Tinta Media: Brigadir J
Tampilkan postingan dengan label Brigadir J. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Brigadir J. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Februari 2023

PUTRI CANDRAWATI HANYA DITUNTUT 8 TAHUN, MENYAKITI KELUARGA KORBAN, TIDAK MEMENUHI KEADILAN MASYARAKAT

Tinta Media - Rupanya air mata (buaya) Putri Chandrawathi, mampu mengelabui Jaksa sehingga Putri hanya dituntut 8 tahun penjara. Sungguh, benar-benar tuntutan yang menyakiti keluarga Josua.

Apalagi, dalam tuntutan RR dan KM, jaksa menyebut ada motif perselingkuhan antara Putri Chandrawathi dan Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat. Jaksa, telah melemparkan kotoran kepada jasad Josua, dan mengedarkan aib bagi keluarga Josua. Josua mati dalam keadaan tertuduh selingkuh dengan istri komandannya.

Masyarakat pun menjadi antiklimaks. Sidang yang menghadirkan banyak saksi dan ahli, ternyata hanya berujung tuntutan 8 tahun, padahal kasusnya pembunuhan berencana disertai rekayasa tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Lebih keji dan tragis lagi, pembunuhan berencana ini direncanakan oleh polisi, terjadi dirumah polisi, dieksekusi oleh polisi dan korbannya juga polisi.

Andai saja hukum Islam yang diterapkan. Kalau hukum Islam yang digunakan, maka semua orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan wajib di hukum qisos (hukum mati). Inilah, keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Masyarakat harus disterilisasi dari pembunuh yang merusak tatanan kehidupan.

Dalam Islam, membunuh atau turut serta melakukan pembunuhan (delneming) atau terlibat dalam persekongkolan (persekutuan) pembunuhan hukumannya juga qisos, yakni dibalas dengan dibunuh baik yang membunuh maupun yang membantu atau turut serta dalam pembunuhan. Kalau menggunakan hukum Islam, maka Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Kuat Ma'ruf hingga Ricky Rizal, semuanya diqisos dengan dibunuh. Tidak dibeda-bedakan jenis sanksinya, karena semua terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan Josua Hutabarat.

Dalam suatu peristiwa pembunuhan, ketika tujuh orang penduduk Sana’a membunuh seseorang, Khalifah Umar bin al-Khattab berkata tegas, 

“Kalau seluruh penduduk Kota Sana’a bersama-sama membunuh orang ini maka saya akan mengqisas mereka semua.” ungkapnya.

Jadi dalam Islam, tidak ada perbedaan hukuman baik yang melakukan, yang menyuruh lakukan, maupun turut serta melakukan pembunuhan. Semua yang terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun peran dan keterlibatan.

Penulis kira, keluarga Josua Hutabarat akan setuju dengan hukum Islam, yakni diterapkannya sanksi Qisos kepada semua pelaku yang terlibat dalam persekutuan (persekongkolan) untuk membunuh Josua Hutabarat.

Hukum Islam jelas lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sesuai (memuaskan) dengan harapan keluarga korban. Ketimbang hukum KUHP, yang hanya menuntut Putri Chandrawati hanya dengan 8 tahun penjara. 

Jadi, jangan ragu dengan penerapan hukum Islam. Hukum Islam pasti adil karena berasal dari Allah SWT, Dzat yang maha adil. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

PUTRI CANDRAWATI HANYA DITUNTUT 8 TAHUN, MENYAKITI KELUARGA KORBAN, TIDAK MEMENUHI KEADILAN MASYARAKAT

Tinta Media - Rupanya air mata (buaya) Putri Chandrawathi, mampu mengelabui Jaksa sehingga Putri hanya dituntut 8 tahun penjara. Sungguh, benar-benar tuntutan yang menyakiti keluarga Josua.

Apalagi, dalam tuntutan RR dan KM, jaksa menyebut ada motif perselingkuhan antara Putri Chandrawathi dan Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat. Jaksa, telah melemparkan kotoran kepada jasad Josua, dan mengedarkan aib bagi keluarga Josua. Josua mati dalam keadaan tertuduh selingkuh dengan istri komandannya.

Masyarakat pun menjadi antiklimaks. Sidang yang menghadirkan banyak saksi dan ahli, ternyata hanya berujung tuntutan 8 tahun, padahal kasusnya pembunuhan berencana disertai rekayasa tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Lebih keji dan tragis lagi, pembunuhan berencana ini direncanakan oleh polisi, terjadi dirumah polisi, dieksekusi oleh polisi dan korbannya juga polisi.

Andai saja hukum Islam yang diterapkan. Kalau hukum Islam yang digunakan, maka semua orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan wajib di hukum qisos (hukum mati). Inilah, keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Masyarakat harus disterilisasi dari pembunuh yang merusak tatanan kehidupan.

Dalam Islam, membunuh atau turut serta melakukan pembunuhan (delneming) atau terlibat dalam persekongkolan (persekutuan) pembunuhan hukumannya juga qisos, yakni dibalas dengan dibunuh baik yang membunuh maupun yang membantu atau turut serta dalam pembunuhan. Kalau menggunakan hukum Islam, maka Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Kuat Ma'ruf hingga Ricky Rizal, semuanya diqisos dengan dibunuh. Tidak dibeda-bedakan jenis sanksinya, karena semua terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan Josua Hutabarat.

Dalam suatu peristiwa pembunuhan, ketika tujuh orang penduduk Sana’a membunuh seseorang, Khalifah Umar bin al-Khattab berkata tegas, 

“Kalau seluruh penduduk Kota Sana’a bersama-sama membunuh orang ini maka saya akan mengqisas mereka semua.” ungkapnya.

Jadi dalam Islam, tidak ada perbedaan hukuman baik yang melakukan, yang menyuruh lakukan, maupun turut serta melakukan pembunuhan. Semua yang terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun peran dan keterlibatan.

Penulis kira, keluarga Josua Hutabarat akan setuju dengan hukum Islam, yakni diterapkannya sanksi Qisos kepada semua pelaku yang terlibat dalam persekutuan (persekongkolan) untuk membunuh Josua Hutabarat.

Hukum Islam jelas lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sesuai (memuaskan) dengan harapan keluarga korban. Ketimbang hukum KUHP, yang hanya menuntut Putri Chandrawati hanya dengan 8 tahun penjara. 

Jadi, jangan ragu dengan penerapan hukum Islam. Hukum Islam pasti adil karena berasal dari Allah SWT, Dzat yang maha adil. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Selasa, 18 Oktober 2022

KM 50 DALAM DAKWAAN KASUS SAMBO

Tinta Media - Berdasarkan informasi yang beredar di website kantor berita memberitakan terdapat anggota tim CCTV di kasus unlawfull killing atas enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 muncul di surat dakwaan kasus obstruction of justice Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Adapun anggota tim CCTV kasus KM 50 yang masuk surat dakwaan adalah AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay. 
 
Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan Pendapat Hukum (legal opini) sebagai berikut: 
 
PERTAMA, Bahwa dalam dakwaan kasus obstruction of justice kematian Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (J) mengonfirmasi terjadinya pengamanan CCTV dalam kasus unlawfull killing atas enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 2020 lalu. Dalam dakwaan AKBP ARA dijelaskan, AKBP Acay pada kasus penghalangan penyidikan kematian Brigadir J, merupakan salah satu saksi. Di dalam dakwaan tersebut disebutkan, bahwa AKBP Acay adalah yang ambil bagian dalam pengamanan CCTV pada kasus unlawfull killing, di KM 50; 
 
KEDUA, Bahwa kasus KM 50 ini bisa diungkap kembali. Tetapi tergantung pada sikap Kapolri. Jika Kapolri berani dan menegakkan hukum hal itu bisa ditelusuri kembali, dakwaan kasus Sambo dapat dijadikan petunjuk. Pengungkapan KM 50 dapat memulihkan citra Polri yang tampak semakin terpuruk;

KETIGA; kasus penembakan laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek tergolong unlawful killing, yang merupakan unsur pelanggaran HAM. korban berada dalam kuasa aparat penegak hukum sehingga ketika meninggal dunia menjadi pertanyaan publik. Santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law);

Demikian
IG@chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT
 

Senin, 22 Agustus 2022

TUNTUTAN REFORMASI POLRI, BERSIHKAN POLRI DARI UNSUR MAFIYOSO SAMBO

Tinta Media - Ahad sore (21/8), penulis berkesempatan berdiskusi bersama sejumlah nara sumber, yang diselenggarakan PKAD. Seperti biasanya, Cak Slamet menjadi hostnya. Diantara nara sumber yang hadir ada Prof Suteki, Dr. Refly Harun dan Wartawan Senior Asyari Usman.

Para pembicara, secara umum setuju harus ada reformasi besar-besaran di tubuh Polri, meskipun dengan argumen dan rincian pendapat yang beragam. Prinsipnya, kasus pembunuhan berencana dan Obstruction of Justice yang dilakukan Geng Sambo mengkonfirmasi adanya penumpukan kekuasaan sekaligus penyalahgunaan wewenang di tubuh Polri.

Memang benar, ada juga soal filosofi Polri yang semestinya alat negara bukan alat penguasa, petugas sipil bukan lembaga militer, yang menjadikan praktik penyalahgunaan wewenang yang berujung tindakan zalim Polri, juga perlu dievaluasi. Bahkan, secara ketatanegaraan Dr. Refly Harun menyatakan reformasi Polri pada akhirnya harus dimulai dengan melakukan amandemen konstitusi. Menurutnya, ada desain yang keliru sejak awal dimana fungsi pertahanan dan keamanan dijalankan oleh TNI POLRI. Seolah, Polri juga mengambil peran militer. Padahal, sejatinya Polri murni mengemban peran dan fungsi sipil, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan bukan alat perang.

Prof. Suteki menegaskan pandangannya soal wacana pembubaran Mabes Polri. Ide ini sempat membuat berang Prof. Hermawan Sulistiyo, tim ahli penasehat Kapolri.

Asyari Usman juga punya pandangan yang sama. Bahkan, selama di Inggris, Asyari punya pengalaman bagaimana desain Polri yang dicukupkan melalui Polda dan Polres dapat dilakukan dan tidak mengganggu upaya menjalankan fungsi kepolisian.

Tetapi jika dicermati, ide Prof. Suteki sebenarnya adalah ide biasa, bukan barang baru dan telah diadopsi beberapa negara. Artinya, ide membubarkan Mabes Polri dan mendelegasikan keseluruhan tugas dan fungsi Polri ke Polda dan Polres itu adalah ide yang eksekusiable.

Desain institusi Polri -dengan istilah yang penulis sederhanakan- berdasarkan pandangan Prof Suteki ada 3 (tiga), yaitu :

Pertama, desain sentralisasi kekuasaan Polri. Inilah yang diterapkan di indonesia sehingga kekuasaan Polri Power Full, dan akhirnya disalahgunakan.

Kedua, desain desentralisasi Polri seperti yang diterapkan di Amerika.

Ketiga, desain kombinasi, sebagian ada diwewenang pusat (mabes), sebagian ada di daerah (Polda dan Polres), seperti yang dipraktikan di Jepang.

Penulis sendiri mencoba menyampaikan desain posisi Polri dalam struktur ketatanegaraan berdasarkan fungsinya. Polri semestinya menjalankan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum. Sementara fungsi pertahanan dan keamanan negara harus diserahkan kepada militer (TNI). 

Karena itu, harus ada upaya demiliterisasi Polri. Agar Polri menjadi aparat yang humanis dan merakyat, tidak kasar apalagi bengis dan zalim.

Adapun desain Polisi dalam sistem Khilafah sebagaimana termaktub dalam kitab Azizah ad Daulah Khilafah (Struktur Ketatanegaraan Daulah Khilafah), posisi polisi atau Syurtoh ada dibawah departemen keamanan dalam negeri (al Amnu ad Dakhili).

Ada 13 struktur di dalam Negara Khilafah, yaitu 1. Khalifah, 2. Muawin Tafwidz, 3. Muawin Tandidz, 4. Wali, 5. al Jihad, 6. Amirul Jihad (Departemen Perang), 7. Keamanan Dalam Negeri, 8. Urusan Luar Negeri, 9. Peradilan, 10. Struktur Administrasi (Kemaslahatan Umum), 11. Baitul Mal, 12. Penerangan dan 13. Amirul Jihad.

Jadi, polisi ada di bawah struktur ke-7 yakni di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Tugas utama departemen ini adalah menjaga keamanan dalam negeri bagi Negara.

Beberapa kejahatan yang mengganggu keamanan dalam negara ditangani departemen ini, seperti Murtad dari Islam dan Bughat. Lalu perompakan/begal  (Hirabah), pencurian, perampasan, penggelapan (korupsi), gangguan terhadap jiwa masyarakat seperti memukul, pencederaan hingga pembunuhan, juga menangani gangguan terhadap kehormatan melalui publikasi tuduhan zina.

Secara umum tugas Polisi adalah mencegah sekaligus menegakkan hukum atas adanya pelanggaran terhadap Hudud, Qisos diyat, Ta'jier dan Mukholafah. Inilah, desain fungsi polisi dalam sistem Khilafah.

Selanjutnya, ada perbedaan fungsi dan struktur kelembagaan polisi (Syurtoh). Secara struktur, polisi ada dibawah departemen keamanan dalam negeri yang dipimpin seorang Syurtoh (mirip Kapolri). Secara fungsi, polisi menjalankan fungsinya dibawah kendali dan supervisi Wali selaku penguasa di Daerah (mirip Pemda).

Kembali ke Kasus Ferdy Sambo. Memang benar, idealnya kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi besar-besaran di tubuh Polri. Reformasi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi Polri, menghilangkan penumpukan kewenangan, dan tentu saja melakukan demiliterisasi Polri. Dan untuk tujuan tersebut, penulis sependapat kiranya pandangan Prof. Suteki dan Dr. Refly Harun untuk dijadikan agenda lanjutan, dalam rangka mendesain polisi ideal di masa depan.

Namun, ada hal yang juga urgen dilakukan dan dapat segera dilakukan oleh Kapolri tanpa menunggu proses reformasi dan restrukturisasi institusi Polri. Yakni, menuntaskan kasus kejahatan pembunuhan berencana dan Obstruction of Justice yang dilakukan Geng Sambo. Di titik ini, Kapolri punya tugas jangka pendek yang harus segera dilakukan, yakni melakukan pembersihan institusi Polri dari unsur mafia Sambo. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Direktur AK 47 (Advokasi Keumatan 47)

https://youtu.be/iRyVTa0YCC0



Sabtu, 20 Agustus 2022

Pembunuhan Brigadir Joshua Merupakan Pembantaian?

Tinta Media - Advokat Ahmad Khozinudin, S.H. menuturkan, kasus pembunuhan Joshua Hutabarat bukan disebabkan tembak-menembak, namun diduga merupakan pembantaian berencana.

"Ini bukan tembak menembak. Ini diduga adalah salah satu pembantaian, pembunuhan berencana yang diawali dengan penyiksaan," jelasnya dalam rubrik catatan peradaban yang bertema 'REKAYASA DAN MAFIA KASUS BRIGADIR J VS KM50? MENANTI KEADILAN' di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (18/8/2022).


Ia melanjutkan, kesimpulan itu juga disimpulkan sama oleh keluarga Brigadir Joshua Hutabarat yang kemudian menunjuk kuasa hukum Kamaruddin Simanjuntak dan langsung melapor kepada pihak kepolisian dengan beberapa pasal terkait.

Pasal tersebut, lanjutnya, merupakan pasal pencurian, penganiayaan, penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, pembunuhan, pembunuhan berencana, dan memberikan bantuan dan saran untuk melakukan kejahatan.

"Nah, kasus ini awalnya ingin dipertahankan bahwa peristiwa ini tembak-menembak, bahwa peristiwa ini karena adanya pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir J. Hutabarat kepada istri Irjen Ferdy Sambo, Nona Putri Chandrawati. Namun peristiwa ini berubah seiring adanya pengakuan Bharada E atau Richard Eliezer kepada kuasa hukum yang baru, bahwa beliau mengaku tidak ada peristiwa tembak-menembak," bebernya.

Sejak saat itu, menurutnya, peristiwa ini berubah dari adanya tembak-menembak menjadi tidak adanya tembak-menembak. Setelahnya beredar pengumuman beberapa tersangka baru. "Ini yang kemudian mengaitkan publik dengan peristiwa KM 50. Kenapa? Peristiwa di Ferdy Sambo berubah dari tembak-menembak menjadi tidak ada tembak menembak," jelasnya.

Menurutnya, dalam peristiwa KM 50 juga tidak ada tembak menembak. Karena melalui pengakuan Munarman dan keterangan dari Front Pembela Islam (FP1), tidak ada pengawalan yang dibekali dengan senjata. Apalagi senjata luar biasa, seperti pedan dan lainnya. "Saat Irjen Polri mengumumkan peristiwa itu kan luar biasa, ada pedang, ada senjata api, ada macam-macam itu. Dan itu, dugaan kuatnya adalah bukti palsu yang diada-adakan oleh Polda Metrojaya," ungkapnya.

Walaupun akhirnya, terangnya, kasus itu dipaksakan Polri sampai pengadilan dan divonis lepas. " Karena dianggap melakukan tindakan pembunuhan enam laskar itu bagian dari perintah jabatan dan dimaafkan karena dianggap melakukan pembelaan terpaksa," pungkasnya.[] Wafi

Rabu, 17 Agustus 2022

PRAKTIK PENCABUTAN KUASA OLEH KLIEN 'DALAM TEKANAN' OKNUM PENYIDIK ADALAH SEBUAH PELANGGARAN HUKUM

Tinta Media - Kabar pencabutan kuasa oleh Bharada E terhadap Deolipa Yumara tentu mengagetkan bagi kalangan advokat, juga masyarakat pada umumnya. Sebab, melalui advokasi yang dilakukan Deolipa lah, publik menjadi lebih tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kerja-kerja Advokasi yang dilakukan oleh Deolipa sepatutnya diapresiasi, bukan malah dikebiri.

Klaim Bharada E tak nyaman dengan pembelaan Deolipa, sebagaimana dituturkan oleh Ronny Talapessy sulit dipercaya, mengingat Ronny berkedudukan sebagai pengacara pengganti setelah Bharada E mencabut Kuasa Deolipa. Pernyataan ini ada dalam bingkai 'konflik kepentingan hubungan advokat' sehingga kebenarannya patut dipertanyakan.

Sementara Deolipa, awalnya mempertanyakan pencabutan kuasa yang hanya dikirim via HP (WA). Deolipa mempertanyakan Surat yang diketik rapih, bukan tulisan tangan. Padahal, Bharada E sedang dalam kondisi di tahanan, sesuatu yang muskil dapat mengetik dan mecetak surat pencabutan secara rapih tanpa adanya bantuan (baca : intervensi) dari pihak yang memiliki otoritas di tahanan Bareskrim. 

Brigjen Pol Andi Riyan Jayadi mengaku, Deolipa menjadi pengacara Bharada E adalah karena penunjukan penyidik. Implisit dapat dipahami, bahwa kalaupun penunjukan itu dicabut, hal itu tentunya sudah menjadi kewenangan penyidik.

Adapun terhadap pencabutan kuasa tersebut, Deolipa Yumara menyatakan akan menuntut Negara untuk membayar Rp 15 T sebagai kompensasi pekerjaannya yang sudah bekerja 5 (lima) hari mendampingi Bharada E. Deolipa akan menggugat baik melalui jalur perdata maupun tata usaha negara.

Sebenarnya, praktik pencabutan kuasa itu lazim dalam praktik profesi advokat sebagaimana advokat juga lazim mengundurkan diri dari kuasa. Sepanjang atas kehendak klien, kuasa dapat dicabut setiap saat dengan alasan apapun.

Namun, untuk pencabutan kuasa yang bersifat profesional, pencabutan ini tidak menghilangkan hak dan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, termasuk penunaian pembayaran jasa atau fee advokat. Selanjutnya, seluruh dokumen dan bukti yang berkaitan dengan perkara dikembalikan kepada klien.

Namun, tidak sedikit praktik pencabutan kuasa karena adanya tekanan atau rayuan dari pihak lain. Sehingga, tindakan pencabutan kuasa itu bukan murni inisiatif klien melainkan atas tekanan atau bujuk rayu pihak lainnya.

Misalnya, ada klien mencabut kuasa karena bujuk rayu advokat lainnya, entah dengan janji akan dimenangkan perkaranya atau biaya yang penanganan yang dijanjikan lebih murah. Pada kondisi ini, bukan klien yang bermasalah namun advokat 'penyerobot kasus' yang tidak memiliki etika dan tidak menghargai kerja rekan sejawat.

Adapun cabut kuasa karena tekanan, itu lazimnya terjadi pada kasus pidana dimana ada otoritas penyidik yang berwenang memberikan tekanan kepada tersangka untuk mencabut kuasa atau mengganti pengacara. Praktik seperti ini ada dan lazim dilakukan oleh oknum penyidik, namun tidak bisa dibuktikan karena tersangka biasanya dalam posisi sub ordinat.

Sementara pengacara yang dicabut kuasanya umumnya tidak mempersoalkan, karena hal yang demikian biasa saja. Apalagi, jika motif menerima kuasa adalah untuk menolong. Tentu seorang pengacara atau advokat atau penasehat hukum, tidak akan ngotot membantu klien apabila klien tersebut enggan dibantu.

Terlebih lagi, masih banyak perkara yang dikerjakan dan masih banyak orang yang membutuhkan jasanya. Seorang advokat saat menemui kliennya mencabuti kuasa, maka dia juga tidak akan mempertahankan kuasa selain secara hukum hak memberikan kuasa adalah wewenang mutlak klien.

Hanya saja, dalam kasus Deolipa Yumara, benarkah pencabutan kuasa murni kehendak Bharada E ? Apakah ada tekanan penyidik terhadap Bharada E agar mencabut kuasa ? lalu motifnya apa ?

Dalam ketentuan Pasal 54 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan :

"Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini."

Selanjutnya, pasal 56 KUHAP tegas menyatakan kewajiban untuk menunjuk penasehat hukum dalam perkara dan keadaan tertentu. Dalam pasal 56 KUHAP disebutkan :

"Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka,"

Penunjukan Deolipa Yumara untuk menjadi Penasehat Hukum Bharada E adalah berdasarkan pasal 56 KUHAP ini. Karena Bharada E berstatus Tersangka berdasarkan pasal 338 jo 55 jo 56 KUHP yang ancamannya pidana 15 tahun penjara.

Meski penunjukannya oleh Penyidik, namun hubungan hukum pengacara adalah dengan kliennya bukan dengan penyidik.

Karena itu, dengan alasan apapun seorang penyidik tidak boleh mengintervensi atau mencampuri hubungan hukum antara advokat dengan kliennya. Penyidik juga tidak boleh merasa punya hak hukum untuk mengintervensi klien agar mencabut kuasa, dengan dalih kuasa itu atas penunjukan darinya.

Sebenarnya, dalam penunjukan Penasehat Hukum berdasarkan pasal 56 KUHAP, semestinya penyidik berterima kasih kepada Advokat, disebabkan :

*Pertama,* pasal 56 KUHAP ini imperatif mewajibkan tersangka didampingi penasehat hukum dalam setiap pemeriksaan. Sehingga, tanpa adanya advokat sebagai penasehat hukum, penyidik tidak dapat bekerja untuk melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dalam seluruh tahapannya.

*Kedua,* hadirnya Advokat berdasarkan pasal 56 KUHAP ini juga akan membantu penyidik membuat terangnya perkara, dimana advokat akan mendorong kliennya untuk menceritakan perkara sesuai kenyataannya, tidak perlu ada yang ditutupi. Terbukti, pada kasus Bharada E pasca didampingi Deolipa, perkara menjadi lebih tergambar kebenarannya.

*Ketiga,* penyidik mendapatkan mitra untuk berdiskusi baik terkait fakta maupun norma hukum yang berkenaan dengan kasus. Sehingga dalam proses gelar perkara, penyidik memiliki perspektif utuh dan menyeluruh yang menjadikan keputusan penanganan kasus menjadi lebih kredibel dan akuntabel.

Yang jelas, terlepas ada atau tidaknya intervensi penyidik dalam pencabutan kuasa Deolipa Yumara, peristiwa ini sangat disayangkan. Padahal, publik sedang membutuhkan kerja advokasi yang transparan, yang hal ini sudah didapatkan dari Deolipa dan belum tentu dihadirkan oleh Ronny Talapessy sebagai penggantinya.

Dan apabila ternyata pencabutan kuasa ini ada intervensi dari oknum penyidik, sudah jelas ini merupakan bentuk pelanggaran hukum karena mengintervensi kinerja advokat yang juga tegas berstatus penegak hukum berdasarkan pasal 5 UU No 18/2003 tentang Advokat. Advokat adalah mitra penyidik, bukan sub ordinat atau bawahan penyidik, meskipun kuasa diperoleh melalui penunjukan dari penyidik. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Konsultan Hukum

https://youtu.be/zQI-L8uIIyE



Senin, 18 Juli 2022

Kasus Tewasnya Brigpol Nopryansah, IJM: Aparat Penegak Hukum Harusnya Bertindak Cepat

Tinta Media  -  Berbagai kejanggalan yang melingkupi kasus ditembaknya Brigpol Nopryansah direspon oleh ahli hukum dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr Muh. Sjaiful, S.H., M.H. aparat penegak hukum seharusnya bertindak cepat.

“Bila sebuah sistem hukum pidana memang menjamin semua orang sama di depan hukum, tentunya aparat penegak hukum, seharusnya bertindak cepat dan bersifat transparan guna menguak apa sesungguhnya dibalik peristiwa yang menjadi penyebab tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat,” ungkapnya kepada Tinta Media, Senin (18/7/2022).

Sjaiful menilai, publik akhirnya mempertanyakan kejanggalan tersebut, setelah pihak keluarga mendiang, membeberkan sejumlah misteri kejanggalan dibalik kematian Norpryansah. “Dari titik pandang ini, semua orang akan terusik perasaan keadilannya, tentu saja proses penegakan hukum pidana harus berjalan sesuai koridor semua orang sama di depan hukum (equality before the law),” tegasnya.

Menurutnya, manusia secara fitrah, tentu saja tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. 

“Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetieskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu. Mungkin yang mau lindungi adalah seorang petinggi yang ada dilingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis,” analisanya.

Kelam

Sjaiful mengatakan, penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. “Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria diatas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970,” kisahnya seraya mengatakan bahwa  para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini.

“Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia,” ungkapnya.

Sistem Pidana Islam

Sjaiful membeberkan, sistem hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan istilah sistem uqubat, sangat menjamin penegakan hukum lebih adil serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum.

“Sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapa pun juga. Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun,” yakinnya serta mengatakan bahwa  semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam.
 
“Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu,” imbuhnya.

Menurutnya, Baginda Rasullullah, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan.

“Lisan mulia Baginda Nabi mengatakan  bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencurfi adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan. Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya,” tuturnya menirukan sabda Rasul.

Sjaiful juga melukiskan keadilan hukum pidana Islam yang  terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu, atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti.

“Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah,” kisahnya melukiskan peristiwa yang menggambarkan keagungan hukum pidana Islam.[] Irianti Aminatun
 
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab