Tinta Media: Bencana
Tampilkan postingan dengan label Bencana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bencana. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 November 2022

Gempa Cianjur, MMC: Negeri Ini Rawan Bencana Namun Minim Mitigasi dan Tata Kelola Bencana

Tinta Media - Menanggapi peristiwa gempa Cianjur, Muslimah Media Center (MMC) merasa cukup miris melihat realitas mitigasi bencana dan tata kelola bencana di Indonesia yang masih ala kadarnya padahal sudah diketahui secara pasti bahwa Indonesia adalah negeri rawan bencana. 

"Mitigasi bencana yang seadanya dan tata kelola yang ala kadarnya disebabkan karena ketiadaan atau sulitnya koordinasi di antara pejabat dan instansi terkait serta minimnya prioritas anggaran negara untuk antisipasi,” beber narator dalam rubrik Serba-Serbi MMC : Gempa Cianjur: Gempa Dangkal dengan Kerusakan Parah, Mitigasi Seadanya? pada Rabu (23/11/2022) di kanal youtube Muslimah Media Center. 

Menurutnya, sudah menjadi fakta bahwa Indonesia berada di wilayah tiga patahan lempeng bumi membuat negeri ini rawan bencana seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono. Ini, karena tata kelola urusan rakyat belum menjadi visi utama para pemangku kebijakan tak terkecuali dalam menangani bencana baik secara preventif maupun kuratif. Pembangunan fasilitas publik masih berorientasi pada keuntungan dan pasar.  

“Tata kelola urusan rakyat yang ala kadarnya adalah buah dari penerapan sistem Kapitalisme. Sistem yang telah memposisikan penguasa bukan sebagai pengurus urusan rakyat, tetapi pengurus kepentingan korporasi,” urainya.

Yang memprihatinkan lagi, menurut narator, dalam sistem kapitalisme ini rakyat dibiarkan hidup layaknya di hutan rimba.  Yang kuat adalah yang mampu bertahan hidup sementara yang lemah akan tumbang. 

“Bagi rakyat yang kaya, mereka bisa membangun bangunan yang tahan gempa, sementara yang miskin hanya pasrah dengan tempat tinggal yang bisa roboh hanya dengan guncangan kecil,” tuturnya prihatin.

Narator menyampaikan bahwa keberadaan potensi bencana alam di suatu tempat merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari, akan tetapi ada upaya atau ikhtiar yang harusnya dilakukan manusia untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan.  

Kebijakan Khilafah 

Dalam penanganan musibah, menurut narator, Islam atau khilafah telah menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif yang tegak di atas aqidah Islam serta prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam. 

“Khilafah sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat  wajib mengatasi potensi terjadinya bencana alam sehingga tujuan kemaslahatan untuk rakyat pun tercapai,” tegasnya.

Narator menguraikan Khilafah akan menempuh dua langkah strategi sekaligus yaitu preventif dan kuratif.  “Kebijakan preventif dilakukan sebelum terjadinya bencana atau pra bencana. Tujuannya untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Sedangkan kebijakan kuratif dilakukan setelah terjadinya bencana,” bebernya.

Lebih lanjut, narator menjabarkan kegiatan preventif meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana dan pemetaan pemanfaatan lahan serta penyediaan alokasi dana. 

“Semua hal terkait pencegahan bencana, khalifah  akan mempersiapkannya dengan baik dan memadai dalam menghadapi bencana,” sambungnya.

Narator menguraikan untuk kebijakan kuratif meliputi  recovery korban  bencana dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya.

“Keberhasilan penanganan bencana dalam Khilafah disebabkan berpegang teguhnya Khilafah pada syariat Islam dalam menyelesaikan seluruh urusan rakyatnya,” pungkasnya.[] Erlina YD

Rabu, 23 November 2022

Ustaz Abu Zaid: Gempa Bumi Bukan Sekedar Bencana

Tinta Media - Menyikapi bencana gempa bumi di Cianjur, Ustaz Abu Zaid dari Tabayyun Center  mengingatkan bahwa dalam Islam, gempa bumi bukan sekedar bencana alam.

“Dalam ajaran Islam gempa bumi bukanlah sekedar bencana alam,” tuturnya kepada Tinta Media,  Senin (21/11/2022).

“Bukan sekedar kejadian tektonis ataupun vulkanis. Namun semua itu tak lepas dari kehendak Allah. Bisa sebagai ujian bisa sebagai peringatan atas kesalahan hambaNya,” jelas Ustaz Abu lebih lanjut.

Diungkapkannya dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, al-Da'a wa al-Dawa'a, mengutip sebuah hadits mursal yang diriwayatkan Ibn Abi al-Dunya. 
“Bumi pernah berguncang pada masa Rasulullah SAW. Beliau SAW meletakkan tangannya di atas bumi dan bersabda, 'Tenanglah! Belum tiba saatnya bagimu.’ Kemudian menoleh kepada para sahabat seraya memberi tahu, 'Tuhan ingin agar kalian melakukan sesuatu yang membuat-Nya ridha. Karena itu, buatlah agar Dia ridha kepada kalian!’”

Ustaz Abu Zaid mengisahkan kejadian di masa Sahabat Rasulullah. Bencana kembali mengguncang Madinah pada zaman kepemimpinan Umar. Menurut riwayat yang sama, sahabat bergelar al-Faruq itu menyeru kepada penduduk setempat, “Wahai manusia, gempa ini tidak terjadi kecuali karena perbuatan kalian! Demi Zat Yang menggenggam jiwaku, jikalau ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal di sini bersama kalian.” Umar bin Khaththab pada saat itu spontan mengenang kejadian serupa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW di Madinah.  

Sang khalifah merasa bahwa Allah SWT sedang mengingatkan kaum Muslimin sepeninggalan Nabi SAW dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Maka dari itu, tidak ada yang terucap di lisannya selain peringatan kepada sekalian umat Islam agar segera meninggalkan kebiasaan buruk dan bertaubat dengan sungguh-sungguh demi keridhaan Sang Pencipta. 

Ia juga menambahkan dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, al-Jawab al-Kafy, berkomentar, “Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian.’”


Diceritakannya bahwa gempa bumi juga menggoyang wilayah kaum Muslimin generasi berikutnya. “Pada saat itu, Umar bin Abdul Aziz tampil selaku khalifah Dinasti Umayyah. Dia mengambil kebijakan yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan kakek buyutnya, Umar bin Khaththab,” ceritanya. 

“Diserukannya kepada penduduk agar sama-sama bermunajat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya. Selanjutnya, pemimpin yang terkenal akan sifat zuhudnya itu mengirimkan surat kepada seluruh wali negeri,” lanjutnya. 

Menurutnya, dalam hal ini sikap kaum muslim mestinya sudah jelas. “Bahwa gempa yang bertubi tubi menimpa negeri ini adalah peringatan dari Allah. Negeri ini yang mayoritas muslim tidak diatur oleh syariat Allah. Malah tak jarang seruan kepada syariah kaffah malah ditolak bahkan dilecehkan,” tuturnya.

Rejim zalim di negeri ini sembari tetap berpegang pada hukum Jahiliyah warisan penjajah, dianggapnya telah menolak khilafah dengan angkuh. “Inilah maksiat terbesar muslim di negeri ini. Bukan hanya menolak syariah kaffah dalam sistem khilafah. Malah berbangga dengan sistem Jahiliyah seperti demokrasi. Dan melecehkan khilafah dan para pendakwahnya,” tegasnya. 

Jika sikap penguasa negeri ini masih serupa itu maka, meski pastinya tak berharap dan semoga tidak terjadi lagi,  menurutnya kejadian musibah khususnya gempa sebagai peringatan Allah bisa jadi, akan terjadi lagi dan lagi hingga tersadar kembali kepada Allah dengan sebenar benarnya. “Yakni tunduk patuh dalam sistem Islam khilafah yang kita terapkan semua syariat Islam secara kaffah,” ujarnya.

Ustaz Abu Zaid mengenang betapa air mata kesedihan kembali mengalir mengiringi musibah gempa bumi di Cianjur dan sekitarnya. Duka mendalam kembali tertoreh khususnya kepada para korban. Betapa tidak, puluhan orang sudah diberitakan menjadi korban meninggal dunia, ratusan orang terluka. Belum kerugian harta yang tentunya sangat besar. 

“Semoga muslim yang wafat meraih syahid akhirat. Dan yang luka segera Allah sembuhkan. Moga kerugian harta bisa diganti dengan yang lebih baik,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 23 Oktober 2022

Butuh Sistem Islam untuk Antisipasi Bencana Alam

Tinta Media - Hujan dan panasnya matahari adalah rezeki yang Allah pergilirkan musimnya. Hutan nan rimbun, kokoh terpancang pohon-pohon menghijau, itu pun rezeki dari Allah untuk seluruh manusia dan hewan. Namun, manusia menebangnya satu persatu karena nafsu. Lalu, apakah pantas menyalahkan Sang Pencipta hujan?

Dini hari, musibah banjir kembali terulang. Sebanyak 18.160 warga Aceh Utara mengungsi, sebanyak 6.775 rumah terdampak, 500 hektar sawah terendam, 4 kantor pemerintahan terendam, satu gedung fasilitas kesehatan dan satu gedung sekolah terendam. (Katadata.co.id, 6/10/2022)

Tidak hanya di Aceh, banjir juga kembali terulang di Jakarta yang menelan korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa MTsN 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir. Banjir terjadi karena luapan air saluran penghubung Pinang Kalijati yang berada di belakang sekolah. (Katadata.co.id, 7/10/2022)

Ketika alam bersorak sorai menyambut hujan sebagai rahmat dari Sang Kuasa. Sangat aneh, ada sekumpulan makhluk berakal menyalahkan hujan sebagai penyebab utama bencana alam. Padahal, hujan adalah ketetapan Allah, diluar kuasa manusia. Sedangkan mengantisipasi bencana alam ada di tangan manusia.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Dwikorita menegaskan, intensitas curah hujan sebagai faktor pemicu banjir, bukan faktor utamanya. Sedangkan kondisi kerusakan lahan dapat berpengaruh signifikan terhadap kejadian banjir. (Liputan6.com, 8/10/2022)

Senada dengan Pakar Geografi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Syiah Kuala, Dr. Alamsyah Taher, M.Si mengatakan ada beberapa faktor utama yang menyebabkan banjir di Aceh. Diantaranya pengalihan lahan hijau menjadi lahan yang tandus. (AJNN.net 21/12/2015)

Berdasarkan Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HAKA) Aceh menunjukan, dari juni 2020 hingga juli 2021, provinsi Aceh kehilangan tutupan hutan sebesar 19.443 hektar atau dalam setiap 27 menit Aceh kehilangan 1 hektar tutupan hutan. (Mongabay.co.id)

Sudah menjadi rahasia umum, faktor utama penyebab banjir adalah karena adanya perambahan hutan dan pengalihan fungsi hutan. Hutan yang semestinya berfungsi menyerap air hujan, namun setelah dialihfungsikan dengan tanaman yang tidak mampu menyerap air, sehingga menyebabkan banjir.

Mengapa Bencana Terulang?

Allah SWT berfirman yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa bencana berulang agar kita menyadari bahwa tangan-tangan manusia inilah yang merusaknya. Sehingga harus ada tindakan untuk memperbaiki dan kembali kepada ketentuan Allah dalam menjaga dan melindungi alam semesta.

Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab dalam melindungi alam semesta? Tanggung jawab ini dilimpahkan kepada seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini. Hanya saja perlu komando khusus dari penguasa. Sebab penguasalah yang berhak membuat regulasi untuk dipatuhi oleh masyarakat, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Menurut Kepala BNPB, Doni Monardo, salah satu upaya yang dilakukan BNPB adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui program keluarga Tangguh Bencana (Katana) yang akan dikuatkan hinga ke desa-desa. Tentu program ini tidak akan berjalan seimbang jika sistem Kapitalisme demokrasi justru melegalkan liberalisasi lahan hutan. 

Namun tidak cukup menggalakkan upaya di tengah-tengah masyarakat seperti jangan membuang sampah sembarangan, melakukan reboisasi, mengurangi penggunaan plastik, tidak membuang bahan kimia atau limbah pabrik di sungai atau di laut dan sebagainya. Seruan ini akan menjadi "anjing menggonggong kafilah berlalu" jika lifestyle masyarakat konsumtif serta liberalisasi lahan terus terjadi.

Harus Ada Kesadaran Politik

Tidak cukup hanya membangun kesadaran individu. Namun juga harus disertai kesadaran politik dalam melakukan kontrol masyarakat dan muhasabah kepada penguasa. Sehingga seruan hidup ramah lingkungan, menjaga kelestarian alam, akan sejalan dengan penerapan aturan Islam yang wajib diterapkan. Maka sangat penting mengingatkan peran penguasa agar melindungi alam dari privatisasi dan liberalisasi yang akan mengeksploitasi alam kepada korporat baik swasta maupun asing.

Pun masyarakat juga harus memiliki kesadaran agar terus mengontrol penguasa untuk menjalankan amanahnya sesuai dengan institusi. Ketika penguasa terdapat menyalahi regulasi yang di buat di dalam negara, maka ada kesadaran politik masyarakat untuk meluruskannya. Karena negara bertanggung jawab mengurusi urusan masyarakat. Bukan hanya ketika telah terjadi korban, namun harus melakukan antisipasi untuk meminimalisir korban jika musim hujan tiba.

Untuk itu, umat Islam harus memiliki kelompok agar dapat menjalankan peran politik di tengah-tengah masyarakat. Yakni melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana yang telah di wajibkan oleh Allah dalam Al Qur'an surah Ali Imran ayat: 104. Terjun dalam aktivitas politik bukan semata-mata ingin menjadi penguasa. Namun berperan dalam mengontrol dan muhasabah penguasa dalam menjalankan amanah kekuasaannya.

Solusi Tuntas

Lagi-lagi tak ada tempat lain membicarakan solusi setiap problematika umat saat ini, kecuali Islam yang sudah terbukti mampu menyolusi. Maka persoalan bencana banjir yang berulang adalah persoalan yakinkah kita pada solusi Islam atau tidak?

Islam mengatasi persoalan bencana dengan serius. Dengan memberikan pembinaan pada masyarakat bagaimana menjaga alam dengan baik dan sesuai syariat. Islam juga memberdayakan para ilmuwan dalam mengantisipasi dan mitigasi bencana agar dapat meminimalisir korban. Islam menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku perusak hutan. Islam melarang negara memprivatisasi dan meliberalisasi SDA. 

Islam melakukan dua hal untuk menanggulangi bencana alam, yakni prefentif dan kuratif. Upaya kebijakan preventif merupakan pencegahan terjadinya bencana. Dengan melakukan aktivitas pembangunan fisik. Seperti Pembangunan kanal, tanggul, mengatur aliran sungai dan menjaga kebersihan sungai dari sampah, serta reboisasi dan lain sebagainya. 

Adapun upaya kebijakan kuratif, yakni ketika telah terjadinya bencana. Upaya yang dilakukan ketika terjadinya bencana yakni meminimalisir korban dan kerugian lainnya yang diakibatkan bencana. Caranya, dengan melakukan cepat tanggap dalam mengevakuasi korban, membuka akses jalan, memblokade banjir dan membentuk pos-pos untuk melayani kebutuhan korban bencana.

Selain itu butuh penguasa yang amanah. Penguasa yang menjalankan seperangkat aturan negara semata-mata untuk kemaslahatan umat. Penguasa amanah tidak mungkin lahir dalam perut sistem kapitalisme sekuler yang bertentangan dengan Islam. Penguasa amanah hanya dilahirkan oleh sistem Islam.

Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Untuk itu umat Islam harus kembali menegakkan sistem Islam dalam bernegara. Membangun paradigma sesuai dengan akidah Islam pemikiran Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Dengan begitu persoalan bencana alam akan dapat dituntaskan. Wallahu A'laam bi ash shawwab.[]

Oleh: Zinnirah Abdillah 
Aktivis Intelektual Muslimah Aceh

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab