Tinta Media: Bacaleg
Tampilkan postingan dengan label Bacaleg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bacaleg. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 September 2023

Bacaleg Napi Korupsi, Bukti Rusaknya Sistem Demokrasi




Tinta Media- Seperti yang kita tahu, tahun 2024 akan diadakan pesta demokrasi di Indonesia. Seluruh partai politik dari jauh-jauh hari sudah melakukan persiapan, salah satunya dengan mengadakan kampanye yang dilakukan dari wilayah perkotaan hingga ke desa. Para anggota parpol juga mempersiapkan diri untuk ikut bertarung di 2024 mendatang demi bisa menduduki jabatan sesuai yang mereka inginkan. 

Akan tetapi,  ada yang perlu dikritisi pada pemilu tahun ini.  Pasalnya, dalam penyelidikan Indonesian Corruption Watch (ICW) ditemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Hal ini sangat memprihatinkan. Bahkan, Komisi pemilihan umum republik Indonesia (KPU) pun tidak bertindak tegas dalam menangani kasus ini. KPU terkesan menutupi dengan tidak mengumumkan status hukum dari para bacaleg yang akan bertarung di pesta demokrasi 2024 mendatang. 

Para bakal calon legislatif (bacaleg) ini terlalu rakus dan tamak akan jabatan sehingga rela melakukan berbagai cara untuk bisa kembali menduduki jabatan yang mereka inginkan. Bahkan, ketika mereka berhasil mendapatkan jabatan tersebut,  tidak ada jaminan bahwa mereka tidak melakukan korupsi seperti yang dulu mereka lakukan. Hal ini karena orang-orang seperti ini tidak akan memikirkan kepentingan masyarakat, bahkan bisa merugikan masyarakat dengan segala perlakuan yang hanya akan mencari keuntungan semata. 

Inilah bukti rusaknya sistem demokrasi yang dibuat hanya untuk memuaskan kepentingan para penguasa semata, tanpa memikirkan kesejahteraan orang-orang yang ada di dalamnya.  

Amanah yang seharusnya menjadi tugas besar dianggap hal sepele dan bisa dimainkan demi keuntungan dunia semata. Bahkan, orang yang sudah terbukti tidak bertanggung jawab atas amanah yang diberikan, masih saja bisa ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi. 

Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, para pemimpinnya memiliki sifat yang amanah ketika menjalankan segala tugas yang diberikan. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa pemimpin adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. 

Pada masa kepemimpinan Khalifah  Umar,  sebagai bentuk tanggung jawabnya menjaga harta umat,  beliau menghitung harta kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat untuk mencegah terjadinya korupsi. Jika Umar mendapati ada pejabat yang berlaku curang, maka hukumannya adalah ta'zir (disita hartanya), dicambuk, dipenjara, bahkan hukuman mati. Hukuman yang diberikan sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukan dan pastinya pejabat tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk menjabat dalam daulah.

Sistem Islam menjalankan semua aturan sesuai syariat Islam, termasuk dalam memilih pemimpin. Jika ada para pemimpin yang tidak amanah,  maka tidak segan untuk dihukum sesuai dengan hukum Islam. Kepemimpinan merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, hanya sistem Islamlah yang mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan bisa menyejahterakan rakyat. Wallahualam.

Oleh: Siti Suryani,  S. Pd. 
(Sahabat Tinta Media)

Rabu, 06 September 2023

Mantan Koruptor Jadi Bacaleg, Bukti Buruknya Pemilihan Pemimpin Demokrasi




Tinta Mesia - Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagaimana yang diberitakan voaindonesia.com, (26/8/2023), ditemukan 15 mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif di tingkat DPR, DPRD, dan DPD yang diumumkan oleh KPU (19/08/2023). Fenomena ini menggambarkan bahwa partai politik masih membuka pintu lebar bagi mantan koruptor untuk menjadi bacaleg. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 43 Ayat (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui Pemilu. Juga Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak, serta kebebasan setiap warga.

Pada pemilu 2019 lalu, dilansir dari ICW, KPU resmi menerbitkan Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI dan DPRD Kabupaten/Kota. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut adalah larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilihan Umum 2019. Namun, sejak awal peraturan tersebut mendapat banyak penolakan dari sejumlah elit Parpol, DPR, dan Bawaslu. 

Atas penolakan dan gugatan ini, terjadilah pembatalan oleh MA. Pembatalan tersebut berdasarkan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018 yang menilai bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu (CNN Indonesia, 24 Agustus 2023). Selain itu, MA menuliskan sejumlah alasan terkait pencabutan peraturan tersebut dikarenakan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. 

Fakta tersebut menggambarkan betapa buruknya pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi. Tidak adanya peraturan dan syarat dalam pemilihan seorang pengemban amanah akan memunculkan adanya caleg yang tidak berintegrasi, sehingga akan menambah masalah bagi parlemen, baik di pusat maupun daerah di kemudian hari. 

Hal ini juga memunculkan kekhawatiran bahwasanya mantan koruptor tersebut akan menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya. 

Jika alasan pencabutan peraturan tersebut adalah pelanggaran HAM, bukankah adanya kasus korupsi termasuk sebagai pelanggaran HAM juga? Apakah belum cukup tindakan tersebut dapat menyebabkan diingkari, dicampakkan, dan dirampasnya human dignity baik secara sosial, ekonomi maupun budaya? 

Tak hanya itu, pencabutan Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 juga menggambarkan lembeknya peraturan jika tidak menguntungkan pihak atas. Selain itu, pembatalan peraturan tersebut juga menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang yang berintegritas dan memiliki kemampuan yang baik jika tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Pahit, tetapi inilah realita demokrasi.

Tidak adanya larangan bagi mantan koruptor hanya akan menambah kekhawatiran terjadinya lonjakan korupsi kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak mampu memberi sanksi yang berefek jera. 

Seperti yang disampaikan Mahfud MD saat ceramah umum di Kampus La Tansa Mashiro Rangkasbitung, dikatakan bahwa hukum di Indonesia masih banyak permainan dan dapat diperjualbelikan oleh orang-orang yang memiliki uang. Bahkan, ia mengatakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang ‘apes’ atau tidak beruntung sehingga tidak mampu membela dirinya dengan uang. Sedangkan orang yang memiliki kekuasaan dan uang, mereka mampu memengaruhi keputusan hukum. Begitulah hukum di sistem kapitalisme.

Fenomena ini tidak terlepas dari aturan dalam sistem demokrasi yang dibuat oleh manusia, bukan Tuhan. Sehingga, para penguasa mudah saja membuat aturan yang mampu memenuhi keinginan sesuka hatinya. Hal ini dilakukan semata-mata memuluskan syahwat politiknya. 

Bahkan, tak jarang mereka saling bekerja sama, tak peduli dari fraksi yang berbeda, demi mencapai tujuan regulasi yang dikehendaki. Peraturan yang dibentuk dalam sistem demokrasi tidak0 berlandaskan kebenaran yang hakiki. Peraturan tersebut dibentuk berdasarkan suara terbanyak, lebih tepatnya menurut pemegang modal. Seperti halnya pencabutan larangan mantan koruptor dalam menjadi bacaleg, tidak semata-mata berlandaskan benar salah, tetapi berdasar untung dan rugi bagi penguasa.

Pemberantasan korupsi tidak akan benar-benar ditangani dalam demokrasi. Pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa-basi. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas karena dianggap menguntungkan para politisi. Kewenangan KPK saja bisa “dimutilasi” hingga menjadi lemah sekali. Selama demokrasi masih dijalankan, tidak ada harapan korupsi akan dituntaskan dan pemerintahan yang bersih hanya akan menjadi sebuah khayalan.

Satu-satunya solusi dalam pemberantasan korupsi adalah dengan mengubah sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem Islam kaffah. Aturan yang diterapkan pun berasal dari Allah yang terjamin kebenarannya. Inilah yang lebih dikenal sebagai khilafah. Adil merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh penguasa dalam sistem khilafah. 

Allah Swt. Berfirman di dalam Qur’an surah an-Nahl ayat 90 yang artinya, 

“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.”

Pada sistem ini pula, keadilan sangat penting sehingga tidak mungkin seorang pemimpin tidak dipilih secara selektif. Bahkan, Rasulullah saw. Bersabda, 

“Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

Seorang pemimpin dalam sistem Islam dipilih dengan beberapa kriteria. Salah satunya harus orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Hal ini karena wakil umat yang bertakwa akan menggunakan kekuasaannya dengan sebaik-baiknya. 

Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, tidak cukup memilih pemimpin yang bersih. Jika pun ada orang yang awalnya bersih, ketika masuk ke dalam sistem demokrasi, ia cenderung akan ikut arus menjadi korup. 

Sudah banyak buktinya, beberapa politisi yang awalnya terkenal bersih, ternyata turut tersandung kasus korupsi. Sudah banyak mantan wakil rakyat yang mengatakan kotornya pemerintahan, sehingga sulit sekali untuk jujur dan adil. Sudah menjadi rahasia umum, bagi mereka yang jujur, maka akan ditendang dari parlemen.

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi, sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Sistem pemerintahan yang bersih dan adil serta berasaskan akidah Islam satu-satunya adalah khilafah. Khilafah memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sudah semestinya umat kembali kepada sistem Islam yang kaffah yang berasal dari Allah, yaitu khilafah. Wallahu a’lam bisawwab. []

Oleh: Eriza Irawan, 
Mahasiswi Universitas Gunadarma

Sabtu, 02 September 2023

Bacaleg Mantan Napi Korupsi, Layakkah?




Tinta Media - Salah satu alasan kenapa demokrasi tak layak dipertahankan adalah karena dalam demokrasi memberikan ruang bagi para mantan napi korupsi untuk menduduki jabatan sebagai wakil rakyat atau menjadi pemimpin rakyat. Sungguh miris, sebanyak 52 bakal calon legislatif (caleg) DPR dan 16 caleg DPD yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diketahui merupakan mantan terpidana (napi) dari berbagai kasus, salah satunya korupsi. (www.kumparan.com, 27/8/23) 

Kebolehan mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 akibat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Putusan itu diatur dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. 

MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Lagi-lagi, beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. (www.cnnindonesia.com, 24/8/22) 

Wajah Bobrok Demokrasi

Tak ada rotan akar pun jadi. Kebolehan mantan napi menjadi wakil rakyat sejatinya membuka wajah buruk demokrasi itu sendiri. Sebab, kebolehan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada lagi calon lain atau tidak ada lagi rakyat negeri ini yang layak menjadi wakil rakyat, sehingga mantan napi korupsi pun jadi. 

Selain pandangan di atas, kebolehan ini juga seakan menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Seperti diketahui, bahwa biaya dalam demokrasi tidaklah sedikit. Ya, untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik tanpa kekuatan modal besar tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah rahasia umum dalam demokrasi. 

Kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran di benak masyarakat yang peduli pada nasib masa depan negeri ini. Sebab, kebolehan ini membuka peluang munculnya resiko terjadinya korupsi kembali. Ya, hal ini mengingat opini umum negatif yang terwujud pada hukum di negeri ini. Yakni, bahwa sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, terutama bagi para terpidana kasus korupsi. Buktinya, pejabat korup bukannya berkurang justru bertambah banyak. Tak heran jika muncul opini dengan istilah 
hukum bisa dibeli. 

Beginilah wajah bobrok demokrasi hasil dari penerapan Sistem Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipisahkan juga dari negara. Hasilnya, aturan agama dikesampingkan dan aturan manusialah yang dijunjung tinggi untuk diterapkan. Padahal, aturan manusia jelas banyak kekurangan yang menimbulkan berbagai kerusakan. Sebab, manusia terbatas dan lebih memenuhi nafsunya. 

Ya, umat harus memahami bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang rusak sehingga menghasilkan kerusakan. Sistem Demokrasi mustahil akan menghasilkan pemerintahan yang bersih dari kepentingan pribadi maupun korupsi. 

Jika yang menjadi pemimpin rakyat adalah para koruptor, maka bisa dibayangkan aturan seperti apa yang akan mereka hasilkan. Mereka akan menyusun peraturan yang membuka lebar peluang bagi mereka mendapatkan celah untuk menguasai harta rakyat demi keuntungan mereka dan golongannya. Tak heran jika mereka disebut sebagai tikus berdasi yang siap memakan harta rakyat. 

Menjadi wakil rakyat hanya sebagai tameng bagi para mantan koruptor. Sebab, mereka bukan memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan memperjuangkan kepentingan mereka dan kelompoknya demi keuntungan dan mengembalikan modal pencalonan yang tidak sedikit. 

Islam Mewujudkan Pemimpin Amanah

Kepemimpinan Islam tegak atas dasar ruhiyah, yakni keimanan sehingga mewujudkan ketundukan terhadap aturan Allah SWT. Di mana Allah memerintahkan pemimpin menjadi pengurus/pelayan bagi rakyat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. 

Rasullullah Saw. bersabda yang artinya: "Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga)."
(HR. Bukhari) 

Pemimpin negara Islam (Khalifah) memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sebab, korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul yang Allah firmankan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 161, yakni barang siapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi. 

Khalifah juga akan senantiasa mengawasi pergerakan jumlah harta pejabat. Jika ada kenaikan yang tidak pantas, mereka harus membuktikan dari mana sumber hartanya. Jika terbukti bersalah, pejabat yang bersangkutan akan diumumkan di depan khalayak. Harta ghulul miliknya disita. Hukum takzir diterapkan yang jenisnya ditentukan oleh Khalifah atau qadi. Takzir tersebut dapat berupa hukuman penjara, pengasingan, dan bahkan hukuman mati. 

Begitulah sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat dan menjadikan yang lain takut untuk melakukan dosa yang serupa. Sebab, sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). 

Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme khas dalam pemilihan pemimpin mulai dari pemilihan seorang Khalifah dan pemilihan pemimpin yang lain. Yakni, mensyaratkan bahwa calon pemimpin harus bersifat adil. Ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya:
“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.” (TQS. An-Nahl: 90) 

Maksud adil adalah tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi muru‘ah (kehormatan).” 
(Al-Musthafa al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i). 

Adapun arti keadilan menurut Imam Ibnu Taimiyah, yaitu apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah, baik dalam hudud maupun hukum-hukum lainnya. 
(Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah). 

Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat. Dari sini jelas, bahwa pelaku korupsi bukanlah orang yang adil, karena dia sebagai pelaku maksiat. Maka, koruptor tak layak mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat. 

Begitulah ketika Islam ditegakkan. Sistem Islam memiliki mekanisme berlapis untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan amanah. Semuanya berlandaskan pada asas akidah Islam yang benar, sehingga setiap individu memiliki kesadaran untuk taat pada syariat. Hasilnya adalah ketakwaan kolektif di tengah masyarakat yang mewujudkan budaya jujur dan amanah. Wallahualam bissawab. 

Oleh: Wida Nusaibah 
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab