Pajak Motor Meningkat, Hidup Rakyat Semakin Berat
Tinta Media - Bukan hal yang aneh jika pemerintah selalu menaikkan pajak di segala bidang dalam negeri ini. Kali ini, wacana ngawur disampaikan oleh Jodi Mahardi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves terkait wacana kenaikan pajak motor konvensional atau Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan dalih sebagai upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara.
Secara logika, apa hubungannya antara pajak dan polusi udara? Apabila polusi udara menjadi problem yang cukup krusial seharusnya pemerintah bisa fokus pada penyelesaian dari segi lingkungan. Kita pun mengetahui bahwa banyak sebab yang mengakibatkan polusi udara menjadi problem nasional, misal karena adanya kebakaran hutan dan lahan gambut, transportasi dan produksi energi yang tinggi sehingga membuat udara Jakarta tercemari oleh emisi atau pancaran elektron dari pembangkit listrik tenaga batu bara, emisi transportasi, rumah tangga, debu jalanan, industri konstruksi dan pembakaran lahan hutan pertanian yang tidak terkendali karena tingginya angka pemakaian kendaraan bermotor seperti mobil penumpang, bus, truk, sepeda motor yang menghasilkan gas karbon monoksida yang menjadi salah satu polutan di Indonesia, serta adanya 79% emisi gas rumah kaca dunia dan 88% biaya untuk beradaptasi (adaptasi cost) yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak infrastruktur.
Dari beberapa sebab tersebut, jelaslah kita pahami bahwa polusi udara secara garis besar disebabkan oleh gaya kapitalistik dalam menjalankan program dan tidak becus membuat antisipasi real dalam menangani fenomena alam. Para kapitalis kerap tidak memikirkan dampak yang mereka timbulkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terhadap apa yang mereka lakukan terhadap fitrah alam. Selain itu, kita pun tahu bahwa penyebab timbulnya polusi udara tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor semata, tapi juga berasal dari industrialisasi dalam skala besar yang dilakukan oleh para kapitalis. Sehingga, bisa kita tarik benang merah bahwa penyebab polusi udara merupakan hasil kerja sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara Indonesia.
Usut punya usut ternyata, beberapa waktu lalu Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tengah mengapresiasi BYD (Build Your Drean) yang merupakan merek mobil listrik asal China yang telah resmi masuk ke Indonesia serta menanamkan investasi besar-besaran dalam jumlah triliunan rupiah, sebagaimana telah dikabarkan oleh otodetik.com (18-1-2024).
Hingga pada akhirnya, upaya positif untuk menanggulangi masalah polusi udara telah terlindas oleh kepentingan korporasi semata. Hal demikian bukanlah merupakan sesuatu yang tabu dalam sistem kapitalis, sebab asas dari kapitalis sendiri adalah atas dasar kebermanfaatan dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, kelemahan utama negeri ini adalah tidak mampu mengelola SDM dan SDA sendiri. Karena hal itulah, untuk bisa dan mampu menghasilkan sebuah energi yang ramah lingkungan katakanlah memproduksi kendaraan listrik dan sejenisnya, negeri ini mau tidak mau masih harus terjebak dalam skema menggandeng dan menawarkan investasi jangka panjang pada pihak swasta.
Miris sekali apabila pemerintah mempunyai wacana untuk menaikkan pajak kendaraan bermotor hanya untuk memperjuangkan suksesnya korporasi yang diusung dan mengalihkan masyarakat pada produk buatan swasta atas nama pengurangan polusi udara. Tidak kita pungkiri bahwasanya transformasi kendaraan listrik cukup menarik dan teruji mampu mengurangi emisi karbon pada lingkungan. Akan tetapi, ada hal yang tidak boleh dilewatkan oleh pemerintah atau negara yaitu terkait kesiapan masyarakat terhadap sarana dan prasarana tersebut. Alih-alih ingin meminimalisir emisi karbon tapi tidak terpikirkan apakah rakyat hidup sudah dalam kesejahteraan yang merata atau justru menjadi terbeban dan terasa semakin berat karena kebijakan pemerintah kerap berambisi pada suatu proyek yang menampakkan investasi semata.
Selain itu, pajak merupakan kebijakan pemerintah yang notabenenya sebagai alat atau sumber sarana untuk menyejahterakan rakyat, akan tetapi dalam sistem kapitalisme makna pajak tidak menjadikan masyarakat hidup sejahtera dan terjamin kehidupannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa selain hutang negara, pajak menjadi pintu APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) mengklaim bahwa pajak bisa memakmurkan kehidupan masyarakat. Padahal faktanya negara hanya sebagai regulator dan justru pemerintah lebih menunjukkan bahwa negara menyerahkan kemakmuran masyarakat pada kemampuan pribadi masyarakat itu sendiri. Meskipun masyarakat dalam keadaan terjepit atau mengalami kesulitan ekonomi, pajak akan tetap naik untuk menopang APBN demi goals-nya proyek para oligarki. Dengan adanya fakta yang seperti itu, seolah-olah pemerintah memberlakukan prinsip survival of the fittest (yang paling kuat harus bertahan hidup) pada masyarakat.
Sistem kapitalisme hanya mampu membuat kehidupan rakyat menjadi semakin berat dan mencekik, karena mereka hanya berpihak pada segelintir rakyat bukan keseluruhan rakyat dengan adil dan bijaksana. Dengan modal berbagai kemasan manis yang merayu hingga melalaikan, padahal tujuan dasar hanya ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Oleh karena itu, dalam sistem Islam telah dijelaskan bahwa sumber pendapatan negara bukan dihasilkan dari pajak, tapi dihasilkan dari tiga sektor utama yaitu sektor kepemilikan individu (sedekah, hibah, zakat), kedua dari sektor kepemilikan umum (pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan) dan dari sektor kepemilikan negara (jizyah, kharaj, ghanimah, fai’ dan uhsyur). Apabila dari tiga sektor tersebut masih belum menutupi kebutuhan negara maka akan diambilkan dari Baitul Maal, apabila Baitul Maal bernilai minus maka akan diambilkan dari kaum muslimin yang mempunyai kelebihan harta dan telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar tempat hidupnya, pemungutan ini disebut dengan dharibah (pajak). Meski demikian, dharibah tidak akan bertahan lama sebab hanya sampai pada pemenuhan atau menutupi kekurangan pendapatan negara dan apabila tiga sektor pendapatan negara telah berjalan stabil maka dharibah (pajak) akan dihentikan.
Dengan demikian, sistem Islam lebih mumpuni dalam menangani kesejahteraan rakyat tanpa harus mencekik hidup rakyat. Dalam sistem Islam tidak ada istilah penetapan pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai, pajak jual beli, pajak hiburan, pajak barang mewah, pajak kendaraan bermotor atau berbagai jenis pajak sebagaimana telah diterapkan oleh sistem kapitalisme selama ini.
Oleh: Suyatminingsih S.Sos.i
Sahabat Tinta Media