Tinta Media: Berat
Tampilkan postingan dengan label Berat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Februari 2024

Pajak Motor Meningkat, Hidup Rakyat Semakin Berat



Tinta Media - Bukan hal yang aneh jika pemerintah selalu menaikkan pajak di segala bidang dalam negeri ini. Kali ini, wacana ngawur disampaikan oleh Jodi Mahardi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves terkait wacana kenaikan pajak motor konvensional atau Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan dalih sebagai upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara. 

Secara logika, apa hubungannya antara pajak dan polusi udara? Apabila polusi udara menjadi problem yang cukup krusial seharusnya pemerintah bisa fokus pada penyelesaian dari segi lingkungan. Kita pun mengetahui bahwa banyak sebab yang mengakibatkan polusi udara menjadi problem nasional, misal karena adanya kebakaran hutan dan lahan gambut, transportasi dan produksi energi yang tinggi sehingga membuat udara Jakarta tercemari oleh emisi atau pancaran elektron dari pembangkit listrik tenaga batu bara, emisi transportasi, rumah tangga, debu jalanan, industri konstruksi dan pembakaran lahan hutan pertanian yang tidak terkendali karena tingginya angka pemakaian kendaraan bermotor seperti mobil penumpang, bus, truk, sepeda motor yang menghasilkan gas karbon monoksida yang menjadi salah satu polutan di Indonesia, serta adanya 79% emisi gas rumah kaca dunia dan 88% biaya untuk beradaptasi (adaptasi cost) yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak infrastruktur. 

Dari beberapa sebab tersebut, jelaslah kita pahami bahwa polusi udara secara garis besar disebabkan oleh gaya kapitalistik dalam menjalankan program dan tidak becus membuat antisipasi real dalam menangani fenomena alam. Para kapitalis kerap tidak memikirkan dampak yang mereka timbulkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terhadap apa yang mereka lakukan terhadap fitrah alam. Selain itu, kita pun tahu bahwa penyebab timbulnya polusi udara tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor semata, tapi juga berasal dari industrialisasi dalam skala besar yang dilakukan oleh para kapitalis. Sehingga, bisa kita tarik benang merah bahwa penyebab polusi udara merupakan hasil kerja sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara Indonesia. 

Usut punya usut ternyata, beberapa waktu lalu Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tengah mengapresiasi BYD (Build Your Drean) yang merupakan merek mobil listrik asal China yang telah resmi masuk ke Indonesia serta menanamkan investasi besar-besaran dalam jumlah triliunan rupiah, sebagaimana telah dikabarkan oleh otodetik.com (18-1-2024). 

Hingga pada akhirnya, upaya positif untuk menanggulangi masalah polusi udara telah terlindas oleh kepentingan korporasi semata. Hal demikian bukanlah merupakan sesuatu yang tabu dalam sistem kapitalis, sebab asas dari kapitalis sendiri adalah atas dasar kebermanfaatan dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, kelemahan utama negeri ini adalah tidak mampu mengelola SDM dan SDA sendiri. Karena hal itulah, untuk bisa dan mampu menghasilkan sebuah energi yang ramah lingkungan katakanlah memproduksi kendaraan listrik dan sejenisnya, negeri ini mau tidak mau masih harus terjebak dalam skema menggandeng dan menawarkan investasi jangka panjang pada pihak swasta. 

Miris sekali apabila pemerintah mempunyai wacana untuk menaikkan pajak kendaraan bermotor hanya untuk memperjuangkan suksesnya korporasi yang diusung dan mengalihkan masyarakat pada produk buatan swasta atas nama pengurangan polusi udara. Tidak kita pungkiri bahwasanya transformasi kendaraan listrik cukup menarik dan teruji mampu mengurangi emisi karbon pada lingkungan. Akan tetapi, ada hal yang tidak boleh dilewatkan oleh pemerintah atau negara yaitu terkait kesiapan masyarakat terhadap sarana dan prasarana tersebut. Alih-alih ingin meminimalisir emisi karbon tapi tidak terpikirkan apakah rakyat hidup sudah dalam kesejahteraan yang merata atau justru menjadi terbeban dan terasa semakin berat karena kebijakan pemerintah kerap berambisi pada suatu proyek yang menampakkan investasi semata. 

Selain itu, pajak merupakan kebijakan pemerintah yang notabenenya sebagai alat atau sumber sarana untuk menyejahterakan rakyat, akan tetapi dalam sistem kapitalisme makna pajak tidak menjadikan masyarakat hidup sejahtera dan terjamin kehidupannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa selain hutang negara, pajak menjadi pintu APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) mengklaim bahwa pajak bisa memakmurkan kehidupan masyarakat. Padahal faktanya negara hanya sebagai regulator dan justru pemerintah lebih menunjukkan bahwa negara menyerahkan kemakmuran masyarakat pada kemampuan pribadi masyarakat itu sendiri. Meskipun masyarakat dalam keadaan terjepit atau mengalami kesulitan ekonomi, pajak akan tetap naik untuk menopang APBN demi goals-nya proyek para oligarki. Dengan adanya fakta yang seperti itu, seolah-olah pemerintah memberlakukan prinsip survival of the fittest (yang paling kuat harus bertahan hidup) pada masyarakat. 

Sistem kapitalisme hanya mampu membuat kehidupan rakyat menjadi semakin berat dan mencekik, karena mereka hanya berpihak pada segelintir rakyat bukan keseluruhan rakyat dengan adil dan bijaksana. Dengan modal berbagai kemasan manis yang merayu hingga melalaikan, padahal tujuan dasar hanya ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. 

Oleh karena itu, dalam sistem Islam telah dijelaskan bahwa sumber pendapatan negara bukan dihasilkan dari pajak, tapi dihasilkan dari tiga sektor utama yaitu sektor kepemilikan individu (sedekah, hibah, zakat), kedua dari sektor kepemilikan umum (pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan) dan dari sektor kepemilikan negara (jizyah, kharaj, ghanimah, fai’ dan uhsyur). Apabila dari tiga sektor tersebut masih belum menutupi kebutuhan negara maka akan diambilkan dari Baitul Maal, apabila Baitul Maal bernilai minus maka akan diambilkan dari kaum muslimin yang mempunyai kelebihan harta dan telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar tempat hidupnya, pemungutan ini disebut dengan dharibah (pajak). Meski demikian, dharibah tidak akan bertahan lama sebab hanya sampai pada pemenuhan atau menutupi kekurangan pendapatan negara dan apabila tiga sektor pendapatan negara telah berjalan stabil maka dharibah (pajak) akan dihentikan. 

Dengan demikian, sistem Islam lebih mumpuni dalam menangani kesejahteraan rakyat tanpa harus mencekik hidup rakyat. Dalam sistem Islam tidak ada istilah penetapan pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai, pajak jual beli, pajak hiburan, pajak barang mewah, pajak kendaraan bermotor atau berbagai jenis pajak sebagaimana telah diterapkan oleh sistem kapitalisme selama ini.



Oleh: Suyatminingsih S.Sos.i 
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 18 Oktober 2022

KEPRES NO 17/2022 BERPOTENSI MENJADI SARANA 'CUCI DOSA' BAGI PELAKU PELANGGARAN HAM BERAT DIMASA LALU


Tinta Media - Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), pada Rabu (28/9) penulis telah menyampaikan sejumlah pandangan sebagai berikut :

*Pertama,* Kepres ini memiliki substansi dan materi muatan yang dapat dimanfaatkan untuk alat pencitraan rezim, mengubur kejahatan HAM berat dimasa lalu melalui proses non yudisial, dan mengubah sejarah PKI sebagai pemberontak menjadi korban pelanggaran HAM berat yang berhak mendapatkan rehabilitasi dari negara.

*Kedua,* kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seperti kasus Munir, tragedi Semanggi, Tanjung priok hingga kejahatan kemanusiaan pada kasus pembantaian di Talangsari, yang tidak pernah selesai di masa lalu, dapat diselesaikan di era Jokowi, meskipun dengan pendekatan non yudisial. Penyelesaian ini, yang akan dijadikan alat pencitraan rezim Jokowi, bahwa Jokowi telah menyelesaikan kejahatan HAM berat di masa lalu, yang tidak bisa diselesaikan oleh rezim sebelumnya.

*Ketiga,* Kepres ini bisa dimanfaatkan sebagai stempel politik untuk membersihkan dosa (dijadikan alat cuci dosa), bagi pihak-pihak yang disebut terlibat pelanggaran HAM berat dimasa lalu, seperti pada kasus kasus Munir, tragedi Semanggi, Tanjung priok hingga kejahatan kemanusiaan pada kasus pembantaian di Talangsari, lampung.

Dengan penyelesaian non yudisial ini, Hendro Priyono misalnya bisa memanfaatkan tim ini untuk membersihkan namanya dari kasus Talangsari Lampung, dengan dalih telah diselesaikan dengan penyelesaian non yudisial dan telah dilegitimasi secara resmi oleh negara.

Mungkin ini juga yang menjadi alasan Usman Hamid dari TII yang enggan dilibatkan dalam tim, karena khawatir namanya akan digunakan untuk menutup kasus Munir dengan pendekatan non yudisial. Usman jelas tak mau berkhianat kepada Munir, pejuang HAM, sahabatnya yang mati karena menjadi korban pelanggaran HAM berat, dengan terlibat dalam Tim ini.

*Keempat,* orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965-1966, akan diubah statusnya menjadi korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966. Mereka yang selama ini sudah mendapatkan SKKPH (Surat Keterangan korban Pelanggaran HAM) dari Komnas HAM, telah mendapatkan sejumlah santunan dan fasilitas dari LPSK, akan meminta status resmi sebagai korban HAM melalui proses non yudisial ini, dan akan meminta sejumlah tuntutan rehabilitasi dari negara, baik fisik, sosial, psikologi, ekonomi dan bentuk rehabilitasi lainnya.

*Kelima,* Kepres ini sampai kiamat pun tidak akan pernah digunakan untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50. Kepres ini hanya berlaku bagi pelanggaran HAM berat masa lalu dan yang telah diberikan rekomendasi komnas HAM sampai tahun 2020.

Apalagi, rekomendasi komnas HAM terhadap kasus KM 50 hanya dianggap pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat.

Kepres yang berlaku sejak 26 Agustus 2022 hingga 31 Desember 2022. Dalam waktu sesingkat itu, apa yang bisa dilakukan oleh Tim ?

Jelas, sebenarnya berkas sudah lengkap di Komnas HAM. Tim ini cuma diminta tanda tangan dan diminta stempelnya, untuk memuluskan rencana jahat menutup kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu.

Kepres ini bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Amanat UU kejahatan HAM berat wajib diproses hukum ke pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000. Kok ini malah mau diselesaikan secara politik dengan pendekatan non yudisial ? Ini negara mau membela korban pelanggaran HAM berat atau mau melindungi pelaku kejahatan HAM berat?

Di titik itulah, Kepres ini alih-alih akan mengungkap dan memberikan kepastian hukum atas sejumlah pelanggaran HAM berat dimasa lalu, Kepres justru akan mengubur kasus dan mencuci dosa para pelaku pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui mekanisme non yudisial yang hanya bertumpu pada unsur pemberian kompesasi & rehabilitasi. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Islam

Rabu, 12 Oktober 2022

PERISTIWA KM 50 BELUM PERNAH DIADILI, PENJAHAT YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAM BERAT MASIH BEBAS BERKELIARAN

Tinta Media - Saat berdiskusi dengan Mbak Rahma Sarita dalam program 'Dark Justice' Realita TV (22/9), penulis tegaskan bahwa pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50 belum pernah diadili. Sementara putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan putusan onslag (lepas), yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung hanyalah dagelan saja.

Kalau ada yang bertanya, apakah penulis puas dengan putusan KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi MA? Jawabnya, penulis tidak peduli. Bagaimana mungkin penulis peduli pada sidang dagelan yang tidak mengadili peristiwa sesungguhnya?

Putusan PN Jakarta Selatan tidak pernah mengadili peristiwa yang sesungguhnya. Peristiwa KM 50 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang harus diadili dalam Pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Fakta-fakta hukumnya sangat gamblang, sebagaimana ditulis dalam Buku Putih Pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 pengawal HRS yang diterbitkan oleh TP3.

Putusan PN Jalarta selatan hanya mengadili perkara pembunuhan biasa, berdasarkan pasal 338 KUHP. Putusannya juga memberikan pembenaran dan permaafan kepada pelakunya, sehingga divonis onslag (lepas).

Lalu peristiwa sesungguhnya apa?

Peristiwa yang sesungguhnya adalah pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) jo pasal 104 ayat (1) UU No 39/1999 tentang HAM. Adanya unsur penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing), yang dilakukan oleh state actor adalah bukti nyata telah terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum pernah mengadili perkara penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing) dalam kasus KM 50. Jadi, *bagaimana mungkin kita bisa percaya pada pengadilan yang tidak mengadili perkaranya ? karena itu, sidang KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan yang punya visi hanya untuk menutup kasus KM 50 dengan putusan Onslag.*

Lalu apa tujuan penulis bersama sejumlah Advokat mendatangi Mabes Polri?

Menagih janji. Ya, menagih janji Kapolri untuk membuka kasus KM 50 dengan novum yang telah kami serahkan. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas peristiwa KM 50 berdasarkan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, dengan menggandeng Komnas HAM yang belum pernah melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Kami juga meminta Kapolri membentuk Timsus dah Itsus untuk menyelidiki soal adanya dugaan Obstruction Of Justice pada kasus KM 50. Mengingat, dalam kasus yang menyebabkan hilangnya 6 nyawa 6 pengawal HRS, tidak ada satupun anggota polisi yang dipecat. Tidak ada pula yang diproses hukum. 

Padahal, pada kasus Brigadir Josua yang hanya satu nyawa, ada 93 polisi diperiksa, sebagian ada yang dipecat, ada juga yang disanksi, hingga proses hukum karena melakukan Obstruction of Justice.

Kapolri juga harus mengaudit Satgasus Merah Putih yang diduga terlibat dalam peristiwa KM 50. Kata kunci keterlibatannya adalah Sambo. 

Semoga novum yang kami serahkan diproses, bukan dalam rangka mengajukan PK untuk perkara Yusmin Ohorella dan Fiqri Ramadhan berdasarkan pasal 263 KUHAP. Melainkan, untuk membuka kembali kasus KM 50 dengan perspektif telah terjadi pelanggaran HAM berat, sebagaimana diuraikan secara gamblang dalam buku putih. Pelaku kejahatannya hingga hari ini masih bebas berkeliaran.[].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab