Tinta Media - Berdiskusi dengan Prof. Anthony, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menghimbau kepada pemerintah agar seyogyanya mengevaluasi kebijakan menaikan harga BBM dengan membatalkannya.
“Pertama, menghimbau kepada pemerintah agar seyogyanya mengevaluasi kebijakan menaikan harga BBM dengan membatalkannya. Rakyat saat ini butuh kehadiran negara untuk turut meringankan beban rakyat yang baru saja tersapu badai pandemi,” tuturnya kepada Tinta Media, Jum’at (16/9/2022).
Kedua, ia menilai kebijakan menaikan harga BBM tidak lepas dari usaha melakukan liberalisasi sektor hilir migas, setelah sukses meliberalisasi sektor hulu. “Kebijakan ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang dipraktikan oleh negara,” nilainya.
Ketiga, menurutnya sudah saatnya segenap elemen anak bangsa untuk terbuka dan mau mendengar alternatif solusi khususnya solusi yang berasal dari Islam. “Pengelolaan energi termasuk migas dengan perspektif ideologi kapitalisme jelas-jelas tidak adil dan sangat menyengsarakan rakyat,” jelasnya.
AK mengungkapkan kebahagiaannya berdiskusi dengan Ekonom Senior, Anthony Budiawan (Senin, 5/9). Managing Director Political Economy and Policy Studies yang juga pernah menjadi Rektor Kwik Kian Gie School of Business pada September 2011—Agustus 2015.
“Berdiskusi dengan Lulusan Universitas Erasmus, Belanda ini, memberikan banyak manfaat bagi penulis, terutama bagaimana berlogika dalam menata kebijakan fiskal negara,” ungkapnya.
“Kebijakan yang tak an sich berorientasi pada kesetimbangan APBN, tetapi juga memperhatikan kepentingan rakyat,” lanjutnya.
AK juga menyampaikan Prof Anthony yang menjelaskan hingga akhir periode APBN 2022, pemerintah hanya akan mendapatkan kocek sekitar Rp31 triliun dari kebijakan menaikan harga BBM.
“Sementara, pada saat yang sama pemerintah juga mengalokasikan bansos sebesar Rp24 triliun untuk kompensasi atas kenaikan BBM. Praktis, perolehan pendapatan bersih dari kebijakan menaikan harga BBM ini hanya sekitar Rp7 triliun,” pungkasnya.[] Raras