Tinta Media: Batubara
Tampilkan postingan dengan label Batubara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Batubara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Februari 2023

Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang





Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net
(30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan
penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan
Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi
karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani
setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga
poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis
dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan
suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.



Kasus
kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas
tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan
rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha
pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi
analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat
lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para
pemilik modal atau pengusaha pertambangan.



Didukung
oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun
2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela
lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal
sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan
sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama
yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau
IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.



Beberapa pasal terkait luas daerah
tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini
membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung
hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk
lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para
pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.



Jika diambil sebuah benang merah
permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal
yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap
mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal
untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para
pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana.
Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu
menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak
lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.



Sumber daya alam merupakan milik umum
atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh
pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat
banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang
murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan
diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong
pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas
meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.



Haram sumber daya alam ini diberikan
hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak
kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas
hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis
dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian
pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan
dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini
berlindung di belakang para penguasa.



Persekongkolan oligarki politik
dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia
pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat
untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri
ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan
melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan
terhentinya pembangunan.



Oleh : Hayyin

Sahabat Tinta Media 





Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang

Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net (30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.

Kasus kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para pemilik modal atau pengusaha pertambangan.

Didukung oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun 2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.

Beberapa pasal terkait luas daerah tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.

Jika diambil sebuah benang merah permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana. Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.

Sumber daya alam merupakan milik umum atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.

Haram sumber daya alam ini diberikan hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini berlindung di belakang para penguasa.

Persekongkolan oligarki politik dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan terhentinya pembangunan.

Oleh : Hayyin

Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 17 September 2022

Kesalahan Berpikir Kapitalis Jadikan Batubara Barang Komoditas untuk Meraup Keuntungan

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) mengungkap kesalahan berpikir kapitalis yang menjadikan batubara sebagai barang komoditas untuk meraup keuntungan.

"Inilah sejatinya kesalahan paradigma berpikir kapitalis. Sebab batubara yang sejatinya milik rakyat dijadikan sebagai barang komoditas untuk meraup keuntungan," tuturnya dalam Serba-serbi MMC: Harga Batubara Cetak Rekor Tertinggi, Rakyat Kena Imbasnya, di kanal YouTube Muslimah Media Center, Kamis (8/9/2022).

Ditambah lagi, lanjutnya, liberal ekonomi yang dianut oleh sistem kapitalisme telah menjadikan batubara legal dikuasai oleh korporasi atau pemilik modal. Sebab menurut sistem ekonomi kapitalis siapapun dianggap memiliki hak memenangkan tender meski kekayaan alam tersebut terkategori harta milik umum.

"Siapa yang tidak mengenal batubara? Batubara adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia. Berkat batubara yang kerap disebut sebagai emas hitam inilah manusia bisa menikmati aliran listrik di rumah, kantor hingga pertokoan," ujarnya.

Narator mengatakan, tahun ini ternyata menjadi tahun buruk dalam sejarah batubara. Pasalnya harga batubara mencetak rekor tertinggi. Pada perdagangan Senin (5/9/2022), harga batubara kontrak Oktober di pasar ICE-Newcastle ditutup di angka US$ 463,75 per ton. Harganya melambung 5,18% dibandingkan perdagangan terakhir pada pekan lalu, Jumat (2/9/2022). 

"Harga pada penutupan kemarin menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Harga tersebut sekaligus melewati rekor sebelumnya yakni US$ 446 per ton yang tercatat pada 2 Maret 2022 atau hanya beberapa hari setelah perang Rusia-Ukraina meletus," jelasnya.

Menurutnya, melambungnya harga batubara didorong oleh meningkatnya permintaan. Pasalnya permintaan ini melonjak setelah negara-negara Eropa memutuskan untuk menggunakan kembali batubara sebagai sumber pembangkit listrik mereka. Sementara pasokan komoditas batubara secara global semakin menipis. 

"Kenaikan harga itu jelas menimbulkan berkah bagi produsen batubara di Indonesia khususnya para eksportir batubara. Namun bagi rakyat tentu menjadi kewaspadaan. Sebab kenaikan harga batubara berefek pada kenaikan harga tarif dasar listrik," tukasnya.

Ia melanjutkan, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memutuskan kontrak kerja dengan para pemilik modal untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Penerapan kebijakan ini tentu saja berefek pada kehidupan rakyat yang semakin sulit, tanpa pelindung dan penjamin kebutuhan hidup. Sebab rakyat harus merogoh kocek untuk membeli kebutuhan vital hidup mereka, seperti listrik. 

"Padahal berdasarkan data terakhir dari badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan batubara Indonesia mencapai 26,2 miliar ton. Artinya negeri ini berpotensi mengelola secara mandiri sumber daya alamnya tanpa harus membeli kepada negara lain atau perusahaan batubara, kemudian mendistribusikannya kepada rakyat dalam bentuk listrik murah bahkan gratis," tegasnya. 

Ia pun menilai, akan tetapi hal ini mustahil terjadi dalam kehidupan yang diatur dalam sistem kapitalisme. Negeri ini harus beralih pada kehidupan yang diatur dengan sistem Islam kaffah. Sebab Islam memiliki pengaturan yang sempurna. Termasuk ekonomi yang menjamin terwujudnya kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat. 

"Menurut imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab besarnya al-Mughni pada bab pembahasan Ihya'al-Mawat, bahan-bahan galian tambang yang didambakan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa banyak biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan hak kepemilikan individualnya," bebernya.

Ia pun menjelaskan, bahan-bahan tersebut menjadi milik seluruh kaum muslimin. Yang demikian akan merugikan kemaslahatan mereka jika dikuasai segelintir orang. Bahan galian tambang tersebut harus dikelola negara atau pemerintah, dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.

"Bahan galian tambang merupakan sumber bunyi terpenting yang harus mendapat perhatian khusus, karena betapa berharganya bahan tersebut dimata dunia. Al-Qur'an dan hadits pun menunjukkan betapa pentingnya membangun sebuah industri yang bisa menghasilkan dan mengelola kekayaan alam berupa galian tambang di dalam perut bumi," ujarnya.

Menurut syekh Taqiyuddin an-Nabhani, lanjutnya, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara. Semisal, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.

"Inilah pengaturan sistem Islam yang dapat menjadi solusi dari kerusakan pengelolaan tambang dari sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan," tandasnya. 

Ia membeberkan, dalam Islam kepemilikan dibagi berdasarkan tiga bentuk. Pertama, individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan Negara. Dari ketiga bentuk kepemilikan tersebut, bahan galian tambang adalah merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu atau korporasi. Dengan ketegasan batasan kepemilikan seperti ini tidak ada ruang sedikitpun bagi para oligarki politik dan kaum pemilik modal untuk merampas hak masyarakat umum atas tambang sumber daya alam. 

"Pengaturan pembagian hak kepemilikan secara adil seperti ini mustahil diterapkan dalam sistem rusak demokrasi yang sudah dikuasai para oligarki politik dan kapitalis. Tidak ada jalan lain selain jalan Islam yang diturunkan oleh Dzat yang maha sempurna. Jalan ini tidak dapat ditempuh kecuali dengan langkah-langkah sistematis untuk mengembalikan institusi politik Islam," tegasnya.

"Institusi inilah yang menerapkan politik ekonomi Islam untuk mengatur secara langsung kepemilikan umum masyarakat," pungkasnya.[] Willy Waliah

Selasa, 13 September 2022

Harga Batubara Naik, MMC: Berefek pada TDL

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) menilai kenaikan harga batubara tahun ini bisa berefek pada kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL).

“Bagi rakyat tentu menjadi kewaspadaan, sebab kenaikan harga batubara berefek pada kenaikan harga tarif dasar listrik,” nilai Narator MMC pada Serba-serbi MMC: Harga Batubara Cetak Rekor Tertinggi, Rakyat Kena Imbasnya di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC), Rabu (7/9/2022).

Narator mengungkapkan melambungnya harga batubara didorong oleh meningkatnya permintaan. “Pasalnya permintaan ini melonjak setelah negara-negara Eropa memutuskan untuk menggunakan kembali batubara sebagai sumber pembangkit listrik mereka,” ungkapnya.

“Sementara pasokan komoditas batubara secara global semakin menipis,” lanjutnya.

Menurutnya inilah sejatinya kesalahan paradigma berpikir kapitalis. “Sebab batubara yang sejatinya milik rakyat dijadikan sebagai barang komoditas untuk meraup keuntungan,” tuturnya. 

“Ditambah lagi liberalisasi ekonomi yang dianut oleh sistem kapitalisme telah menjadikan batubara legal dikuasai oleh korporasi atau pemilik modal, sebab menurut sistem ekonomi kapitalis, siapapun dianggap memiliki hak memenangkan tender, meski kekayaan alam tersebut terkategori harta milik umum,” lanjutnya membeberkan.

Menurutnya, negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan kontrak kerja dengan Para pemilik modal untuk mengelola sumber daya alam tersebut. 
“Penerapan kebijakan ini tentu saja berefek pada kehidupan rakyat yang semakin sulit tanpa pelindung dan penjamin kebutuhan hidup, sebab rakyat harus merogoh kocek untuk membeli kebutuhan vital hidup mereka seperti listrik,” terangnya. 

“Padahal berdasarkan data terakhir dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, cadangan batubara Indonesia mencapai 26,2 miliar ton,” tamsilnya. 

Ia menjelaskan ini artinya negara berpotensi mengelola secara mandiri sumber daya alamnya tanpa harus memberi kepada negara lain atau perusahaan batubara. 
“Kemudian mendistribusikannya kepada rakyat dalam bentuk listrik murah bahkan gratis,” jelasnya.

Akan tetapi, hal ini dinilai Narator mustahil terjadi dalam kehidupan yang diatur dalam sistem kapitalisme. 
“Negeri ini harus beralih pada kehidupan yang diatur dengan sistem Islam Kaffah, sebab Islam memiliki pegaturan yang sempurna,” nilainya. 
“Termasuk ekonomi yang menjaminkan wujudnya kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat,” lanjutnya.
 
Ia sampaikan pendapat Imam Ibnu Qudamah al Maqdissi dalam kitab besarnya Al Mughni pada bab pembahasan ilya’al-Mawat.

“Bahan-bahan galian tambang hasil usaha pertambangan yang didambakan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa banyak biaya seperti halnya garam, air, belerang gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dll, tidak boleh dipertahankan hak kepemilikan individualnya. Bahan-bahan tersebut menjadi milik seluruh kaum muslimin yang demikian akan merugikan kemaslahatan mereka jika dikuasai segelintir orang. Bahan galian tambang tersebut harus dikelola oleh negara atau pemerintah dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.”

Narator menjelaskan bahan galian tambang merupakan sumber bumi terpenting yang harus mendapatkan perhatian khusus karena betapa berharganya bahan tersebut di mata dunia. 

“Al-Qur'an dan hadits pun menunjukkan betapa pentingnya membangun sebuah industri yang bisa menghasilkan dan mengelola kekayaan alam berupa bahan galian tambang di dalam perut bumi,” jelasnya.

Dia juga menyampaikan pendapat menurut syeh Taqiyuddin An-Nabhani. 

“Hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara semisal pendidikan kesehatan dan fasilitas umum,” terangnya.

“Inilah pengaturan sistem Islam yang dapat menjadi solusi dari kerusakan pengelolaan tambang dari sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan,” tegasnya. 

Kepemilikan Dalam Islam

Narator menyampaikan bahwa dalam Islam kepemilikan dibagi berdasarkan tiga bentuk. 
“Pertama, kepemilikan individu, kedua kepemilikan umum, ketiga kepemilikan negara,” tuturnya. 

Menurutnya, dari ketiga bentuk kepemilikan tersebut bahan galian tambang adalah merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu atau korporasi.
“Dengan ketegasan batasan kepemilikan seperti ini tidak ada ruang sedikit pun bagi para oligarki politik dan kaum pemilik modal untuk merampas hak masyarakat umum atas tambang sumber daya alam,” jelasnya. 

Narator menilai pengaturan pembagian hak kepemilikan secara adil seperti ini mustahil diterapkan dalam sistem rusak demokrasi yang sudah dikuasai para oligarki politik dan kapitalis. 

“Tidak ada jalan lain selain jalan Islam yang diturunkan oleh Zat Yang Maha Sempurna,” nilainya.
 
Menurutnya, jalan ini tidak dapat ditempuh kecuali dengan langkah-langkah sistematis untuk mengembalikan institusi politik Islam. 
“Institusi inilah yang menerapkan politik ekonomi Islam untuk mengatur secara langsung kepemilikan umum masyarakat,” pungkasnya. []Raras

Selasa, 26 April 2022

BALADA MIGOR, LISTRIK DAN BATU BARA !


Tinta Media  - Sebagai rakyat , penulis terbengong melihat siaran pers Kejaksaan Agung (tv one jam 15.15 wib, Selasa 19 April 2022) yang mengumumkan bahwa telah menetapkan berbagai pihak sebagai  tersangka export minyak goreng !

Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah di amandement menjadi UUD Liberal ? Artinya , wajarlah kalau harga "migor" pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik ! Termasuk juga komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan (termasuk eksport) !

Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada Ideologi Negara/ Konstitusinya ! Kalau Konstitusinya Liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal !

Yang dimaksud Negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/"nangkepin"  para pedagang ! Apapun alasannya ! Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas ( kondisi supply and demand ) bukan mekanisme "tangkap menangkap" ala aparat hukum/aparat keamanan !

Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Atau kalau merefer doktrin Islam (ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini), dalam sebuah Hadhist "Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram" yang artinya "umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dll) atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan/diperdagangkan".

Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun Hadhist diatas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara ) ! Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai "Public good", jangan diserahkan ke Taipan Naga ("Commercial good")  ! Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi "Commercial good" dan tdk bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas ! Dan mestinya aparat hukum/keamanan  tidak bisa melakukan penindakan/penangkapan terhadap pelaku pasar !

Begitu juga untuk BBM, Batu bara, dan listrik. Komoditas2 ini mestinya diperlakukan sbg "Public good", tetapi para "Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut "main" disini. Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi "Commercial good" yang susah dikendalikan !

KESIMPULAN :

Rezim ini telah merubah beberapa  komoditas dari "Public good" menjadi "Commercial good". Tetapi tiba2 mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah olah telah melakukan pelanggaran terhadap "Public good" !

Terus ngapain teriak teriak NAWA CITA ??

Rezim "bingung" !

MAGELANG, 19 APRIL 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Kamis, 21 April 2022

Harga Berbagai Komoditas Meroket, Invest: Akibat Negara Terapkan Ideologi Liberal


Tinta Media - Meroketnya harga berbagai komoditas seperti minyak goreng, batu bara dan tarif listrik, dinilai Koordinator Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko, akibat negara menerapkan  ideologi liberal.

"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).

Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.

Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.

Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.

Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.

Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini.  Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.

Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.

"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga  commercial good," bebernya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.

"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab