Tinta Media: Biaya Haji Naik
Tampilkan postingan dengan label Biaya Haji Naik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biaya Haji Naik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Februari 2023

Naiknya Biaya Haji, Pertanda Kapitalisasi Ibadah?

 “Eh, eh, Jeng, sekarang biaya naik haji mahal lho…”

 “Lho iya kah?”

 “Iya… per jamaah haji kena biaya 69 juta…”

 “Sudah diketokkah?”

 “Belum sih.. masih wacana”

Tinta Media - Itulah sepintas obrolan saya dengan kawan di siang hari saat menunggu kajian dimulai. Sempat kaget sih, kok bisa orang mau beribadah malah dipersulit. Akhirnya saya pun mencari info terkait hal tersebut.

Melansir dari CNN Indonesia, Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp 69 juta. Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp 39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan Rp 35 juta.

Menurut Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta, Kamis (19/1), adanya usulan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. Dengan mengedepankan prinsip keadilan, usulan ini dalam rangka menyeimbangkan besaran beban jemaah dan keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. Kenapa semua alasannya adalah masa depan?

Anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Wachid, menyampaikan di dalam Rapat Dengar Pendapat Panja BPIH Tahun 1444 H/2023 H, Jakarta, Kamis (26/1) bahwa adanya kenaikan Bipih pada tahun ini untuk mitigasi (upaya mengurasi resiko) saat munculnya gejolak kurs dan harga bahan bakar. Dimana kedua kondisi tersebut, sangat berpengaruh pada kenaikan dana penyelenggaraan. Oleh karena itu, usulan itu terjadi agar di masa depan, pemerintah tidak mengalami kesulitan dalam penyelenggaran ibadah haji. Namun, Wachid jelas menolak usulan ini karena tidak semua jamaah haji berasal dari kalangan atas. Dan Wachid berharap negara lebih menunjukkan perannya.

Seperti kita pahami bahwa dana keberangkatan haji tiap jamaah adalah 70 persen berasal dari dana jamaah dan 30 persen menggunakan dana nilai manfaat. Lalu berasal dari mana dana nilai manfaat itu?

Dana manfaat tersebut berasal dari hasil pengembangan dana haji yang terkumpul baik dari jamaah yang akan berangkat maupun yang masih masuk daftar tunggu, oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) baik dari hasil investasi maupun penempatan dana di produk perbankan dengan prinsip Syariah. Sehingga bisa dinilai, jika persentase dana di antara salah satunya naik maka persentase dana lainnya turun. Lalu, apakah itu alasan yang dapat dibenarkan dengan membebankan kepada jamaah?

Selain itu, kita juga memahami bahwa Bipih bukan hanya sekedar biaya layanan masyair saja, yaitu biaya yang ditetapkan sepenuhnya oleh Arab Saudi sebagai penyelenggara ibadah haji, untuk prosesi ibadah haji selama di Arafah, Mina dan Muzdalifah selama 4 hari, tetapi juga ada komponen lainnya, seperti akomodasi, transportasi, konsumsi, dokumen keimigrasian, general service fee, pembinaan maupun biaya perlindungan jamaah. Nah, disinilah permasalahan muncul. Maka benarlah kiranya pernyataan Wachid bahwa negara harus segera menunjukkan perannya. Karena apa? Karena biaya lain-lain tersebut ada dalam tanggung jawab negara dalam melayani rakyatnya.

Pertanyaan besarnya, apakah negara dengan sistem kapitalis ini akan mengambil perannya? Atau malah menerapkan kapitalis dalam urusan ibadah ini?

Oleh: Dwi R Djohan
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 02 Februari 2023

HAJI APA TIPU-TIPU SKEMA PONZI?

Tinta Media - Menag Yaqut usulkan biaya haji naik, tepat pada saat otoritas Saudi menurunkan biaya haji hingga 30 %. Naiknya bukan satu dua juta, tetapi melesat menjadi Rp 69 juta dari yang sebelumnya rata-rata Rp 40 juta.

Dalihnya, biaya tiket pesawat, akomodasi dan hotel naik. Dolar juga naik. Enak bener, tanpa menunjukkan hasil audit keuangan dana haji, langsung menaikkan biaya haji.

Padahal, menurut Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu, dana haji per Mei 2021 mencapai Rp 150 triliun. 

Katanya tetap aman, tidak ada utang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada alokasi infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi bagi dana haji. Anggito juga mengatakan Dalam Laporan Keuangan BPKH sampai 2020, tidak ada catatan utang dalam kewajiban BPKH kepada pihak penyedia jasa perhajian di Arab Saudi.

Tahun 2020, kata Anggito, BPKH membukukan surplus keuangan lebih dari Rp 5 triliun dan dana kelolaan tumbuh lebih dari 15 persen. Ini tertuang dalam Laporan Keuangan 2020 (unaudited).

Tinggal satu pertanyaan, apakah dana haji itu likuid? atau cuma ada dalam catatan?

Dulu, Anggito koar-koar memberikan garansi duitnya ada tidak ngaruh, karena 2020 haji ditutup. Tidak ada pemberangkatan jamaah haji, jadi tidak butuh cash flow untuk memberangkatkan jama'ah.

Tahun ini, tahun 2023 kesepakatan yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah, menyepakati kuota haji Indonesia tahun 2023 sebesar 221 ribu jemaah.

Jadi, harus ada duit cash untuk memberangkatkan jama'ah haji sebesar Rp 221.000 jamaah. Kali @ 40 juta saja, sudah harus ada kocek sekitar Rp. 8,85 triliun. Apa BPKH punya kocek cash segitu?

Khawatirnya, duit di BPKH cuma tercatat. Uangnya sudah lari ke sukuk, lari ke proyek infrastruktur, ngendon jadi Bandara Kertajati yang mangkrak. Jadi, ga punya duit cash untuk memberangkatkan jama'ah yang sudah masuk daftar tunggu.

Untuk mendapatkan cash, ya harus ambil dari uang jama'ah baru, yang mau daftar haji. Karena butuh cash besar, biaya haji dinaikan menjadi Rp 69 juta, biar kumulasi anggarannya bisa memberangkatkan 221.000 jamaah sesuai kuota.

Jaminan keberangkatan jamaah haji berangkat ke tanah suci bukan berasal dari uang yang sudah mereka bayar (kumpulkan). Tetapi bergantung pada pengumpulan dana calon jamaah haji yang baru.

Ini mirip skema ponzi. Keuntungan yang dibagi ke investor bukan dari keuntungan bisnis, melainkan dari dana investor sendiri dan dana investor baru. Sepanjang ada investor baru tertipu, maka ada margin yang dibagi. Begitu investor baru stop, barulah terbongkar modus penipuan diawali tidak dibaginya keuntungan hingga hilangnya modal.

Masak, mengelola haji mau seperti skema ponzi? Agar tak ada dugaan dana haji dikelola dengan skema ponzi, segera audit dana haji! Tak boleh ada kenaikan biaya haji, sebelum dana haji diaudit BPK. Enak saja main narik uang umat dengan menaikkan biaya haji. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

HAJI APA TIPU-TIPU SKEMA PONZI?

Tinta Media - Menag Yaqut usulkan biaya haji naik, tepat pada saat otoritas Saudi menurunkan biaya haji hingga 30 %. Naiknya bukan satu dua juta, tetapi melesat menjadi Rp 69 juta dari yang sebelumnya rata-rata Rp 40 juta.

Dalihnya, biaya tiket pesawat, akomodasi dan hotel naik. Dolar juga naik. Enak bener, tanpa menunjukkan hasil audit keuangan dana haji, langsung menaikkan biaya haji.

Padahal, menurut Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu, dana haji per Mei 2021 mencapai Rp 150 triliun. 

Katanya tetap aman, tidak ada utang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada alokasi infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi bagi dana haji. Anggito juga mengatakan Dalam Laporan Keuangan BPKH sampai 2020, tidak ada catatan utang dalam kewajiban BPKH kepada pihak penyedia jasa perhajian di Arab Saudi.

Tahun 2020, kata Anggito, BPKH membukukan surplus keuangan lebih dari Rp 5 triliun dan dana kelolaan tumbuh lebih dari 15 persen. Ini tertuang dalam Laporan Keuangan 2020 (unaudited).

Tinggal satu pertanyaan, apakah dana haji itu likuid? atau cuma ada dalam catatan?

Dulu, Anggito koar-koar memberikan garansi duitnya ada tidak ngaruh, karena 2020 haji ditutup. Tidak ada pemberangkatan jamaah haji, jadi tidak butuh cash flow untuk memberangkatkan jama'ah.

Tahun ini, tahun 2023 kesepakatan yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah, menyepakati kuota haji Indonesia tahun 2023 sebesar 221 ribu jemaah.

Jadi, harus ada duit cash untuk memberangkatkan jama'ah haji sebesar Rp 221.000 jamaah. Kali @ 40 juta saja, sudah harus ada kocek sekitar Rp. 8,85 triliun. Apa BPKH punya kocek cash segitu?

Khawatirnya, duit di BPKH cuma tercatat. Uangnya sudah lari ke sukuk, lari ke proyek infrastruktur, ngendon jadi Bandara Kertajati yang mangkrak. Jadi, ga punya duit cash untuk memberangkatkan jama'ah yang sudah masuk daftar tunggu.

Untuk mendapatkan cash, ya harus ambil dari uang jama'ah baru, yang mau daftar haji. Karena butuh cash besar, biaya haji dinaikan menjadi Rp 69 juta, biar kumulasi anggarannya bisa memberangkatkan 221.000 jamaah sesuai kuota.

Jaminan keberangkatan jamaah haji berangkat ke tanah suci bukan berasal dari uang yang sudah mereka bayar (kumpulkan). Tetapi bergantung pada pengumpulan dana calon jamaah haji yang baru.

Ini mirip skema ponzi. Keuntungan yang dibagi ke investor bukan dari keuntungan bisnis, melainkan dari dana investor sendiri dan dana investor baru. Sepanjang ada investor baru tertipu, maka ada margin yang dibagi. Begitu investor baru stop, barulah terbongkar modus penipuan diawali tidak dibaginya keuntungan hingga hilangnya modal.

Masak, mengelola haji mau seperti skema ponzi? Agar tak ada dugaan dana haji dikelola dengan skema ponzi, segera audit dana haji! Tak boleh ada kenaikan biaya haji, sebelum dana haji diaudit BPK. Enak saja main narik uang umat dengan menaikkan biaya haji. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab