Tinta Media: Banjir
Tampilkan postingan dengan label Banjir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banjir. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 November 2024

Lagi-Lagi Banjir, Islam Solusinya

Tinta Media - Banjir merendam rumah warga di Kampung Muara, Desa Banjaran Wetan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat setinggi dua meter. Terdapat enam RW yang terdampak banjir akibat luapan Sungai Citarum. Hal ini diungkapkan oleh Ujang Kusnadi selaku Kepala Desa Banjaran Wetan.

Banjir disebabkan karena adanya pertemuan arus Sungai Citaluktug dan anak Sungai Banjaran. Warga yang terdampak banjir memilih bertahan di rumahnya dan mengungsi ke tetangga.

Saat ini warga tengah membutuhkan pasokan air bersih untuk melakukan pembersihan. Sisa lumpur sudah hampir bersih, tinggal di beberapa daerah saja.

Warga berharap agar bantuan segera datang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pakaian, dan perlengkapan lainnya untuk pemulihan pascabanjir.

Masyarakat Jawa Barat, khususnya Bandung dan sekitarnya menantikan upaya penanganan banjir. Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris, setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya banjir, antara lain

Hutan yang semakin gundul, lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan berubah menjadi obyek wisata, sungai yang semakin dangkal, drainase tak memadai, dan sungai yang penuh sampah. Realitas yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tata kelola alam di Jawa Barat, khususnya Bandung sangat rusak. 

Intensitas curah hujan sebenarnya merupakan faktor pemicu saja. Kondisi alam, saluran air, dan kerusakan lahan dapat berpengaruh secara signifikan terhadap banjir. Kondisi seperti ini adalah efek langsung dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini hanya mengutamakan keuntungan, sehingga pembangunan yang dilakukan bersifat eksploitatif.

Di samping itu, kapitalisme hanya melahirkan penguasa yang tidak serius mengurusi rakyat, khususnya dalam mitigasi bencana. Padahal, upaya tersebut bisa dan mampu dilakukan oleh penguasa.

Untuk itu, umat membutuhkan kepemimpinan yang mau mengurus kebutuhan rakyat. Pemimpin seperti ini hanya akan hadir dalam sistem Islam yang disebut khilafah. Mindset pemimpin dalam khilafah adalah pengurus atau periayah. Dari mindset ini, khilafah akan bersungguh-sungguh mengurus rakyat karena tanggung jawab mereka bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut adalah khilafah akan optimal mencegah penyebab banjir sehingga masyarakat akan terjaga dan terhindar dari banjir.

Adapun upaya khilafah dalam menangani banjir dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu apabila banjir disebabkan oleh faktor alam, semisal pengaruh musim dan curah hujan, maka khilafah akan memaksimalkan peran BMKG untuk memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi bencana. Kemudian, di wilayah itu akan dipersiapkan sebagai wilayah siaga bencana. Tindakan ini untuk meminimalisir korban jiwa dan kerugian harta benda.

Namun, jika banjir disebabkan oleh faktor yang bisa dilakukan upaya pencegahan, seperti keterbatasan daya tampung tanah terhadap curah air akibat hujan, maka khilafah akan membangun bendungan.

Khilafah juga akan melakukan pengerukan secara berkala terhadap sungai, danau, dan kanal agar tidak terjadi pendangkalan.

Upaya yang lain adalah memetakan daerah rendah yang rawan genangan air dan membuat kebijakan agar masyarakat tidak membangun pemukiman di wilayah tersebut. Kemudian, apabila ditemui kasus sebuah wilayah yang pada awalnya aman dari banjir, kemudian wilayah itu mengalami penurunan tanah sehingga terkena banjir, khilafah akan membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air atau untuk mengalihkan volume air ke daerah lain yang lebih aman.

Jika tidak memungkinkan, khilafah akan mengevakuasi penduduk wilayah tersebut dan mengganti dengan kompensasi tempat tinggal mereka. Khilafah juga akan membuat regulasi tata ruang wilayah.

Pembangunan harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Kebijakan ini mencegah kemungkinan terjadinya banjir.

Jika semua upaya yang bisa dikendalikan oleh manusia sudah dilakukan seoptimal, tetapi tetap terjadi banjir, khilafah tidak akan berlepas tangan. Khilafah akan menurunkan divisi at Thawari Kemaslahatan Umat untuk menolong wilayah terdampak banjir. Mereka sudah dilengkapi dengan peralatan canggih, pengetahuan tentang SAR, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam.

Khilafah akan menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, khilafah juga akan mengarahkan para alim ulama untuk menguatkan keimanan mereka agar mereka tetap tabah, sabar dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt. Dan mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa.

Demikian upaya khilafah dalam mengatasi banjir. Kebijakan yang diambil khilafah tidak hanya diambil dari pertimbangan rasional, tetapi juga didasari oleh nash syariat. Wallahu a’lam Bissawab. 

Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Selasa, 19 November 2024

Banjir Berulang, Butuh Solusi Gemilang



Tinta Media - Banjir bandang menerjang kawasan Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat akibat meluapnya anak Sungai Citarum pada Selasa (5-11-2024).  

Kepala Desa Banjaran Wetan, Ujang Kusnadi (47) menyampaikan, wilayah tersebut kerap mengalami banjir. Terdata korban terdampak banjir sebanyak 500 kepala keluarga (KK) dan 20 rumah dilaporkan rusak akibat kejadian tersebut. (Kompas.com, 6-11-2024). 

Tak hanya di Banjaran, beberapa wilayah di Kota Sukabumi dilanda banjir, longsor, dan pohon tumbang setelah hujan deras berlangsung lebih dari 5 jam.  

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sukabumi Novian Rahmat Taufik menyatakan bahwa mayoritas banjir yang terjadi disebabkan oleh luapan selokan yang tersumbat sampah serta intensitas hujan yang tinggi dan berlangsung lama memperburuk kondisi ini. (Kompas.com, 6-11-2024). 

Belum ada solusi tuntas dalam mengatasi banjir di berbagai wilayah Indonesia. Adapun undang-undang dan tata laksana yang ada belum mampu menuntaskan permasalahan banjir yang rutin datang di beberapa wilayah.  

Curah hujan yang tinggi dan waktu yang lama nyatanya bukan faktor utama penyebab banjir. Pembangunan, tata kelola ruang,  dan masalah sampah menjadi faktor lain dalam masalah banjir. 

Pembangunan mal-mal dan pusat pertokoan, perumahan elite, serta puluhan apartemen menjulang langit di kota-kota besar mengakibatkan lahan resapan akhir berkurang. Persoalan sampah yang tak kunjung usai, edukasi masyarakat yang terus digencarkan dengan pengelolaan dan pengolahan sampah yang belum maksimal, menambah mudahnya air meluap dari selokan-selokan dan sungai-sungai. 

Inilah dampak yang dihasilkan ketika pengelolaan urusan umat disandarkan pada aturan kapitalisme-sekuler yang mementingkan kemaslahatan golongan pemilik modal besar. Mereka melakukannya tanpa memperhatikan halal dan haram, serta mengesampingkan aturan Allah Swt. dengan memisahkannya dari kehidupan manusia. 

Dalam Islam, diatur secara rinci kepemilikan harta yang dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pembangunan tata ruang hijau, infrastruktur, perumahan, sekolah, rumah sakit, dan lainnya dikelola oleh negara ketika berkaitan dengan lahan milik umum dan milik negara. Islam melarang dengan tegas penguasaan lahan atas segelintir orang dan mengambil manfaat dengan mengabaikan hak milik orang lain.  

Setiap individu umat berhak mendapatkan lahan tinggal, keamanan, kenyamanan, kesehatan lingkungan tinggal dengan tata kelola dan fasilitas yang baik bagi tumbuh kembang generasi, bukan hanya bagi yang bermodal saja. 

Menerapkan hukum Islam dalam mengelola dan menyelesaikan persoalan urusan umat oleh kepala negara (khalifah) adalah sebuah kewajiban yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Maka, sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam yang datang dari Allah Swt. Hanya sistem Islam yang akan memanusiakan manusia. Wallahu a’lam bishawab.



Oleh: Yumna Nur Fahiimah
Muslimah peduli Generasi.


Kamis, 31 Oktober 2024

Mitigasi Tidak Pas, Banjir Tidak Tuntas

Tinta Media - Beberapa ruas jalan di Kota Medan kembali tergenang banjir setelah hujan deras mengguyur kawasan tersebut sejak pukul 13.00 WIB. Lokasi yang terendam termasuk beberapa jalan, seperti Jalan Setia Budi, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Zainul Arifin, Jalan Gatot Subroto, dan beberapa jalan yang lain. Pengendara di Jalan Gatot Subroto harus mencari jalan lain atau menuntun kendaraan mereka di tepi trotoar karena ketinggian air mencapai 15-20 cm.

Kondisi tersebut bukanlah hal baru karena banjir sering kali melanda kawasan tersebut. Upaya mitigasi dari pemerintah masih terkesan setengah-setengah. Jika tidak ada tindakan yang tepat, maka masyarakat akan mengalami penderitaan terus-menerus.

Mitigasi yang Tepat

Mitigasi banjir adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko yang muncul akibat bencana ini. Proses mitigasi meliputi tindakan yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah terjadinya banjir. Ini mencakup pembangunan fisik yang dapat mengurangi dampak banjir serta peningkatan kapasitas masyarakat untuk menghadapi bencana.

Salah satu penyebab banjir di Medan adalah curah hujan yang tinggi. Namun, dampak mitigasi yang tepat dapat mengurangi korban jiwa, kerugian materiil, dan kerusakan infrastruktur. Sayangnya, mitigasi bencana di Indonesia masih tergolong lemah.

Upaya mitigasi sebelum terjadinya bencana harus dimulai dengan kebijakan pembangunan yang bijak. Misalnya, melarang pembangunan permukiman di daerah rawan banjir serta melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk sedimen untuk meningkatkan kapasitas tampung sungai.

Akibat dari kegagalan pemerintah dalam melaksanakan mitigasi yang memadai, masyarakat sering kali harus menanggung beban berat. Mereka kehilangan harta benda, menghadapi kerusakan rumah, dan bahkan kehilangan nyawa. Banyak orang harus mengeluarkan biaya besar untuk memperbaiki kerusakan setelah banjir. Hal ini menambah penderitaan di tengah kesulitan yang sudah ada.

Jika langkah-langkah mitigasi tidak diimplementasikan secara serius, maka tragedi yang sama akan terus berulang, dan masyarakat akan tetap menjadi korban. Karena itu, ada banyak hal penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan komitmen dan tindakan nyata agar banjir tidak lagi menjadi momok yang menghantui kehidupan sehari-hari di Medan.

Sering kali, korban banjir harus tinggal di pengungsian untuk waktu yang cukup lama, sampai menunggu air surut. Selama di tempat pengungsian, mereka hidup dengan kondisi yang sangat sederhana—makan, tidur, dan beraktivitas dengan serba terbatas. Dalam situasi ini, banyak dari mereka tidak dapat bekerja dan kehilangan sumber penghasilan.

Dari segi kesehatan, kondisi di pengungsian cukup memprihatinkan. Pengungsi sering mengalami masalah kesehatan, seperti penyakit kulit dan diare akibat terpapar air banjir yang kotor.

Sayangnya, kebutuhan pangan para pengungsi tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah. Banyak bantuan yang datang justru bersumber dari masyarakat, melalui upaya sukarela. Banyak relawan yang bersedia berkorban demi membantu korban banjir, sementara bantuan yang disediakan pemerintah tidak optimal.

Kondisi ini mencerminkan kurangnya perhatian dan pengelolaan yang memadai dari negara. Akibatnya, masyarakat sering kali harus mencari solusi sendiri untuk masalah yang dihadapi, sementara pemerintah terkesan absen dalam menjalankan tanggung jawabnya.

Islam Sebagai Solusi Lingkungan

Islam menawarkan solusi untuk seluruh permasalahan manusia, termasuk masalah lingkungan. Allah Swt. mengharuskan umat-Nya untuk merujuk pada syariat-Nya dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam Al-Qur'an terdapat pedoman tentang keseimbangan ekologi yang harus diperhatikan oleh setiap muslim agar kelestarian dan keutuhan ekosistem terjaga.

Allah Swt. berfirman, 

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56)

Kemudian dalam hadis, ketika Rasulullah bepergian dengan Sa’ad bin Abi Waqash, beliau bersabda, 

“Janganlah menggunakan air berlebihan.” Sa’ad bertanya, “Apakah menggunakan air juga terhitung berlebihan?” Rasulullah menjawab, “Ya, sekalipun engkau menggunakannya di sungai yang mengalir.” (HR Ibnu Majah)

Oleh karena itu, Islam memberikan aturan rinci tentang cara menjaga kelestarian lingkungan. Namun, penerapan aturan-aturan ini akan lebih efektif jika dilaksanakan dalam sistem Khilafah. 

Berikut adalah kebijakan Khilafah untuk kelestarian lingkungan:

Pertama, mengembalikan kepemilikan sumber daya alam (SDA). SDA yang termasuk milik umum. Karena itu, harus dikelola oleh negara secara mandiri demi kemaslahatan bersama. Hutan, air, sungai, dan danau adalah milik rakyat. 

Nabi saw. bersabda, 

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Kedua, memulihkan fungsi ekologis dan hidrologis. Negara akan memastikan bahwa fungsi hutan, sungai, dan danau sebagai pengatur iklim global tidak akan diganggu fungsinya. SDA ini harus digunakan secara berkelanjutan.

Ketiga, rancangan tata ruang wilayah (RTRW). Kebijakan ini akan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, termasuk ketersediaan kawasan hijau sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota.

Keempat, memperketat izin pembangunan dan alih fungsi L
Lahan. Walaupun alih fungsi lahan terkadang diperlukan, maka pengawasan harus dilakukan pula agar tidak merusak lingkungan.

Kelima, pengawasan terhadap industri swasta. Negara akan mengawasi izin dan operasional industri untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.

Keenam, mendorong penelitian dan teknologi ramah lingkungan. Negara akan mendukung penelitian dan pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan dengan dana dan memberdayakan para ahli di bidangnya.

Ketujuh, sanksi terhadap perusak lingkungan. Khilafah akan memberikan hukuman tegas kepada pelaku perusakan lingkungan. Dalam Islam, kejahatan ini termasuk dalam kategori jarimah takzir, di mana hukumannya bisa berupa denda, penjara, atau sanksi lainnya sesuai dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Wallahu'alam bisshawab.


Oleh: Okni Sari Siregar, S.Pd
Sahabat Tinta Media

Rabu, 25 September 2024

Banjir Awal Musim Hujan, Bukti Lemahnya Mitigasi di Sistem Kapitalisme



Tinta Media - Hujan lebat pertama di awal musim ini menimbulkan bencana banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Bandung. Banjir di beberapa titik di Kabupaten Bandung disebabkan karena hujan yang turun sejak Selasa sore, terus-menerus sampai malam (10-9-2024).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung merilis kurang lebih 7 titik bencana banjir di Kabupaten Bandung dengan daerah terparah di Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Katapang dan Bojongsoang. 

Bencana banjir ini disebabkan karena Sungai Citarum tak lepas dari krisis Daerah Aliran Sungai (DAS). Citarum dan anak-anak sungainya mengalami penyempitan badan sungai, sedimentasi oleh lumpur dan sampah. 

Selain itu, banjir juga disebabkan karena alih fungsi lahan. Kawasan yang semestinya menjadi tangkapan air, kini justru terdesak oleh hutan beton. Maka, air hujan tersebut tak terserap dan mengalir ke dataran lebih rendah, yaitu Bandung Selatan, seperti kawasan Dayeuhkolot dan sekitarnya.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan sebelum memasuki musim hujan. Padahal, berbagai antisipasi sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi musim hujan, tetapi tidak membuahkan hasil, bahkan terkesan tidak serius. 

Hal ini terjadi karena sistem yang diadopsi penguasa adalah sistem kapitalisme, dalam sistem ini kepemimpinannya berbasis untung rugi, bukan mengurus rakyat.

Di sisi lain, sentralisasi pembangunan di kota membuat fenomena urbanisasi. Akibatnya, tata kelola pemukiman menjadi tidak beraturan. Padahal, kondisi ini membuat sistem drainase menjadi buruk sehingga terjadi banjir.

Prinsip kebebasan kepemilikan kapitalisme membuat para kapitalis bebas menguasai kekayaan alam. Akibatnya, mereka leluasa melakukan alih fungsi lahan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Ini sungguh jauh berbeda dengan sistem Islam ketika menangani masalah banjir. Dalam sistem Islam, negara adalah periayah (pengatur urusan). Negara akan mengurus rakyat dengan kebijakan yang canggih, efisien, tepat, dan cepat. Untuk mengatasi masalah banjir, sistem Islam akan menetapkan upaya preventif dan kuratif.

Upaya preventif dilakukan sebelum terjadi bencana, di antara kebijakannya ialah:

Pertama, memetakan daerah-daerah rendah dan rawan terkena genangan air akibat rob atau kapasitas serapan tanah yang minim. Selanjutnya, sistem Islam akan melarang masyarakat membuat pemukiman di daerah tersebut. Jika sudah terlanjur terdapat pemukiman, maka akan direlokasi ke tempat yang lebih aman, nyaman, dan tetap mudah dalam menjangkau akses kebutuhan hajat mereka.

Kedua, memetakan hutan sebagai daerah buffer dan tidak akan melakukan alih fungsi lahan secara berlebihan hingga bisa merusak lingkungan. Selain itu, akan dibuat serapan air di daerah-daerah, seperti membangun bendungan, kanal, dan sejenisnya untuk menampung air hujan.

Ketiga, membuat kebijakan tentang master plan pembangunan maupun pembukaan pemukiman bahwa bangunan tersebut harus menyertakan variable-variable drainase, penyediaan daerah serapan, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.

Keempat, melakukan pemeliharaan sungai dengan cara mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.

Kelima, melakukan edukasi bencana kepada warga negara agar tanggap dan sigap ketika terjadi bencana.

Setelah upaya preventif optimal dilakukan dan kemudian qadha Allah tetap terjadi banjir, maka sistem Islam akan melakukan upaya kuratif, yakni : 

Pertama, sistem Islam akan segera melakukan evakuasi para korban dan memindahkan mereka ke tempat yang aman dan nyaman. Biro at Thawari dari Departemen Kemaslahatan Umat akan terjun dengan cepat untuk menyelamatkan para korban. Biro ini pun telah dibekali dengan kemampuan rescue terbaik dan peralatan canggih untuk evakuasi para korban.

Kedua, sistem Islam meminta para ulama untuk membina warga terdampak agar dikuatkan nafsyiah (mental) mereka, sehingga para korban tetap sabar dan ikhlas menghadapi bencana.

Demikianlah upaya mitigasi dan pembangunan fasilitas dari sistem Islam untuk memberikan keselamatan dan kenyamanan kepada rakyat dari bahaya banjir. Wallahualam bissawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Rabu, 14 Agustus 2024

Solusi Banjir dalam Sistem Islam

Tinta Media - Presiden Joko Widodo melalui Menteri Pekerjaan Infrastruktur dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membangun kolam retensi di Kabupaten Bandung. Proyek ini menghabiskan anggaran dana yang tidak sedikit, yaitu sekitar Rp141 Miliar, dengan harapan permasalahan banjir yang ada di Kabupaten Bandung bisa teratasi ketika hujan mengguyur. (Ayo Bandung.Com, 19/07/2024)

Apakah pembangunan kolam retensi yang menghabiskan dana tidak sedikit tersebut mampu menyelesaikan permasalahan banjir di Kabupaten Bandung?

Faktanya, infrastruktur kolam retensi yang dibangun hanya bisa menyelesaikan permasalahan banjir yang ada di sebagian kecil wilayah Kabupaten Bandung, yaitu yang ada di sekitar area kolam retensi saja, sedangkan sebagian besar wilayah yang terdampak banjir belum bisa teratasi. Sehingga, permasalahan tersebut perlu penyelesaian secara menyeluruh dan sempurna, mulai dari aliran air yang ada di hulu sampai wilayah aliran sungai yang ada di hilir dengan kebijakan yang strategis.

Wilayah aliran sungai yang berada di sekitar hulu sungai perlu diperhatikan dengan adanya serapan air. Namun, saat ini wilayah tersebut cenderung mengalami alih fungsi lahan menjadi tempat pariwisata atau lahan pertanian, sehingga menyebabkan berkurangnya resapan air.

Sementara, sepanjang bantaran sungai justru menjadi tempat bertumpuknya sampah. Hal tersebut terjadi karena kurangnya fasilitas pembuangan sampah rumah tangga dan industri.

Faktor lainnya adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kehidupan, terutama dari aspek ruhiyah, yaitu kesadaran manusia terhadap keterikatan dengan Sang Pencipta. Ini menjadikan manusia itu jauh dari aturan Sang Khalik atau sekuler. Kondisi ini diperparah dengan penerapan sistem aturan kehidupan, yaitu sistem liberalisme-kapitalisme.

Sistem kapitalisme melahirkan paham kebebasan atau liberalisme, sehingga memberikan kebebasan kepada para pengusaha (pemilik modal) untuk memiliki dan membuka lahan baru yang dialihfungsikan menjadi lahan industri, perumahan, dan pariwisata. Namun, mereka tidak memperhatikan bagaimana kondisi ketika musim penghujan tiba.

Inilah asas kapitalisme-sekularisme, yaitu menjadikan keuntungan yang sebesar besarnya sebagai asas dengan modal sedikit, sehingga tidak mempedulikan dampak buruk yang akan terjadi pada manusia dan lingkungan sekitar.

Ini menunjukkan bahwa bencana banjir yang terjadi bukan karena faktor alam semata. Namun, ada faktor lain, yaitu kelalaian manusia itu sendiri, serta adanya kebijakan pemimpin yang salah kaprah. 

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surat Ar Rum (30) ayat 41, yang artinya:

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat dari perbuatan tangan manusia. Allah Swt. menghendaki yang demikian agar manusia merasakan akibat dari perbuatan tangan mereka supaya mereka kembali ke jalan yang benar."

Begitu jelas dalam ayat tersebut bahwa setiap bencana yang terjadi disebabkan oleh berbagai kemaksiatan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia yang mencampakkan hukum Allah Swt. dalam kehidupan. Padahal, sudah jelas dalam Al-Qur'an bahwa syariat Islam mengatur semua aspek kehidupan di dunia.

Semua peraturan dalam Islam akan selalu memperhatikan setiap permasalahan yang terjadi pada umat secara mendetail dan akan memberikan solusi dengan tepat untuk permasalahan banjir, di antaranya:

Pertama, negara akan mengatur kebijakan pengelolaan tata ruang dengan memperhatikan kondisi alam.

Kedua, negara akan melarang pembukaan lahan secara besar-besaran yang akan mengakibatkan erosi serta banjir.

Ketiga, apabila ada yang melanggar, maka akan diberikan sanksi dan hukum tegas yang akan memberikan efek jera bagi pelakunya.

Keempat, negara akan membangun sarana drainase yang baik _membangun kanal_ dan danau buatan untuk serapan air serta menampung debit air hujan.

Kelima, negara akan membentuk suatu satgas/ lembaga yang khusus menangani masalah bencana yang terjadi.

Cara-cara tersebut terbukti efektif mengatasi permasalahan banjir. Sehingga, sudah saatnya kita tinggalkan sistem yang rusak untuk kembali pada sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta yang akan menyelesaikan semua permasalahan kehidupan umat. Wallahu'allam bisawwab.

Oleh: Yuli Ummu Shabira, Sahabat Tinta Media

Rabu, 05 Juni 2024

Solusi Dadakan ala Kapitalisme Sebabkan Banjir Berulang

Tinta Media - Keberadaan Sungai Citarum yang sejatinya memberi berkah bagi kehidupan makhluk hidup faktanya kini Citarum berubah image menjadi pembawa musibah. Bagaimana tidak, banjir kerap datang karena meluapnya sungai Citarum.

Citarum tak mampu lagi membawa berkah. Lantas, apakah benar bencana banjir yang datang adalah akibat tingginya curah hujan, ataukah ada biang kerok di balik bencana banjir ini?

Bencana banjir yang diakibatkan karena curah hujan sehingga meluapkan air Sungai Citarum kerap dirasakan oleh warga KP. Bojong Citepus RW.09, Desa Cangkuang Wetan, Kab. Bandung.

Bapak Kades Asep Kusmiadi S.Pd.I.,M.Pdi. mengatakan bahwa upaya darurat untuk mencegah air Sungai Citarum yang meluap akibat intensitas hujan tinggi adalah dengan membuat tanggul dadakan. Kegiatan yang dilakukan secara gotong royong ini diharapkan mampu mencegah dan meminimalisir dampak bencana. Pembuatan tanggul dadakan ini juga merupakan bentuk tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan warga.

Sungai Citarum yang dulu indah dan terjaga kebersihannya telah menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Namun, kini Sungai Citarum tak ubahnya seperti tempat pembuangan sampah raksasa, baik sampah yang berasal dari limbah rumah tangga, industri, ataupun rumah sakit.

Faktanya, Sungai Citarum terlihat kotor. Bukan hanya tercemar limbah cairan saja, tetapi juga tumpukan sampah ikut menghiasi wajah Sungai Citarum saat ini. Akhirnya, tumpukan sampah yang menghalangi aliran air sungai ikut andil menjadi penyebab terjadinya luapan air sungai dan banjir pun terjadi.

Selain itu, penyebab meluapnya air Sungai Citarum dikarenakan minimnya lahan serapan air hujan. Bisa akibat dari pembangunan yang serampangan, penggundulan hutan, dan minimnya drainase. Akhirnya, derasnya hujan yang sejatinya membawa berkah untuk penghuni bumi selalu dijadikan kambing hitam atas terjadinya bencana banjir.

Negara harusnya cepat tanggap ketika bencana banjir berulang menimpa warga. Bukankah keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah tangung jawab negara? Upaya keras harus dilakukan untuk mencari solusi, yaitu mengantisipasi dan mencegah bencana banjir.

Namun, sayangnya, 'jauh panggang daripada api', pemerintah tidak serius menangani persoalan banjir di DAS Citarum. Pembuatan tanggul dadakan pun dipilih menjadi solusi untuk mencegah luapan Sungai Citarum. Mungkin benar, untuk sementara, di daerah tersebut banjir bisa diatasi. Namun, banjir akan beralih ke daerah lain. Lantas, mampukah tanggul dadakan menjadi solusi banjir?

Salah satunya adalah tanggul dadakan yang dibuat di kp. Bojong Citepus Desa Cangkuang Wetan Kab. Bandung. Padahal, tanggul ini sudah beberapa kali mengalami kerusakan, tetapi kenapa bukan tanggul permanen yang dibangun.

Kecemasan akibat tanggul jebol kerap menggelayut di benak warga. Pasalnya, ketika sungai Citarum meluap, airnya keluar dari celah-celah tanggul yang bisa saja sewaktu-waktu jebol dan bencana banjir bandang pun bisa terjadi.

Inilah kerusakan yang diakibatkan oleh penerapan aturan yang salah. Ketidakbecusan sistem sekuler kapitalisme terpampang dari tidak terpecahkannya setiap problematika kehidupan. Salah satunya memecahkan persoalan banjir yang kerap terjadi.

Penguasa malah sibuk dengan megaproyek pembangunan yang sering kali membawa dampak buruk bagi keseimbangan alam. Pembangunan yang jor-joran tidak diiringi dengan tanggung jawab dari penguasa sebagai pemelihara alam. Penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme menjadikan kekuasaannya sebagai ladang bisnis. Siapa pun yang punya modal besar boleh mengelola SDA negeri ini.

Selain itu, setiap proyek pembangunan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menumbuhkan semangat kebebasan (liberalisasi) atas penguasaan lahan di tangan oligarki. Lagi dan lagi, rakyat kecil yang jadi korban kerakusan mereka.

Sistem ini memandang bahwa pembangunan ekonomi lebih menguntungkan daripada pembangunan tanggul permanen Sungai Citarum. Semua diukur dari untung dan rugi. Alhasil, tanggul dadakan pun dibuat sebagai solusi bencana banjir. Itu pun biasanya dilakukan ketika ada desakan dari masyarakat dan terlanjur viral, barulah dilakukan, walaupun pengerjaannya sat-set dan asal-asalan.

Lain halnya dalam Islam, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama negara. Seorang pemimpin negara/ khalifah adalah raa'in (pelindung/pemelihara). Maka dari itu, seluruh daya dan upaya akan dimaksimalkan untuk melindungi rakyat dari bencana.

Rasulullah bersabda,

"Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya" (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam, pencegahan bencana banjir akan dilakukan secara maksimal, bukan serba dadakan seperti 'tahu bulat yang digoreng dadakan'. Selain memberikan edukasi teknis, negara juga memberikan edukasi ideologis, yakni memahamkan rakyat bahwa bencana yang terjadi adalah ketetapan Allah. Sekuat apa pun ikhtiar yang dilakukan manusia, Allah-lah yang berkehendak.

Kemudian, semua kebijakan pun akan kembali pada syariat sebagai pedoman kehidupan. Sekalipun dalam membangun tanggul yang permanen dan menyeluruh butuh biaya yang besar, khilafah akan membiayai semua pembangunan itu sebagai ikhtiar dalam mencegah dan mengantisipasi bencana banjir. Tentu tidak perlu mengemis kepada para investor yang ujung-ujungnya pasti minta jatah lahan sebagai bayarannya seperti dalam sistem kapitalisme.

Pembiayaan akan didanai oleh kas baitul mal yang bersumber dari harta fai, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Jikalau dana di kas Baitul mal habis, maka setiap muslim akan dimintai kerelaannya untuk ikut membiayai. Namun, ini sifatnya sementara.

Ketegasan hukum pun akan ditegakkan untuk para pelaku yang tidak taat syariat yang akan ditentukan oleh hakim sesuai kadar kesalahannya.

Oleh karena itu, khilafah tidak memandang semua pembangunan dari aspek untung rugi, tetapi memandang bahwa pembangunan infrastruktur seperti tanggul permanen ini mampu memberi kemaslahatan bagi rakyat. Islam adalah rahmatan lil'alamin, maka jelas hanya kebijakan Islam yang mampu menjadi solusi hakiki.

Wallahualam.

Oleh: Neng Mae, Sahabat Tinta Media

Kamis, 30 Mei 2024

Banjir Terjadi Lagi, Hanya Islam sebagai Solusi

Banjir yang sering terjadi di daerah padat industri seperti di Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung tak ayal membuat masyarakat tidak nyaman dan terganggu aktivitasnya. Untuk mengendalikan banjir yang senantiasa terjadi di musim penghujan di Bandung, Jawa Barat. Presiden Joko Widodo menggelontorkan dana sebanyak Rp 141 miliar untuk pembuatan kolam retensi. (ayobandung.com16/Mei/2024).

Pembangunan Kolam Retensi Andir yang berlokasi di Jalan Katapang Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, telah usai dan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Maret tahun 2023. Namun keberadaan kolam retensi tidak memberikan solusi yang efektif karena pada kenyataannya banjir masih saja terjadi.

Tingginya curah hujan tidak akan menjadi masalah serius jika hutan-hutan tidak digunduli, tanah resapan difunngsikan dengan semestinya, daerah aliran sungai dijaga kelestariannya dan diupayakan agar tidak mengalami abrasi, serta sistem drainase dibuat terintegrasi. Bukan seperti saat ini, keadaan permukaan tanah kian turun dari waktu ke waktu akibat konsumsi air tanah yang digunakan sebagai penunjang fasilitas industri dan komplek hunian mewah yang keberadaanya tak jarang menyerobot lahan walau tak sesuai peruntukan.

Kondisi miris terjadi juga pada sungai kita, semakin lama volume sungai semakin sempit akibat limpahan sampah dan limbah yang disumbang oleh bangunan di sekitar badan sungai. Jangan tanya soal risiko yang timbul akibat semua itu. Baik secara ekonomi maupun sosial, dampaknya tentu sangat besar. Sementara di sisi masyarakat yang terdampak, sampai saat ini mereka hanya bisa bersabar dan legowo ketika banjir menerpa dengan anggapan banjir memang alamiah terjadi. Penyebabnya hanya faktor alam semata. Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Banyak hal harus dievaluasi dan dibenahi terutama dari sisi perilaku manusia, misalnya saja terkait budaya kehidupan masyarakat dan kebijakan yang bersifat struktural dari sisi negara dalam mengatur pembangunan, tata kota serta infrastruktur. Selain itu, untuk mencegah dan meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan banjir. Negara juga tidak boleh abai dan gagap soal mitigasi bencana. Karena ini menyangkut keamanan dan keselamatan masyarakat.

Dalam Islam, pengurusan kepentingan rakyat dan keamanannya merupakan tugas utama yang harus dilaksanakan oleh negara. Maka dari itu, negara dalam Islam akan melakukan segala upaya untuk melindungi masyarakatnya dari segala keburukan dan bahaya. Termasuk bahaya dari bencana alam seperti banjir. Negara akan melakukan penanganan banjir dengan melihat faktor- faktor penyebabnya dan menerapkan solusi efektif untuk mencegah datangnya bencana banjir.

Pertama, jika kasus banjir disebabkan keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, negara akan menempuh upaya-upaya seperti membangun bendungan- bendungan dengan berbagai tipe yang memiliki fungsi berbeda. Semisal bendungan yang dapat menampung debit air hujan, aliran air sungai, maupun bendungan yang diperuntukkan untuk sistem pengairan. 

Kedua, dalam hal perundang-undangan dan kebijakan yang diterapkan di sisi negara. Maka negara akan membuat kebijakan terkait pembukaan pemukiman baru yang harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni, menyertakan variabel-variabel drainase, menyediakan daerah serapan air, dan memanfaatkan tanah sesuai dengan karakteristik tanah dan topografinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya preventif untuk mencegah bencana banjir.

Ketiga, dalam menangani korban bencana alam. Negara akan bertindak cepat sembari melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara juga akan memastikan keberadaan para korban bencana banjir tertangani secara optimal dengan menyediakan sarana tinggal yang layak dengan sanitasi yang baik, tercukupi kebutuhan sandang, pangan dan fasilitas pengobatan yang mumpuni agar mereka dapat tetap sehat secara jasmani. Tak usai sampai di situ, negara juga akan mengupayakan kondisi psikologis korban bencana tetap dalam keadaan tawakal kepada Allah dengan juga menghadirkan para ulama yang siap membimbing mereka.

Demikianlah kebijakan negara yang menerapkan Islam dalam mengatasi banjir. Negara dalam sistem Islam akan berupaya semaksimal mungkin dalam mengatasi bencana, karena pengurusan dan perlindungannya terhadap rakyat akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah di akhirat kelak. Wallahualam bissawab.

Oleh : Eva Lingga Jalal, Sahabat Tinta Media 

Selasa, 21 Mei 2024

Bencana Banjir Berulang, Butuh Solusi Komprehensif


Tinta Media - Curah hujan yang tinggi memang kerap menjadi faktor penyebab bencana banjir di berbagai wilayah di Tanah Air. Namun, berulangnya musibah banjir tidak akan terjadi dan dampak dari bencana pun dapat diminimalkan apabila mitigasi bencana berjalan baik dan optimal. Sayangnya, lemahnya sistem mitigasi bencana di negeri kita berdampak pada terus berulangnya bencana yang merugikan masyarakat dan tak jarang menelan korban jiwa.

Bencana banjir tak terelakkan lagi di Desa Sambandate, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara dikarenakan luapan air setinggi dua meter meluap dari Sungai Lalindu. Peristiwa itu pun mengakibatkan jalan Trans Sulawesi tidak bisa dilalui dan lumpuh total. (cnnindonesia.com 11/05/2024)

Sumatra Barat pun tak luput dari banjir, di Kabupaten Agam dilaporkan setidaknya 15 orang warga meninggal dunia dan 7 orang mengalami luka- luka akibat bencana banjir bandang. Data Tim Reaksi Cepat BPBD memaparkan sekitar 90 unit bangunan yang terdiri dari rumah warga, fasilitas umum, dan tempat usaha terendam banjir. (cnnindonesia.com 12/05/2024)

Sementara itu, musibah banjir dan longsor yang terjadi di Sumatra Barat turut mengungkap fakta kelam praktik deforestasi yang makin meluas di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pantauan dan analisis citra satelit LSM Walhi Sumbar yang terbaru periode Agustus hingga Oktober 2023 mengungkap adanya indikasi penebangan liar dan pembukaan lahan seluas 50 hektare di Nagari Padang Air dingin, Kabupaten Solok Selatan. Tak hanya itu, penebangan liar dan pembukaan lahan seluas 16 hektare juga terjadi di Nagari Sindang Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan. (bbc.com 13/05/2024)

Bencana banjir yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia bisa terjadi karena faktor alam ataupun dikarenakan faktor kerusakan akibat aktivitas yang dilakukan manusia. Berulangnya bencana banjir dengan memakan korban jiwa menunjukkan kepada kita bahwa upaya mitigasi belum dilakukan secara komprehensif. Tak dapat kita pungkiri, terjadinya bencana termasuk banjir dan longsor yang terjadi di negeri ini juga erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan yang diusung oleh negara. Negara yang bernaung dalam sistem kapitalis seperti saat ini menjadikan kebijakan yang diterapkan bersifat eksploitatif dan merusak.

Hal berbeda tentu akan kita temukan dalam negara yang berada dalam naungan ideologi Islam (khilafah). Kebijakan pembangunan dalam Islam tidak akan bersifat eksploitatif ataupun destruktif karena negara dalam Islam akan memperhatikan setiap kebijakannya dijalankan sesuai tuntunan syariat. Adapun mitigasi bencana secara komprehensif akan dilakukan oleh negara khilafah sebagai implementasi ri’ayah dan penjagaan negara kepada rakyatnya dalam rangka melestarikan alam dan lingkungan sekitar tempat masyarakat tinggal dan menjauhkan masyarakat dari bahaya dan kemudharatan. Negara khilafah akan benar- benar melaksanakan kedua fungsi tadi secara maksimal karena dorongan ketakwaan kepada Allah SWT. Wallahu ‘alam bishawab 

Oleh : Selly Amelia, Sahabat Tinta Media 

Rabu, 21 Februari 2024

Benarkah Hujan Lebat Penyebab Banjir?


Tinta Media - Siapa yang rajin membuka informasi tentang prakiraan cuaca di musim hujan ini? Berita tentang hujan, petir, curah hujan yang tinggi kini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di perkotaan, yang tinggal di pedesaan pun khawatir dengan datangnya hujan deras karena menyebabkan banjir di wilayah mereka.

Terbukti di puncak musim hujan ini, hampir semua wilayah di nusantara mengalami banjir. Lampung, Demak, Sidoarjo,  dan wilayah lainnya mengalami banjir yang melumpuhkan aktivitas warga, menimbulkan kerugian materi dan mengancam jiwa. Pemerintah setempat dengan serempak menyatakan bahwa penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi, meskipun akhirnya mereka menambahkan penyebab yang lain seperti pendangkalan sungai dan  pengalihan lahan.

Bencana banjir kerap berulang terjadi, tetapi antisipasi selalu diabaikan. Pendangkalan sungai seharusnya ditangani sebelum bencana. Edukasi kepada masyarakat dilakukan secara rutin agar mereka memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan dan fungsi sungai.

Selain disebabkan faktor alam, pendangkalan sungai ekstrem yang menyebabkan banjir juga karena faktor aktivitas manusia. Sampah-sampah yang dibuang sengaja atau tidak sengaja menjadikan arus sungai terhambat total. Ketika volume air bertambah karena hujan deras, sungai tidak mampu menampung. Akhirnya air meluber membanjiri pemukiman, jalan, dan fasilitas umum lainnya. 

Selain karena sampah, pendangkalan sungai semakin parah terjadi karena tanah dan lumpur dari hutan yang telah digunduli ikut terkikis mengikuti arus air hujan, dan mengendap di dasar sungai.

Penanganan pasca banjir juga terkesan lambat, bahkan sering kali tanpa penanganan dari pihak berwenang, seolah-olah bencana banjir adalah hal yang biasa. Akhirnya, tidak ada rasa empati kepada korban banjir yang kehilangan harta, bahkan bertaruh dengan keselamatan jiwanya.

Sampai kapan ini terjadi? Sampai negeri ini memahami bahwa keberkahan hidup hanya bisa dinikmati ketika taat kepada Allah dan Rasulullah. Turunnya hujan pertanda turunnya rahmat dari Allah, bukan bencana. Hutan gundul dan sampah melimpah adalah hasil dari sistem kapitalis, sistem hidup yang memfasilitasi keserakahan. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa ada upaya reservasi.

Dalam Islam, penguasa dan aparat tulus melayani rakyat. Bukan semata agar menjadi petahana, tetapi mereka sangat khawatir akan tanggung jawab di akhirat kelak. Mengurusi rakyat dengan penuh kasih sayang adalah kewajiban yang mereka jalani.

Jangankan banjir yang meluluhlantakkan kehidupan ribuan warga, terperosoknya kuda di jalanan berlubang pun menjadikan para pemimpin dalam Islam waspada. Mereka akan senantiasa menjaga keamanan dan kenyamanan rakyatnya.


Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Pengajar Ponpes Nibrosul Ulum Siwalan Panji

Jumat, 02 Februari 2024

Bencana Banjir Akibat dari Sistem Pembangunan ala Kapitalis

Tinta Media - Seperti yang kita lihat di awal tahun 2024  tepatnya pada bulan Januari, di setiap musim penghujan datang  sudah pasti yang namanya bencana banjir, dan longsor datang berulang terjadi di setiap wilayah  di Indonesia .

Dampak dari akibat bencana banjir ini tentu banyak rumah-rumah warga yang terendam banjir. Akses jalan yang tidak bisa dilewati, fasilitas umum seperti mesjid, sekolah, akhirnya sekolah pun di liburkan  karena ruang kelas terendam banjir dan banyak lagi dampak lainnya seperti perusahaan yang terpaksa tutup. 

Bencana banjir bukan hanya membawa air yang keruh dan kotor, sampah dan lumpur tapi juga juga menimbulkan berbagai penyakit seperti  diare, gatal-gatal dan lain-lain. 

Banjir yang melanda tanah air bukan karena musim penghujan semata. Melainkan akibat pembangunan  wilayah yang tidak di rencanakan secara komprehensif. Di bagian wilayah yang  semestinya menjadi serapan air hujan, ternyata sudah penuh menjadi pemukiman. Pembangunan properti mengubah bentang alam ulu sehingga terjadi  degresi atau deforestasi kawasan hutan. Pembangunan wisata yang pesat juga  menyebabkan alih fungsi kawasan yang memiliki  konservasi.

Berbagai pembangunan  tersebut dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan demi mencari cuan maka pembangunan di lakukan  secara serampangan. Inilah model pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai terhadap dampak lingkungan dan tata kelola keseluruhan.  Akibatnya rakyat yang menjadi korban dan sengsara. 

Inilah yang namanya fasad pembangunan kapitalistik yang mengabaikan aturan Islam dan hanya  menuruti hawa nafsu  untuk memperoleh keuntungan materi  sebanyak-banyaknya. Fasad ini telah Allah peringatkan di dalam Al-Qur'an :
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia. Allah SWT menghendaki agar mereka merasakan  bagian dari akibat  perbuatan  mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar ." (TQS Ar Rum ayat 41) 

Cara pandang pembangunan dalam Islam, sungguh jauh berbeda dengan kapitalisme.
Pembangunan dalam Islam bukan bertujuan untuk keuntungan materi semata. Kebijakan pembangunan sesuai dengan syariat Islam dan  terwujud untuk kemaslahatan rakyat. Dan akan memperhatikan  penjagaan terhadap lingkungan hingga alam tetap terjaga. Meski rencana sebuah pembangunan seolah menguntungkan seperti  pembangunan industri, pemukiman atau wisata, jika ternyata merusak alam dan merugikan  rakyat akan dilarang. 

Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan umat dan memudahkan ke kepentingan mereka. Karena penguasa yang mengurus dan menjalankan seluruh kebijakan pembangunan  berdasarkan aturan Allah  dan Rasul-Nya bukan berdasarkan kemampuan para investor. Negara akan turun tangan ke semua wilayah. Hingga pembangunan tidak semrawut dan tumpang tindih seperti kondisi saat ini. Negara yang akan menentukan fasilitas-fasilitas pemukiman, kawasan wisata dan industri. 

Pembangunan dalam Islam tidak hanya di tata dengan baik dan benar, tetapi berdasarkan syariat dan berorientasi  pada kemaslahatan rakyat ini telah diterapkan selama berabad abad oleh negara Islam, demi menjaga dan    melestarikan lingkungan. Dengan demikian  terwujudlah keamanan  bagi seluruh rakyat. 

Wallahu a'lam bish shawwab.

Sumber: MNews, Penulis Nida Al Khair

Oleh: Ummu Nizam 
Sahabat Tinta Media 

Dana Rp142 Miliar untuk Banjir atau Wisata?

Tinta Media - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun sebuah kolam retensi di Kabupaten Bandung.
Dana yang dikeluarkan dalam proses pembangunan kolam retensi ini  mencapai Rp142 miliar. 

Tujuan pemerintah membangun kolam retensi ini adalah untuk penampungan pengendali banjir di wilayah Bandung Selatan, seperti wilayah Dayeuhkolot dan Baleendah yang sering terkena musibah banjir. Kolam retensi ini telah diresmikan pada bulan Maret 2023 lalu dan dinamakan Kolam Retensi Andir.

Sebagai pengendali banjir, kolam retensi di Kabupaten Bandung ini justru menjadi tempat rekreasi. (Ayobandung.com, 19/01/2024) 

Luar biasa. Dana yang dikeluarkan pemerintah tidak main-main, mencapai angka miliaran yang katanya untuk mengendalikan banjir di wilayah Bandung Selatan, mencakupi area Dayeuhkolot, Baleendah. Nyatanya, kolam retensi ini kini dinikmati menjadi tempat wisata. 

Pemerintah tidak mau rugi. Dengan asas manfaat, dana  142M yang dikeluarkan itu jangan sampai rugi bandar, harus menghasilkan cuan di zaman yang serba kapitalis ini. Sehingga, pengelolaan Kolam Retensi Andir itu dibuat semenarik mungkin, membuat daya tarik warga sekitar. Kolam retensi Andir itu kini menjadi tempat wisata karena bisa digunakan untuk memancing, spot foto, tempat olah raga, dll. 

Sistem Kapitalisme sebagai Penyebab 

Apakah Kolam Retensi Andir ini berhasil mengendalikan banjir?

Nyatanya, banjir selalu terulang. Tepat bulan lalu, warga Dayeuhkolot mengalami bencana banjir sampai kedalaman 1 meter. Ini mengakibatkan aktivitas warga sekitar terganggu. 

Bencana banjir yang terus terulang ini seharusnya menjadi bahan muhasabah.
Muhasabah ini tidak bisa dilakukan oleh diri sendiri, tetapi harus bersama, antara masyarakat dan negara. 

Sesungguhnya, air hujan dari Allah adalah berkah dan anugerah, bukan bencana. Namun, ada salah dalam tata kelola lingkungan dan alam yang dilakukan manusia. 

Kebijakan-kebijakan para penguasa dalam menanggulangi permasalahan banjir ini harusnya berdasarkan syariat Islam. Hanya kebijakan atau aturan Islam yang diterapkan secara Kaffah yang mampu menangani permasalahan banjir.
Wallahualam bissawab.

Oleh: Ika Mustika Sari, Muslimah
Bojongsoang, Ciganitri 

Rabu, 31 Januari 2024

Hujan Awal Tahun 2024 Mendatangkan Bencana Banjir



Tinta Media - Musim penghujan telah tiba. Menurut analisis BMKG, curah hujan yang tinggi sejak awal Desember di beberapa kawasan Kabupaten Bandung berakibat genangan dan banjir. 

Badan  Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mendefinisikan bahwa banjir adalah peristiwa berlimpahnya air hingga meluap ke daratan yang biasanya kering akibat curah hujan yang tinggi atau masalah lain yang mengakibatkan air tidak dapat diserap cepat oleh tanah atau dialirkan oleh saluran air yang ada. Banjir bisa terjadi secara tiba-tiba atau bertahap.

Ada beberapa jenis banjir, yaitu:

Pertama, banjir luapan sungai, terjadi ketika debit sungai meluap melewati batas normalnya. 

Kedua, banjir luapan laut (rob), disebabkan naiknya permukaan laut, sering kali akibat badai, gelombang pasang, atau kerusakan ekosistem pesisir. 

Ketiga, banjir genangan, terjadi ketika air mengenai dataran rendah akibat hujan lebat. 

Keempat, banjir bandang, banjir yang sangat kuat dan mendadak, sering kali disertai longsor yang merusak segalanya di jalur alirnya.

Banjir menempati posisi tertinggi bencana di Indonesia, yakni 758 kejadian. Puncak musim hujan tahun 2023/2024 akan terjadi  pada bulan Januari-Februari di sebagian wilayah Indonesia, yaitu sebanyak 385 ZOM (55,08%). 

Perkiraan BMKG ini terbukti. Hujan deras di awal Desember mengantar banjir di beberapa wilayah. Secara topografi, kawasan yang sering terendam banjir di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot yang merupakan dataran rendah. 

Banjir ini berulang di setiap tahunnya. Pada banjir yang terjadi pada hari Jumat tgl 12/1/2024 lalu, sedikitnya dua ribu rumah terendam air setinggi satu meter, bahkan ada yang sampai atap rumah. Banjir besar yang melanda ketiga kecamatan tersebut merupakan banjir terburuk sepanjang 10 tahun ini.

Kepala pelaksana harian BPBD Kabupaten Bandung, Uka Suska Puji Utama menyebutkan bahwa dari ribuan korban banjir, tidak semua mengungsi. Sebagian masih bertahan di tingkat dua rumahnya karena dianggap masih aman. Akan tetapi, Uka berharap masyarakat harus tetap waspada mengingat hujan kerap turun saat sore hingga malam hari dan bencana lainnya, seperti longsor serta angin puting beliung. Dengan kejadian ini, Uka dan pihak BPBD Kabupaten Bandung belum menentukan tanggap darurat karena perlu analisis dan rapat mengenai hal tersebut.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi berulangnya banjir, di antaranya kebiasaan membuang sampah ke sungai oleh masyarakat sekitar bantaran sungai Citarum, Cisangkuy, dan Cikapundung sehingga menyebabkan gangguan pada jalan air.  

Sekertaris Camat Dayeuhkolot, Wawan Setiawan mengatakan bahwa sumber banjir di Bandung Selatan selain luapan Sungai Citarum, juga luapan air yang berasal dari anak-anak sungai Citarum, terutama sungai Cisangkuy (Pangalengan) dan Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Posisi semacam ini merupakan salah satu faktor penyebab banjir di muara sungai yang berada di wilayah Baleendah, Dayeuhkolot dan Bojongsoang. 

Jadi, andaikan ketiga daerah itu tidak hujan, tetapi daerah Majalaya, Pangalengan, dan Kota Bandung hujan, maka di tiga kecamatan akan terjadi banjir sebagai limpahan air dari dataran tinggi yang mengalir deras dan tak dapat ditampung di dataran rendah.

Semua ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum serta tetap pelaksanaan pembangunan di kawasan budidaya dan pengelolaan  konservasi dengan tujuan komersial di daerah Bandung Utara.

Pemerintah mengutamakan investasi bidang pariwisata. Hal ini tampak dengan disahkannya UU Ciptaker Omnibus Law yang tertuang dalam UU 26/2007. UU ini terdiri dari UU Penataan ruang, UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dan UU sektor lainnya.

Fakta dari deforestasi di Indonesia sangat masif dengan adanya kebebasan yang tertuang dalam perundang-undangan
alih fungsi hutan. Hampir 13 juta hektare dalam 5 tahun mengakibatkan bencana dan kesulitan hidup rakyat.

Sekian banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak akan terselesaikan dengan pengaturan sistem sekuler kapitalis karena sistem ini meniscayakan adanya kesenjangan dalam pembangunan, serta keuntungan menjadi tujuan yang sangat dominan. 

Sistem sekuler kapitalis berasaskan manfaat. Di sistem ini, negara hanya sebagai regulator dan pengusaha (oligarki) sebagai pemeran utama yang memegang kekuasaan karena memiliki modal besar untuk membiayai segala perangkat kebutuhan.  Contoh yang konkret adalah banyaknya alih fungsi hutan menjadi pemukiman mewah dan destinasi wisata untuk  kepentingan segelintir orang, tetapi menjadi  mudarat untuk masyarakat lainnya, seperti terjadinya banjir dan longsor saat musim penghujan dan langkanya air bersih saat kemarau.

Berbeda dengan sistem Islam.  Hutan adalah milik umum yang berarti negara wajib mengelola agar terjaga kelestariannya dan tetap membawa manfaat sebesar-besarnya untuk umat.

Pemanfaatan hasil hutan tidak melebihi batas dan disertai dengan penanaman kembali pepohonan. Hal ini karena penguasa dalam Islam mengelola hutan sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Penguasa menyadari akan adanya pertanggungjawaban atas semua amanah ini.
Wallahu a'lam bish shawwab.


Oleh:  Nunung Juariah
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab