Tinta Media - Salah satu alasan kenapa demokrasi tak layak dipertahankan adalah karena dalam demokrasi memberikan ruang bagi para mantan napi korupsi untuk menduduki jabatan sebagai wakil rakyat atau menjadi pemimpin rakyat. Sungguh miris, sebanyak 52 bakal calon legislatif (caleg) DPR dan 16 caleg DPD yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diketahui merupakan mantan terpidana (napi) dari berbagai kasus, salah satunya korupsi. (www.kumparan.com, 27/8/23)
Kebolehan mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 akibat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Putusan itu diatur dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.
MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Lagi-lagi, beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. (www.cnnindonesia.com, 24/8/22)
Wajah Bobrok Demokrasi
Tak ada rotan akar pun jadi. Kebolehan mantan napi menjadi wakil rakyat sejatinya membuka wajah buruk demokrasi itu sendiri. Sebab, kebolehan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada lagi calon lain atau tidak ada lagi rakyat negeri ini yang layak menjadi wakil rakyat, sehingga mantan napi korupsi pun jadi.
Selain pandangan di atas, kebolehan ini juga seakan menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Seperti diketahui, bahwa biaya dalam demokrasi tidaklah sedikit. Ya, untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik tanpa kekuatan modal besar tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah rahasia umum dalam demokrasi.
Kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran di benak masyarakat yang peduli pada nasib masa depan negeri ini. Sebab, kebolehan ini membuka peluang munculnya resiko terjadinya korupsi kembali. Ya, hal ini mengingat opini umum negatif yang terwujud pada hukum di negeri ini. Yakni, bahwa sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, terutama bagi para terpidana kasus korupsi. Buktinya, pejabat korup bukannya berkurang justru bertambah banyak. Tak heran jika muncul opini dengan istilah
hukum bisa dibeli.
Beginilah wajah bobrok demokrasi hasil dari penerapan Sistem Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipisahkan juga dari negara. Hasilnya, aturan agama dikesampingkan dan aturan manusialah yang dijunjung tinggi untuk diterapkan. Padahal, aturan manusia jelas banyak kekurangan yang menimbulkan berbagai kerusakan. Sebab, manusia terbatas dan lebih memenuhi nafsunya.
Ya, umat harus memahami bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang rusak sehingga menghasilkan kerusakan. Sistem Demokrasi mustahil akan menghasilkan pemerintahan yang bersih dari kepentingan pribadi maupun korupsi.
Jika yang menjadi pemimpin rakyat adalah para koruptor, maka bisa dibayangkan aturan seperti apa yang akan mereka hasilkan. Mereka akan menyusun peraturan yang membuka lebar peluang bagi mereka mendapatkan celah untuk menguasai harta rakyat demi keuntungan mereka dan golongannya. Tak heran jika mereka disebut sebagai tikus berdasi yang siap memakan harta rakyat.
Menjadi wakil rakyat hanya sebagai tameng bagi para mantan koruptor. Sebab, mereka bukan memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan memperjuangkan kepentingan mereka dan kelompoknya demi keuntungan dan mengembalikan modal pencalonan yang tidak sedikit.
Islam Mewujudkan Pemimpin Amanah
Kepemimpinan Islam tegak atas dasar ruhiyah, yakni keimanan sehingga mewujudkan ketundukan terhadap aturan Allah SWT. Di mana Allah memerintahkan pemimpin menjadi pengurus/pelayan bagi rakyat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat.
Rasullullah Saw. bersabda yang artinya: "Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga)."
(HR. Bukhari)
Pemimpin negara Islam (Khalifah) memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sebab, korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul yang Allah firmankan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 161, yakni barang siapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.
Khalifah juga akan senantiasa mengawasi pergerakan jumlah harta pejabat. Jika ada kenaikan yang tidak pantas, mereka harus membuktikan dari mana sumber hartanya. Jika terbukti bersalah, pejabat yang bersangkutan akan diumumkan di depan khalayak. Harta ghulul miliknya disita. Hukum takzir diterapkan yang jenisnya ditentukan oleh Khalifah atau qadi. Takzir tersebut dapat berupa hukuman penjara, pengasingan, dan bahkan hukuman mati.
Begitulah sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat dan menjadikan yang lain takut untuk melakukan dosa yang serupa. Sebab, sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus).
Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme khas dalam pemilihan pemimpin mulai dari pemilihan seorang Khalifah dan pemilihan pemimpin yang lain. Yakni, mensyaratkan bahwa calon pemimpin harus bersifat adil. Ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya:
“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.” (TQS. An-Nahl: 90)
Maksud adil adalah tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi muru‘ah (kehormatan).”
(Al-Musthafa al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i).
Adapun arti keadilan menurut Imam Ibnu Taimiyah, yaitu apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah, baik dalam hudud maupun hukum-hukum lainnya.
(Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah).
Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat. Dari sini jelas, bahwa pelaku korupsi bukanlah orang yang adil, karena dia sebagai pelaku maksiat. Maka, koruptor tak layak mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat.
Begitulah ketika Islam ditegakkan. Sistem Islam memiliki mekanisme berlapis untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan amanah. Semuanya berlandaskan pada asas akidah Islam yang benar, sehingga setiap individu memiliki kesadaran untuk taat pada syariat. Hasilnya adalah ketakwaan kolektif di tengah masyarakat yang mewujudkan budaya jujur dan amanah. Wallahualam bissawab.
Oleh: Wida Nusaibah
(Pemerhati Kebijakan Publik)