Tinta Media: Berkualitas
Tampilkan postingan dengan label Berkualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berkualitas. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2024

Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Kurikulum Merdeka Belajar, Jauh Panggang dari Api



Tinta Media - Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun ini, 2024, pemerintah menetapkan tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” (nasional.kompas.com, 25/04/2024). Dalam rangka menunjukkan perwujudan kebebasan Merdeka Belajar, Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media berkolaborasi dengan Titimangsa dan SMKN 2 Kasihan menggelar konser musikal bertajuk “Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai” pada Kamis, 25 April 2024 di Jakarta (liputan6.com, 26/04/2024). 

Sayangnya, gegap gempita perayaan Hari Pendidikan Nasional tidak diiringi dengan baiknya kondisi pendidikan yang ada di lapangan. Berbagai masalah di dunia pendidikan terus bermunculan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, bahkan semakin hari semakin miris dan mengerikan. 

Sebut saja kasus bullying di kalangan pelajar yang hingga saat ini masih terus terjadi (tribunnwes.com, 8/03/2024). 
Dari sisi kualitas akademis, tidak ada prestasi signifikan yang diraih oleh Kurikulum Merdeka Belajar yang tengah diimplementasikan hari ini. 

Menurut Direktur Eksekutif Bajik, Dhita Puti Sarasvati, Kurikulum Merdeka Belajar belum layak menjadi kurikulum nasional karena bagian esensinya belum ada, yakni, kerangka kurikulumnya (detik.com, 26/02/2024).

Alih-alih menjadi solusi bagi dunia pendidikan, dari awal kemunculannya, kurikulum Merdeka Belajar justru semakin mengaburkan arah maupun indikator-indikator keberhasilan pendidikan. 

Praktisi pendidikan di berbagai tingkat mempertanyakan pelaksanaan kurikulum ini. Banyak konsep yang tidak relevan untuk diterapkan di lapang bahkan mempersulit guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sekaligus menguras habis energi mereka pada hal-hal remeh.  

Belum lagi perubahan materi pelajaran dengan alasan dangkal, bahkan tanpa dasar. Sebut saja konsep materi Khilafah dan Jihad yang awalnya ada di dalam mata pelajaran Fiqih yang kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tanpa alasan yang jelas. 

Fakta ini menunjukkan betapa buruk dab tidak jelasnya kurikulum ini. Hal ini juga mengesankan bahwa pendidikan kita memang disetir oleh orang-orang tidak berilmu dan penuh kepentingan. 

Fakta yang tak kalah buruk juga terjadi pada pendidikan tinggi. Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di perguruan tinggi mengharuskan mataku kuah berorientasi pada peningkatan kompetensi kerja yang harus dimiliki oleh lulusan mereka tanpa memedulikan kebaikan moral dan mental. 

Mahasiswa terus dimotivasi untuk berkompetisi mendapatkan pekerjaan di perusahaan, berwirausaha untuk mendapatkan keuntungan materi yang banyak, dan seterusnya dan seterusnya. Sebagai akibat, peserta didik hanya berpikir tentang materi, materi, dan materi. Mereka tidak peduli dengan lingkungan sosial, etika, moral, dan hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan berupa materi. 

Lantas, apa yang akan terjadi jika satu-satunya tujuan pendidikan hanyalah sebatas nilai-nilai materi? Berbagai kerusakan dapat dengan gampang kita temukan. Produk pendidikan yang mengukur semua dengan materi juga akan menghargai semua hal dengan materi. 

Maka, terciptalah kehidupan sosial yang memungkinkan bagi seorang guru dengan gaji kecil tidak layak dihormati, meskipun jasa mereka sangat besar dalam mendidik generasi. Sebaliknya, orang-orang kaya akan dijunjung tinggi, dihormati dan dielu-elukan, meskipun mereka mendapatkan harta dengan cara yang tidak benar semacam korupsi, menipu, menguasai harta masyarakat, dan berbagai cara licik lain. 

Selain itu, generasi dengan didikan yang berorientasi materi juga memiliki mental yang sangat lemah dan niretika. Ketika materi tidak berhasil didapatkan dalam hidup, mereka akan sangat mudah merasa tertekan, menganggap diri tak berguna, rendah, dan tidak layak mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitarnya. 

Akibatnya, tindak kriminal terjadi di mana-mana. Para pelaku bullying sering kali adalah mereka yang secara mentalitas tidak terdidik dengan baik. Berbagai kasus perzinaan remaja yang menjual diri mereka untuk mendapatkan materi secara instan, dan berbagai kasus yang hari ini bertebaran di mana-mana. 

Dengan fakta seperti ini, Kurikulum Merdeka jelas menguatkan sekularisme dan kapitalisme dalam kehidupan masyarakat. Generasi semakin terkungkung dengan konsep yang salah tentang tujuan mereka dalam menuntut ilmu, bahkan tujuan hidup mereka. 

Mereka gagal memahami dengan benar hakikat kehidupan. Pertanyaannya, masihkah perlu untuk meneruskan kurikulum yang buruk ini jika tujuan kita mendidik generasi adalah menjadikan kualitas mereka unggul dalam segala aspek? Jawabannya sudah jelas, tentu saja tidak. 

Generasi unggul hanya akan lahir dari kurikulum pendidikan yang valid dan teruji hasilnya. Hingga hari ini, belum pernah ada kurikulum pendidikan mana pun yang mampu menandingi keandalan kurikulum pendidikan yang diterapkan dalam sistem Islam. 

Sistem Pendidikan Islam telah menghasilkan sangat banyak ilmuwan yang tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, tetapi juga saleh dan faqih dalam agama mereka. 

Al Khawarizmi, Ibu Rusyd, Ibnu Sina, Mariam al Asturlabi, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayubi dan banyak lagi yang lain, siapa yang tidak mengenal nama-nama ini? Mereka adalah generasi unggul hasil sistem pendidikan Islam. 

Sistem pendidikan Islam memastikan terbentuknya generasi berkualitas, beriman, bertakwa, terampil, dan berjiwa pemimpin serta menjadi problem solver bagi umat. 

Kurikulum dalam pendidikan Islam mengarahkan peserta didik memahami hakikat dan tujuan hidup. Jelasnya, bahwasanya tujuan hidup mereka adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka, mereka juga akan berbuat yang terbaik untuk mencapai berbagai prestasi demi memuliakan agama Allah dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh: Fatmawati 
(Aktivis Dakwah)

Minggu, 25 Februari 2024

Pendidikan Berkualitas dengan PIP, Mungkinkah?



Tinta Media - Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim melaporkan hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% target, yaitu sudah disalurkan kepada 18.109.119 penerima bantuan dengan menelan anggaran sebesar Rp9,7 triliun setiap tahunnya. Nadiem menyatakan bahwa dengan semangat Merdeka Belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong royong dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. (news.republika.co.id, 26/01/ 2024)

Tahun 2024 ini, pemerintah memberikan bantuan PIP untuk pelajar SD senilai Rp450.000 per tahun, SMP Rp750.000 per tahun, dan pelajar SMA dan SMK sebesar Rp1.800.000 per tahun. Presiden Joko Widodo berkeinginan agar bantuan ini dapat meningkatkan semangat belajar para pelajar dan mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Presiden juga memastikan bahwa bantuan PIP bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Ia pun menyarankan para pelajar agar bijaksana dalam mengelola dana bantuan PIP yang telah diterima.

Memang, sudah keharusan bagi negara memberikan bantuan dana pendidikan 100% pada rakyat. Sayangnya, yang dimaksud 100% adalah dari sisi penyaluran dana yang dialokasikan. Itu pun secara bertahap, bahkan belum mencakup 100% jumlah anak didik yang ada. Akses pendidikan belum merata, baik dari kualitas, kuantitas, maupun sarana prasarana.

Di daerah-daerah pelosok, sarana dan prasarananya kurang memadai, mulai dari tempat belajar yang sulit dijangkau, gedung yang rusak, bocor, dan tidak nyaman, bahan ajar yang seadanya, dan masih banyak masalah lain yang membuat proses belajar mengajar menjadi tidak efektif dan efisien.

Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak PR. Hal ini disebabkan karena kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, tetapi juga kurikulum dan SDM pendidik yang terbaik. Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan di negeri ini disusun berdasarkan paradigma sekularisme. 

Sekularisme adalah pemisahan antara agama dan kehidupan. Alhasil, peserta didik dibina dan dipaksa untuk meyakini nilai-nilai kebebasan atau liberalisme dan orientasi pada materi atau kapitalisme sebagai landasan dalam berbuat. Akibatnya, para pelajar memiliki pandangan hidup bahwa kesenangan materi adalah sumber kebahagiaan. Agama dijauhkan sejauh-jauhnya dari peserta didik. Alhasil, output pelajar kini mengalami kemunduran yang luar biasa. Kehidupan generasi hari ini dihiasi oleh pergaulan bebas, narkoba, tawuran, miras, hingga kriminalitas. 

Nyatalah, potret kemunduran pelajar disebabkan oleh kurikulum pendidikan. Gagalnya sistem pendidikan dipengaruhi oleh kurikulum yang berlandaskan pada sistem kapitalisme. Sistem ini merupakan akar persoalan buruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Kapitalisme meniscayakan komersialisasi pendidikan. Alhasil, hanya orang yang memiliki uang yang bisa mengakses pendidikan. 

Masyarakat yang tidak memiliki uang tidak bisa mengakses pendidikan. Maka, pemerintah pun seolah-olah berperan untuk membiayai pendidikan melalui bantuan-bantuan yang digelontorkan seperti PIP yang nominalnya masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sekolah.

Padahal, kebutuhan pendidikan atas seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara secara mutlak. Negara dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelaksana atau operator yang seharusnya hadir memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan asasi seluruh rakyat, termasuk pendidikan.

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Islam menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dalam semua aspek, baik fisik, SDM, kurikulum, maupun hal terkait lainnya. Islam memberikan pendidikan secara gratis oleh semua rakyat. Sebab, sistem pendidikan Islam yang berjalan dalam sebuah negara memiliki beberapa ketentuan yang digali dari nash-nash syariat, di antaranya:

Pertama, orientasi pendidikan dalam Islam dibangun atas paradigma Islam dengan tujuan membentuk kepribadian Islam dengan tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan, yaitu iptek dan keterampilan berdasarkan tujuan tersebut. Maka kurikulum pendidikan Islam harus berbasis akidah Islam. 

Kurikulum berbasis akidah Islam memastikan tidak ada pemisahan antara agama dan kehidupan. Peserta didik akan memiliki pemahaman bahwa tujuan hidup hakiki seorang hamba adalah meraih rida Allah, dan melandaskan perbuatan hanya pada syariat Islam. Sehingga, peserta didik akan menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, disibukkan pada amal saleh, memiliki iman yang kuat, berjiwa pemimpin dan terampil menguasai teknologi. 

Kedua, fasilitas pendidikan dalam khilafah harus memadai untuk semua jenjang pendidikan agar semua peserta didik dapat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Tentu semua ini menjadi tanggung jawab negara. 

Negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti rumah sekolah, laboratorium, perpustakaan, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung kegiatan belajar mengajar, dan sebagainya. Seluruh pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab negara, bukan peserta didik. 

Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis yang dikomersialisasikan. Pembiayaan pendidikan dalam khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Pembiayaan tersebut bersifat mutlak. Artinya, jika pembiayaan dari dua pos tersebut tidak mencukupi, maka negara akan melakukan mekanisme berikutnya yang dibolehkan oleh syariat dan bersifat temporer.

Ketiga, khilafah akan menyediakan tenaga pengajar profesional dan memberikan gaji yang layak bagi mereka. Inilah sistem pendidikan Islam yang bisa diakses secara gratis oleh siapa pun, baik kaya atau miskin, muslim atau nonmuslim dengan sarana dan prasarana terbaik. Dengan demikian, hanya sistem khilafah Islamiyah yang mampu mewujudkan sistem pendidikan seperti ini.


Oleh: Amellia Putri 
(Aktivis Muslimah)

Kamis, 25 Mei 2023

MMC: Pembangunan Jalan Wajib Berkualitas dan Disediakan Gratis

Tinta Media - Muslimah Media  Center (MMC) menuturkan, setiap pembangunan sarana publik seperti jalan dilakukan dalam rangka melayani kemaslahatan publik, negara wajib menyediakan dengan kualitas baik dan gratis.

"Pembangunan sarana publik seperti jalan dilakukan dalam rangka melayani kemaslahatan publik. Negara berkewajiban menyediakan sarana jalan tersebut sesuai kebutuhan real di tengah-tengah masyarakat dengan kualitas baik dan gratis,“ tuturnya dalam Serba Serbi MMC: Kerusakan Infrastruktur, Abai dan Lemahnya Kontrol dalam Sistem Kapitalisme, Jumat, 12 Mei 2023 di kanal Youtube Muslimah Media Center 

Menurutnya, jalan tidak dipandang dari aspek percepatan ekonomi semata sehingga mengabaikan pembangunan jalan di daerah-daerah yang tidak produktif. "Jalan seharusnya dipandang sebagai sarana yang mempermudah perpindahan barang dan orang dalam aktivitas kehidupannya," ungkapnya. 

Berdasarkan Islam, kata Narator, sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur terbaik untuk rakyatnya. Islam memerintahkan negara untuk menyiapkan anggaran mutlak dalam pembangunan infrastruktur termasuk jalan,” ulasnya.

"Dengan penerapan sistem Islam secara sempurna di bawah institusi Khilafah, penyediaan jalan dan infrastruktur lainnya dengan kualitas terbaik dan secara gratis merupakan sebuah keniscayaan," pungkasnya. [] Yung Eko Utomo 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab