Tinta Media: Bangkrut
Tampilkan postingan dengan label Bangkrut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bangkrut. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Juli 2022

Berkaca pada Sri Lanka, Masihkah Berharap Bantuan Luar Negeri?

Tinta Media - Perekonomian Sri Lanka dilanda krisis yang sangat serius dengan menanggung utang sebesar USD 51 miliar atau setara Rp757,1 triliun. Sri Lanka tidak mampu membayar bunga dari pinjamannya yang sebagian besar dikucurkan oleh Dana Moneter International (IMF). Mata uang Sri Lanka pun terperosok hingga 80 persen. Nilai tukar yang lemah menyebabkan biaya impor semakin mahal dan harga makanan melonjak mencapai 57 persen.

Bahkan, lebih parahnya, Sri Lanka kini tidak memiliki cukup uang untuk mengimpor bahan makanan, bahan bakar minyak, susu, gas LPG, hingga kertas toilet. 

Sejumlah kebijakan dalam negeri pun turut memperburuk kondisi ini. Salah satunya adalah penerapan pajak terbesar sepanjang sejarah. Hal ini menyebabkan banyak investor kesulitan membayar sekaligus meminjam dana dari bank. Belum lagi masalah korupsi yang semakin membuat rumit masalah ekonomi. Para pejabat negeri sibuk memperkaya diri sendiri, tetapi pada saat yang sama memperburuk perekonomian. 

Alhasil, di tengah keterpurukan ekonomi ini, rakyat menderita kelaparan, sementara penguasa hidup bermewah-mewah, hingga membuat kekacauan politik.

PBB memperkirakan sembilan dari setiap sepuluh keluarga di Sri Lanka akan kesulitan makan dalam sehari. Sedangkan sekitar 3 juta penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Untuk bisa keluar dari kondisi ini pemerintah Sri Lanka memberi hari libur ekstra selama tiga bulan hanya agar penduduknya bisa menanam makanannya sendiri.

Jika kita melihat dalam sejarah peradaban kapitalisme, ada beberapa negara yang pernah mengalami gagal utang, tiga diantaranya gagal bayar utang kepada Cina, yakni negara Zimbabwe, Nigeria, dan Pakistan.

Jika suatu negara mengalami gagal bayar utang, negara tersebut akan kehilangan kepercayaan dari investor. Akibatnya, pasar saham yang menjadi komponen penting dalam sistem ekonomi kapitalis akan mengalami kekacauan. Kemudian, semua lembaga keuangan akan mengalami kegagalan untuk melakukan antisipasi apa pun terhadap kondisi default yang bergerak seperti efek domino. 

Setelah itu, dampaknya akan terasa langsung ke masyarakat. Ini dimulai dari para pelaku bisnis atau pabrik-pabrik yang tidak lagi beroperasi. Akhirnya, kebutuhan barang di dalam negeri harus sepenuhnya impor dari luar negeri karena negara sangat mengandalkan impor untuk bertahan hidup. Ekspor pun terhenti dan masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka lagi. Maka, kondisi ini akan menghantarkan kepada terjadinya tindak kriminal ekstrem, seperti kerusuhan, penjarahan, dan tindak kekerasan.

Apa yang terjadi pada negara-negara yang gagal bayar utang adalah hanya sebagian contoh dari buruknya penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sebab, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik dari negara-negara kapitalis kepada negara-negara lain untuk memaksakan kebijakan politik ekonomi atau dengan kata lain melakukan penjajahan terhadap negara lain. 

Seperti halnya IMF, kata “membantu” yang dilontarkan sebenarnya adalah sebuah mantra yang mematikan. Sebab, ketika sebuah negara sudah terlibat dengan badan internasional kapitalis ini, mau tidak mau mereka harus mengikuti arahan dari IMF. Hal itu sama saja dengan bunuh diri.

Banyak negara di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia hancur akibat kebijakan pasar kapitalis IMF ini. Tak hanya itu, IMF akan mengubah negara-negara menjadi pecandu pinjaman. Program struktural IMF akan memiskinkan rakyat dan memotong pengeluaran pemerintah untuk biaya pendidikan dan kesehatan.

Arahan lainnya, negara peminjam harus meningkatkan ekspor SDA yang murah dan menjalankan mekanisme impor barang asing yang lebih banyak. Bahkan, manipulasi ekonomi IMF juga menghancurkan industri lokal. 

Semua arahan melalui program yang harus dijalankan negara peminjam hanya akan memperkaya negara kapitalis Barat. Sementara, negara-negara miskin ekonominya akan semakin hancur karena jerat utang yang terus berlanjut.

Seperi yang terjadi ketika presiden Soeharto memutuskan untuk mengikuti program International Monetary Fund (IMF) bulan Oktober 1997. Hal ini justru menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. Semua itu harus dibayar dengan biaya sosial ekonomi krisis, yakni berupa kerusuhan sosial Mei 1998, terjadi peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank yang lebih dari Rp600 triliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa hingga saat ini.

Semua itu masih berlanjut sampai hari ini. Salah satu buktinya adalah adanya UU Ciptakerja yang jelas-jelas merugikan rakyat, tetapi menguntungkan korporat yang diapresiasi oleh Thomas Helbing, Mission Chief IMF untuk Indonesia. 

Bukti lainnya yaitu dicabutnya subsidi satu persatu oleh penguasa dengan klaim agar tepat sasaran. Kemudian utang luar negeri pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar USD 406,3 miliar atau Rp6.094,5 triliun.

Inilah efek pinjaman yang diberikan IMF kepada negara kreditur. Efek utang jangka pendek akan menghantam mata uang peminjam untuk menciptakan kekacauan di dalamnya. Sementara efek jangka panjangnya mereka mampu mengendalikan negara kreditur untuk memprivatisasi proyek publik, menaikkan harga barang-barang, menaikkan tarif pada beberapa bahan dan layanan (bahan bakar, air, dan listrik), maupun mewajibkan pajak baru.

Jadi, tujuan sebenarnya dalam memberikan utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Maka, kita bisa melihat bahwa negara-negara yang dijajah secara ekonomi tidak akan pernah bisa keluar dari bahaya ini. Negara yang berutang hanya memiliki dua pilihan, yaitu memiliki utang dan tunduk pada negara pemberi pinjaman atau tunduk menyerahkan kedaulatan kepada lembaga-lembaga penjajah internasional.

Dengan demikian, seharusnya kita tidak lagi peracaya kepada racun berbalut narasi manis seperti bantuan IMF. Hendaknya kita mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada Sri Lanka dan negara semisalnya. Sesungguhnya, sistem kapitalisme globallah yang telah menjadikan negara-negara tersebut bangkrut. 

Jika menghendaki kebaikan bagi negeri ini, maka kita harus meninggalkan sistem kapitalis global ini. Tidak ada pilihan dan jalan keluar lain selain melihat dan mengkaji sistem Islam sebagai jalan keluar dan turut bersama untuk mengembalikannya. 

Selain itu, kita harus membangun negara dengan pondasi dan bangunan yang kokoh, yaitu Islam sehingga membuat keuangan negara begitu tangguh. Kita juga tidak boleh terlibat dalam jeratan utang berbahaya yang dapat membuat bangkrut dan menyengsarakan masyarakat.

Adapun yang paling utama dalam sistem ekonomi Islam untuk menghindari negara dari default adalah:

Pertama, memastikan tidak terlibat dengan sistem riba dalam bentuk apa pun. Dengan itu, tertutup 100 persen kemungkinan tumpukan bunga utang seperti yang terjadi saat ini.

Kedua, negara tidak terlibat dengan pasar uang dan turunannya karena sangat rentan rusak dan memberi efek domino kerusakan pada perekonomian nasional.

Ketiga, negara harus memiliki prinsip berdaulat dan mandiri dalam pengelolaan kepemilikan. Dengan pembagian kepemilikan yang jelas dan implementasi yang tegas, maka hal ini akan menutup setiap celah ketidakterserapannya sumber pemasukan negara. Contohnya, tidak mengizinkan pengelolaan sumber daya alam sebagai aset publik kepada pihak swasta sehingga semua hasil dapat masuk pada kas negara untuk keperluan masyarakat.

Keempat, memastikan fungsi negara adalah selalu berada dalam jalur melakukan pelayanan kepada masyarakat, membuat pengawasan para pejabat publik strategis agar tidak ada yang bermain kebijakan yang bukan untuk fungsi pelayanan publik.
Tujuannya adalah untuk menghindari deal-deal korupsi model pengusaha-penguasa yang banyak membuat kerugian negara.

Kelima, sejak awal, negara harus secara tegas berlepas dari lembaga-lembaga internasional yang membawa agenda penjajahan seperti IMF, Wolrd Bank, dan sejenisnya. Negara harus menolak semua rekomendasi dan tidak tunduk kepada lembaga-lembaga tersebut. Hal ini dicapai melalui kemandirian kekuatan diplomasi dan militer negara yang siap mengawal.

Keenam, negara harus memegang prinsip efesiensi anggaran dengan audit yang ketat. Negara harus menjaga semua kebutuhan primer agar terus terpenuhi dan tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan yang bersifat sekunder. Tentu saja semua ini hanya akan terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam Kaffah, yakni Khilafah Islamiyah.

Oleh: Gusti Nurhizaziah 
Aktivis Muslimah



Minggu, 17 Juli 2022

IJM: Ekonomi Kapitalisme Biang Kerok Sri Lanka Menjadi Negara Gagal



Tinta Media - Merespon bangkrutnya Sri Lanka, Pengamat  Politik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H. M.H. mengatakan, ekonomi kapitalisme biang kerok Sri Lanka menjadi negara gagal.

“Krisis ekonomi yang mendera Sri Lanka, seharusnya menjadi renungan semua negara berkembang, sangat boleh jadi kelak mengikuti jejak Sri Lanka. Terutama negeri-negeri muslim. Renungannya, adalah sistem ekonomi kapitalisme  yang menjadi biang kerok hingga Sri Lanka terperosok menjadi negara gagal,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (15/7/2022).

Menurutnya, penerapan  ekonomi kapitalisme, terbukti tidak lagi menjadi obat mujarab bagi perbaikan ekonomi umat manusia yang menghantarkan kesejahteraan lebih baik, rakyat suatu negeri justeru terhimpit kesulitan ekonomi berkepanjangan, sementara pusat-pusat ekonomi hanya dikuasai atau dinikmati gerombolan elitis dan para oligarki pemilik modal kuat.

“Sistem ekonomi kapitalisme, hanya menciptakan jurang menganga antara kelompok kaya dan miskin, sebab ekonomi kapitalisme bertumpu pada prinsip-prinsip ekonomi ‘Siapa Yang Kuat, Dialah Pemenangnya’,” tegasnya.

Sri Lanka merupakan contoh tak terbantahkan dari kejahatan ekonomi kapitalisme, kata Sjaiful. “Prinsip-prinsip ekonomi kapitalistik sebagai derivasi dari sekulerisme dan kebebasan ekonomi, sejatinya melahirkan keserakahan ekonomi serta saling eksploitasi sesama manusia,” ungkapnya.

Sjaiful menilai, adagium ekonomi pasar bebas yang digagas Adam Smith, sang pelopor ekonomi kapitalisme, menciptakan ruang bagi manusia untuk saling berebut mengais sumber-sumber ekonomi, saling “cakar-cakaran”.

Dua prinsip

Ia menjelaskan setidaknya ada dua prinsip  fondasi dasar berdirinya sistem ekonomi kapitalisme yang sangat jauh dari prinsip-prinsip kemanusiaan serta keadilan ekonomi.

Pertama, ekonomi kapitalisme, bertumpu kepada prinsip-prinsip kepemilikan ekonomi bebas. “Konsekuensinya, semua penguasaan sumber-sumber daya alam sebagai pusat kekuatan ekonomi, dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal kuat. Mulai dari produksi sampai distribusi, dari hulu hingga hilir, hanya diperebutkan para elit dan oligarki. Para pemenang ekonomi adalah para pemilik modal serta para elit yang ada di pusat-pusat kekuasaan,” urainya.

Maka bukan hal yang aneh lanjutnya,  dalam skema ekonomi kapitalisme, sumber-sumber daya alam strategis, seperti sumber daya alam energi, pertambangan, perkebunan, lahan pertanian, dan lain sebagainya, dikendalikan segerombolan para geng elit yang serakah.

“Konon proyek-proyek strategis ekonomi Sri Lanka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Cina dan Jepang. Rakyat Sri Lanka megap-megap dalam penderitaan ekonomi,” cetusnya.

Kedua, sumber-sumber pembiayaan ekonomi makro suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang adalah utang luar negeri berbasis riba yang menjerat. “Sehingga, negara yang gagal bayar berdampak kekurangan cadangan devisa karena terkuras, akibatnya negara terjerembab kebangkrutan ekonomi. Tak mampu membiayai kebutuhan dasar rakyatnya,”bebernya.

“Sri Lanka adalah contohnya. Terjebak kredit macet dari negara pengutang, Cina utamanya. Gagal bayar, sementara Pemerintah Cina menolak melakukan penjadwalan utang. Lengkap sudah, Pemerintah Sri lanka, minus cadangan devisa apalagi ditambah prilaku para pemimpin Sri Lanka, dibawah rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, yang korup dengan gaya hidup hedonis,” ungkapnya.

Kontras

Sjaiful menilai, ini sangat kontras dengan sistem ekonomi Islam. Sumber-sumber kepemilikan ekonomi diatur secara jelas oleh pembuat Syariat, Allah Azza Wajalla. Sistem ekonomi Islam mengatur sumber-sumber kepemilikan ekonomi, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.

“Prinsip sistem ekonomi Islam bertumpu kepada demi dan untuk kepentingan dakwah, jihad, serta kemaslahatan umat,” tegasnya.

Sistem ekonomi Islam lanjutnya,  melarang keras, distribusi ekonomi hanya beredar dikalangan elit dan oligarki atau kalangan borjuis (kelompok orang kaya).  “Berpijak pada prinsip ini, maka sumber-sumber daya alam, sumber daya energi, perkebunan, kehutanan, pertambangan, yang jumlahnya sangat melimpah tak terhingga, Islam menetapkannya sebagai milik umum, haram bagi geng elit borjuis menguasainya,” tandasnya.

Negara sebagai fasilitator menurutnya  wajib mendistribusikannya untuk kepentingan jihad dan dakwah, termasuk untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.

“Negara dalam sistem ekonomi Islam, cukup memiliki cadangan devisa guna membiayai kebutuhan hajat hidup rakyatnya yang berasal dari pungutan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, khumus, sehingga Negara Islam tidak perlu lagi mengais utang atau mengeruk pajak dari rakyatnya. Apalagi utang kepada negara yang memusuhi kaum muslimin termasuk hutang berbasis ribawi sangat terlarang keras,” urainya.
 
Sjaiful menegaskan bahwa yang paling penting sistem ekonomi Islam hendak menciptakan kehidupan ekonomi berbasis ketakwaan kepada Allah, interaksi pergaulan atas dasar tolong menolong (Prinsip Taawun), serta membebaskan manusia menghamba kepada manusia lainnya, menghadirkan manusia merdeka yang hanya menghamba kepada Allah SWT.

“Sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya melahirkan manusia-manusia serakah, saling mengeksploitasi, relasi kehidupan yang kering dimensi spiritualisme,” simpulnya menyudahi penuturan.[] Irianti Aminatun
 
 

Sabtu, 16 Juli 2022

Sri Lanka Bangkrut karena Kapitalisme



Tinta Media - Negara gagal alias negara bangkrut ternyata bukan isapan jempol. Sri Lanka buktinya. Sangat mengejutkan, negeri bergelar Sailan ini, terhempas krisis ekonomi sangat parah gegara gagal bayar hutang, sebesar 754,8 trilyun rupiah. Dampak terburuk yang dialami Sri Lanka saat ini, tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, kurangnya pasokan listrik dan setiap warga Sri Lanka mesti antri berjam-jam untuk mendapat Bahan Bakar Minyak yang dibatasi stoknya. Rakyat Sri Lanka tidak tahan lagi, ratusan ribu massa merangsek menduduki istana Presiden Gotabaya Rajapaksa, sedangkan kediaman Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dibakar massa.

Krisis ekonomi yang mendera Sri Lanka, seharusnya menjadi renungan semua negara berkembang, sangat boleh jadi kelak mengikuti jejak Sri Lanka. Terutama negeri-negeri muslim. Renungannya, adalah sistem ekonomi kapitalistik yang menjadi biang kerok hingga Sri Lanka terperosok menjadi negara gagal.

Penerapan ekonomi berhaluan kapitalistik atau ekonomi kapitalisme, terbukti tidak lagi menjadi obat mujarab bagi perbaikan ekonomi umat manusia yang menghantarkan kesejahteraan lebih baik, rakyat suatu negeri justeru terhimpit kesulitan ekonomi berkepanjangan, sementara pusat-pusat ekonomi hanya dikuasai atau dinikmati gerombolan elitis dan para oligarki pemilik modal kuat. Sistem ekonomi kapitalisme demikian, hanya menciptakan jurang menganga antara kelompok kaya dan miskin, sebab ekonomi kapitalisme bertumpu pada prinsip-prinsip ekonomi “Siapa Yang Kuat, Dialah Pemenangnya”.

Pada ilustrasi negara Sri Lanka yang terpuruk krisis ekonomi, merupakan contoh tak terbantahkan dari kejahatan ekonomi kapitalisme. Prinsip-prinsip ekonomi kapitalistik sebagai derivasi dari sekulerisme dan kebebasan ekonomi, sejatinya melahirkan keserakahan ekonomi serta saling eksploitasi sesama manusia. Adagium ekonomi pasar bebas yang digagas Adam Smith, sang pelopor ekonomi kapitalisme, menciptakan ruang bagi manusia untuk saling berebut mengais sumber-sumber ekonomi, saling “cakar-cakaran”. Prinsip-prinsip kemanusiaan serta keadilan ekonomi sangat jauh dari fondasi dasar berdirinya sistem ekonomi kapitalisme.

Pertama, ekonomi kapitalisme, bertumpu kepada prinsip-prinsip kepemilikan ekonomi bebas. Konsekuensinya, semua penguasaan sumber-sumber daya alam sebagai pusat kekuatan ekonomi, dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal kuat. Mulai dari produksi sampai distribusi, dari hulu hingga hilir, hanya diperebutkan para elit dan oligarki. Para pemenang ekonomi adalah para pemilik modal serta para elit yang ada di pusat-pusat kekuasaan. Maka bukan hal yang aneh dalam skema ekonomi kapitalisme, sumber-sumber daya alam strategis, seperti sumber daya alam energi, pertambangan, perkebunan, lahan pertanian, dan lain sebagainya, dikendalikan segerombolan para geng elit yang serakah. 

Konon proyek-proyek strategis ekonomi Sri Lanka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Cina dan Jepang. Rakyat Sri Lanka megap-megap dalam penderitaan ekonomi.

Kedua, sumber-sumber pembiayaan ekonomi makro suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang adalah utang luar negeri berbasis riba yang menjerat. Sehingga, negara yang gagal bayar berdampak kekurangan cadangan devisa karena terkuras, akibatnya negara terjerembab kebangkrutan ekonomi. Tak mampu membiayai kebutuhan dasar rakyatnya. Sri Lanka adalah contohnya. Terjebak kredit macet dari negara pengutang, Cina utamanya. Gagal bayar, sementara Pemerintah Cina menolak melakukan penjadwalan utang. Lengkap sudah, Pemerintah Sri lanka, minus cadangan devisa apalagi ditambah prilaku para pemimpin Sri Lanka, dibawah rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, yang korup dengan gaya hidup hedonis.

Sangat kontras dengan sistem ekonomi Islam. Sumber-sumber kepemilikan ekonomi diatur secara jelas oleh pembuat Syariat, Allah Azza Wajalla. Sistem ekonomi Islam mengatur sumber-sumber kepemilikan ekonomi, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Prinsip sistem ekonomi Islam bertumpu kepada demi dan untuk kepentingan dakwah, jihad, serta kemaslahatan umat. Sistem ekonomi Islam melarang keras, distribusi ekonomi hanya beredar dikalangan elit dan oligarki atau kalangan borjuis (kelompok orang kaya). Berpijak pada prinsip ini, maka sumber-sumber daya alam, sumber daya energi, perkebunan, kehutanan, pertambangan, yang jumlahnya sangat melimpah tak terhingga, Islam menetapkannya sebagai milik umum, haram bagi geng elit borjuis menguasainya. Negara sebagai fasilitator wajib mendistribusikannya untuk kepentingan jihad dan dakwah, termasuk untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. 

Negara dalam sistem ekonomi Islam, cukup memiliki cadangan devisa guna membiayai kebutuhan hajat hidup rakyatnya yang berasal dari pungutan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, khumus, sehingga Negara Islam tidak perlu lagi mengais utang atau mengeruk pajak dari rakyatnya. Apalagi utang kepada negara yang memusuhi kaum muslimin termasuk hutang berbasis ribawi sangat terlarang keras.

Yang paling penting sistem ekonomi Islam hendak menciptakan kehidupan ekonomi berbasis ketakwaan kepada Allah, interaksi pergaulan atas dasar tolong menolong (Prinsip Taawun), serta membebaskan manusia menghamba kepada manusia lainnya, menghadirkan manusia merdeka yang hanya menghamba kepada Allah SWT. Sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya melahirkan manusia-manusia serakah, saling mengeksploitasi, relasi kehidupan yang kering dimensi spiritualisme.

Dr. Muh. Sjaiful
Indonesia Justice Monitor


Selasa, 26 April 2022

Kebijakan Membangkrutkan Negara Tentu Ada Harganya?


Loe Kaya Negara Miskin  dan Banyak Utang 

Tinta Media  - Menurut data Bank dunia tahun 2008 pendapatan perpajakan negara mencapai 13,3%, setelah itu pendapatan perpajakan negara terus merosot sampai sekarang hingga di bawah 10% GDP. Pemerintah tampaknya terus terfokus mengeruk kekayaan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan PDB tapi lupa meminta bagi hasil, royalti, pajak, kepada pengeruk kekayaan ekonomi Indonesia. Itulah gambaran secara harus besar ketika oligarki yakni penguasa sekaligus pengusaha memimpin dan mengelola negara.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah lama sekali menjabat sebagai menteri keuangan Indonesia. Dia menjadi menteri keuangan di jaman SBY, lalu kembali menjadi menteri keuangan di jaman Jokowi. Dia menjadi menteri keuangan terbaik di dunia. Berbagai gelar sudah Dia dapatkan sebagai menteri terbaik, membuatnya sangat ditakuti diantara menteri menteri Jokowi. Bahkan mungkin Jokowi takjub padanya, karena meski tak punya partai, namun Sri Mulyani tampaknya tak mungkin dipecat oleh Presiden Jokowi.

Tapi tahukah anda, bahwa selama satu dekade terakhir menteri keuangan Indonesia gagal memperbaiki keuangan negara. Dengan nama besar yang disandangnya Sri Mulyani gagal memperbaiki pendapatan negara Indonesia. Pendapatan negara terus merosot setiap tahun, tanpa ada satu langkah pun yang dibuat untuk memperbaikinya.

Tahun 2012 lalu pendapatan negara dari Perpajakan mencapai 11,4 % dari Gross Domestic Produk (GDP) Indonesia. Tahun 2019 sebelum covid datang pendapatan Perpajakan negara hanya tersisa 9,8% GDP. Penurunan ini berlangsung secara konsisten dan terus menerus. Bahkan Sekarang pun pemerintah tidak tau bagaimana memulihkan penerimaan perpajakan negara.

Mengapa penerimaan Perpajakan menurun terutama di masa pemerintahan Jokowi? Ini adalah rahasia besar tentunya. Karena pembayar pajak terbesar Indonesia datang dari korporasi atau perusahaan. Maka tampaklah bahwa kelompok ini sangat dimanja dimasa pemerintahan ini. Karena data menunjukkan jumlah yang mereka bayarkan kepada negara makin mengecil, padahal output yang mereka hasilkan makin meningkat yang ditunjukkan secara garis besar oleh GDP Indonesia meningkat.

Lalu bagaimana dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)? Terparah terjadi dalam penurunan sangat tajam dalam penerimaan negara bukan pajak dari  sumber daya alam. Tahun 2012 PNBP sumber daya alam mencapai Rp. 225,6 triliun, namun tahun 2020 PNBP Sumber Daya Alam (SDA) tercatat hanya sebesar 97, 2 triliun. Ini terjadi ditengah aktivitas eksplotasi SDA sangat masiv yang membuat publik bertanya  alangkah mustahil PNBP sumber daya alam Indonesia ini merosot.

Merosotnya penerimaan negara dari SDA juga menjadi rahasia besar Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Jokowi. Tampaknya  menteri keuangan begitu memanjakan para pelaku eksplotasi SDA. Hasilnya jumlah yang dibagi kepada negara dalam bentuk bagi hasil dan royalti menjadi sangat kecil. Apakah ini ada imbalannya kapada para pejabat negara yang mengurusi perpajakan?

Ingat ada pameo mengatakan setiap kebijakan ada harganya. Kebijakan yang sengaja membangkrutkan negara lalu saat yang sama memperkaya oligarki swasta adalah hal yang sangat mungkin dilakukan pengurus negara. Apa semua kebijakan semacam ini ada imbalannya? Dua periode atau tiga periode atau seumur hidup? Silakan disimak terus ya.

Oleh: Salamuddin Daeng
Pengamat Ekonomi Politik 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab