yang mereka inginkan tanpa ada batas usia. Mirisnya, banyak dari mereka yang mempelajari hal-hal tercela dari sana. 

Lagi-lagi ini membuktikan ketidakmampuan negara dalam menyediakan informasi bermanfaat bagi rakyat. Negara gagal dalam memfilter setiap informasi yang ada di media sosial. Jika hal ini terus terjadi, maka ke depannya akan semakin banyak generasi yang buruk dalam berperilaku. 

Islam Solusi Hakiki Atasi Bullying 

Islam berbeda dengan sistem sekuler liberal. Islam memandang bahwa generasi memiliki pengaruh yang besar dalam kemajuan sebuah peradaban, sehingga dalam memberantas bullying, dibutuhkan keterlibatan semua pihak. 

Orang tua memiliki kewajiban dalam mendidik dan mengawasi anak. Orang tua harus membimbing anak berdasarkan pada akidah Islam. Mereka harus mampu memberi gambaran tentang bagaimana cara memandang kehidupan berdasarkan akidah Islam. 

Ketika cara pandang tentang kehidupan sudah benar, maka itu akan mengantarkan pada keimanan hakiki, yaitu keimanan kepada Allah Swt. semata. Dengan begitu, Anak akan berhati-hati dalam bertindak, karena sadar bahwa kehidupan dunia hanya sementara dan setiap perbuatan yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban kelak. 

Di samping itu, penting juga untuk mewujudkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Aktivitas ini sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya tindakan brutal dan kejahatan pada generasi. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan tidak memberikan fasilitas sedikit pun pada aktivitas kemungkaran. 

Dalam mewujudkan kondisi yang aman bagi semua rakyat, tidak cukup hanya melibatkan peran individu, keluarga, dan masyarakat. Namun, dibutuhkan juga peran negara di dalamnya. Negara memiliki andil besar dalam mengurusi rakyat. Negara wajib menjamin kehidupan yang bersih bagi warga negara dari berbagai aktivitas yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan, termasuk bullying. 

Negara (Islam) wajib menerapkan sistem pendidikan yang berdasarkan pada akidah Islam. Islam akan mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam, yaitu terbentuknya pola pikir Islam dan pola sikap Islam, sehingga mereka akan terhindar dari perilaku kasar, zalim, dan aktivitas maksiat lainnya. Basis pendidikan seperti inilah yang akan melahirkan pribadi-pribadi cerdas yang siap membangun peradaban. 

Negara juga wajib menyediakan sistem informasi yang aman bagi rakyat. Negara harus memfilter setiap informasi yang tersebar di media sosial. Dengan begitu, informasi yang diterima hanya informasi yang bermanfaat, mengedukasi, dan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. 

Inilah solusi hakiki yang ditawarkan Islam dalam memberantas tindak bullying. Karena itu, dibutuhkan sinergi bersama, baik individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam memberantasnya. Jelas pula bahwa negaralah yang memiliki kendali penuh atas penerapan suatu aturan di wilayahnya. Jika, negara tidak menerapkan aturan Islam secara sempurna, maka solusi tersebut tidak dapat berjalan pula. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya: 

“Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).

Oleh: Aryndiah
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 01 Oktober 2022

Gus Uwik: Dadi Wong Apik Perlu Bukti

Tinta Media - Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam, Gus Uwik menyampaikan untuk dadi wong apik (menjadi orang baik) perlu pembuktian.

"Dadi wong apik perlu pembuktian," ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (29/09/2022).

Menurutnya, dadi wong apik (menjadi orang baik) tidak bisa sekedar slogan. Seringkali ditemui manis di kata dan ucapan semata, namun sumir dalam realita.

"Harus satu antara kata dan perbuatan. Disitulah akan muncul harmoni 'dadi wong apik', imbuhnya.

Ia mengungkapkan salah satu ciri "wong apik" adalah 'mikul dhuwur mendem jero'. Dia tidak akan menjelek-jelekkan saudaranya. Tidak mengakui persahabatan yang selama ini terjalin. Apalagi membuat pengakuan yang terlihat memojokkan di muka umum atau di sosial media.

Selain itu, lanjutnya, ciri wong apik adalah "ojo kepaten obor." Artinya akan terus berusaha sekuat tenaga untuk menyambung silah ukhuwah dengan saudara muslimnya dan silahturahmi dengan saudara kandungnya.

"Sikapnya tidak justru sebaliknya. Menunjukkan diksi memutus tali silaturahmi. Entah dengan kepentingan apapun. Dia tetap akan menjaga. Bukan karena tekanan, iming-iming, dll mudah mengucapkan diksi memutus ukhuwah," urainya.

Sarat Makna

Ia menilai kalimat "ojo bosen dadi wong apik" itu kalimat yang sarat makna dan luar biasa. "Perlu digalakkan," nasihatnya.

Namun, selanya, akan menjadi "wagu" dan kontra produktif jika yang terlibat di dalamnya justru menebar aroma memutus ukhuwah dan menjelekkan saudara. "Jadinya 'ra toto lan ra mutu'," imbuhnya.

Bukankah kita terus mendakwahkan, jangan hanya beda fiqih terus menjelek-jelekkan atau menyesatkan orang. Jangan sampai beda pilihan dakwah bukan disebut saudara, tapi malah disebut musuh.

"Sungguh, itu semua bertolak belakang dengan ukhuwah dan materi dakwah," sesalnya.

Bersamamu dalam liku-liku dakwah tentu menjadi seru. Demikian juga timbul tenggelam dalam lautan dakwah. 

"Akankah kata-kata manis itu saat ini telah menjadi hambar? Terus berbuat baik walau dianggap tidak baik. Tidak berhenti berproses menjadi orang baik walau ada yang menjauh dan bersikap kurang pas," pungkasnya.
[] 'Aziimatul Azka

Kamis, 22 September 2022

KASUS USTADZ FARID OKBAH, USTADZ AHMAD ZAIN AN NAJAH DAN USTADZ ANUNG AL HAMAT ADALAH BUKTI KRIMINALISASI ULAMA YANG TERJADI DI ERA REZIM JOKOWI

Tinta Media - Sedih sekaligus prihatin, saat penulis membaca berita dalam GWA Tim Advokasi Bela Ulama Bela Islam, yang mengabarkan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengklaim tak ada satu pun ulama atau ustaz yang sedang menjalani hukuman penjara saat ini.

Ia lantas mempertanyakan pihak-pihak yang mengklaim ada tindak kriminalisasi terhadap para ulama. Menurut Mahfud, ulama yang ditangkap oleh kepolisian hanya segelintir dan sudah terbukti melanggar hukum.

“Kamu tahu enggak jumlah penghuni penjara hari ini 31 Agustus 2022 itu 263 ribu penghuni penjara. Berapa orang ustaznya? Berapa orang ulamanya? Enggak ada,”

demikian kata Mahfud dalam acara Kick Off Mujahid Digital dan Konsolidasi Nasional Infokom MUI di Jakarta Pusat, Rabu (31/8).

Sayangnya, Mahfud MD hanya bicara tanpa menyelami dan mendalami fakta kasus yang dialami oleh Ulama. Kami di Tim Advokasi Bela Ulama Bela Islam menyaksikan langsung, bagaimana proses kriminalisasi ulama itu telah, sedang dan terus terjadi.

Kami tidak akan bicara pada kasus lain, tapi kami bicara fokus kepada tiga ulama yakni Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung al Hamat (para ustadz). Para ustadz ini dituduh dengan pasal terorisme, padahal tidak ada satupun perbuatan dari para ustadz ini yang memenuhi unsur menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Aktivitas para ustadz adalah berdakwah, membina dan mendidik umat agar menjadi hamba yang taqwa kepada Allah SWT. Seluruh uraian peristiwa yang dituduh sebagai tindakan terorisme, adalah aktivitas dakwah para ustadz yang memiliki basis legitimasi syar'i maupun konstitusi.

Secara syar'i, dakwah adalah kewajiban agama yang agung. Ulama yang memiliki ilmu jelas memiliki tanggungjawab yang lebih untuk menunaikan kewajiban dakwah, dibandingkan umat Islam secara umum.

Secara konstitusi, pasal 29 UUD 1945 telah menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Dalam perspektif akidah Islam, dakwah adalah ibadah, yang hukumnya wajib. Siapa saja yang menjalankan kewajiban dakwah akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Siapa saja yang melalaikan kewajiban dakwah, akan mendapatkan dosa.

Mahfud MD tentu paham makna kriminalisasi, yakni menjadikan suatu peristiwa atau perbuatan yang bukan kriminal menjadi perbuatan kriminal. Dakwah adalah ibadah, namun dalam kasus ini kegiatan dakwah telah distempel sebagai aktivitas terorisme. Ulama adalah pendakwah, yakni orang yang taat menjalankan kewajiban dakwah. Namun dalam kasus ini pendakwah distigma menjadi teroris. Lalu, kurang jelas apalagi kriminalisasi yang dialami para ustadz kami ini?

Namun kami bisa paham kenapa Mahfud MD membela diri tidak ada kriminalisasi terhadap Ulama. Karena sebagai bagian dari rezim Jokowi, Mahfud tak mungkin mau mengakui bahwa di era rezim Jokowi dimana dia menjadi menterinya, terjadi kriminalisasi Ulama.

Persis seperti klaim Mahfud MD yang berulangkali menyatakan tidak ada Islamophobia hanya berdalih ada ceramah atau pengajian di Masjid BI. Pada saat yang sama, Mahfud MD tutup mata pada kebijakan Jokowi yang mencabut BHP HTI dan membubarkan FPI hanya karena ketakutan yang tidak berdasar pada ajaran Islam Khilafah. Tangan Mahfud MD bahkan ikut berlumuran darah dalam pembubaran ormas FPI.

Anehnya, Mahfud MD seolah menjadi tokoh kritis dan ikut mendorong tegaknya hukum pada kasus pembunuhan Brigadir J. Namun, dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI, Mahfud MD bungkam dan bahkan ukut melegitimasi peristiwa sadis itu.

Kembali ke soal kriminalisasi Ulama, memang jumlahnya tidak mencapai ribuan. Yang dikriminalisasi juga hanya ulama yang berseberangan dengan rezim. Yang manut dan membenarkan kezaliman rezim, pasti selamat.

Namun bagi kami, satu ulama saja dikriminalisasi kami tidak terima. Apalagi, kasus kriminalisasi ini bukan hanya satu.

Ada Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung al Hamat, sebelumnya ada Habib Rizieq Shihab, Gus Nur, Habib Bahar, Ustadz Maheer, dll. Apakah deretan nama-nama ini bukan ulama? Apakah, dimata Mahfud MD mereka semua ini penjahat?

Ingin sekali penulis bersama Tim Advokasi Bela Ulama Bela Islam berkunjung ke kantor Kemenkopolhukam. Kami ingin serahkan berkas dakwaan para ustadz, juga materi eksepsi kami kepada Mahfud MD. Agar Mahfud MD dapat membaca, sekaligus mendapatkan penjelasan tambahan dari kami, bahwa kriminalisasi ulama memang telah, sedang dan terus dilakukan terhadap ulama-ulama kami.

Boleh juga nanti kami pertemukan Mahfud MD dengan para ustadz di pengadilan, agar Mahfud MD melihat sendiri kondisi ulama kami yang diperhinakan di kursi persidangan. Agar kalaupun Mahfud MD tidak ikut membela ulama kami seperti dirinya membela Brigadir J, minimal diam atau syukur-syukur mau ikut mendoakan agar ulama kami diberi kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi ujian dakwah. [].

Catatan Advokasi Tim Bela Ulama Bela Islam, atas Kasus Kriminalisasi Terhadap Para Ustadz sekaligus Tanggapan Untuk Menkopolhukam Mahfud MD

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Tim Advokat Bela Ulama Bela Islam

https://heylink.me/AK_Channel/



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab