Asuransi BPJS, Agenda Asing dengan Konsep Neoliberalisme
Tinta Media - Sejak adanya pembaharuan jabatan Dewan Pengawas beserta Direksi BPJS Kesehatan untuk masa jabatan tahun 2021-2026, agaknya kinerja BPJS perlahan diperbaiki. Ghufron Mukti Direktur Utama BPJS Kesehatan mengingatkan para pelaku usaha di bidang kesehatan agar tidak hanya mencari keuntungan semata (suarasurabayamedia, 03/10/23). Ia juga menegaskan bahwa BPJS Kesehatan saat ini tidak memiliki utang pada fasilitas kesehatan manapun (cnbcindonesia.com, 14/03/23).
Perbaikan
Kinerja, Solusikah?
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran BPJS
Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025, menyusul perubahan tarif standar
layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.
Sejak
awal pendiriannya BPJS Kesehatan seperti lembaga asuransi privat yang
berorientasi bisnis. Aneh jika Dirut BPJS Kesehatan mengimbau fakses tidak
membeda-bedakan pelayanan dengan orientasi murni pelayanan kesehatan kepada
pasien tanpa memperhitungkan untung rugi. Mustahil!
Tak ayal, pernyataannya mengarah
kepada rencana penghapusan sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. Kemudian diganti
dengan kebijakan implementasi single tarif iuran atau rawat inap standar (KRIS)
yang berlaku 2025 mendatang. Artinya, baik yang bergaji rendah atau tinggi,
iuran yang diberlakukan akan sama.
Ini tak ubahnya mendesain masalah
lama ke masalah baru. Padahalnya masalahnya ada pada pembiayaan kesehatan yang
seharusnya berada di bawah tanggung jawab pemerintah, justru dilimpahkan kepada
rakyat sendiri. Baik ada kelas 1, 2, 3 ataupun single tarif iuran tetap sama
saja. Rakyat akan terbebani dengan biaya kesehatan.
Konsep BPJS Meniadakan Peran Negara
Dalam konsep
neoliberalisme menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik
diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh
pemerintah. Dengan kata lain, asuransi BPJS pada dasarnya adalah pengalihan
tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak
pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan
lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.
Institusi yang dimaksud untuk konteks Indonesia adalah BPJS.
Konsep
asuransi sosial melalui BPJS ini berasal dari WTO (Word Trade Organization),
sebuah institusi perdagangan bentukan Barat pimpinan Amerika, yang memasukkan
layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, atau yang
disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) tahun 1994.
Konsep yang menganggap layanan kesehatan sebagai komoditi bisnis ini akhirnya
menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk undang-undang produk DPR, yaitu
UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) (UU Nomor 40 Tahun 2004) dan BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) (UU Nomor 24 Tahun 2011). Semua itu
terjadi lantaran pemerintah Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan
melaksanakannya melalui program yang disebut Structural Adjusment Program
(Program Penyesuaian Struktural) melalui LoI (Letter of Intent) antara
pemerintah Indonesia dengan IMF, pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis
tahun 1998.
Berdasarkan
fakta tersebut, jelaslah asuransi BPJS merupakan bagian dari agenda asing yang
memaksakan konsep neoliberalisme yakni meniadakan peran pemerintah atas urusan
masyarakat. Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi
orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` :
141).
Konsep
BPJS Bertolak Belakang dengan Jaminan Kesehatan Islam
Islam sudah
memberikan konsep yang jelas terkait jaminan kesehatan bagi masyarakat. Konsep
pelayanan kesehatan yang disajikan oleh BPJS bertolak belakang dengan konsep
Islam. Dalam konsep BPJS, untuk mendapatkan jaminan kesehatan rakyat dipaksa
membayar iuran. Sedangkan dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh rakyat dari
pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Sesuai
dalil umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
فالأمير الذي على الناس راع، وهو مسئول عن رعيته
“Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari)
Dalil di atas
adalah dalil umum bahwa negaralah yang menjamin seluruh urusan rakyatnya,
termasuk di dalamnya jaminan kesehatan. Ditopang pula dengan dalil-dalil khusus
yang menunjukkan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma,
tanpa membebani rakyat untuk membayar:
عن جابر قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم
إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang
dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah
satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada
urat itu.” (HR Muslim no 2207).
Dalam hadits
tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan
rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya
yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani,
Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Oleh: Azimatur Rosyida (Aktivis Muslimah)