Monsterisasi Bendera Tauhid dalam Hiruk-pikuk Pencapresan
Tinta Media - Acara deklarasi dukungan terhadap Anies Baswedan untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 oleh kelompok Majelis Sang Presiden diwarnai kericuhan. Kericuhan dipicu peserta acara akibat adanya pemasangan bendera lafaz tauhid, laaillaha illallah.
Perhelatan yang digelar di Hotel Bidakarta daerah Pancoran Jakarta Selatan pada hari Rabu (8/06/2022) ini berbuntut pelaporan kepada pihak kepolisian Metro Jakarta Selatan. Bahkan, salah seorang pegiat media sosial, Husen Alwi Shihab meminta Polisi untuk segera menangkap orang yang membawa bendera tersebut. Dirinya menilai bahwa pengibaran bendera tauhid itu menyalahi konstitusi, sebab identik dengan kelompok atau organisasi tertentu, seperti HTI. Sementara itu, pihak kepolisian tengah mendalami terkait bendera yang dikibarkan tersebut.
Memang, beberapa waktu ini publik disuguhi dengan berbagai fakta yang mengarah pada kriminalisasi ajaran Islam. Bahkan, sebelumnya Polisi menangkap petinggi Khilafatul Muslimin yang melakukan konvoi rutin mengibarkan bendera tauhid di daerah Cawang.
Padahal bendera tauhid merupakan milik umat muslim yang tak seharusnya dipermasalahkan, bukan bendera milik kelompok tertentu seperti HTI. Bahkan HTI telah menyatakan bahwa bendera hitam-putih bukan bendera kelompok mereka, karena HTI tidak memiliki bendera apa pun. Mereka hanya mendakwahkan kepada umat Islam bahwa umat memiliki bendera tauhid hitam (ar-raya) dan putih (al-liwa). Karenanya, HTI selalu menggunakan bendera tersebut di setiap agenda-agenda mereka.
Dari Ibnu Abbas ra.
"Panjinya Rasulullah saw. berwarna hitam (raya), dan benderanya (liwa) berwarna putih, tertulis didalamnya: "Laa Illaha Illlallaah Muhammad Rasulullah".
(HR. Ath-Thabrani)
Opini yang menyatakan bahwa merupakan HTI organisasi terlarang adalah tidak sesuai hukum, karena tak ada satu pun keputusan perundang-undangan atau produk hukum yang menyatakan bahwa HTI sebagai ormas terlarang. Majelis hakim menyatakan bahwa status badan hukumnya saja yang dicabut sesuai SK kemenhumkam.
Putusan pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT membenarkan pencabutan status BHP HTI, bukan membubarkan atau menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang. Tak ada pula amar putusan yang menetapkan ajaran Islam Khilafah sebagai ajaran atau paham yang dilarang. Menyatakan keduanya terlarang, apalagi menyamakan dengan PKI adalah fitnah yang sangat kejam.
PKI memang organisasi terlarang dan memiliki pemahaman atau ideologi yang menyesatkan, sehingga terlarang di negeri ini. Bahkan, pembubaran PKI dan pelarangan pahamnya telah termaktub dalam Konstitusi hukum TAP MPRS NO.XXV/1966. Dari fakta tersebut terlihat jelas adanya kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan juga sebuah organisasi Islam, dalam hal ini HTI, sebagi pihak yang getol mendakwahkan khilafah dan panji Rasulullah saw.
Keberadaan bendera tauhid pun turut dimonsterisasi, dengan memanfaatkan momen hiruk-pikuk pencapresan. Opini publik terus digiring agar para capres turut arus dalam memonsterisasi ajaran dan simbol Islam, sebagai sesuatu yang membahayakan dan mengancam. Inilah realita politik demokrasi di Indonesia saat ini, yang sangat sinergis dengan sekulerisme yang memang mencampakkan aturan agama dalam kehidupan, sehingga sangat antipati terhadap syariat Islam, yang notabene mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk politik.
Sementara dalam sekularisme, manusialah yang berdaulat membuat hukum, sehingga umat Islam yang hidup dalam sistem ini dipaksa secara sadar untuk menduakan Allah sebagai pembuat hukum yang seharusnya. Agar sistem demokrasi-sekuler ini tetap eksis, maka harus dijauhkan dari pemahaman Islam politik , di antaranya dari ajaran Islam tentang khilafah.
Mestinya umat Islam sadar bahwa tidak cukup sekadar mencari pemimpin yang dapat memajang atribut-atribut Islam, tetapi juga pemimpin yang dapat mengembalikan kemuliaan Islam itu sendiri sebagai sebuah sistem politik untuk menerapkan Islam secara kaffah, yakni khilafah. Sistem politik yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw. ini pernah menaungi umat Islam di seluruh dunia selama lebih dari 1300 tahun lamanya.
Sistem ini berlandaskan akidah Islam dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun. Khilafah berjalan dengan 4 pilar pemerintahan, yakni:
Pertama, kedaulatan di tangan Assyari' (Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt.)
Kedua, kekuasaan di tangan umat
Ketiga, wajib mengangkat satu khalifah (pemimpin) saja untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan dan tidak membingungkan umat.
Keempat, khalifah berwenang untuk mentabani (mengadopsi) hukum yang akan dilaksanakan.
Inilah konsep yang akan menjaga akidah umat Islam agar selalu terikat dengan hukum Allah, sehingga tak akan ada kasus kriminalisasi ajaran Islam maupun agama lainnya dalam sistem khilafah.
Wallahu'alam bishawwab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media