Blue Screen Of Democracy
Tinta Media - Maraknya fenomena BSOD di Platform Instagram viral. Blue Screen Of Death (BSOD) merupakan tampilan layar biru ketika Microsoft Windows mengalami kesalahan serius akibat kerusakan sistem yang tidak bisa diperbaiki oleh internal.
Uniknya, BSOD warganet gunakan sebagai aksi demo terhadap Demokrasi. Rakyat mengklaim negara menggunakan Demokrasi sebagai alat untuk mencapai keuntungan dengan membangun dinasti politik. Pemicu rakyat murka, setelah DPR menjegal keputusan MK dengan mengadakan rapat dadakan, dan mengesahkan Revisi RUU Pilkada dengan waktu superkilar selama 7 jam. (Kumparannews, 22/08/24)
Publik menggiring berbagai opini, dari MK yang ingin mengembalikan citra baik sebelum Jokowi lengser. Sedangkan DPR sibuk menjegal, demi Kaesang tetap bisa maju Pilkada 2024. Rakyat geram, karena Demokrasi dengan mudahnya diobok-obok oleh internalnya sendiri. Para pemangku kekuasaan dengan mudah dan bebas memuat aturan sesuai kepentingan masing-masing kubu.
Lahirlah aksi heroik para demonstran, dari komika, aktor, influencer, mahasiswa, STM, dan masyarakat kompak turun ke jalan menuju gedung DPR serta Istana Kepresidenan. Bahkan musisi Fiersa Basari dalam konsernya menggunakan background BSOD. Bukti bahwa seluruh elemen sudah sadar akan politik, yang tadinya cuek, dan ngikut-ngikut kebijakan aja.
Kepercayaan publik kian pudar. Sangat menggelitik orasi dari Reza Rahardian yang pedas, lantang, dengan semangat mendidih. Dengan narasi, "jika MK berusaha mengembalikan nobility nya sebagai konstitusi. Ironisnya, dianulir oleh lembaga wakil rakyat. Lantas anda yang di dalam gedung DPR ini, wakil siapa?" Rasanya, di balik Demokrasi bukan lagi suara dan kepentingan rakyat. Realitasnya, Demokrasi hanya sebatas teori, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
Menyelami pola pikir Socrates, seorang ahli filsuf ternama berasal dari Atena, Yunani. Menurut Socretes, negeri-negeri dengan Ideologi Demokrasi berpikir mundur dan terbelakang. Paradigma Socrates mengilustrasikan Demokrasi sangat unik, dianalogikan seperti kapal. Ketika seseorang ingin berlayar, namun untuk menentukan siapa nahkodanya berdasarkan suara mayoritas, tentu sangat berbahaya. Bayangkan apabila nahkoda terpilih ternyata tidak ada keilmuan dan pengalaman dalam berlayar, bahkan tidak bisa membaca arah mata angin, lantas bagaimana nyama penumpang kapal?
Ilustrasi yang sangat logic. Namun, bagaimana jika nahkoda terpilih ternyata seseorang ahli dibidangnya? Kita lihat realitas hari ini, semua paslon ketika ingin mendedikasi dirinya untuk negara pasti memiliki segudang prestasi, dan memiliki value untuk bersaing dengan kompetitor lain. Ironisnya, rakyat jauh dari sejahtera, terjadi kesenjangan sosial, kaum elit hanya untuk pemilik modal dan relasinya. Sedangkan kebijakan dibuat sesuai kepentingan pemilik modal.
Lain halnya menyelami paradigma Dr. Riyan. M. Ag seorang pengamat politik Islam, mengatakan bahwa asas dari Demokrasi merupakan Sekulerisme. Jadi, ciri khas Demokrasi adalah manusia memiliki wewenang mencipakan aturan kehidupan dalam bentuk perundang-undangan. Artinya agama tidak berhak mengatur negara.
Ditelisik lebih mendalam, bukan persoalan siapa orangnya? Siapa pemimpinnya? Tapi apa sistemnya? Aturan seperti apa yang memuaskan akal? Sesuai fitrah manusia? Dan pastinya menentramkan jiwa?
Lagi-lagi Islam bukan tanya agama, namun sekaligus seperangkat aturan kehidupan yang sangat releven dengan perkembangan zaman, sangat komprehensif, fundamental, dan tentunya sebagai problem solving manusia, alam semesta, dan kehidupan.
Dibuktikan dengan sejarah, ketika Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat sebagai sistem yang mengatur 3 komponen.
Setelah futuhat Salayudin Alayyubi Rahimatullah tahun 1187, bahkan setelah beliau wafat, kepemimpinan Islam masih berlanjut sampai masa kepemimpinan Turki Ustmani. Jika dikalkulasi, selama 730 tahun berturut-turut Islam memimpin Palestina dengan tiga entitas agama, dan hidup damai, rukum, serta tentram. Terjawab, ketika Islam dijadikan sebagai mabda, ternyata Islam sangat relevan dengan kemajemukan dan keberagaman.
Ummat harus memutus rantai ketertingalan dan keterbelakangan ini dengan memperbanyak literasi. Sehingga memahami sejarah Islam yang dikaburkan dan dikuburkan. Seharusnya kaum Muslimin semangat mempelajari Islam itu sendiri, bukan sekedar terlahir Muslim atau berada dalam keluarga Muslim. Namum memahami esensi kenapa beragama Islam, dan harus Islam?
Senada dengan Firman Allah dalam TQS. Ali Imran ayat 85, barangsiapa mencari agama selain Islam, sejatinya tergolong orang-orang rugi.
Seorang Socrates saja paham sisi gelapnya Demokrasi, yang waktunya terpaut jauh dari NKRI atau sebelum 500 SM paham buruknya Demokrasi. Seharusnya kaum Muslimin lebih memahami itu sampai ke akar-akarnya. Ketika mempelajari dan mendalami Islam, akan mengetahui betapa sempurnanya Islam sebagai solusi persoalan ummat. Karena memang Islam memiliki panduan langsung dari Yang Khaliq.
Wallahu'alam Bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, Penulis Ideologis, Kontributor Tinta Media