Ketahanan Pangan dan Harga Diri Bangsa
Tinta Media - Ketahanan pangan erat kaitannya dengan harga diri suatu bangsa. Negara yang memiliki ketahanan pangan kuat tidak akan bergantung pada negara lain. Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan salah satu indikator kekuatan suatu bangsa.
Sejalan dengan hal tersebut, FAO menyebutkan bahwa ketahanan pangan memiliki 4 komponen, yakni kecukupan ketersediaan bahan pangan, stabilitas ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas terhadap bahan pangan, dan kualitas bahan pangan yang digunakan (babelprov.go.id).
Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah memiliki berbagai macam potensi, seperti hutan, laut, tambang, dan lain-lain. Selain itu, kondisi tanah yang subur menjadi berkah tersendiri, khususnya dalam bidang pertanian dan perkebunan.
Berikut adalah hasil pertanian dan perkebunan di Indonesia, mulai dari beras, jagung, sagu, kentang, ubi jalar, kina, kopi, cengkeh, kakao, kacang-kacangan, bawang merah, kayu manis, kelapa sawit, karet, dan lain-lain. Dengan demikian, seharusnya Indonesia tidak perlu risau dengan masalah ketahanan pangan.
Ironisnya, dalam beberapa dekade terakhir pemerintah justru menerapkan kebijakan impor bahan pangan dengan dalih untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan impor bahan pangan berdampak sangat serius bagi masa depan negara, seperti ketergantungan terhadap negara lain, pelemahan produksi lokal, ketidakstabilan harga pangan, dan dampak yang sangat serius bagi kehidupan petani lokal.
Hal ini mengakibatkan persaingan yang tidak seimbang, penurunan pendapatan petani, dan keberlanjutan usaha pertanian menjadi terancam. Dengan demikian, kebijakan impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah justru memiliki dampak yang kompleks terhadap ketahanan pangan nasional dan keberlanjutan sektor pertanian lokal (djpb.kemenkeu.go.id, 14/08/2024).
Kondisi tersebut tidak lain karena sistem negara yang diterapkan berbasis pada kapitalisme. Tidak heran jika sumber daya alam yang dimiliki negeri ini hanya dijadikan sebagai alat tukar kekuasaan.
Sebagai negara agraris, sudah sepatutnya Indonesia memiliki kedaulatan pangan sendiri sehingga tidak lagi khawatir terhadap masalah ketahanan pangan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, harus ada tindakan nyata yang dilakukan. Islam sebagai agama sekaligus ideologi memiliki solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada ketentuan khusus yang mengatur kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan kepemilikan, serta distribusi kekayaan. Pada aspek kepemilikan, Islam membaginya kedalam tiga kategori, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Adapun sesuatu yang boleh dimiliki oleh individu adalah barang-barang yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Sedangkan barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, padang rumput, dan api merupakan kepemilikan umum. Demikian halnya dengan kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak negara.
Mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hak milik, Islam membolehkan pengembangan harta melalui jual beli, sewa-menyewa, usaha pertanian, syirkah, atau mendirikan suatu industri. Namun, pengembangan harta dengan cara judi, riba, dan penipuan dalam bentuk apa pun adalah cara-cara yang diharamkan dalam Islam.
Selain itu, Islam memiliki metode tersendiri dalam mendistribusikan kekayaan, yakni melalui pewajiban zakat dan pembagiannya kepada orang-orang yang berhak. Selain itu, negara memberi hak kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkan harta milik umum (padang rumput, air, dan api). Negara juga akan memberikan harta kepada seseorang melalui baitul mal.
Selain itu, seseorang bisa mendapatkan harta melalui jalan waris. Islam akan mengawal proses pendistribusian kekayaan dengan cara mengharamkan penimbunan barang, penimbunan uang dan emas, serta mencela sifat kikir dan bakhil.
Dengan demikian, apabila hukum Islam diterapkan, maka Indonesia dengan segenap sumber daya alam yang dimiliki akan mampu menjaga ketahanan pangan nasional. Kedaulatan pangan yang dimiliki akan menjadikan Indonesia sebagai negara super power.
Oleh: Ade Farkah
Sahabat Tinta Media