Puluhan Pelajar Tingkat Menengah Tidak Bisa Baca Tulis, Apa yang Salah?
Tinta Media - Ditemukan sebanyak 21 pelajar tidak bisa membaca, menulis, hingga membedakan abjad dari hasil asessment kognitif peserta didik baru SMPN 11 Kota Kupang yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Seharusnya, kemampuan memahami bacaan maupun membedakan abjad sudah diperoleh saat masih menduduki bangku kelas 1 dan 2 sekolah dasar (SD) atau kategori fase A, yaitu dalam konsep Merdeka Belajar. Idealnya, pelajar yang berada di SMP seharusnya memahami mata pelajaran yang diberikan guru. Sebab, dalam ranah ini, kemampuan siswa untuk memahami sesuatu sudah cukup mumpuni. (Tribunflores.com, 10/08/2023)
Hal ini tidak hanya terjadi di wilayah timur, tapi juga terjadi di pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan. Diketahui, sebanyak 32 anak belum bisa membaca dan menulis di SMP 1 Mangunjaya, Pangandaran. Temuan ini berawal saat kepala sekolah SMP tersebut membuat sebuah program terkait gerakan literasi sekolah. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. (Kompas.com, 04/08/2023)
Diduga, pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab puluhan siswa itu tidak lancar membaca. Proses belajar mengajar dengan sistem daring atau tidak tatap muka membuat siswa kurang menguasai materi pelajaran. Kebijakan yang dibuat saat pandemi belum mampu mengakselerasi kualitas pendidikan. Pembelajaran secara daring justru membuat diskriminasi pendidikan. Lagi-lagi hanya mereka yang punya uang yang bisa sekolah. Pandemi telah memperlihatkan sampai di mana keberhasilan pendidikan negeri ini.
Pembelajaran secara daring yang dilakukan selama pandemi, terasa bagai buah simalakama. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate menuturkan, bermigrasinya aktivitas ke media komunikasi daring selama pandemi juga meningkatkan paparan konten negatif ke pengguna internet. Salah satu penyebab banyak warganet yang terpapar konten negatif yang menyesatkan, karena massifnya penggunaan teknologi komunikasi digital sebagai dampak dari pandemi Covid-19. (Liputan6.com)
Namun, faktanya di sisi lain, konten negatif terus diproduksi secara bebas tanpa proteksi yang ketat dari pemerintah. Maka, menjadi wajar jika media saat ini makin kental dengan aroma negatif, terlebih di masa pandemi.
Sistem kapitalisme sekuler tak akan mampu membendung arus konten negatif. Sistem ini hanya fokus pada keuntungan semata tanpa melihat efek negatif bagi masyarakat, terlebih para generasi, hingga dapat kita rasakan dampaknya bagi dunia pendidikan sekarang, bagaimana potret generasinya. Banyak generasi di usia pelajar yang terjerat dalam berbagai kasus, seperti kekerasan, bullying, pelecehan, judi online, sampai pada kasus pembunuhan. Astaghfirullah!
Nah. Bagaimana gambaran pendidikan dalam penerapan syariat Islam? Kala Islam berjaya selama lebih dari 3 abad, banyak bukti kegemilanagan dari peradaban Islam. Majunya kekhilafahan dalam bidang pendidikan termaktub dalam kisah di Andalusia atau yang sekarang terkenal dengan negeri Spanyol.
Andalusia pada saat itu berusaha sekuat tenaga menjadikan masyarakat terbebas dari buta huruf. Bahkan, petani dan anak-anak muslim bisa membaca dan menulis. Dalam buku "The Moorish Civilization in Spain" karya Joseph McCabe halaman 85 digambarkan bahwa saat itu di Andalusia merupakan sebuah aib ketika ada petani muslim yang tidak bisa membaca dan menulis.
Sedangkan di zaman yang sama, raja-raja Eropa tidak mampu menulis namanya sendiri. Kejayaan Islam yang melahirkan ilmu pengetahuan mendorong orang-orang dari negara lain di Eropa datang ke Andalusia. Bahkan, raja Inggris George II mengirim surat kepada pemimpin kaum muslimin, Khalifah Hisyam III Rahimahullah untuk mengizinkan para pemuda Eropa menimba ilmu di daulah khilafah.
Tak hanya raja George II, tetapi juga banyak raja lain yang silau dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Khilafah. Lalu, mereka mengirimkan wakil terbaiknya untuk bersekolah di sana.
Itulah bukti kejayaan Islam. Ketika kaum muslimin menerapkan Islam secara kaaffah di bawah naungan khilafah, Islam tak hanya sekadar agama, tetapi juga ideologi yang terpancar darinya aturan-aturan yang menyeluruh dan paripurna untuk mengatur setiap sendi kehidupan manusia. Hal ini termasuk dalam aturan politik, pemerintahan, ekonomi, hingga pendidikan.
Dalam bidang pendidikan, khilafah memiliki sistem pendidikan yang visioner sejak level dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Landasannya bersumber dari akidah Islam sehingga tercipta generasi dengan kepribadian Islam yang bertakwa kepada Allah Swt. serta yang takut akan penghisaban kelak.
Apalagi, pendidikan dalam khilafah bisa diakses secara cuma-cuma oleh seluruh warga daulah tanpa terkecuali. Sebab, pendidikan merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi negara. Selain itu, khilafah akan benar-benar memberikan fasilitas pendidikan yang memadai.
Negara khilafah wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup serta memadai, seperti gedung-gedung sekolah, balai-balai penelitian, laboratorium, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Sementara, seluruh pembiayaan pendidikan di negara khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fa'i dan kharaj, serta pos milkiyyah 'amah. Maka, bila kita berkaca pada kondisi hari ini, faktanya tingkat pendidikan masih sangat rendah.
Dalam kapitalisme, angka buta huruf begitu tinggi. Sebab saat ini Islam justru dijauhkan dari pengaturan ranah publik dan hanya sebagai ibadah ritual saja. Komersialisasi pendidikan terangkum dalam kebijakan negara di dunia pendidikan saat ini.
Hanya mereka yang beruang yang memiliki kesempatan untuk sekolah. Jika dalam kapitalisme hanya segelintir orang yang bisa bersekolah, dalam Islam, seperti di seperti Andalusia, buta huruf justru menjadi aib. Hal itu terwujud manakala negara menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.
Wallaahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Nia Umma Zhafran
Sahabat Tinta Media