Tinta Media: Beras
Tampilkan postingan dengan label Beras. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Beras. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Oktober 2024

Beras Mahal, Petani Kian Terjungkal



Tinta Media - Perekonomian di Indonesia masih bergantung pada sektor pertaian. Indonesia juga memiliki sumber daya alam dan air yang melimpah, tanah yang subur, dan berada pada iklim tropis sehingga mendapatkan sinar matahari yang cukup dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Jadi, sudah sewajarnya jika Indonesia dikenal sebagai negara agraris. 

Sebagai negara agraris, harusnya ada banyak keuntungan bagi masyarakat. Hasil panen yang diperoleh harusnya bisa menjadi penopang perekonomian negara karena bisa mencukupi kebutuhan rakyat, sehingga tidak memerlukan impor dari negara lain. Bahkan, ini bisa menjadi sumber penghasilan negara apabila diekspor ke negara lain.

Namun mirisnya, ternyata semua itu jauh panggang dari api. Di negara yang subur,  kekayaan alam melimpah dan masih banyak sawah, tetapi harga beras mahal. Bahkan, Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga beras di pasar global. Saat ini harga beras dalam negeri konsisten bercokol tertinggi di kawasan ASEAN (kompas.com 20/9/2024).

Mahalnya harga beras tidak lantas membuat kehidupan petani menjadi lebih baik. Justru, 
banyak petani yang berada di bawah garis kemiskinan karena mahalnya harga beras diikuti pula oleh mahalnya bahan kebutuhan pokok lain. 

Selain itu, biaya produksi pertanian pun semakin tinggi. Hal inilah yang membuat petani semakin susah. Bahkan, menurut hasil Survei Terpadu Pertanian 2021 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari USD1 sehari atau USD341 dalam kurun waktu satu tahun (Metrotv, 20/9/2024).

Penerapan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis telah menjadikan korporasi  sebagai  “penguasa” yang sesungguhnya dan hanya berorientasi pada keuntungan saja. Sehingga sektor pertanian pun tidak lepas dari cengkeraman oligarki dari hulu hingga ke hilir. Hal ini  sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani. Jadi tidak heran, walaupun harga beras mahal, kehidupan petani tidak semakin meningkat, malah kian terjungkal.

Seluruh faktor di atas sebenarnya merupakan kondisi klasik yang selama ini telah menjadi pemicu munculnya masalah dalam tata kelola beras. Sekalipun pemerintah telah menetapkan banyak kebijakan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, nyatanya kebijakan itu tidak solutif karena regulasi yang dilahirkan hanya berupa kebijakan teknis yang tidak berbasis kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Lantas, apa yang menjadi akar masalah sebenarnya?

Ini semua terjadi karena penerapan sistem kapitalisme. Di sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang lebih berpihak kepada oligarki. Konsep untung-rugi yang diterapkan makin melemahkan petani dengan modal terbatas dan menguatkan kaum kapitalis atau pemilik modal dalam pertanian. Begitu pula dengan konsep pertanian modern seperti food estate yang sekarang ini dikembangkan. Ini pun merupakan wujud dari korporatisasi atau industrialisasi pertanian yang sudah pasti bukan berorientasi pada rakyat. 

Berbeda dengan sistem Islam, negara menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan dan untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara akan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. 

Khalifah, pemimpin dalam sistem Islam akan menetapkan kebijakan yang berbasis pada rakyat. Kebijakan dalam sektor pertanian di antaranya adalah

Pertama, negara akan mendorong peningkatan produktivitas lahan pertanian.

Kedua, negara menjamin pembangunan infrastruktur pertanian seperti pembuatan irigasi, saluran air, serta akses transportasi di wilayah produksi pertanian. 

Ketiga, negara mengolah lahan-lahan mati serta memberikan insentif pemodalan dan sistem bagi hasil kepada para petani.

Salah satu bukti bahwa sistem Islam sangat memperhatikan sektor pertanian adalah dengan dibangunnya kanal di Fustat Mesir oleh Amr bin Ash di bawah kepemimpinan Umar. Kanal ini selain dimanfaatkan untuk infrastruktur pertanian, juga dimanfaatkan untuk kepentingan jalur transportasi dari Mesir ke Hijaz. Itulah beberapa langkah kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah dalam daulah Islam. Semua kebijakan pastinya akan lebih berpihak pada rakyat, bukan pemilik modal. Sehingga, kesejahteraan petani semakin baik.




Oleh: Rini Rahayu 
(Sahabat Tinta Media)

Rabu, 09 Oktober 2024

Beras Termahal Se-ASEAN, Mengapa Pendapatan Petani Rendah?



Tinta Media - Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia lebih mahal daripada harga beras dunia. Bahkan, harga beras dalam negeri konsisten tertinggi di kawasan ASEAN.

Namun, tingginya harga beras dalam negeri ini tidak sebanding dengan pendapatan petani lokal. Merangkum hasil survei pertanian terpadu Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani sangat kecil, yaitu Rp15.199 per hari. Artinya, per tahun hanya mencapai Rp5,2 juta. Petani medapat keuntungan rendah, padahal harga jual beras kepada konsumen sangat tinggi.

Indonesia disebut sebagai negara agraris karena tanah pertaniannya yang subur dan luas. Seharusnya, kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negerinya sendiri. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Hampir setiap tahun pemerintah Indonesia mengimpor beras dari negara lain.

Kendala terbesar yang dihadapi oleh para petani adalah kenaikan biaya produksi yang relatif tinggi, mulai dari  biaya tenaga kerja, sewa lahan, mahalnya harga pupuk, pestisida, sampai benih. Subsidi yang diberikan kepada para petani dibuat sulit, walaupun para petani diberi kartu tani untuk membeli benih, pupuk, dan lain sebagainya. Akan tetapi, prosesnya rumit, sulit,  juga terbatas. 

Menurut survei, para petani banyak meminjam uang untuk modal kepada individu, bank, atau lembaga keuangan lain seperti koperasi. Namun, ketika akan meminjam ke bank, ada kendala yang dihadapi, yaitu tidak mempunyai jaminan, prosesnya sulit, dan bunga yang tinggi. Karena prosesnya yang rumit, maka para petani sulit mendapatkan modal sehingga banyak yang terjerat rentenir dengan bunga tinggi, yang akhirnya memaksa petani untuk menjual lahan pertanian dan beralih menjadi buruh tani.

Di sisi yang lain, masuknya para kapitalis besar dalam bisnis di bidang pertanian menjadikan posisi para petani lokal semakin sulit. Hak ini karena para kapitalis berkuasa mulai dari proses produksi, melalui peminjaman modal yang dilegalkan oleh penguasa. 

Seperti para kartel, mereka memberi pinjaman kepada petani yang tidak mempunyai modal. Setelah panen, para kartel dan tengkulaklah yang mengendalikan harga. Ketika para petani ingin menjual sendiri hasil pertaniannya ke pasar induk agar harganya lebih tinggi, mereka tidak diterima karena hanya menerima dari para tengkulak saja. Akhirnya, para petani terpaksa menjual kepada tengkulak (lewat para kartel)  dengan harga yang sesuai keinginan mereka. 

Pada akhirnya, biaya produksi yang dikeluarkan tidak dapat ditutupi dengan apa yang didapat oleh mereka dari hasil penjualan gabah, sehingga petani sering mendapat keuntungan yang kecil, kalaulah tidak dikatakan merugi. Inilah penyebab harga beras tinggi sedangkan pendapatan petani rendah. 

Kondisi tersebut menyebabkan banyak yang tidak mau lagi jadi petani, termasuk generasi muda sehingga menyebabkan penurunan jumlah petani. Padahal, Indonesia adalah negara agraris dan beras merupakan makanan pokok orang Indonesia. 

Dengan kondisi ini, pemerintah menjadikannya sebagai alasan untuk membuka kran impor beras, yang akhirnya justru semakin menguntungkan para kartel (oligarki) dan menyengsarakan petani. Kebijakan impor juga membuat ketergantungan kebutuhan negeri ini terhadap beras, sehingga memengaruhi kedaulatan pangan.

Di sisi konsumen, daya beli masyarakat relatif lemah. Menurut perhitungan Bank Dunia, 40 persen penduduk indonesia masih dalam kategori miskin. Kondisi seperti ini menyebabkan tata niaga pangan menjadi tidak sehat. Para kartel, tengkulak, dan pedagang dengan mudah memainkan harga dan melakukan penimbunan barang. Sementara itu, solusi yang diambil pemerintah untuk menekan harga hanyalah dengan menetapkan batas harga eceran tertinggi (HET) pangan agar penjual tidak menjual di atas harga tersebut. Tentu hal ini tidak sedikit pun dapat membantu nasib para petani ataupun rakyat secara umum dalam memenuhi kebutuhan beras.

Inilah buah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, serta berpihak kepada oligarki, termasuk para kartel dan tengkulak.

Negara seharusnya menyediakan lahan untuk ketahanan pangan (beras), pupuk yang terjangkau dengan proses yang mudah, pengadaan alat-alat pendukung untuk pertanian yang canggih, serta pengembangan bibit unggul, dan meningkatkan kemampuan petani sehingga semakin ahli. Negara juga harus menetapkan berbagai perangkat aturan yang dapat menguatkan ketahanan pangan dalam negeri, sehingga petani sejahtera dan rakyat pun memiliki kemampuan daya beli yang tinggi.

Untuk menangani problematika pangan yang terjadi, Islam mempunyai sistem politik ekonomi Islam yang bertujuan menjamin kebutuhan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, sandang, dan perumahan bagi seluruh rakyat, serta memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Untuk mewujudkan ini, negara harus memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dapat  terjangkau, baik melalui mekanisme pasar maupun melalui pemberian bantuan.

Untuk mendorong produksi, negara dalam Islam akan memberikan insentif dan kebijakan yang mendukung produksi dan distribusi yang efisien, seperti tidak adanya biaya sewa lahan pertanian karena dilarang oleh syara'. Sebagai alternatif, akan diterapkan syirkah (kerja sama ) antara pemilik modal dengan penggarap sesuai dengan syariat, atau melalui akad ijarah, dan akad-akad lain yang sesuai syariat. 

Tanah juga dijaga produktivitasnya dengan larangan atas pemilikannya untuk menelantarkan tanah pertanian selama lebih dari 3 tahun. Negara juga bertanggung jawab kepada mereka yang membutuhkan dan mampu menggarap tanah, tetapi minim modal. Hal itu dilakukan dengan memberi biaya atau modal untuk berproduksi, seperti pupuk, benih, serta sarana dan prasarana pertanian yang dapat diperoleh dari baitul mal jika petani mengalami kesulitan. 

Selain itu, untuk memudahkan konsumsi, akan dibuat  mekanisme yang memudahkan pengaturan pasar agar beroperasi secara efisien dan tetap sesuai syariat, serta memberikan bantuan di luar kerangka pasar .

Negara juga akan memberikan dukungan dan dorongan kepada para petani untuk mengadopsi infit pertanian terbaik serta teknologi terkini agar hasil pertanian dapat ditingkatkan produktivitasnya secara efisien.

Negara Islam memiliki struktur pemerintahan yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak publik, yang diwakili oleh lembaga hisbah, yang tugasnya mengawasi kegiatan publik, termasuk para pedagang dan pekerja. Tujuannya agar mereka mematuhi hukum-hukum Islam dan menutup celah penipuan, seperti kecurangan, penimbunan, dan praktik-praktik yang diharamkan oleh syariah dalam perdagangan dan pekerjaan. Mereka juga bertugas memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran, seperti penggunaan timbangan atau takaran yang merugikan masyarakat.

Islam melarang pemerintah untuk mematok harga barang dan jasa yang diperdagangkan. Harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang sehat tanpa intervensi pembatasan harga yang merugikan produsen maupun konsumen dari harga yang terlalu mahal.
Solusi ini akan mencegah timbulnya para kartel dan tengkulak dalam mengendalikan harga yang merugikan para petani seperti di sistem kapitalisme.

Solusi Islam bisa memastikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, demi mewujudkan kesejahteraan, juga untuk mencapai rida Allah Swt. melalui penerapan Islam yang benar dan menyeluruh. Semua ini hanya bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media


Selasa, 08 Oktober 2024

Mahalnya Harga Beras Ternyata Tidak Membuat Petani Kaya

Tinta Media - Masyarakat Indonesia kembali dibuat jengah dengan semakin mahalnya harga beras. Pasalnya di negara kita, beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebagai kebutuhan pangan masyarakat, seharusnya harga beras mampu dijangkau dan dibeli oleh masyarakat secara umum bukan malah sebaliknya masyarakat kalangan menengah ke bawah malah tidak mampu membelinya. Selain itu, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya mahalnya harga beras menjadi sesuatu yang sangat ironis dan miris sekali.

Beras Mahal

Sebagai mana disampaikan oleh Country Director for Indonesia and Timor-Leste World Bank (Bank Dunia) Carolyn Turk, mengatakan bahwa harga beras khususnya Indonesia menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN (metrotvnews.com, 20/09/2024). Bahkan harga tersebut 20 persen lebih mahal daripada harga beras di pasar dunia. Sehingga hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia membutuhkan uang yang lebih banyak  atau lebih mahal untuk kebutuhan pangan mereka.

Salah satu penyebab melonjaknya harga beras di Indonesia adalah meningkatnya biaya produksi. Menurut Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani, menyampaikan bahwa biaya produksi beras di dalam negeri memang telah meningkat. Sehingga sangat penting untuk memastikan kepada para petani bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang layak dari hasil pertanian mereka (liputan6.com, 20/09/2024).

Tingginya harga beras dalam negeri ternyata tak sebanding dengan pendapatan petani lokal. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pendapatan petani kecil kurang dari 1 Dollar AS atau sekitar Rp 15.199,- per hari. Sementara pendapatan petani per tahunnya mencapai 341 Dollar AS atau sekitar Rp 5,2 Juta (money.kompas.com, 20/09/2024)..

Pengaruh Oligarki

Kenaikan harga beras ternyata sama sekali tidak memberikan keuntungan yang lebih kepada para petani, padahal konsumen beras membayar beras dengan harga yang tinggi. Justru pendapatan petani tanaman pangan, khususnya beras jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan maupun hortikultura. Hal ini disebabkan karena semua sektor pertanian telah dikuasai oleh oligarki mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Sementara negara tidak memberikan bantuannya sama sekali kepada para petani. Mereka dituntut untuk mandiri oleh keadaan, terlebih lagi para petani yang bermodal sedikit, maka itu menjadi sesuatu yang berat bagi mereka.

Di lain sisi, negara juga malah melakukan pembatasan terhadap impor beras. Hal ini mengakibatkan ketersediaan beras juga lebih sedikit, sehingga menjadikan harga beras pun semakin mahal. Apalagi keberadaan ritel-ritel yang menguasai bisnis beras, justru mereka malah mempermainkan harga beras di pasaran. Dan keadaan semacam ini menimbulkan peluang yang besar untuk mendorong dibukanya kran impor beras. Maka hal ini semakin menguntungkan keberadaan oligarki di negara kita dan sebaliknya malah semakin menyengsarakan para petani.

Peran Negara 

Kenaikan harga beras yang tidak memberikan keuntungan sama sekali bagi para petani merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Negara seharusnya memiliki peranan yang sangat penting dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Termasuk dalam masalah mahalnya harga beras saat ini, di mana negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang dominannya hanya berpihak pada oligarki. Negara seharusnya mampu menyediakan lahan untuk menanam padi, pemberian pupuk yang terjangkau, pengadaan alat-alat pertanian yang canggih, serta pengembangan bibit unggul dan memberikan pendampingan atau wawasan untuk meningkatkan kemampuan atau pengetahuan para petani.

Sedangkan di dalam sistem Islam tentunya yang diterapkan oleh negara Islam, menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai sesuatu yang sangat penting sekali. Karena pada ketahanan dan kedaulatan pangan tersebut merupakan salah satu basis pertahanan negara Islam juga merupakan basis kesejahteraan rakyatnya. Seorang pemimpin negara Islam dalam hal ini adalah Khalifah akan senantiasa selalu berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut sesuai dengan yang ada dalam sistem ekonomi Islam. Selain itu juga adanya dukungan dari sistem lain yang diwujudkan dalam bingkai penerapan Islam secara Kaffah. Begitulah gambaran pengaturan masalah pertanian dalam sistem Islam, pastinya semua akan bermuara pada terwujudnya kesejahteraan rakyat bagi warganya.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Oleh : Iin Rohmatin Abidah, S.Pd., Sahabat Tinta Media 

Kamis, 20 Juni 2024

Harga Beras Terus Melejit, Hidup Rakyat Makin Sulit

Tinta Media - Baru-baru ini pemerintah menentukan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras. Hal ini dikarenakan harga beras semakin naik. Untuk menguatkan kebijakan relaksasi yang berlaku dan supaya terbentuk stabilisasi pasokan dan harga beras, maka Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengambil keputusan itu.

Berdasarkan data harga beras yang didapati, diketahui bahwa harga beras premium HET paling rendah adalah Rp14.900 dan harga beras medium  rendahnya Rp12.500 . Kenaikan harga beras di konsumen ini ditentukan berdasarkan wilayah yang diatur dalam Perbadan No. 5/2024. Namun, di sisi lain, ada impor Indonesia untuk beras umum, khusus sampai  4,04 juta ton yang terdiri dari 3,6 juta ton beras umum dan 400 ribu. (Tirto, 07/06/2024)

Adapun tujuan dibuat pematokan HET beras oleh pemerintah agar dapat melindungi produsen dan konsumen sehingga harga beras akan stabil dan tidak bertambah tinggi. Ini juga merupakan salah satu cara untuk melindungi harga pasar dari distributor-distributor yang mempermainkan harga seenaknya.

Ternyata, lumayan besar kenaikan HET, yaitu harga beras medium yang awalnya Rp10.900 menjadi Rp12.500. Lalu, harga beras premium awalnya Rp13.900 menjadi Rppp14.900. Kenaikan harga ini membuat rakyat merasa berat dengan mahalnya harga beras. Apalagi,  keadaan ekonomi rakyat sedang sulit pada saat ini.

Faktanya, dapat kita lihat sulitnya masyarakat mencari pekerjaan dengan gaji memadai. Bagi yang sudah bekerja, tidak ada kenaikan gaji yang pasti.

Selain itu, naiknya harga seluruh kebutuhan pokok membuat rakyat miskin tidak lagi berpikir bisa makan beras enak. Sekadar bisa makan nasi setiap hari sudah bersyukur. Jadi, kenaikan HET beras itu hanya menambah sulit rakyat untuk dapat merasakan beras enak dan mustahil untuk membelinya bagi rakyat miskin.

Harga beras tinggi sudah pasti berkualitas baik, sedangkan rakyat hanya mampu membeli beras impor yang berkualitas biasa. Dari sini kita dapat mencermati bahwa ada pihak yang mendapat keuntungan besar, yaitu para importir dan distributor.

Bahkan, pemerintah juga mempersilakan para pengusaha untuk langsung membeli padi  dari para petani dengan harga naik dari biasanya, tetapi proses selanjutnya mereka lakukan sendiri.

Lalu, para pengusaha akan memilih kualitas beras dan dilabeli beras medium dan premium. Para pengusaha menjualnya kepada rakyat konsumen kelas atas melalui pasar-pasar modern atau supermarket, sehingga mendapat keuntungan yang lebih banyak.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tidak dapat menjamin rakyat bisa makan enak. Rakyat bisa makan beras, tetapi beda rasa. Rakyat miskin harus bersabar agar bisa makan enak pada situasi yang serba sulit ini.

Ini buah dari sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, peran negara hanya sebagai fasilitator, yaitu penyedia fasilitas bagi yang berkepentingan. Negara juga berperan sebagai regulator, yaitu menjalankan regulasi sesuai dengan pandangan untung dan rugi. Negara tidak berperan sebagai pengurus kebutuhan rakyat, juga bukan untuk memenuhi tanggung jawab kepada rakyat.

Pengusaha diberikan fasilitas oleh negara  untuk berbisnis. Bagi siapa saja yang memiliki kekayaan dan punya banyak modal, maka dialah yang berkuasa sekaligus mampu membeli penguasa dan  aturannya.

Dalam kapitalisme, halal dan haram sebagai pandangan agama tidak berlaku, tetapi yang berlaku adalah untung dan rugi (materi).

Berbeda dengan pandangan Islam. Dalam sistem Islam, negara wajib menjalankan tanggung jawabnya kepada rakyat. Penguasa adalah pelayan rakyat, jadi wajib memenuhi kebutuhan seluruh kebutuhan rakyat. Penguasa atau pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Hal ini membuat para pemimpin terus berusaha memenuhi kebutuhan rakyat.

Mematok harga tertentu dalam suatu komoditas oleh pemerintah dilarang dalam Islam. Cara Islam untuk menstabilkan harga bahan pangan, termasuk beras adalah dengan menjalankan politik pangan. Negara wajib ikut serta dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.

Dalam proses produksi, negara berperan dalam menjamin keberhasilan dalam produksi dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk mendapatkan hasil yang baik. Negara harus mengetahui atau mengontrol data panen dengan baik sehingga dapat  disalurkan kepada rakyat.

Dalam hal distribusi, negara tidak boleh memberikan kepada swasta untuk mengambil untung. Negara juga harus melarang proses penimbunan, kartel, praktik tengkulak, riba, dan lain-lain.

Negara juga membuat hukuman sebagai efek jera dan agar larangan tadi dapat berjalan. Semua itu dilakukan untuk menjalankan kewajiban. Tugas ini diberikan kepada Qadhi Hisbah sebagai  pengawas terpercaya.

Adapun bagi rakyat yang tergolong penerima zakat akan dipenuhi kebutuhannya dari pos zakat. Mereka juga dibantu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Negara tetap memberikan bantuan sampai mereka tidak lagi termasuk ke dalam golongan penerima zakat. Ini terjadi ketika  kebutuhannya  dapat  mereka penuhi sendiri.

Negara juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam, yaitu mengatur kepemilikan harta sesuai dengan syariat Islam, termasuk bagaimana cara memperolehnya. Sehingga, kecurangan para penguasa dan pengusaha akan terminimalisir.

Untuk menjaga harga dari inflasi, maka negara akan menerapkan mata uang dinar dan dirham sehingga harga barang akan stabil. Hal ini memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan. Sehingga, rakyat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama beras.

Demikianlah yang akan dilakukan negara jika menerapkan sistem Islam.

Islam mengatur dengan cara terperinci sehingga masalah harga pangan dapat teratasi  secara tuntas dengan mengambil kebijakan Islam sebagai landasannya. Rakyat pun akan hidup sejahtera, aman dan damai. Wallaahu'alam bishshawab.

Oleh: Rosi Kuriyah, Muslimah Peduli Umat

Selasa, 12 Maret 2024

Menyoal Beras Mahal



Tinta Media - "Parah, sepanjang 40 tahun lebih berdagang di pasar induk, kenaikan harga beras pada tahun ini (2024) adalah yang tertinggi." Hal ini disampaikan oleh salah satu pedagang.

Para pembeli pun jelas mengeluh karena mau tak mau harus tetap membeli karena tak mudah juga untuk beralih ke pangan substitusi.  Kenaikan saat ini dirasa tidak masuk akal.  Bayangkan, dalam kurun waktu seminggu, beras bisa naiknya sampai dua kali. (bbc.com)

Penyebab kenaikan harga signifikan ini dicurigai terkait pesta demokrasi yang baru saja berlangsung. Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi menyindir bahwa lonjakan itu dipicu masifnya gelontoran bansos dan bantuan pangan beras 10 kg sebelum pilpres 2024 kemarin. Dia mengamati realitas saat kelangkaan pasokan beras mulai terjadi. (cnnindonesia.com)

Masuk akal juga kalau barang langka di pasaran, harga akan naik. Akan tetapi, pemerintah tentu tak sepakat. Menurut mereka, penyebab harga beras melonjak adalah karena kondisi cuaca.

Mendag beralasan bahwa para petani belum panen. Akibat adanya siklus cuaca El Nino yang terjadi tahun lalu, kondisi ini membuat jumlah produksi beras turun. (detik.com)

Walaupun terlihat mengelak, Dirut Bulog Bayu K.  justru mengatakan bahwa lonjakan harga dan kelangkaan stok beras (khususnya beras premium ) dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya:

Pertama, gencarnya bantuan beras dari pemerintah (bansos) sehingga faktor supply-demand tak seimbang.

Kedua, sejak tahun 2023 lalu, Indonesia mengalami penurunan produksi di sentra-sentra produksi sampai 2,05%, yakni dari sebelumnya 31,54 juta ton di tahun 2022 menjadi 30,90 juta di tahun 2023. Semua dipicu efek kemarau ekstrem akibat fenomena iklim El Nino. 

Ketiga, adanya lonjakan harga gabah di tingkat petani, bahkan sudah meroket ke atas HPP yang ditetapkan sejak Maret 2023 lalu. (rri.co.id)

Sedangkan Kepala Bappenas Arief Prasetyo menambahkan dua variabel lagi, yaitu naiknya harga sewa lahan dan harga pupuk.

Apa pun yang menjadi penyebab, harusnya bisa diantisipasi. Sudah tahu ada El Nino, sudah tahu pupuk mahal dsb., lalu apa yang dilakukan penguasa?

Harusnya penguasa fokus untuk mengantisipasi berbagai kondisi rawan pangan seperti ini, bukan malah sibuk urus yang lain. Wajar saja akhirnya muncul  tudingan sumir bahwa bansos disalahgunakan untuk merayu para  voters, terutama mereka dengan ekonomi menengah ke bawah.

Jadi, kericuhan dan jeritan rakyat soal melonjaknya harga beras, hanya dijawab dengan operasi pasar dan sidak, terkadang juga mematok harga. Sayangnya, hal tersebut tak mampu mengatasi persoalan rutin terkait tidak stabilnya harga sembako di negeri ini.

Harusnya Bagaimana?

Mestinya para penguasa muslim menyadari bahwa amanah yang dipikulnya akan dimintai tanggung jawab kelak di yaumul akhir.

Sabda Rasulullah ï·º:

" ... Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)

Maka, penguasa akan memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara keseluruhan dengan mudah, murah, juga berkualitas dan sampai di tangan rakyat, bukan hanya memastikan pasokan komoditas di Bulog atau di pasar.

Sistem Islam juga mengharamkan pematokan harga, sebab itu merupakan hak Allah. Yang dilakukan adalah memastikan pasokan di pasar cukup atau tidak langka agar bisa mencegah spekulan mengatrol harga sesuka hati. Negara juga mengatur distribusi komoditas dengan memotong rantainya sehingga minim bea.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan, Islam pun memiliki kebijakan di hulu yaitu dengan menyediakan lahan pertanian. Jika ada lahan yang tidak digarap selama 3 tahun, maka akan disita oleh negara, lalu diserahkan kepada yang mampu mengelola.

Negara harus meminimkan alih fungsi lahan (lahan subur), tidak ditanami beton atau mall. Negara juga berupaya meningkatkan kualitas benih, pupuk,  mendorong para petani menerapkan metode pertanian modern, dsb.

Dalam semua mekanisme ini, jika kecurangan terjadi, maka sanksi  akan diberlakukan sesuai hukum pidana Islam.

Semua  tak akan terwujud kecuali penguasa sadar untuk kembali kepada hukum Allah dengan menerapkan Islam s kaffah dengan Khilafah. Wallahu’alam.


Oleh: Amila Nur
Sahabat Tinta Media

Senin, 11 Maret 2024

Harga Beras Melambung Tinggi, IJM: Islam Sangat Memperhatikan Masalah Pangan


Tinta Media - Menanggapi pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengenai harga beras melambung tinggi sebab jadwal hujan yang bergeser, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana mengatakan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah pangan.

"Sahabatku sekalian, Islam sangat memperhatikan masalah pangan," tuturnya dalam video Zulhas Ungkap Alasan Harga Beras Melambung  Gegara Jadwal Hujan Geser, Setuju? Di kanal YouTube Justice Monitor, Jumat (1/3/2024).

Menurutnya, masalah pangan merupakan salah satu dari kebutuhan pokok masyarakat. Islam mewajibkan seorang pemimpin negara dan jajarannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, terutama pangan. "Dengan dorongan imam, mereka melaksanakan tugasnya dengan baik. Mereka paham bahwa kepemimpinan adalah amanah dan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu Wa Taa'la kelak di akhirat," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Islam mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pokok, tidak hanya memperkirakan kecukupannya tetapi memastikan real kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi dengan baik, dengan layak. Islam mengharamkan pemerintah mematuk harga tetapi Islam memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga, "Tentu tidak meninggalkan petani yang membutuhkan kesejahteraan," tukasnya.

"Islam melarang kaum muslim bergantung pada asing agar negara bisa bersikap independen," imbuhnya.

Meskipun demikian, lanjutnya, Islam tidak melarang impor, asalkan memenuhi kriteria syariat seperti larangan bekerja sama dengan negara-negara musuh. Negara juga memiliki kebijakan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan, diantaranya ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.

Ia menjelaskan bahwa ekstensifikasi berhubungan dengan penyediaan lahan pertanian dan tentu harus meminimalisirkan alih fungsi lahan. Lahan yang menjadi cadangan pangan harus dipertahankan demikian rupa. Sedangkan intensifikasi adalah terkait dengan peningkatan kualitas benih, sarana produksi pertanian, termasuk dalamnya pupuk, metode pertanian dan lain sebagainya ituu meningkatkan kualitas. "Selain produksi, negara juga mengatur distribusinya dengan memotong rantai distribusi hingga dapat meminimalkan biaya," bebernya.

"Alhasil, harga bahan pokok tidak akan naik jauh, akan ada sanksi bagi pelaku kecurangan sehingga tidak ada yang berani berlaku curang, misalnya melakukan penimbunan," paparnya.

"Semua dilakukan semata karena dorongan imam kepada Allah Subhanahu Wa Taa'la," tambahnya.

Ia menyatakan bahwa dengan mengadopsi ekonomi syariah, negara akan memiliki kedaulatan pangan dan kesejahteraan ekonomi. "Tentu ini juga dengan menata petani dengan pola yang kami sodorkan tadi makan petani juga tetap bisa merasakan kesejahteraan," pungkasnya.[] Ajira

Minggu, 10 Maret 2024

Beras Mahal, Bagaimana Khilafah Mengelola Kebutuhan Pokok Rakyat?


Tinta Media - Masyarakat mengeluh harga beras mahal dan dijawab oleh Presiden Joko Widodo, “disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca yang memicu gagal panen” (Tempo. Co, pada 19 Februari 2024). Intinya menyalahkan perubahan iklim dan cuaca sebagai biang kerok (penyebab) beras mahal.

Kalau hanya bisa menyalahkan perubahan iklim dan cuaca, lalu di mana fungsi dan peran negara? Untuk apa, ada pemerintahan dengan segala jajarannya yang mengelola bidang pertanian? Seperti Menteri Pertanian, Bulog, BUMN yang ditugaskan mendukungnya seperti pabrik pupuk, dan lain sebagainya. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran, sebagian rakyat, ketika mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo yang  dimuat media Tempo. Co pada 19 Februari 2024. 

Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah naiknya harga beras yang "ugal-ugalan" itu, seperti apa yang dinyatakan oleh presiden, sebagai penyebab utamanya? Apa yang terjadi sesungguhnya? Apakah benar, produksi terganggu karena iklim? Atau apakah stok beras ditimbun oleh pengusaha-pengusaha besar untuk mencari keuntungan, di saat Ramadhan? Atau apakah stok beras di "serobot" oleh para kontestan pilpres dan pileg untuk "menyogok" pemilih, di pemilu yang lalu? Atau negara memang tidak mampu mengelola, mengatur dan mengontrol bahan pokok ini, dikarenakan kuatnya “tangan-tangan” oligarki pengusaha? Dari semua kemungkinan itu, mana jawaban yang paling mungkin sebagai penyebabnya?.

Sebelum kita membicarakan tentang beras ini lebih jauh. Maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu, berapa sebenarnya kebutuhan beras Indonesia?. Berdasarkan data BPS, tahun 2023 jumlah penduduk Indonesia adalah 278.700.000 jiwa. Jika keperluan beras per kapita antara 94,9 - 150 kg per tahun (kita ambil rerata 122,5 kg per kapita per tahun), maka keperluan beras adalah 34,1 juta ton per tahun. Dari data dan informasi itu maka kita akan berhitung berapa luas lahan pertanian padi yang diperlukan, untuk menghasil beras sejumlah minimal 34,1 juta ton per tahun tersebut. 

Data luas lahan pertanian padi yang dimiliki Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2022 adalah 10,45 juta ha, dengan produktivitas per ha 5,08 ton GKG (di bawah Vietnam 5,57 ton GKG dan tertinggi adalah Australia 10 ton GKG), dan dengan rendemen 62%. Artinya, Indonesia memiliki kemampuan memproduksi beras dalam 1 kali musim tanam adalah 32,9 juta ton. Sehingga dengan 2 kali masa tanam dalam 1 tahun akan menghasilkan 65.8 juta ton per tahun, lebih dari cukup untuk kebutuhan makan seluruh penduduk Indonesia, yang hanya memerlukan 34,1 juta ton per tahun.

Dari data BPS pula, diketahui bahwa dalam 5 tahun terakhir produksi beras Indonesia, tahun 2019 : 31,31 juta ton, tahun 2020 : 31,33 jota ton, tahun 2021: 31,36 juta ton, tahun 2022 : 31,54 juta ton dan tahun 2023 : 31,10 juta ton (turun 1.4 % dari tahun 2022). Sedangkan total impor beras dalam 6 tahun terakhir adalah tahun 2018 : 2,2 juta ton, tahun 2019 : 444,5 ribu ton, tahun 2020 : 356,2 ribu ton, tahun 2021 : 407,7 ribu ton, tahun 2022 : 429,2 ribu ton, dan tahun 2023 : 3,3 juta ton. (catatan : Angka impor tahun 2018 dan 2023 mencapai jutaan ton dan itu adalah 1 tahun menjelang pilpres).

Kalau memperhatikan data-data di atas seharusnya tidak ada permasalahan terkait dengan stok beras. Jumlah produksi beras dalam negeri ditambah impor sudah sangat aman. Tetapi mengapa selalu saja ribut terkait beras ini terutama menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, serta pada tahun-tahun politik.

Apa yang dilakukan negara?. Pemerintah telah membuat program untuk mengatasi kekisruhan seputar beras ini, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Program-program Ini juga dibarengi kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Namun, kenapa program ini sepertinya terkesan jalan di tempat bahkan bisa disebut “gagal”, terbukti hal ini terus berulang dan berulang.

Jika kita amati lebih dalam, terkait kebijakan pemerintah dalam upaya untuk menyelesaikan problem yang terjadi, maka terkesan penyelesaiannya hanya pada gejolak harga, sedangkan problem sebab sesungguhnya tidak tersentuh. Kebijakan yang dibuat tidak mengakhiri dan menyelesaikan secara tuntas, tetapi sekedar menahan kenaikan harga. Ditambah, banyak yang menduga kebijakan bantuan beras saat ini berkelindan dengan agenda politik praktis pada saat pemilu yang lalu. Sehingga kebijakan dibuat lebih kepada untuk kepentingan segelintir pihak, dan itu yang lebih dominan, daripada untuk menyelesaikan persoalan rakyat.

Indonesia memiliki luas lahan pertanian padi cukup luas 10,45 juta ha, jika produktivitasnya ditingkatkan, maka sudah lebih dari cukup untuk mencukupi keperluan beras di dalam negeri, tetapi kenyataannya belum bisa. Mengapa hal ini bisa terjadi?, karena petani selalu berada dalam keadaan terimpit dan “mungkin” sudah terjepit. Petani selalu mengalami problem sebab sistemik, seperti minimnya (sempit) lahan pertanian, sulitnya mendapatkan saprotan dan harga jual gabah (beras) yang tidak berpihak kepada petani. 

“Bila harga beras mahal, maka petani ikut menikmati keuntungan”, kata seorang pejabat negara. Pernyataan itu sangat tidak realistis dan cenderung “hanya” ingin berkelit dari problem yang sesungguhnya. Karena kenyataannya walaupun harga beras mahal, tetapi petani tidak bisa menikmatinya. Mengapa? Dikarenakan harga saprotan juga terus naik. Dan sepertinya ada kesan, petani sengaja “diciptakan” secara terstruktur oleh sistem ekonomi kapitalisme yang liberal untuk tetap miskin dan terpinggirkan. Jika pemerintah melihat persoalan beras ini hanya dengan sudut pandang dari tataran teknis saja. Tidak menyelesaikan problem dasarnya maka harga beras mahal dan impor beras sebagai solusi akan terus terjadi. Bahkan mungkin kondisinya justru makin hari makin buruk dan terus berulang setiap tahun. 


Dari runyamnya tata niaga (harga) beras ini menunjukkan bukti, gagalnya sistem ekonomi kapitalisme secara politik. Negara bukan bertindak sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat tetapi hanya hadir sebagai fasilitator dan regulator. Justru korporasilah yang mengurus berbagai urusan rakyat, dan korporasi pula yang akhirnya “suka-suka” mengatur dan mengelola ekonomi untuk mencari keuntungan semata.

Lembaga Bulog dan BUMN yang seharusnya melayani dan membantu mengurusi kebutuhan rakyat sebagai kepanjangan tangan negara, ternyata bertindak layaknya korporasi swasta yang bersaing untuk mendapatkan profit pula. Bahkan dalam sebuah dengar pendapat di DPR RI, ternyata Bulog baru mampu menampung 20% hasil panen petani dengan harga yang wajar (harga ketentuan pemerintah), dan ini berarti 80% dikuasai pengusaha. 

Sedangkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme pada aspek ekonomi adalah dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas, maka meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena mereka memiliki modal yang sangat besar. Yang dengan kekuatan itu akhirnya seluruh aspek rantai usaha pertanian mereka kuasai (lahan, produksi, distribusi, pasar bahkan importasi). 

Maka sistem ekonomi kapitalisme yang penerapannya dibantu sistem demokrasi melahirkan oligarki pengusaha yang mengontrol (“mengendalikan”) pemerintahan yang lemah, abai, dan akhirnya gagal mengurusi rakyat. Sehingga yang mengurusi rakyat bukanlah negara tetapi “diserahkan” kepada korporasi. 

Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi Islam dalam mengurusi kebutuhan pokok (dasar) rakyat?. Dalam sistem ekonomi Islam, pada aspek politik dinyatakan dengan tegas, bahwa negara bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat. Kepala negara yang dipegang oleh seorang khalifah menjadi penanggung jawab sekaligus pelaksana. Dan khalifah dilarang secara syar’i menyerahkan tanggung jawab dan pelaksanaannya kepada korporasi. 

Sedangkan pada aspek produksi, kebijakan pertanian yang akan dijalankan mencakup dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua strategi ini diikuti dengan penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin lahan pertanian secara optimal berproduksi, tidak ada lahan-lahan pertanian yang nganggur serta dimudahkannya kepemilikan lahan bagi para petani.

Dan pada aspek distribusi, kehadiran negara mengawasi pembeli dan penjual, akan menjamin sistem distribusi dan harga terbentuk secara wajar. Negara melarang dan melakukan penegakan hukum secara tegas dengan sanksi sesuai syari’at Islam terhadap praktik kartel, tengkulak, riba, penimbunan dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan distribusi terganggu.

Rasulullah Saw dalam sabdanya menegaskan dengan sangat tegas : “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya”. (HR Muslim dan Ahmad),

Dalam hadits yang lain, yaitu HR Muslim, Rasulullah Saw juga menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”.

Maka tidak ada hal yang lebih baik dan lebih sempurna dalam mengatur urusan umat manusia secara umum dan khususnya terkait kebutuhan pokok (beras) selain sistem Islam. Sehingga kewajiban menerapkan syariah Islam kaffah dalam kehidupan setiap muslim tidak bisa ditawar-tawar. Dan kehidupan seperti itu hanya bisa terlaksana jika umat Islam disatukan dengan sebuah naungan khilafah.

Wallau a’lam bishawab
Kota Raja, 6 Maret 2024


Oleh: A Darlan Bin Juhri
Aktivis Dakwah dan Konsultan Bisnis Syariah

Harga Beras Tembus Rekor, Rakyat Makin Tekor



Tinta Media - Tidak lama lagi kaum muslimin akan menyambut bulan suci Ramadan, bulan istimewa yang paling ditunggu karena hari-harinya akan berlimpahan pahala dari Allah Swt. Namun, ada fenomena yang juga sering terjadi menjelang momen-momen penting seperti ini, yaitu meroketnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Ini seakan sudah menjadi hal lumrah terjadi, khususnya di Indonesia. 

Sebagaimana yang terjadi saat ini, harga beras di pasaran meroket tajam. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat melakukan sidak (inspeksi mendadak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung mendapati adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting.

Hasil dari sidak tersebut ditemukan kenaikan harga pada komoditas beras premium sebesar 21,58% menjadi Rp 16.900/kg. Sementara, HET beras premium sebesar Rp13.900/kg sebagaimana telah ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas). Sedangkan beras medium mengalami kenaikan sebesar 28,44% dari HET sebesar Rp10.900/kg menjadi Rp14.000/kg. (Katadata co.id/ 11-2-24)

Setahun terakhir ini, harga beras memang mengalami kenaikan, Bahkan di tahun 2023 nyaris mencapai 20%.  Mahalnya beras tentu menyusahkan setiap orang karena beras adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat, sehingga keberadaan beras sangat urgen untuk didapatkan. Dengan kenaikan harga beras ini, rakyat semakin sulit memiliki, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kenapa kenaikan harga ini sering terjadi?

Rusaknya Rantai Distribusi

Salah satu penyebab terus melonjaknya harga beras adalah rusaknya rantai distribusi beras yang hari ini dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel). Akhirnya, sejumlah pengusaha ritel inilah yang menguasai produksi kebutuhan pokok rakyat. 

Dengan mudahnya, pengusaha ritel mempermainkan harga di pasaran. Apalagi, perusahaan besar telah memonopoli gabah dari petani, sehingga mampu membeli gabah dari petani dengan harga yang tinggi. Sementara, penggilingan padi kecil tidak berkesempatan untuk mendapatkan gabah sehingga harus gulung tikar. 

Tidak hanya di sektor hulu, ternyata sektor hilir pun telah dikuasai oleh perusahaan besar ini. Dengan modal besar yang dimiliki, mereka mampu memiliki teknologi canggih. Alhasil, kualitas beras yang dihasilkan ada di tingkat premium. Sementara penggilingan padi kecil hanya mampu menghasilkan beras kualitas medium.

Hal ini pun semakin diperparah dengan adanya larangan  bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen. Dengan panjangnya rantai distribusi, maka harga beras tak kunjung turun. Lantas, apakah dengan tingginya harga beras ini justru menjadikan petani bisa bernapas lega? 

Nyatanya, tidak. Justru para petani banyak mengalami impitan. Para petani sulit mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang minim, dan harga jual panen yang tidak menguntungkan.

Hilangnya Peran Negara

Beras sebagai kebutuhan pokok merupakan salah satu komoditas strategis sehingga wajib dikelola oleh negara, termasuk distribusinya. Memang, negara sudah melakukan upaya dengan banyaknya program yang dilakukan. Di antaranya melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu memengaruhi turunnya harga beras. Sebab, apa yang dilakukan tersebut hanya masalah teknis yang tidak menyentuh pada akar permasalahan. 

Jika kita mengamati lebih mendalam, sebenarnya penyebab utama dari kenaikan harga beras ini adalah akibat penerapan sistem politik pangan ala kapitalistik neoliberal. Peran negara tidak lain hanya sebagai fasilitator dan regulator semata. Sementara, pengurusan urusan rakyat diserahkan kepada korporasi yang berorientasi pada bisnis dengan mencari keuntungan.

Ekonomi kapitalistik ini pun mengusung paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas. Wajar jika banyak bermunculan korporasi-korporasi yang bermodalkan besar dan mengalahkan perusahaan kecil yang mayoritas dimiliki rakyat dengan modal tidak besar. 

Inilah yang menjadikan korporasi bermodal besar mampu menguasai berbagai sektor, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan importasi. Korporasi seperti ini pula yang akhirnya memainkan peran sesungguhnya dalam mengambil kendali pasokan pangan dan harga pasar. Penerapan sistem seperti ini telah melahirkan pemerintahan lemah dan kehilangan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. 

Sungguh, negara telah abai terhadap kepentingan rakyat. Negara dalam sistem ekonomi kapitalistik yang didukung oleh sistem politik demokrasi justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi dengan memudahkan regulasi untuk mereka. Sementara, rakyat hanya mendapatkan 'remah-remah' dan hidup dalam perekonomian yang semakin hari makin 'tekor'. Jelas sistem seperti ini tidak layak untuk dipertahankan. Sudah saatnya beralih kepada sistem yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan bagi seluruh individu masyarakat.

Politik Pangan Islam

Politik pangan Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Tujuan politik ekonomi Islam adalah untuk menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat, tidak terkecuali muslim maupun nonmuslim. 

Islam dalam naungan negara Islam (Khilafah) menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai satu kewajiban bagi negara. Untuk itulah negara akan memastikan terpenuhi kebutuhannya masyarakat, 
individu per individu.

Sebab, negara dalam Islam adalah raa'in (pelayan) dan penanggung jawab atas urusan rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: 

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Maka dari itu, haram hukumnya bagi negara menyerahkan urusan rakyat kepada korporasi, sebab bertentangan dengan aturan Islam.

Politik pangan Islam akan menjamin ketersediaan pasokan pangan dan kestabilan harga. Sebab itu, negara akan hadir dalam pelaksanaan produksi, distribusi, dan konsumsi. 

Dalam hal produksi, negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Hal ini juga akan terwujud dengan adanya penerapan hukum pertanahan yang menjamin lahan pertanian untuk berproduksi dengan optimal dan kepemilikan yang jelas. 

Negara juga akan memberikan bantuan pertanian kepada rakyat, mulai dari lahan, modal, saprotan, bahkan teknologi yang dibutuhkan agar bisa mengelola pertanian dengan optimal.

Khilafah akan memperhatikan  setiap rakyat dan menelaah adanya bantuan dari negara karena perannya sebagai pelindung semua rakyat dengan memastikan bahwa tidak ada satu pun individu rakyat yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ini sebagaimana peristiwa mahsyur pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk sebuah keluarga yang didapati tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok.

Dalam aspek distribusi, negara akan mengawasi praktik perdagangan dan pembentukan harga yang wajar. Islam mengatur perdagangan dalam negeri, termasuk beras. Negara membiarkan harga ditetapkan oleh permintaan dan penawaran di pasar. Islam juga melarang adanya praktik monopoli dan menimbun beras atau komoditas lainnya, melarang praktkk tengkulak, kartel dan riba. 

Untuk bisa mewujudkan ini semua, negara akan mengangkat Qadhi Hisbah untuk melakukan pengawasan secara langsung, serta penegakan hukum secara tegas dan menimbulkan efek jera.

Begitulah politik pangan Islam yang akan mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan, baik bagi para petani ataupun rakyat secara keseluruhan. Negara Islam akan lahir sebagai institusi yang melindungi rakyat dan berusaha sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan pokoknya. Wallahu alam bishawab []


Oleh: Harne Tsabbita 
(Aktivis Muslimah)

Minggu, 03 Maret 2024

Beras Mahal Negara Lalai



Tinta Media - Saat ini harga beras terus mengalami kenaikan, hingga melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah pada Maret 2023 lalu. Harga eceran yang ditetapkan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (BAPENAS) untuk beras medium sebesar 10.900-11.800 per kg dan beras premium sebesar 13.900-14.800 per kg tergantung zona masing-masing. 

Kenaikan beras premium rata-rata mencapai 21,58% dengan harga 16.900 per kg sedangkan beras medium rata-rata 28,44% dengan 14.000 per kg. Kenaikan harga beras yang terjadi tidak hanya di beberapa wilayah namun hampir di semua provinsi. Menurut Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti bahwa, kenaikan harga beras terjadi di 28 provinsi, termasuk seluruh provinsi yang ada di Jawa, Bali, NTT dan NTB. 

Sementara itu Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakah bahwa, lonjakan harga beras terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara permintaan dan ketersediaan. Dia memaparkan produksi beras Indonesia mengalami penurunan mencapai 2,05%, dari 31,54 juta ton menjadi 30,90 juta ton tahun 2023. Selain itu BPS menyampaikan bahwa supply dan demand yang tidak seimbang membuat harga beras melonjak naik.

Padahal kalau kita mau jujur Indonesia pada tahun 2023 melakukan impor beras dari Thailand. Badan Pusat Statistik mencatat impor beras Indonesia di tahun 2023 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Total impor beras mencapai 3,06 juta ton naik 429.210 ton. Hal itu diungkapkan oleh Deputi Bidang Statistik Ditribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi persnya Senin (15/1/2024).

Artinya pernyataan di atas tidaklah tepat karena ketersediaan beras terpenuhi dengan adanya impor beras. Terlebih, menurut peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, bahwa stok bulog masih 1,6 juta ton, di ID Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah ada 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan berkisar hingga 2,5 juta ton. (CNN Indonesia, 10-10-2023).

Selain itu kenaikan harga beras terjadi bukan baru-baru ini saja melainkan sudah setahun lebih, bahkan tahun 2023 kenaikan harga beras mencapai 20%. Artinya pemerintah harusnya sudah memikirkan langkah apa saja yang perlu diambil untuk mencegah lonjakan harga beras. 

*Penyelesaian dalam Islam*
Jika kita mau menganalisis paling tidak penyebab tingginya harga beras karena aspek produksi dan aspek distribusinya yang tidak berjalan dengan baik. Aspek produksi, pemerintah tidak mampu meningkatkan produksi beras karena adanya pengalihan fungsi lahan, pengurangan subsidi pupuk dan penyediaan benih yang berkualitas. Sehingga produksi tahun 2023 mengalami penurunan.

Aspek distribusi, pemerintah harusnya berperan aktif dalam menyalurkan beras hingga ke pelosok, jangan sampai ada monopoli distribusi oleh suatu perusahaan, sehingga perusahaan tersebut mampu mempermainkan harga dengan menahan beras, sehingga harga beras menjadi naik. Setelah naik barulah perusahaan menyalurkan beras dengan harga tinggi. Dalam sistem demokrasi hal seperti ini menjadi biasa, karena pengelolaannya diserahkan ke pasar, jika perusahaan memiliki modal besar maka mereka mampu memonopoli beras. Seperti hanya permasalahan minyak makan beberapa tahun lalu.

Masalah beras merupakan masalah yang sangat penting karena menyangkut kebutuhan pokok. Islam sebagai agama yang sempurna akan mampu menyelesaikan segala persoalan termasuk masalah beras. Islam akan mewujudkan stabilitas harga dengan terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan.

Kedaulatan pangan dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi dan distribusi dengan baik, maka Islam akan sangat memperhatikan kedua aspek tersebut agar masyarakat tidak mengalami kekurangan kemudian melakukan impor. Dalam mewujudkan hal tersebut maka Islam akan meningkatkan lahan pertanian dengan beberapa kebijakan meliputi hukum menghidupkan tanah mati, kewajiban mengelola tanah oleh pemiliknya, serta larangan untuk menyewakan lahan pertanian. Selain itu islam juga akan menyiapkan benih yang berkualitas kemudian menyediakan pupuk dengan harga murah.

Islam sangat memperhatikan dan memastikan distribusi dapat berjalan dengan baik, dengan tidak ada penimbunan, monopoli dan berbagai praktik yang tidak sesuai syariat. Islam tidak akan mengizinkan adanya perusahaan besar yang dapat menguasai pangan yang dapat mengakibatkan masyarakat mengalami kesusahan. Oleh karena itu perhatian Islam pada ketersediaan pangan merupakan perwujudan dari peran negara untuk melindungi rakyatnya. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (Muttafaqun ‘alayh).

Oleh: Burhanuddin Ihsan, S.Pi., M.Sc.
Dosen Universitas Borneo Tarakan

Harga Beras Makin Mengganas, Rakyat Semakin Melas



Tinta Media - Naiknya harga beras membuat ibu-ibu rumah tangga ketar-ketir, ditambah lagi dengan langkanya beras yang beredar di supermarket. Namun, stok cadangan beras akan dipastikan dalam kondisi aman hingga tiga bulan ke depan. Agar kenaikan tidak terlalu melambung, monitoring akan terus dilakukan ke sejumlah pasar oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kabupaten Bandung. Setelah monitoring ke beberapa pasar, harga beras naik di kisaran Rp16 ribu hingga Rp17 ribu perkilo. Hal ini disampaikan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna kepada wartawan di Jalan Raya Sapan Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Rabu (14/2/2024). 

Menurut Bupati Dadang Supriatna, kelangkaan beras diakibatkan karena langkanya produksi padi sehingga Bulog yang notabene sebagai penampung mengalami keterbatasan penyediaan beras. 

Sementara, Dicky Anugerah selaku Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bandung mengatakan bahwa bantuan sebanyak 44 ribu ton yang per bulannya akan disalurkan oleh Perum Bulog Kanwil Jabar merupakan salah satu langkah yang diambil untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga beras di pasaran.

Beras merupakan salah satu dari makanan pokok masyarakat Indonesia. Karena itu, beras harus selalu ada. Dengan adanya kenaikan harga beras di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, tentu saja hati rakyat sangat terpukul. Bukan hanya mahal, tetapi juga terjadi kelangkaan di beberapa supermarket.

Naiknya beras memang sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan ekonomi rendah. Dengan penghasilan suami yang pas-pasan, seorang ibu rumah tangga tentu kesulitan mengatur keuangan. Belum lagi harga-harga kebutuhan lain yang juga mengalami kenaikan, terlebih menjelang datangnya bulan Ramadan. Kenaikan ini seolah sudah menjadi tradisi setiap menjelang bulan Ramadan. 

Kondisi ini sungguh sangat memilukan, mengingat negeri ini merupakan negeri agraris karena memiliki daerah lahan pertanian yang sangat subur dan luas. Namun, sebagian besar rakyat justru  menderita. Sebuah pertanyaan yang menggelitik bagi kita, kenapa bisa seperti itu? Semua harus diuraikan sebab atau akar masalahnya agar bisa terlihat jelas penyebabnya. 

Sebenarnya, penyebab kelangkaan dan mahalnya harga beras bukan karena langkanya produksi padi sehingga persediaan di Bulog menipis. Lagi pula, pemerintah juga rajin melakukan impor beras, tetapi beras tetap mahal dan langka. Ke manakah larinya beras-beras tersebut? Pertanyaan itu sering kali muncul di tengah masyarakat. 

Ada juga bansos yang katanya sebagai solusi dari pemerintah. Faktanya, tidak semua orang mendapatkannya. Bahkan, warga yang seharusnya mendapatkan, justru tidak mendapatkan bansos. Dampak dari pemberian bansos yang sering dirasakan adalah adanya kecemburuan sosial di masyarakat. 

Karena itu, kita harus melek dengan sistem yang diterapkan saat ini, yaitu sistem demokrasi kapitalis. Dalam sistem ini, asas kebebasan dan manfaat menjadi hal yang biasa dan diagungkan. Maka, wajar jika terjadi kesemrawutan seperti sekarang. 

Pengelolaan lahan secara brutal yang dilakukan oleh para kapitalis telah merenggut dan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi lahan industri. Karena itu, lahan pertanian menjadi semakin sempit sehingga hasilnya pun semakin sedikit.

Di samping itu, distribusi beras juga menjadi salah satu penyebabnya. Rusaknya distribusi beras terjadi karena dikuasai oleh perusahaan bermodal besar. Adanya monopoli pasar mengakibatkan para pemilik perusahaan besar bisa dengan mudah memainkan harga. Hal itu sangat wajar terjadi di sistem kapitalis. 

Intinya, dari hulu hingga hilir sudah dikuasai dan dikendalikan oleh para kapitalis. Rakyat tetap menjadi korban dari semua kebijakan dan permainan pasar yang dikendalikan oleh perusahaan berduit. Itulah bukti kegagalan sistem  kapitalistik neoliberal buah dari sistem demokrasi.

Jadi, bansos dan berbagai upaya seperti bantuan beras setiap bulan bukanlah sebuah solusi yang mendasar dan tidak bisa menyelesaikan masalah secara tuntas. Itu hanyalah sebuah solusi pragmatis yang justru akan menimbulkan masalah baru.

Akan berbeda jika pengelolaan diatur oleh syariat Islam. Beras adalah keperluan hidup orang banyak yang wajib dipenuhi oleh negara. Begitu juga dalam hal sandang dan papan. 

Negara sangat memperhatikan kebutuhan pokok masyarakat, terutama beras. Kepala negara dalam hal ini adalah khalifah akan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat hingga betul-betul sampai ke tangan rakyat karena sudah menjadi kewajibannya. Dalam Islam, pemimpin adalah pengurus urusan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Islam adalah aturan yang sempurna. Islam mengatur semua hal sektor hulu hingga hilir. Untuk masalah beras, di sektor hulu negara menyediakan pupuk, bibit unggul, dan menyediakan lahan pertanian untuk diolah oleh petani. 

Sementara, di sektor hilir, negara mengatur distribusi yang baik, melarang penimbunan barang dan monopoli sehingga sangat sedikit kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh segelintir orang. 

Selain itu, adanya sanksi yang tegas juga akan membuat masyarakat takut ketika akan berbuat curang. Ini akan meminimalisir terjadinya korupsi sehingga rakyat pun aman dan terjamin kebutuhan pokoknya. Itulah solusi tuntas yang ditawarkan Islam sebagai aturan pemecah problematika kehidupan. Semua akan terwujud hanya dalam sebuah negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Penyebab Mahal dan Langkanya Beras

Tinta Media - Beras merupakan bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama di Jawa Barat. Mahalnya harga pangan saat ini terutama beras bukanlah hal yang baru, setiap pergantian musim beras mengalami kekurangan pasokan, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Kabupaten Bandung yaitu di pasar Banjaran, dan pasar - pasar lainnya. 

Tak hanya terjadi di Jakarta, di daerah lain pun di ketahui terjadi kelangkaan beras, bukan hanya langka, namun harganya pun mahal, seperti di kabupaten Bandung Jawa Barat. IDXchanel.com. stok beras di beberapa agen beras dan mini market belakangan terjadi kelangkaan. Agen beras menduga kelangkaan tersebut karena musim kampanye pilpres dan pileg yang memborong beras untuk bantuan sosial (bansos).

Ternyata bukan hanya di Jakarta  saja, kelangkaan beras juga terjadi di daerah lain, kalaupun ada harganya lebih tinggi dari biasanya. Seperti di kabupaten Bandung, disebutkan Rizal, salah seorang agen beras mengatakan banyak faktor, salah satunya pasokan dari produsen yang berkurang. 

Rizal juga mengatakan, saat ini memang bukan waktunya panen raya, dan pedagang kesulitan untuk mendapatkan pasokan beras karena tersendat sejak Januari 2024, Rizal merupakan pemasok beras di daerah Banjaran kabupaten Bandung mendapatkan beras dari para petani beras di Garut Jawa Barat. 
Sebenarnya ini efek dari terjadinya kemarau panjang, selain itu para petani panen raya terjadi di bulan Maret, April. Portalindonesia. Com. Minggu (18/02/2024 ). 

Persoalan yang Terus Berulang 

Dari tahun ke tahun polemik naiknya harga kebutuhan pokok terus berulang, padahal kebutuhan pokok dalam hal ini pangan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan ini merupakan kebutuhan yang harus ada dan dipenuhi setiap saat. Ini artinya pemerintahan sebagai pihak yang wajib menyediakan kebutuhan tersebut harus sigap dalam mengatasi permasalahan tersebut, supaya terjadinya kelangkaan bahan pokok bisa di atasi dengan baik  dan tidak terus berulang.

Hal ini tidak lepas dari peran sistem kapitalisme yang menguasai perekonomian dunia, dan tidak memiliki solusi yang solutif dalam mengatasi kelangkaan, padahal pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus di penuhi dan negara harus menetapkan kebijakan yang strategis, sehingga rakyat akan terjamin dan tidak mengalami kelangkaan bahan pokok. Bukan sebaliknya, kebutuhan rakyat di politisasi, seperti pembagian beras bansos yang tidak merata, hanya menyentuh pada pihak-pihak tertentu, dan itu hanya solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar permasalahan. 

Berbeda halnya dengan Islam, Islam akan mengatur sedemikian rupa distribusi pangan agar terjangkau masyarakat dan memastikan ketersediaannya, karena itu merupakan kebutuhan pokok yang wajib di penuhi. 

Mekanisme Islam sangat jelas dalam menyediakan pasokan bahan kebutuhan pokok dari mulai pengadaan dan penyaluran sesuai dengan syariah, larangan menimbun barang, mekanisme pembentukan harga, permodalan dan sumber daya manusia, dan seterusnya. Dan tugas negara adalah melayani dan melindungi segenap rakyat. Dan semua ini bisa terwujud dengan penerapan Islam secara kaffah ( menyeluruh) dalam bingkai daulah khilafah Islam. 
Wallahualam.


Oleh : Ummu Ghifa 
Sahabat Tinta Media 

Harga Beras Naik, Rakyat Menjerit


Tinta Media - Harga beras yang terus naik dengan kenaikan yang sangat signifikan membuat masyarakat terus menjerit dan mengeluh karena bahan pokok utama sehari hari yang terus menerus naik. Sedangkan penghasilan tiap harinya enggak ada kenaikan bahkan tak sedikit yang berkurang dan juga kehilangan penghasilan. Akibatnya besar pasak daripada tiang. Sebuah keluarga yang biasanya uang seratus ribu bisa beli beras 10 kg sekarang ini hanya cukup untuk beli beras kurang lebih lima kg. Mereka harus putar otak agar keluarganya tetap bisa makan dengan berbagai cara.

Di balik kenaikan harga beras yang dialami sekarang ini, kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Tapi harus kembali ke pemikiran masing-masing, kadang masyarakat suka memandang sebelah mata kepada profesi seorang petani, yang kehidupan kesehariannya selalu bergelut dengan cangkul berlumur  lumpur dan berbalut baju yang penuh dengan tanah sawah dan kaki telanjang tanpa beralaskan sandal ataupun sepatu. Berbeda dengan memandang orang yang berpakaian perlente, berdasi, pakai tas bermerk dan bermobil mewah. Masyarakat selalu tersenyum lebar dan kepala mengangguk pertanda hormat. Padahal petani yang kucel sebenarnya yang lebih mulia dan berjasa. Karena dengan profesinya mereka tak kunjung lelah mengelola sawahnya sehingga menghasilkan hamparan padi yang menguning, merunduk berisi, yang membuat persediaan beras di pasar tidak kekurangan.

Berbeda dengan sistem sekarang yang digunakan adalah sistem kapitalis dengan sekularismenya yang liberal, tidak ada lagi sawah yang hijau. Tidak ada lagi pemandangan indah di kala padi menguning, tidak ada lagi cicitan burung di tengah sawah. Yang ada sekarang adalah kepulan asap yang membumbung tinggi dari cerobong-cerobong asap dari pabrik-pabrik, deretan perumahan-perumahan mewah yang notabenenya semua punya orang berduit.
Para petani kucel pemilik sawah tersebut telah menjual semua lahan suburnya pada mereka kaum penguasa dan oligarki, dengan di iming-imingi harga yang tinggi dan mereka para petani merasakan kaya mendadak dengan menjual lahan tersebut. Tapi cuma sesaat dengan seiring waktu uang tersebut habis karena enggak bisa mengembangkannya dan ujungnya jatuh miskin jadi pengangguran. Mereka kaum penguasa dan pengusaha bersorak menang dan menari di atas penderitaan orang lain.

Itulah jahat dan sadisnya sistem kapitalis sekularisme yang semuanya hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan asas manfaat.

Dalam pandangan Islam semua urusan kehidupan diatur sesuai syariat Islam yang sesuai dengan hukum syara.
Lahan pertanian dikelola oleh para petani di bawah perlindungan negara. sawah-sawah digarap dengan bibit unggul dan pemeliharaan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi sehingga menghasilkan hasil yang memuaskan.
Harga beras di pasaran merata, rakyat makmur tidak ada yang kelaparan.
Pembangunan, sumber daya alam di kelola oleh negara demi kepentingan rakyat agar terciptanya negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tidak ada lagi teriakan kenaikan beras yang bunyinya seperti kicauan burung yang lagi gacor. Semua masyarakat hidup tenteram, karena hanya dengan Islamlah semua permasalahan dapat dipecahkan.

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh: Ana Sholihah
Sahabat Tinta Media 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab