Tinta Media - Pagi itu matahari tampak masih malu-malu. Seperti biasa, para santriwati akan kembali ke asrama setelah mengikuti kajian kitab Aqidatul Awwam bersama Pak Kyai Ali. Dari sekian banyak santriwati, ada satu santriwati yang terlihat bingung. Ternyata ia sedang mencari sandalnya yang hilang di pelataran Masjid Al-Ikhlas. Namanya adalah Zahra, sang juara kelas bertahan dan juga santri kesayangan Bu Nyai Fathimah, istri dari Pak Kyai Ali.
“Astaghfirullahal ‘azim, ke mana ya, sandalku? Perasaan tadi ditaruh sini. Atau di ghosob, ya?” ucap Zahra pada diri sendiri.
Tiba-tiba salah satu teman Zahra menghampirinya. Namanya Arin. Arin pun bertanya pada Zahra perihal apa yang terjadi, karena ia melihat wajah Zahra yang kebingungan.
“Zah, anti kenapa? Kok belum ke asrama? Ada yang lagi dicarikah?” tanya Arin.
“Iya, itu ... sandal ana hilang, Rin. Padahal seminggu yang lalu sandal ana juga hilang,” jawab Zahra sambil menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang hendak menetes.
“Ya udah, kalau gitu aku balik ke asrama dulu, ya, Zah,” ujar Arin.
“Iya,” jawab Zahra singkat.
Tak lama kemudian, Zahra pun menuju ke asrama untuk bersiap-siap sekolah. Ia berjalan dengan menyeker, tanpa memakai alas kaki. Namun, ia berusaha tetap bersabar. Ia berharap, Allah mengganti dengan yang lebih baik lagi.
Sesampainya di kamar, Zahra langsung beres-beres dan menyiapkan buku untuk pelajaran hari ini, yakni tarikh dan bahasa arab. Namun, saat membuka lemari, ia kaget setengah mati. Lemarinya telah terbuka dan tugas kliping tarikh raib entah ke mana.
“Eh, ada yang tahu tugas tarikh ana, gak?” tanya Zahra kepada teman sekamarnya.
“Lho, memang hilang ke mana? Kita semua juga gak ada yang tahu, Zah,” jawab Lina mewakili teman sekamarnya.
“Iya deh, gak papa. Jazakillah khoir, ya,” ujar Zahra.
“Waiyyaki Zahra,” jawab Lina lagi.
Zahra pun termenung cukup lama di dalam kamar itu. Ia bingung harus melakukan apa karena otomatis tugas yang ia miliki juga tidak bisa dikumpulkan tepat waktu. Setelah cukup lama termenung, ia segera bersiap-siap menuju ke kelas untuk sekolah.
Sesampainya di kelas, Zahra langsung duduk di kursinya. Namun, saat ini gadis putih itu sedang memikirkan hal atau kejadian tadi pagi. Tak berselang lama, masuklah Ustadzah Rodhiyah yang akan mengajar di kelas Zahra, yakni kelas IX Ibnu Hayyan.
Setelah mengucap salam, Ustadzah Rodhiyah langsung menyuruh para santri untuk mengumpulkan tugas yang telah diberikan dua minggu yang lalu.
“Ayo anak-anak, tugasnya segera dikumpulkan kepada saya,” ucap Ustadzah Rodhiyah.
“Baik Ustadzah,” jawab para santriwati serempak, kecuali Zahra.
Setelah semua selesai mengumpulkan, Ustadzah langsung memeriksa satu persatu. Namun, tiba-tiba raut wajah ustazah berubah marah.
“Ini siapa yang belum mengumpulkan tugas? Tugasnya kurang satu soalnya. Bagi yang belum, silahkan maju ke depan sebelum ustazah yang membawa ke depan,” perintah Ustadzah Rodhiyah.
Di kursinya, Zahra bingung antara maju atau tidak. Jika ia tidak maju, maka ia telah berbohong. Namun, jika ia maju, ia serasa menjadi seseorang yang begitu bersalah. Ia merasa malu.
Namun, Zahra menguatkan hati dengan mengingat perkataan Pak Kyai Ali tadi pagi bahwa jika kita berbohong, maka manusia bisa saja percaya. Namun, kita tidak akan pernah bisa membohongi Allah Swt. karena Allah akan melihat segala apa yang kita perbuat, sekecil apa pun itu. Akhirnya ia pun maju diiringi tatapan sinis dan hujatan dari teman-teman sekelasnya.
“Lho, ternyata kamu yang belum mengumpulkan tugasnya, Zahra?” tanya Ustazah Rodhiyah.
“Iya Ustazah, maafkan saya. Saya telah mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Namun, ketika saya hendak mengambilnya di lemari, tugas saya raib entah ke mana. Maafkan saya, Ustazah. Saya akan berusaha mencari tugas itu, Ustazah,” jawab Zahra sambil tertunduk. Ia tak berani menatap wajah sang guru. Ia merasa sangat malu dan bersalah.
“Insyaallah Zahra tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi, Ustadzah,” lanjut Zahra dengan wajah yang masih menunduk.
“Baiklah, Ustazah maafkan. Lain kali lebih hati-hati, ya. Namun, sebagai hukuman, kamu saya suruh mencari nama 300 ksatria perang Badar. Itu saja. Jangan diulangi lagi, ya!” ucap Ustazah Rodhiyah pada Zahra.
“Dan untuk kalian yang menyoraki Zahra tadi, itu adalah sebuah perbuatan yang buruk. Kalian tidak berhak menghakimi Zahra seperti itu. Seharusnya kalian bertanya baik-baik padanya, bukan malah teriak sumpah serapah tidak jelas padanya. Sekali lagi, itu adalah perbuatan yang buruk. Allah tidak menyukai hal itu. Belum tentu kalian lebih baik dari orang yang kalian hina itu. Malah, bisa jadi orang yang kalian ejek lebih baik derajatnya daripada kalian. Ingat ya, jangan diulangi lagi!” lanjut Ustazah Radhiyah menasehati mereka.
Setengah jam kemudian, pelajaran akhirnya selesai. Para santriwati boleh istirahat selama tigapuluh menit. Namun, Zahra tidak ingin ke mana-mana. Ia sedang berdamai dengan dirinya sendiri dan berusaha menahan emosi agar tak kelepasan marah. Ia pun melanjutkan membaca buku Bahasa Arab. Tak berselang lama, ia pun menangis di balik bukunya itu.
Zahra berusaha keras agar tak melukai hati siapa pun. Namun, ia juga manusia biasa. Ia sangat lelah, sehingga ia pun menangis, berharap bisa sedikit menenangkan hati yang kini sedang kalut. Namun, tanpa ia sadari, dari arah belakang kelas, ada dua pasang mata yang diam-diam memperhatikannya sedari tadi. Sedetik kemudian, tampaklah seringai puas diri mereka melihat Zahra menangis dan tampak bagitu memprihatinkan. Bagi mereka berdua, melihat Zahra menangis adalah suatu kebahagiaan.
***
Beberapa hari yang lalu, di sebuah gudang, tampak dua orang yang sedang membicarakan perihal sang juara bertahan, yakni Zahra. Rupanya mereka memiliki niatan buruk terhadap Zahra, sebab mereka iri karena melihat Zahra menjadi santriwati teladan di pondok pesantren Nurul Hikmah tersebut.
“Kamu selama ini gak ngerasa sebel, melihat Zahra menjadi kesayangan seluruh penghuni ponpes ini? Tapi aku gak bakal sudi lihat dia bahagia terus-terusan. Dia harus dikasih pelajaran. Setuju gak, loe?” tanya seorang gadis berkulit hitam manis.
“Setujulah. Gue juga gak bakal diam aja lihat dia dengan segudang prestasi miliknya. Kapan kita mulai aksinya?” tanya seorang gadis yang tinggi semampai.
“Oke, kita mulai besok, ya! Jangan sampai ada yang tahu, lho. Hati-hati, ya!”
“Beres, serahkan semuanya padaku.”
***
Beberapa bulan kemudian, tampaknya Zahra telah terbiasa dengan segala hal yang menimpanya. Ia banyak belajar dari seluruh kejadian itu. Ia yakin pasti ada hikmah di balik semua ini. Kini ia hanya fokus untuk belajar dan belajar, karena dua bulan lagi akan diadakan ujian kelulusan.
Ketika Zahra berjalan menuju kamar, ia mendengar dua orang yang sedang bercakap-cakap tentang dirinya di sebuah ruangan. Saat mendengar suara mereka, ia kaget, antara percaya dan tidak. Namun, Zahra segera menepis dugaan tersebut. Ia berusaha untuk tetap berbaik sangka. Ia pun lalu melanjutkan perjalanan.
Tibalah Zahra di depan kamarnya, dan langsung beranjak ke dipan untuk beristirahat. Tak berselang lama, terdengarlah azan Zuhur dari pengeras suara masjid al-Ikhlas, Ponpes Nurul Hikmah.
Zahra pun terbangun dan langsung berwudhu. Setelah itu, ia langsung berangkat ke masjid. Sesampainya di masjid, ia langsung salat sunnah rawatib dan Tahiyyatul Masjid, lalu dilanjutkan untuk mengulang hafalannya sembari menunggu ikamah di kumandangkan. Setelah terdengar ikamah, para santriwati segera menata shaf dengan rapi.
“Luruskan dan rapatkan shaf kalian karena itu termasuk kesempurnaan salat,” ucap Imam melalui mikrofon.
“Kami dengar dan kami taat,” jawab para jama’ah serentak.
Seusai salat dan zikir, Zahra pun menuju ruang makan untuk mengambil makan siang. Menu makan siang kali ini adalah sayur sop, tempe, dan kerupuk, serta sambal kecap. Setelah selesai, ia pun beranjak untuk kembali ke kamar. Saat berjalan menuju asrama, ia bertemu dengan tukang kebun ponpes, yakni Pak Budi.
“Eh, Nak Zahrakan ini?” tanya Pak Budi memastikan.
“Iya, Pak, ada apa, ya?” tanya Zahra balik.
“Ini, barang-barang ini benar punya kamu? Soalnya ada namanya kamu di situ?” tanya Pak Budi mencoba memastikan.
“Oh iya, Pak, benar itu punya saya,” jawab Zahra dengan raut gembira.
“Tadi Bapak nemu di gudang pas lagi beres-beres,” ujar Pak Budi lagi.
“Oh iya, Pak, sekali lagi jazakumullah ahsanal jaza’ ya, Pak. Zahra pamit dulu, assalamu’alaikum,” pamit Zahra.
“Wa’alaikumussalam, hati-hati ya, Nak,” jawab Pak Budi.
“Siap, Pak,” jawab Zahra.
Setelah berbagai kejadian kehilangan sejumlah barang milik santriwati, para guru pun akhirnya turun tangan untuk menyelidiki perihal masalah ini. Hingga akhirnya, terkuaklah siapa dalang di balik kejadian pencurian/ghosob ini. Mereka adalah Arin dan Sari. Kemudian mereka pun dibawa menuju kantor guru untuk disidang oleh para guru.
“Segera masuk, kalian berdua.” Perintah kepala sekolah kepada Sari dan Arin.
“Baik, Ustaz,” jawab mereka berdua hampir bersamaan.
“Apa yang melatarbelakangi kalian melakukan perbuatan yang sangat tercela itu?” tanya ustadz Arifin sebagai kepala sekolah mereka.
“Kami hanya iri terhadap seluruh pencapaian Zahra selama ini. Kami sangat dendam padanya sehingga kami melakukan hal tersebut padanya. Untuk perilaku kami terhadap santriwati yang lain, hanya sebuah keisengan belaka,” jawab Sari.
“Dan kami merasa para guru-guru di sini hanya menyayangi Zahra. Kami hanya ingin dianggap,” tambah Arin.
Sang kepala sekolah langsung terdiam mendengar jawaban dari dua santriwati tersebut. Ia merasa belum maksimal dalam mendidik para santri yang berada di bawah binaannya. Terlebih Ustazah Rodhiyah, ia merasa tugasnya sebagai pengasuh asrama belum sempurna. Ia merasa masih ada yang harus diperbaiki.
Tiba-tiba suara sang kepala sekolah pun memecah keheningan yang begitu lama.
“Apakah kalian lupa bahwa yang namanya iri, dendam, atau semacamnya adalah penyakit hati yang harus kita hindari? Itu adalah perbuatan setan, dan kalian melampiaskannya dengan mencuri. Padahal, mencuri adalah sebuah perilaku yang sangat dilarang oleh Allah Swt. Allah tidak menyukai perbuatan tersebut. Allah mengetahui apa pun yang kita kerjakan, termasuk perbuatan kalian ini. Perhatian kami, para guru kepada kalian semua adalah sama. Tak ada pilih kasih, karena kalian semua adalah anak didik kami di sini selamanya,” jelas Ustaz Arifin kepada mereka berdua.
“Dan sebagai hukuman, kalian diskors selama dua bulan dan kembali lagi ke sini dengan perubahan yang lebih baik, ya. Karena kita tidak ada yang sempurna, tetapi kita berusaha untuk terus menjadi lebih baik setiap harinya. Kalian akan tetap menjadi anak didik kami sampai kapan pun,” lanjut Ustaz Arifin kepada mereka berdua.
“Baik, Ustaz,” jawab mereka berdua hampir bersamaan.
***
Dua Bulan Kemudian
Dari kejauhan Zahra melihat dua sosok temannya sedang menuju gerbang Ponpes Nurul Hikmah. Mereka adalah Sari dan Arin. Zahra pun segera menghampiri untuk mengajak mereka menemui Ustazah Rodhiyah.
“Assalamu’alaikum Arin, Sari,” ucap Zahra sambil melambaikan tangan.
“Wa’alaikumussalam, Zahra,” jawab mereka serempak.
“Eh, Ustazah Radhiyah kangen, lho, sama kalian. Beliau menunggu kalian di kamar. Segera ke sana, yuk,” ajak Zahra.
“Yuk,” jawab mereka singkat.
Sembari berjalan, mereka bercerita banyak hal. Arin dan Sari pun telah meminta maaf kepada Zahra karena salah satu golongan yang mendapat syafaat di akhirat kelak adalah orang yang saling mencintai karena Allah Swt. Saking banyaknya yang mereka ceritakan, tak terasa akhirnya mereka sampai di depan kamar Ustazah Radhiyah. Zahra pun segera mengetuk pintu dan mengucap salam.
“Assalamu’alaikum, Ustazah. Ini Zahra bareng Arin dan Sari,” ujar Zahra.
“Wa’alaikumussalam, tunggu sebentar, ya,” jawab ustazah dari dalam.
“Baik, Ustazah,” jawab Zahra.
Tak berselang lama, Ustazah Rodhiyah pun keluar dari kamar dengan menggunakan jilbab warna coklat susu dan kerudung warna merah marun. Kemudian beliau pun mengajak mereka bertiga ke taman di dekat asrama mereka. Sesampainya di sana, ustazah pun menasehati mereka teny kejadian akhir-akhir ini. Salah satunya adalah ghosob atau mencuri.
“Perbuatan ghosob atau mencuri adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Mudharat atau dampak dari perbuatan ini juga sangat banyak. Di antaranya adalah membuat seseorang cemas dan panik, membuat pertemanan renggang, dan masih banyak lagi. Dan tentu saja perbuatan tersebut dimurkai oleh Allah Swt. karena telah melanggar perintah-Nya,” jelas Ustazah Rodhiyah pada mereka.
“Iya, Ustazah,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
“Semoga Allah Swt. memberikan keistikamahan kepada kita dalam berbuat kebaikan untuk bekal kelak di akhirat. Aamiin,” lanjut Ustazah Rodhiyah.
“Aamiin,” ucap mereka bertiga.
Semenjak saat itu, Zahra, Arin, dan Sari pun menjadi sahabat hingga akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Terbukti bahwa apabila kita berbuat baik dan bersabar, maka Allah pun memberikan kita kemudahan dalam melakukan sesuatu. Namun, apabila sebaliknya, maka Allah pun akan menjauh dari kita. Oleh karena itu, jangan sampai kita melakukan dosa sekecil apa pun, termasuk ghosob. Karena Allah Maha Melihat segala perbuatan yang telah kita lakukan.
***
The End Alhamdulillah
Cerpen by: Naila Ahmad