Waspada Racun Liberalisasi Melalui Eksploitasi Wisata Bahari
Tinta Media - Indonesia dikenal memiliki banyak tempat wisata, terutama pantai yang dapat menarik para wisatawan lokal maupun mancanegara. Salah satu di antaranya yaitu Krui, Pesisir Barat Lampung yang memiliki pantai indah sehingga menjadi tempat pilihan destinasi favorit wisatawan beberapa tahun terakhir ini.
Ada juga Pantai Tanjung Setia yang terkenal karena gulungan ombaknya yang besar. Maka tidak heran jika para turis asing menyebutnya sebagai tempat favorit untuk berselancar. Alhasil, pada bulan Juni ini, Pantai Tanjung Setia dijadikan lokasi berlangsungnya World Surf League (WSL) Krui Pro 2022 yang diikuti peserta dari berbagai negara di dunia, tak terkecuali peserta atlet surfing lokal asal Pesisir Barat, Lampung yang mendapatkan wildcard.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno ikut menghadiri dan membuka acara kejuaraan Liga Selancar Internasional (WSL) Krui Pro 2022 pada Sabtu 11 Juni 2022. Beliau juga mendukung ajang promosi wisata bahari Kabupaten Pesisir Barat yang bertujuan demi meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Tempo.co, 12/6/2022).
Senada dengan pendapat Bupati Pesisir Barat, Agus Istiqlal juga mendukung diselenggarakan even ini setiap tahun. Alasannya, sebagai upaya membangkitkan sektor ekonomi bidang pariwisata maupun UMKM setelah pandemi Covid-19. Dengan begitu, kesejahteraan bagi masyarakat akan terpenuhi, karena peluang usaha dan lapangan kerja terbuka lebar bagi warga sekitar pantai (Lampungpro.co, 12/6/2022).
Pemerintah menilai bahwa pengembangan wisata di berbagai lokasi eksotik yang ada di tanah air merupakan hal yang lebih menarik dibandingkan eksploitasi sumber daya alam, terutama dengan memaksimalkan potensi pariwisata pesisir pantai. Bukan hanya masyarakat lokal saja yang bisa menikmati, tetapi juga turis mancanegara.
Ini kesempatan emas untuk mendapat kompensasi lebih besar dengan memanfaatkan sisi keindahan alam yang ada, tanpa harus mengeluarkan modal banyak.
Sayangnya, upaya itu dilakukan tanpa memedulikan kondisi lingkungan. Pada intinya, keberadaan objek wisata yang telah menjadi ajang bisnis ini hanya berfokus untuk meraup keuntungan tanpa melihat apakah hal itu bertentangan dengan syariah ataukah tidak?
Daya tarik pesisir pantai dijadikan objek para pemilik modal untuk menggenjot pariwisata. Dalih mendongkrak perekonomian warga setempat dan menambah pemasukan APBD seolah menjadi alasan utama. Padahal, belum tentu rakyat mendapat kompensasi yang dijanjikan. Hal ini semakin memperpanjang daftar pembuktian bahwa basis dan corak ajang promosi wisata didasari atas kapitalistik.
Berbagai cara dilakukan untuk mengantongi izin dari pemerintah maupun peserta, menjadi senjata para kapitalis mengelabui masyarakat demi kepentingan yang dicapai. Masyarakat dengan mudahnya percaya bahwa ke depannya akan berpeluang meningkatkan citra pariwisata di mata dunia, berharap akan tercipta kesejahteraan bagi masyarakat.
Di sisi lain, promosi ajang wisata ini hanya memikirkan bagaimana cara menyuguhkan sesuatu agar terlihat menarik untuk menyedot para wisatawan berkunjung. Tanpa disadari, telah terjadi kerusakan alam, bahkan penyimpangan akidah seperti kesyirikan dan kemaksiatan lain. Tidak hanya itu saja, di tempat-tempat seperti itu, bisa dipastikan terjadi percampuran budaya negatif antara wisatawan asing dengan masyarakat setempat. Bahayanya, arus liberalisasi semakin deras karena pemikiran asing masuk dengan bebas tanpa filter yang bisa memengaruhi masyarakat.
Islam tidak melarang untuk mengembangkan potensi wisata, asalkan sesuai jalur syariah. Sebagaimana cara pandang negara Islam tentang pariwisata sebagai jalan dakwah, negara akan menerapkan seluruh hukum Islam yang di dalam dan luar wilayah. Tujuannya adalah untuk menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran di tengah masyarakat. Prinsip dakwah inilah yang dijadikan tameng untuk menutup pintu kemaksiatan di dalam negara, termasuk melalui sektor wisata dalam balutan ajang promosi tingkat internasional.
Adapun dalam pandangan Islam, objek yang dijadikan tempat wisata berupa potensi keindahan alam yang bersifat natural dan anugerah dari Allah Swt., seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun, dan masih banyak lagi, termasuk peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Objek wisata seperti ini layak dipertahankan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Mulk ayat 15,
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
Berdasarkan ayat tersebut, berarti ketika melihat dan menikmati keindahan alam, akan tertancap kesadaran akan Kemahabesaran Allah Yang Maha Menciptakan. Sedangkan peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, menunjukkan kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah luar biasa. Hal ini semakin mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Bagi wisatawan muslim, objek-objek wisata ini justru akan mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam, dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan nonmuslim, baik kafir mu’ahad maupun kafir musta’man, objek-objek ini menjadi sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Hal itu juga menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya. Tentunya berlaku hukum publik bagi wisatawan asing agar menutup aurat, tidak ikhtilat, tidak berkhalwat, tidak mabuk, ataupun berzina.
Sementara objek wisata yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, pemimpin negara akan menetapkan dua kebijakan.
Pertama, jika objek-objek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus diperhatikan. Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka objek-objek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh direnovasi jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka objek-objek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.
Kedua, jika objek-objek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Maka akan ditutup, dihancurkan, atau diubah, misalnya tempat hiburan yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Semua dihancurkan agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Maka sangat jelas dan tegas bahwa pemimpin negara di dalam Islam hanya menetapkan kebijakan terkait objek wisata tersebut sebagai bentuk sarana dakwah, bukan dengan maksud lain, seperti mengeksploitasi tanpa batas untuk kepentingan ekonomi dan bisnis semata, yang hanya menguntungkan segelintir orang tanpa memedulikan nasib rakyat. Selain itu, praktik kemaksiatan dan hal-hal yang mengandung kemudharatan tidak akan terjadi.
Hal ini karena sumber pendapatan negara diperoleh melalui hasil pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi negara dalam memenuhi keperluannya. Selain itu, juga melalui sumber lain, seperti zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga dharibah. Semuanya ini mempunyai kontribusi besar dalam membiayai perekonomian negara secara keseluruhan, tak terkecuali dunia wisata demi kemaslahatan umat.
Dengan demikian, begara sebagai pengemban ideologi Islam, akan tetap bisa menjaga kemurnian ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya asing yang datang dari luar. Pada saat yang sama, justru negara Islam bisa menyebarkanluaskan dakwah ke seluruh penjuru dunia, baik kepada penduduk muslim maupun kafir di luar wilayah.
Wallahu ‘alam
Oleh: Yeni Purnamasari, S.T.
Muslimah Peduli Generasi