Tinta Media: Beda
Tampilkan postingan dengan label Beda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Beda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2024

Beda Penetapan Awal dan Akhir Ramadan, sebab Persoalan Politik?



"Lihat orang-orang Islam, sekadar melihat bulan saja selalu berselisih, beda dengan kita (orang Barat), sudah pakem karena sudah lama menginjak-injak bulan."

Tinta Media - Kata-kata dari orientalis barat itu memang terkesan menggelitik. Namun, tahukah kalian bahwasanya kalimat itu membuat diri ini sebagai seorang muslim tertunduk malu?

Bagaimana tidak, ketika menetapkan awal dan akhir bulan Ramadan selalu saja  berselisih. Misalnya saja, tahun ini ada yang mengawali Ramadan secara tidak bersamaan. Ada yang mulai tanggal 11 Maret dan ada yang 12 Maret. Tahun lalu pun juga sama, begitu juga tahun-tahun yang sebelumnya. Hampir setiap tahun terjadi perbedaan.

Terkadang, kita meyakini bahwasanya fenomena perbedaan-perbedaan itu ada dasar dan landasannya, yaitu fiqih. Namun, pernahkah kita menelaah lebih lanjut bahwasanya ada faktor lain selain fiqih?

Kita ambil satu contoh saja misalnya, hasil rukyatul hilal di Cakung dan Jepara pernah ditolak oleh sidang isbat di Kementerian Agama dan MUI dengan alasan bahwa hasil perhitungan menunjukkan hilal pada sore itu jauh di bawah batas imkanur rukyat , jadi harus ditolak. (detikNews.com)

Padahal, waktu itu rukyat di Cakung dilakukan dengan tiga metode. Hasilnya, di masing-masing metode, 4,35 derajat, 3 derajat, dan 2 derajat. Ketiga saksi dengan metode masing-masing mengaku melihat hilal. Namun, tidak diambil sumpah ketiga saksi tersebut.

Akhirnya, terjadi spekulasi di berbagai kalangan, karena mendengar alasan penolakan tersebut. Di satu sisi, hilal juga tampak di Malaysia dan Thailand. Secara geografis, Malaysia lebih dekat dengan Indonesia, lantas mengapa Indonesia tidak memakai data tersebut? Namun, pemerintah masih bisa beralasan karena negeri ini mengikuti konsep wilayatul hukmi.

Pendapat tersebut katanya diambil dari pendapat Imam Syafi'i, yang intinya adalah jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari daerah tempat hilal terlihat bisa mengikuti hasil rukyat itu, sedangkan daerah di luar radius itu boleh rukyat sendiri.

Padahal, jumhur ulama tidak menganggap terkait penentuan awal dan akhir Ramadan karena perbedaan wilayah ataupun radius berapa pun  farsakh. Contohnya adalah ulama fiqih kontemporer yang terkenal bernama Al-Sayyid Sabiq. Beliau mengatakan bahwa jumhur ulama tidak menganggap adanya perbedaan terkait penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan baik di sisi  mathla' (jarak/wilayah) atau ikhtilaful mathali' (perbedaan wilayah). Karena itu, kapan saja penduduk satu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa.

Rasulullah saw. bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya."

Seruan ini bersifat umum, menyangkut seluruh umat. Jadi, siapa saja di antara mereka (umat Islam) yang melihat hilal di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi umat Islam semuanya.

Kasus tersebut terus terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, satu kasus yang dulu pernah menggelitik. Pada tahun 2006, ormas Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan 23 Oktober 2006, sedangkan PBNU menetapkan 1 Syawal pada tanggal 24 Oktober 2006, bersesuaian dengan tanggal merah dan keputusan pemerintah. 

Faktanya, di berbagai wilayah, banyak warga NU yang berlebaran pada hari yang sama dengan warga Muhammadiyah, yaitu 23 Oktober 2006, karena mereka meyakini telah melihat hilal. Hilal ini juga terlihat di Malaysia dan Burnei Darussalam yang letaknya secara geografis dekat dengan Indonesia. Artinya, kalau toh ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, faktanya itu terjadi sebatas di tingkat elite saja.

Kasus yang hampir sama juga terjadi saat menetapkan 1 Syawal tahun 2011. Ini sangat menggelitik juga. (eramuslim.com)

Jadi, memang jelas bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadan bukan disebabkan oleh persoalan-persoalan fiqih, bukan persoalan mathla' (wilayah), bukan jarak, bukan juga perbedaan metodologi (hisab atau rukyatul), ataupun perbedaan organisasi. Namun, nyatalah bahwa itu semua terjadi karena persoalan politik atau lebih tepatnya ego nasionalisme. Hal itu diperjelas dengan fakta geografis Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang berdekatan, tetapi hasilnya tidak diambil sebagai referensi.

Jadi, semua lebih karena dalih, bukan dalil. Dalih yang diambil adalah batas-batas imajiner politis nasionalistik, bukan dalil agama yang menjadi rujukan. Ini sudah tergambarkan lewat kasus-kasus yang dijelaskan tadi.

Ketika masing-masing negeri muslim menetapkan sendiri awal dan akhir bulan Ramadan berdasarkan hasil perhitungan ataupun rukyat di wilayah tersebut, maka akan terjadi perbedaan. Bila di wilayah itu tidak terlihat hilal, maka langsung dianggap hilal tidak tampak tanpa menunggu hasil rukyat di negeri muslim lain, bahkan negeri yang berdekatan sekalipun. 

Padahal, sudah jelas penetapan awal dan akhir Ramadan sesungguhnya terkait erat dengan peredaran bumi, bulan, dan matahari, sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas-batas imajiner yang disebut dengan nasionalisme.


Oleh: Setiyawan Dwi 
Jurnalis

Sabtu, 18 November 2023

MMC: Khilafah Berbeda dengan Demokrasi



Tinta Media - Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan Islam yang berbeda dengan demokrasi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Narator Muslimah Media Center (MMC) dalam tayangan program All About Khilafah: Benarkah Semua Sistem Modern Diterima Syariah Islam? Di kanal YouTube MMC, Rabu (15/11/2023).

Pasalnya, Narator menjelaskan, kedaulatan atau penetapan hukum dalam khilafah berada di tangan syariah. "Bukan di tangan rakyat (manusia) sebagaimana dalam demokrasi," ucapnya.

Ia juga menyatakan, di dalam demokrasi, rakyat atau manusialah yang membuat hukum dan perundang-undangan (berdasarkan akalnya semata).

"Sebaliknya, Islam  menetapkan bahwa hukum dan perundang-undangan itu bukan buatan manusia. Tetapi (berdasarkan) hukum yang Allah turunkan," ulasnya.

Narator pun menegaskan bahwa demokrasi bukan berasal dari ajaran Islam.

"Demokrasi tidak dibangun berdasarkan akidah Islam. Tapi dibangun berdasarkan akidah sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan," tegasnya memungkasi. [] Muhar

Kamis, 10 November 2022

MEWASPADAI UPAYA PENGHAPUSAN LARANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

Tinta Media - Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama) yang diajukan oleh Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan perhatian umat Islam. Diketahui Ramos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

KEDUA, bahwa jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. etentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 

KETIGA, Bahwa Mahkamah Konstitusi harus menyatakan dalam putusannya bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan Ramos Petege harus ditolak. Apabila perkawinan beda agama dilegalkan, maka hal tersebut sama saja melegalkan perzinahan. Legalisasi perkawinan beda agama akan mengundang murka Allah SWT. *Jika permohonannya dikabulkan, maka akan banyak wanita Muslimah yang nikah dengan non muslim Demikian itu akan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi kepentingan syariat Islam dan umat Islam itu sendiri.*

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Sabtu, 05 November 2022

ANALISIS TIDAK SAHNYA PERKAWINAN BEDA AGAMA

Tinta Media - Tulisan ini disarikan dari keterangan lisan dan tertulis penulis saat memberikan keterangan sebagai Ahli Teori Hukum pada sidang Mahkamah Konstitusi. Tanggal 1 Nopember 2022. Diajukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) selaku Pihak Terkait. Perkara Uji Materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Perkara uji materi perihal perkawinan beda agama yang dimohonkan Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahap akhir. Tujuh hari ke depan agenda kesimpulan dan setelah itu menunggu putusan. Diketahui Ramos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan muslimah. Namun, perkawinan itu terhalang oleh persyaratan “tidak sahnya perkawinan beda agama”. Dirinya merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut. Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.

Kemudian, Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan memberikan pembatasan yakni, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Terhadap permohonan a quo, maka dipandang perlu disampaikan pendapat hukum terkait dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan. Keberlakuan Undang-Undang Perkawinan dapat ditinjau dari empat landasan, yakni filosofis, teoretis, yuridis dan sosiologis.

*Pertama; secara filosofis.* Indonesia bukan negara yang netral agama, tidak pula didirikan di atas dasar salah satu agama atau negara agama. Namun, Indonesia merupakan negara beragama dengan menganut paradigma simbiotik. Hal ini ditemui dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai negara beragama, maka bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya dijamin oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945. Salah satu bentuk ibadah umat Islam dalam rangka menjalankan keyakinan agama adalah melangsungkan perkawinan.

Menyangkut Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, Ismail Suny mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. Dengan demikian seluruh hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan.

Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Perkawinan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan ditinjau Maslahah-Mursalah dan Al Maqashid Syariyah sangat berkesesuaian. Didalamnya mengandung lima kemaslahatan primer (dharuriyyatul khams), yakni yakni hifdzud-din (menjaga agama), hifdzun-nafs (menjaga jiwa), hifdzun-nasl (menjaga keturunan), hifdzul-maal (menjaga harta), dan hifdzul-aql (menjaga akal). Menjaga agama, menjaga keturunan dan menjaga harta berkorespondensi dengan norma dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan.

Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syariah baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Menurut Mohammad Daud Ali, bahwa tujuan hukum Islam secara umum adalah tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat.

Lebih lanjut, menurut syariat Islam perkawinan memiliki tujuan guna membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum: 21. Untuk membentuk keluarga yang demikian, maka bagi umat Islam terlarang melakukan pernikahan beda agama. Larangan tersebut sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 dan Surah Al-Mumtahanah ayat 10. Bagaimana mungkin terwujud keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah jika perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam berbeda agamanya.

Allah SWT menurunkan syariat bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan.  Sebagaimana kaidah yang menyatakan “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”, yang bermakna mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan ditinjau secara fiosofis selaras dan sejalan dengan cita hukum Pancasila.

*Kedua; secara teoretis.* Ditinjau dari perspektif teoretis, Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan teori yang sangat kuat. Indonesia yang menganut paradigma simbiotik, memberikan jaminan bagi kelangsungan ajaran agama. Sejalan dengan itu, terdapat dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu sebagai penganut agama di satu sisi. Di sisi lain, negara berperan dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Paradigma simbiotik menunjukkan hubungan antara negara dan agama berjalan secara sinergis.

Imam Ghazali mengisyaratkan hubungan antara agama dan negara. Bahkan, Imam Ghazali ra berpendapat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Begitu dekatnya hubungan agama dan negara, sampai-sampai ia mengatakan, “agama adalah dasar dan sultan adalah penjaganya.” Hubungan simbiotik antara agama dan negara dengan jelas diutarakan oleh al-Ghazali sebagai teori ketergantungan, agama memerlukan negara dan negara memerlukan agama.

Imam Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah, menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan merupakan dua aktifitas yang berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik.  Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama.

Dari uraian di atas terlihat relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan dan menguntungkan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara (hukum positif). Bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Hukum Islam dalam tata hukum nasional diakui sebagai sebuah sistem hukum yang dapat dijadikan bahan bagi pembentukan hukum nasional. Salah satu produk legislasi yang mengandung muatan agama adalah Undang-Undang Perkawinan.

Menurut teori solvasasi hukum (pelarutan hukum) - yang penulis gagas - menempatkan Al-Maqashid Syariyah sebagai suatu kebutuhan dan berdayaguna dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara. Teori solvasisasi (pelarutan) hukum meneguhkan undang-undang yang terkait dengan perlindungan terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta. Keberadaan teori solvasisasi hukum mengakomodasi kepentingan agama dan negara. Terciptanya hubungan kooperatif antara Al-Maqashid Syariyah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik. Perspektif teori solvasisasi hukum dalam kaitannya dengan keberadaan Undang-Undang Perkawinan sangat terkait dengan teori receptio in complexu, receptio a contrario, lingkaran konsentris, eksistensi hukum Islam dan pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralisme).

Teori receptio in complexu sebagai teori pertama diperkenalkan oleh Lodewijk Willem Christian van Den Berg. Teori ini menyatakan keberlakuan hukum agama sesuai dengan yang diimaninya. Bagi pemeluk agama Islam, maka secara langsung hukum Islam yang berlaku baginya. Pada masa kolonial diberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya tentang hukum perkawinan dan hukum waris, sebagaimana terdapat dalam Resolutie der Indische Regeering (Compendium Freijer) dan Pasal 75 Regeering Reglement.

Teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib. Dinyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya. Kemudian, berlakunya hukum adat bagi orang Islam, jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.

Teori lingkaran konsentris diperkenalkan oleh Muhammad Tahir. Teori ini didasarkan pada ajaran Islam yang tidak mengenal dikotomi, baik antara agama dan negara maupun antara agama dengan hukum. Hal ini berbeda dengan pemikiran Barat yang memisahkan agama dari negara dan hukum. Dalam teori lingkaran konsentris, ketiga komponen yakni agama, hukum, dan negara, apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris yang merupakan suatu kesatuan dan berkaitan erat satu dengan lainnya.

Kemudian teori eksistensi yang menegaskan bahwa hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, diakui dan berhubungan dengan hukum nasional dalam pembentukan hukum. Menurut teori penerimaan otoritas hukum yang diperkenalkan oleh seorang orientalis, H.A.R. Gibb, dikatakan bahwa secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Diakui olehnya bahwa hukum Islam telah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Hukum Islam telah berfungsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula menjadi suara hati nurani umat Islam.

Selanjutnya teori pluralisme hukum yang kuat. Pada dasarnya pluralisme hukum tidak melihat secara dikotomis antara hukum negara dengan hukum adat, maupun hukum agama. Pada pluralisme hukum derajat kuat, kedudukan hukum agama diakui keberadaannya dan tidak dianggap lebih rendah dari hukum negara (hukum positif). Hukum agama dapat menjadi hukum positif. Menurut Brian Z. Tamanaha keberagaman produk undang-undang yang mengatur hukum agama merupakan bagian dari fenomena pluralisme hukum. Dalam pandangan postmodern, tidak mengakui adanya satu hukum saja (undang-undang). Postmodern berusaha membuat banyak alternatif lain yang menolak ketunggalan satu sistem hukum dalam pembentukan undang-undang, melainkan terdapat beberapa sistem hukum seperti, hukum adat dan hukum agama yang harus diterima.

*Ketiga; secara yuridis.* Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”  merupakan penegasan kembali dari Sila pertama Pancasila. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Jika Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak setiap warga negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan terhadap ketentuan tersebut. Atas dasar norma hukum konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya.

Diakui bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama. Namun, negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan tertentu melalui undang-undang yang tidak berarti mendiskriminasi, melainkan untuk melindungi kepentingan agama. Dengan demikian dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Disebutkan pembatasan diadakan salah satunya menunjuk pada nilai-nilai agama.

Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf e Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Demikian itu mengandung makna bahwa perkawinan yang sah adalah menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan menunjuk pada agama masing-masing.

Menurut fiqih munakahat, dalam pernikahan terdapat berbagai persyaratan agar pernikahan menjadi sah. Pernikahan yang sah bagi umat Islam menunjuk pada syarat dan rukun. Syarat mendahului rukun. Tidak akan pernah tercapai rukun nikah, jika tidak terpenuhi syarat. Salah satu syarat perkawinan adalah calon suami dan istri harus beragama Islam. Syarat demikian juga dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan diberlakukan guna memastikan perkawinan yang sah sesuai dengan agamanya masing-masing. Demikian itu juga terhubung dengan ketentuan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan yang menentukan adanya pelarangan perkawinan. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut tertolak alias tidak mendapatkan pengakuan dari negara.

Dalam konsiderans Undang-Undang Perkawinan disebutkan, “bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Secara a contrario, terhadap perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama), maka negara tidak dapat memberikan jaminan.  Jaminan dimaksud menunjuk pada kepastian hukum dalam hal hak-hak keperdataan yang akan timbul, seperti hak atas waris dan wali nikah. Kedua hal tersebut terhubung dengan lima kemaslahatan primer yakni menjaga keturunan dan menjaga harta. Disinilah pentingnya dilakukan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Menurut ajaran Islam, perkawinan beda agama adalah tergolong perkawinan yang bathil.  Maksudnya, dari semenjak dianggap tidak pernah ada perkawinan tersebut. Status demikian, lazim disebut “batal demi hukum”, dan bersifat imperatif. Selanjutnya, menyangkut tentang pencatatan perkawinan, terdapat suatu kaidah fikih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Bila dikaitkan dengan ketentuan pencatatan terhadap perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka pencatatan tersebut adalah juga tergolong sesuatu yang hukumnya wajib.

Menurut Ronald Dworkin bahwa masalah hukum tidak hanya dipastikan oleh kekuatan fakta sosial, tetapi juga oleh prinsip-prinsip. Artinya, hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan saja, tapi juga prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum. Menurutnya, prinsip memiliki dimensi kadar. Jika terdapat pertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah. Ketentuan persyaratan dan pembatasan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada prinsip ajaran agama (baca: Islam). Prinsip ajaran agama diakui dalam konstitusi. Demikian itu memiliki dimensi kadar yang paling tinggi dibandingkan dengan prinsip lainnya.

Menjadi jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan yuridis yang kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.

*Keempat; secara sosiologis.* Ditinjau dari sudut sosiologis, Undang-Undang Perkawinan memberikan jaminan kepastian hukum bukan saja terhadap pasangan suami-istri, namun juga terhadap anak yang dilahirkan, sepanjang anak yang dilahirkan tersebut dalam perkawinan yang sah. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jaminan kepastian hukum juga ditujukan terhadap harta bersama, ketika perkawinan putus karena perceraian. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pada penjelasannya disebutkan, “Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Konsekuensi hukum bagi pasangan beda agama adalah tidak berhak untuk saling mewarisi, karena perkawinan tersebut terlarang dan tidak sah (batal demi hukum). 

Konsekuensi perkawinan beda agama juga akan menimbulkan akibat hubungan nasab. Hal ini disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Hal yang sama terdapat dalam syariat Islam. Ayah biologisnya itu tidak punya hubungan nasab dengan anak diluar perkawinan. Anak diluar perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah dan ini berpengaruh terhadap hak waris dan wali nikah. Anak tersebut terlarang mendapatkan warisan dari ayah biologisnya. Ketika si anak berkelamin perempuan dan mau menikah, maka ayah biologisnya terlarang menjadi wali nikah.

Perkawinan beda agama menurut hukum Islam adalah haram (zina). Telah menjadi kebiasaan di masyarakat terhadap anak diluar perkawinan yang sah sering disebut dengan istilah “anak zina” atau anak “haram jadah”. Walaupun yang berdosa adalah kedua orang tuanya, namun sebutan itu membawa beban psikologis yang mendalam. Demikian itu membuktikan bahwa perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama) termasuk yang dicela oleh masyarakat.

Sesuatu yang tercela dalam pandangan masyarakat termasuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) yang bersifat materiil. Maksudnya, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai agama, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa perkawinan yang sah menurut ajaran Islam adalah yang telah memenuhi syarat dan rukun. Kedua unsur tersebut bersifat mendasar dan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945. Jika permohonan uji materi (in casu perkawinan beda agama) dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, maka hal tersebut sama saja dengan melegalkan perzinahan. Perkawinan beda agama adalah dosa besar dan menimbulkan kemudaratan yang berkelanjutan. Legalisasi perkawinan beda agama mengundang murka Allah SWT.


Jakarta, 2 Nopember 2022.

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Teori Hukum DDII


Selasa, 01 November 2022

Judicial Review Perkawinan Beda Agama, Dr. Abdul Chair: Perlu Perhatian Umat Islam


Tinta Media - Judicial review yang diajukan Elias Ramos Petege ke Mahkamah Konstitusi  agar bisa menikahi wanita muslimah ditanggapi oleh Ketua Umum HRS Center Dr. Abdul Chair Ramadhan, S,H., M.H. perlu perhatian umat Islam.
 
“Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama) yang diajukan oleh Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan perhatian umat Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (31/10/2022).
 
Saat ini proses sidang di Mahkamah sudah masuk tahap pemeriksaan terhadap para ahli. “Insya Allah hari Selasa tanggal 1 November 2022 saya akan memberikan keterangan sebagai Ahli Teori Hukum yang dihadirkan oleh Pihak Terkait, yaki Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),” terangnya.
 
Abdul Chair menegaskan, Mahkamah Konstitusi harus menyatakan dalam putusannya bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Dengan demikian permohonan Ramos Petege harus ditolak,” tegasnya.
 
Menurutnya, apabila perkawinan beda agama dilegalkan, maka hal tersebut sama saja melegalkan perzinahan.
 
“Perkawinan beda agama adalah dosa besar dan menimbulkan kemudaratan yang berkelanjutan. Legalisasi perkawinan beda agama akan mengundang murka Allah SWT,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 

Kamis, 31 Maret 2022

Nikah Beda Agama, KH M. Shiddiq Al-Jawi: Wanita Muslimah Haram Menikah dengan Laki-Laki Kafir

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14Mpj_SvqXV0w5IDfIxsBRZ5PChW5ICuw

Tinta Media - Menanggapi fakta beberapa waktu lalu adanya pernikahan seorang muslimah di sebuah gereja, Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan keharaman wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir.

“Wanita muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki kafir (non muslim), baik laki-laki kafir Ahli Kitab maupun laki-laki kafir musyrik,” tuturnya pada rubrik Fokus: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Dalil keharamannya ada dua dalil yakni QS Al-Baqarah: 221 dan QS Al-Mumtahanah: 10.

Pertama, QS Al-Baqarah: 221: “Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah : 221).
Imam Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan berkata: “Dari Qatadah dan Al-Zuhri, mengenai tafsir firman Allah yang berbunyi (Ùˆَلاَ تُÙ†ْÙƒِØ­ُوا الْÙ…ُØ´ْرِÙƒِÙŠْÙ†َ), mereka berkata, ‘Tidak halal bagi kamu [wali nikah] untuk menikahkan laki-laki Yahudi atau laki-laki Nashrani atau laki-laki musyrik [dengan perempuan beriman], yaitu laki-laki itu dari kalangan penganut agama di luar agamamu [beragama bukan Islam]’.” (Tafsir Al-Thabari, 2/379). (Lihat https://islamqa.info/ar/answers/ حكم-زواج-المسلم-من-غير-المسلمة-والعكس  ).


Kedua, QS Al-Mumtahanah: 10 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah : 10).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan juga bahwa kata “al-kuffâr” (laki-laki kafir) pada ayat tersebut (QS Al-Mumtahanah : 10) bermakna umum, tidak hanya untuk laki-laki kafir Musyrik: “Allah mengungkapkan dengan kata ‘al-kuffâr’ (laki-laki kafir), tidak mengungkapkan dengan kata ‘al-musyrikîn’ (laki-laki musyrik), agar dapat berlaku secara umum bagi setiap laki-laki kafir, baik dia laki-laki Musyrik maupun laki-laki Ahli Kitab [beragama Yahudi atau Nashrani].” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 106).

“Surat Al-Mumtahanah ayat 10 dan surat Al Baqarah ayat 221 itu, ayat yang mengharamkan laki-laki kafir atau non muslim baik dia itu Yahudi atau Nasrani atau musyrik (bukan Yahudi bukan Nasrani) haram hukumnya menikahi perempuan muslimah,” pungkasnya. []Raras

Rabu, 30 Maret 2022

Pernikahan Muslimah dengan Non Muslim, Ustaz Fahmi Salim: Desain Kelompok Liberal Legalkan Perkawinan Beda Agama

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1t-Zl31zIQWTAyqA_67JKED40B2ifMqX2

Tinta Media - Pernikahan Muslimah dengan nonmuslim dinilai Wakil Sekjen MIUMI Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia Ustaz Fahmi Salim Zubair, Lc., M.A. sebagai desain kelompok liberal untuk melegalkan perkawinan beda agama.

“Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim ini ada semacam desain untuk melegalkan perkawinan beda agama itu,” tuturnya dalam Program Fokus Live Streaming: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.

Menurutnya, kelompok liberal  itu sudah beberapa kali mengajukan judicial review ke MK untuk mengganti materi-materi yang ada di dalam UU No 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974.

“Tahun 1973 saat itu rezim orde baru mengajukan draf rancangan undang-undang tentang perkawinan itu di pasal 10 atau 6 itu yang artinya menyatakan bahwa perbedaan agama, perbedaan keyakinan itu, ketika seseorang lakukan proses pernikahan itu sah, dianggap sah oleh negara ini, ini bertentangan dengan hukum Islam,“ paparnya.

Ia mengingatkan agar jangan membolak-balikkan konteks perkawinan beda agama. Karena hubungan seksual dalam keluarga yang beda agama itu kembali kepada hukum asalnya yaitu haram kecuali yang dihalalkan. Dalam konteks ini yang dihalalkan hanya satu yaitu QS Al Maidah ayat 5, laki-laki muslim diberikan izin, didispensasi untuk menikahi wanita ahlul kitab.

“Hanya itu saja yang diberi dispensasi halal selainnya tetap haram. Bicara konteks perkawinan beda agama, apakah laki-laki muslim dengan wanita musyrikah atau wanita musyrik atau perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim baik itu ahlul kitab atau pun laki-laki musyrik, ini tetap haram jangan dibolak-balikkan,” ungkapnya.

Ia melanjutkan bagaimana orang-orang liberalisme menyesatkan dengan satu  dalil dari QS Al Maidah ayat 5 untuk menghalalkan semua bentuk perkawinan beda agama.

“ Orang-orang liberalisme dengan satu dalil Al Maidah ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab lalu dibawa untuk menghalalkan semua bentuk perkawinan beda agama, itu jelas keliru. Itu jelas sesat menyesatkan, tidak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an, tidak sesuai dengan hadis-hadis Nabi SAW atau praktik para sahabat atau salafus soleh,” lanjutnya.

Ia mengatakan, mayoritas Indonesia adalah umat Islam dan undang-undang bukan sekedar muamalah, aksi sosial semata tapi harus sesuai dengan hukum Islam. Penolakan keras terhadap pernikahan beda agama berkaitan dengan akad pernikahan.
“Kenapa umat Islam, para ulama, ormas Islam saat itu keras menolak? Karena ini berkaitan dengan akad pernikahan,” katanya.

Ia pun menegaskan akad pernikahan itu tidak boleh terjadi kecuali dengan izin syar’i, ada nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah. Karena asal hubungan seksual itu adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya atau menghalalkannya.

“Hukum asal hubungan seksual suami istri, laki-laki dan perempuan itu adalah haram, tidak boleh terjadi kecuali ada dalil yang membolehkannya. Maka dari itu, Al-Qur’an bicara pernikahan itu selalu diawali dengan perintah dari Allah SWT artinya menunjukkan kebolehan atau kehalalan,” tegasnya.

Menurutnya, Allah SWT telah memberi perintah di dalam Al-Qur’an itu bahwa kebolehan atau kehalalan pernikahan itu berlaku untuk yang seagama, seiman, dan seakidah yaitu Islam.

“Perintah-perintah itu yang ada dalam Al-Qur’an itu berlaku untuk yang seagama, yang seiman, seakidah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 29 Maret 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi Jelaskan Hukum Nikah Beda Agama

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1cVs1ScV0_6w3Fd7-Ls-74CG3qEXkg1ho

Tinta Media - Menanggapi pernikahan beda agama setelah beberapa waktu lalu ada pernikahan seorang muslimah di sebuah gereja, Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan hukum menikah beda agama.

“Nikah beda agama itu ada tiga macam. Pertama, pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab yaitu perempuan yang beragama Yahudi dan Nasrani. Kedua, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan yang kafir atau non muslim tapi musyrik. Artinya perempuan yang tidak menganut Yahudi atau Nasrani. Ketiga, pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki kafir atau non muslim. Non muslim secara umum, baik laki-laki non muslim itu orang Yahudi atau orang Kristen atau laki-laki musyrik atau tidak beragama, yang jelas dia kafir atau non muslim,” tutur Ustaz Shiddiq pada rubrik Fokus: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan kafir atau non Islam tetapi beragama Yahudi atau Nasrani yang disebut dengan ahli kitab atau kitabiyah. “Ini dibolehkan berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5. Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: ‘Telah dihalalkan bagi kamu menikahi al muhshonat’, menurut tafsir ath-thabari artinya adalah perempuan-perempuan yang merdeka. Pada ayat ini kata Imam Ath-Thabari ‘Allah telah menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan-perempuan yang diberi Al kitab adalah perempuan yang beragama Yahudi atau beragama Nasrani.’ Itu penjelasan dalam tafsir At Thabari yang ditulis oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari,” jelasnya.

Ustaz Shiddiq mengatakan bahwa pernikahan seperti ini, walaupun semua ulama sepakat (empat Mazhab sepakat itu boleh), tapi khusus untuk imam Syafi'i tetap melarangnya. “Ini mungkin kehati-hatian Imam Syafi'i, tetap melarang karena menurut beliau wanita ahli kitab itu adalah wanita, orang-orang dari keturunan Bani Israel,” bebernya.

“Jadi kalau orang Kristen Jawa itu menurut Mazhab Syafi'i tetap tidak boleh, karena menurut beliau orang Bani Israil itulah yang dulu ketika mendapat Injil atau Taurot masih asli. Jadi itu argumentasi Imam Syafi'i yang dikemukakan oleh Imam al-baihaqi dalam kitab ahkamul Quran,” lanjutnya.

Menurutnya, sebenarnya yang lebih kuat pendapat jumhur ulama yang tidak melihat ahli kitab itu harus orang keturunan dari Bani Israil. “Yang penting beragama Yahudi atau Nasrani meskipun kitab mereka yaitu Taurat dan Injil itu sudah mengalami penyimpangan,” tuturnya.

“Argumentasinya, karena pada zaman Nabi istilah Al kitab digunakan oleh Al-Qur’an untuk menyebut orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Nasrani yang itu sudah menyimpang akidah mereka, sudah mengalami tahrif dalam kitab suci mereka,” terangnya.

Tetapi menurutnya, secara pribadi, memberikan penjelasan hukum berikut. “Laki-laki muslim hukum asalnya memang boleh menikahi kitabiyah, yaitu perempuan non muslim beragama Yahudi dan Nasrani tetapi tetap ada syaratnya yaitu tidak boleh menimbulkan mudarat atau bahaya,” jelasnya.
Ia memberikan contoh bahaya tersebut. “Misalnya suaminya yang muslim itu kemudian ikut-ikutan murtad atau anak-anak mereka kemudian ikut-ikutan agama Kristen dari istrinya. Ini tidak boleh berdasarkan kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin Aan-Nabhani. Beliau mengatakan ‘setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang hukum asalnya itu mubah atau boleh tetapi untuk kasus tertentu itu dapat menimbulkan bahaya, maka untuk kasus itu hukumnya haram, tetapi pada dasarnya hukumnya itu tetap mubah Ya bagi mereka yang tidak mengalami mudarat’,” paparnya.

Dia menegaskan lagi hukum yang pertama. “Jadi kalau laki-lakinya itu muslim menikah dengan perempuan non muslim tapi menganut agama Yahudi atau Nasrani hukumnya boleh tapi ada syarat untuk supaya itu dibolehkan, tidak menimbulkan bahaya atau mudarat. Kalau mudarat,  untuk kasus tertentu hukumnya haram tapi hukumnya secara umum tetap boleh,” tegasnya.

Kedua, laki-laki muslim menikah dengan perempuan non muslim tetapi bukan ahli kitab, bukan penganut Yahudi atau penganut Nasrani. “Ini hukumnya adalah haram. Dalilnya dalam surat Al Baqarah ayat 221. ‘Janganlah kamu hai laki-laki muslim menikahi perempuan-perempuan yang musyrik, sampai mereka itu beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik bagi kamu daripada perempuan musyrik walaupun kamu sangat kagum terhadap kecantikan mereka’,” terangnya.

Ketiga, ini yang mungkin relevan dengan fakta yang ada sekarang. “Jadi laki-lakinya yang non muslim perempuannya itu adalah muslimah. Nah ini semua ulama sepakat menghukumi haram. Dalilnya ada dua, pertama surat Al Baqarah 221 dan yang kedua surat Al-Mumtahanah ayat 10,” jelasnya.

“Jadi dalam surat Al Baqarah 221, ada kelanjutannya, ‘janganlah kamu menikahkan laki-laki musrik dengan perempuan yang beriman hingga laki-laki musrik itu beriman’,” lanjutnya.

Menurutnya, pembicaraan itu adalah wali-wali dari perempuan muslimah. “Jadi mukhotobnya bukan laki-laki muslim yang mau menikah, tapi wali-wali dari perempuan muslimah,” tuturnya.

“Wali-wali kan ayah-ayah mereka, ayah kandung itu ada firman Allah yang ditujukan kepada mereka ‘janganlah kamu wali-wali dari anak perempuan muslim, janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik dengan anak perempuan kamu hingga mereka beriman,’ artinya masuk Islam,” paparnya.

Selain itu, ia sampaikan dalil di dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10. “Dalam ayat ini menceritakan azbabun nuzul, adanya perempuan-perempuan muslim dari Mekah menuju Madinah hijrah. Padahal dalam perjanjian hudaybiyah itu kalau ada orang dari Mekah ke Madinah itu harus dikembalikan. Tapi ini khusus untuk wanita muslimah yang bersuami dengan laki-laki kafir di Mekah, nggak boleh dikembalikan dari Madinah ke Mekah. Pada ayat itu ada alasannya yang disebutkan oleh Allah kenapa tidak boleh mengembalikan wanita muslimah yang hijrah dari Mekah ke Madinah ‘tidaklah perempuan-perempuan yang beriman itu halal bagi mereka itu laki-laki kafir suami-suami mereka di Mekah dan tidak halal juga mereka itu.’ Maksudnya adalah orang-orang kafir yang menjadi suami mereka di Mekah jadi laki-laki kafir juga tidak halal bagi perempuan-perempuan yang beriman,” terangnya.

“Surat Al-Mumtahanah ayat 10 dan surat Al Baqarah ayat 221 itu, ayat yang mengharamkan laki-laki kafir atau non muslim baik dia itu Yahudi atau Nasrani atau musyrik bukan Yahudi bukan Nasrani haram hukumnya menikahi perempuan muslimah,” pungkasnya. []Raras

Senin, 28 Maret 2022

Jadikan HAM Sebagai Argumen Bolehnya Nikah Beda Agama, UIY: Ini Harus Dilawan!

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1v80wckzOEp4B4QEsMSAtcdNHl6-8hbTY

Argumen yang membolehkan nikah beda agama dengan alasan HAM harus dilawan dengan keras. “Ini argumen harus dilawan dengan keras,” tutur Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) dalam acara Fokus Live Streaming: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.

UIY mengatakan bahwa melawan argumen itu harus berdasar pada agama. “Karena  memang  ini enggak bisa dirujukkan. Satu  berangkat dari prinsip  agama, satu berangkat dari prinsip hak asasi manusia. Bagaimana bisa dirujukkan? Enggak bisa,” ujarnya.

Meskipun argumen ini  tampak rasional, tapi menurut UIY, sebenarnya itu sedang membawa kepada titik permainan yang  tanpa batas. “Sebagaimana yang terjadi di Barat yang mempertanyakan hal-hal konyol, semisal apakah pernikahan itu harus beda kelamin? Apakah pernikahan itu harus punya anak dan seterusnya?” ungkapnya.

UIY mengatakan, kebolehan nikah beda agama karena dilandasi Hak Asasi Manusia (HAM) ini memang argumen standar. “Mereka selalu berangkat dari prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekali argumen itu diterima maka argumen itu akan selalu menjadi dasar untuk liberalisasi berikutnya,” ungkapnya.

“Sekarang mereka mempersoalkan beda agama.  Pernikahan beda agama harus boleh.  Nanti suatu ketika (dan itu sudah terjadi di Barat), mereka mempersoalkan juga pernikahan beda kelamin, dengan alasan yang sama,” tandasnya.

Absurd

Terkait anggapan bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam masalah pernikahan, UIY menegaskan bahwa itu argumen absurd.

“Saya kira argumennya juga absurd bahwa negara itu tidak boleh turut campur terhadap relasi  individual. Lah kalau relasi individual  itu pada akhirnya berpengaruh kepada masyarakat dan negara maka negara wajib turut  campur dari awal,” tegasnya.

Dalam konteks ini, kata UIY, Islam punya  kedudukan yang sangat kokoh  bahwa tidak ada urusan individu kecuali bahwa itu memang harus terkait dengan kebaikan. “Sebagaimana digambarkan oleh Baginda Rasul SAW bahwa perumpamaan  masyarakat itu seperti orang yang naik kapal. Ada yang di atas ada di bawah. Yang di bawah  kalau mau ngambil air harus naik ke atas. Lalu ada orang yang ambil jalan pintas. Dia lubangi tempat duduknya.

“Kalau pakai argumen tadi itu sah. Ini kan tempat duduk gue. Tapi Nabi mengingatkan bahwa kalau  orang itu tidak dicegah maka orang itu akan celaka dan orang lain juga celaka. Karena air yang masuk dari lubang yang dibuat di tempat duduknya itu, tidak hanya menggenangi tempat duduknya saja tapi juga menggenangi seluruh isi kapal,” jelasnya mencontohkan.

Menurut UIY, Itu terjadi sekarang. Penyakit AIDS itu kan penyakit yang berawal dari tindakan-tindakan menyimpang personal. Kemudian sekarang ini menjadi penyakit bukan hanya personal tapi mundial (mendunia). Siapa yang rugi?

“Jadi saya kira itu absurd kalau negara tidak boleh ikut campur,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Sabtu, 26 Maret 2022

Ustaz Taufik NT: Muslimah Haram Menikahi Orang Kafir

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1-0vuaUPuIvOvzY2T4C6LAXx6l3YsnoOb

Tinta Media - Menanggapi kasus nikah beda agama, Pengasuh MT Darul Hikmah Ustaz Muhammad Taufik Nusa Tajau menegaskan, Muslimah haram menikahi orang kafir. “Jika Muslimah menikahi orang itu hukumnya haram, ini tidak ada ikhtilaf, tidak ada perbedaan pendapat,” tuturnya dalam Live Kajian di Rubrik Kajian Fiqih: Nikah Beda Agama, Halal atau Haram? Jumat (18/3/2022) di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Ia menjelaskan dalil haramnya Muslimah menikahi orang kafir menurut Syekh Wahbah di kitab Al Fiqh al Islami Wal Adillatuhu halaman 6652 Juz 9 menyatakan haram secara ijmak. “Muslimah menikahi orang kafir haram secara ijmak. Jadi secara konsesus bahasanya bukan sekedar kesepakatan, bukan sekedar mayoritas. Ini konsesus, haram Muslimah menikah dengan orang kafir,” ucapnya.

Ia pun menambahkan dalil dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah, ayat 221, Allah SWT berfirman: “...Janganlah kalian menikahkan wanita beriman dengan orang-orang musyrik sampai orang-orang musyrik itu beriman dulu,..” Dan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10, Allah SWT berfirman: “Apabila wanita yang datang kepada Nabi itu beriman maka jangan dikembalikan kepada orang kafir, wanita itu tidak halal untuk mereka, mereka tidak halal juga untuk wanita itu”.

Ia mengatakan, menurut Syekh Wahbah atas dasar ini tidak boleh orang Ahlul kitab menikahi Muslimah sebagaimana juga menikahi penyembah berhala, majusi, orang-orang musyrik. “Tidak boleh seorang muslimah menikahi ahlul kitab atau musyrik. Muslimah menikah harus dengan muslim,” ujarnya.

Ia mengungkapkan dalam kitab Mafatih al-Ghaib Imam ar Razi menyatakan tidak ada perbedaan ahli tafsir bahwasanya yang dimaksud ini adalah hal keseluruhan, yakni seluruh non muslim tidak halal wanita Muslimah menikahinya. “Orang wanita beriman itu sungguh tidak halal menikahinya orang-orang kafir secara pasti. Walaupun ada perbedaan jenis kekafirannya. Tetap tidak boleh. Artinya menurut Ust. Taufik, intinya sama bahwa Muslimah dengan Ahlul kitab dan non muslim itu tidak boleh, tidak ada ikhtilaf (perbedaan),” ungkapnya

Ia merujuk kitab Al Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu tentang bagaimana hukum wanita Muslimah menikahi non muslim khususnya jika wanita itu menghendaki keislaman si laki-laki non muslim tadi. Menurut Syekh Wahbah dinyatakan dilarang secara syar’i.

“Jadi ada manfaatnya ini, dia (wanita) ingin mengislamkan calon suami ini tapi nikah saat (laki-lakinya) sebelum masuk Islam, maka menurut Syekh Wahbah dinyatakan dilarang secara syar’i” ujarnya.

Dari Syekh Wahbah menjelaskan dalam kitab Al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Muslimah menikah dengan non muslim itu dilarang secara syar’i dengan al kitab, as sunnah, dan ijmak. Dan tidak ada hukum lanjutannya.

“Jika terjadi pernikahan maka itu batil dan tidak berkonsekuensi terhadap bekas-bekas atau akibat-akibat syar’i yang terkait dengan nikah, tidak ada hukum lanjutannya, dianggap tidak ada sehingga anak-anaknya yang dilahirkan itu tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya, tidak dapat waris dari sisi agama,” katanya.

Menurutnya, mengharapkan keislaman si calon non muslim tadi tidak mengubah hukum ini sedikitpun.
“Ingin mengislamkannya tidak ada bedanya. Apalagi niatnya sekedar bentuk toleransi. Itu jauh sekali,” ucapnya.

Pendapatnya selain hukum nikah beda agama, perlu diperhatikan juga mengenai status anak jika nikah beda agama. Apabila hukum nikahnya haram (Muslimah menikahi Ahlul kitab) maka nasab ke ibunya.

“Status anak ini perlu kita perhatikan juga kalau nikah beda agama. Kalau yang haram tadi, prinsipnya haram, ini nasabnya ibunya, tidak ada hubungan nasab dengan bapak biologis itu walaupun sudah menikah karena nikahnya dianggap tidak ada,” katanya.

Tetapi ada pengecualian, menurutnya, jika kondisinya ketika menikah memang karena bodoh, jahil sehingga tidak mengerti tidak boleh menikah. Dan hukumnya sebagai Wath’Syubhat. Maka nasab ke bapaknya walaupun itu haram tapi harus segera tobat.

“Kecuali dalam suatu kondisi ketika menikah ini memang karena bodoh, karena jahil sehingga tidak mengerti tidak boleh menikah. Maka dihukuminya sebagai Wath’Syubhat sehingga bisa tetap diberikan nasab ke bapaknya walaupun itu (nikahnya) haram tapi segera tobat, diberi tahu,” ungkapnya.

Ia menyatakan apabila hukum haram itu dilanggar maka tidak diperoleh dalam mencari pijakan hukumnya.

“Jadi repot kalau yang haram itu dilanggar, dicari pijakan hukumnya tidak dapat, nasab anak juga kasihan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab