Tinta Media: BPJS
Tampilkan postingan dengan label BPJS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BPJS. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Oktober 2023

Asuransi BPJS, Agenda Asing dengan Konsep Neoliberalisme

Tinta Media - Sejak adanya pembaharuan jabatan Dewan Pengawas beserta Direksi BPJS Kesehatan  untuk masa jabatan tahun 2021-2026, agaknya kinerja BPJS perlahan diperbaiki. Ghufron Mukti Direktur Utama BPJS Kesehatan mengingatkan para pelaku usaha di bidang kesehatan agar tidak hanya mencari keuntungan semata (suarasurabayamedia, 03/10/23). Ia juga menegaskan bahwa BPJS Kesehatan saat ini tidak memiliki utang pada fasilitas kesehatan manapun (cnbcindonesia.com, 14/03/23).

Perbaikan Kinerja, Solusikah?

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran BPJS Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025, menyusul perubahan tarif standar layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.

Sejak awal pendiriannya BPJS Kesehatan seperti lembaga asuransi privat yang berorientasi bisnis. Aneh jika Dirut BPJS Kesehatan mengimbau fakses tidak membeda-bedakan pelayanan dengan orientasi murni pelayanan kesehatan kepada pasien tanpa memperhitungkan untung rugi. Mustahil!

Tak ayal, pernyataannya mengarah kepada rencana penghapusan sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. Kemudian diganti dengan kebijakan implementasi single tarif iuran atau rawat inap standar (KRIS) yang berlaku 2025 mendatang. Artinya, baik yang bergaji rendah atau tinggi, iuran yang diberlakukan akan sama.

Ini tak ubahnya mendesain masalah lama ke masalah baru. Padahalnya masalahnya ada pada pembiayaan kesehatan yang seharusnya berada di bawah tanggung jawab pemerintah, justru dilimpahkan kepada rakyat sendiri. Baik ada kelas 1, 2, 3 ataupun single tarif iuran tetap sama saja. Rakyat akan terbebani dengan biaya kesehatan.

Konsep BPJS Meniadakan Peran Negara

Dalam konsep neoliberalisme menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, asuransi BPJS pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Institusi yang dimaksud untuk konteks Indonesia adalah BPJS.  

Konsep asuransi sosial melalui BPJS ini berasal dari WTO (Word Trade Organization), sebuah institusi perdagangan bentukan Barat pimpinan Amerika, yang memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, atau yang disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) tahun 1994. Konsep yang menganggap layanan kesehatan sebagai komoditi bisnis ini akhirnya menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk undang-undang produk DPR, yaitu UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) (UU Nomor 40 Tahun 2004) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) (UU Nomor 24 Tahun 2011). Semua itu terjadi lantaran pemerintah Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan melaksanakannya melalui program yang disebut Structural Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural) melalui LoI (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis tahun 1998.

Berdasarkan fakta tersebut, jelaslah asuransi BPJS merupakan bagian dari agenda asing yang memaksakan konsep neoliberalisme yakni meniadakan peran pemerintah atas urusan masyarakat. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` : 141).

Konsep BPJS Bertolak Belakang dengan Jaminan Kesehatan Islam

Islam sudah memberikan konsep yang jelas terkait jaminan kesehatan bagi masyarakat. Konsep pelayanan kesehatan yang disajikan oleh BPJS bertolak belakang dengan konsep Islam. Dalam konsep BPJS, untuk mendapatkan jaminan kesehatan rakyat dipaksa membayar iuran. Sedangkan dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Sesuai dalil umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

فالأمير الذي على الناس راع، وهو مسئول عن رعيته

“Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari)


Dalil di atas adalah dalil umum bahwa negaralah yang menjamin seluruh urusan rakyatnya, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan. Ditopang pula dengan dalil-dalil khusus yang menunjukkan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar:

عن جابر قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه

Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).

 Oleh: Azimatur Rosyida (Aktivis Muslimah)

Jumat, 04 Agustus 2023

Penambahan Rumah Sakit Pakai BPJS, Bukan Melayani Malah Membebani


Tinta Media - Belum lama ini Bupati Bandung Dadang Supriatna memberikan sambutannya pada acara Seremonial Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Pemkab Bandung dengan Rumah Sakit Oetomo Hospital di Jl. Raya Bojongsoang Desa Lengkong Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung. Dalam sambutannya itu Bupati Bandung menyampaikan bahwa saat ini kabupaten Bandung memliki 15 rumah sakit yang hanya bisa menampung sekitar 2000 tempat rawat inap.

Sementara jumlah penduduk mencapai 3, 72 juta jiwa, dalam arti pemerintah Bandung masih kekurangan sekitar 1.700 tempat rawat inap.

Maka, dengan hadirnya rumah sakit Oetomo ini, pemerintah berharap bisa menjadi solusi dalam bidang kesehatan, serta dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. 

Dadang Supriatna berharap masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan bisa dilayani di Rumah Sakit Oetomo Hospital dengan menggunakan BPJS kesehatan secara gratis terutama bagi warga kurang mampu.

Sebagai masyarakat, tentunya kita mengapresiasi hadirnya rumah sakit untuk menambah kapasitas ruang rawat inap dengan baik. Kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak dan merupakan kebutuhan seluruh warga negara. baik warga kurang mampu atau pun warga mampu harus senantiasa diprioritaskan. Dan yang paling penting, pelayanan kesehatan harus tanpa asuransi dan BPJS. Sebab, jika masih harus menggunakan BPJS itu berarti bukan melayani tapi malah membebani masyarakat. 

Sebagaimana kita ketahui, kebijakan BPJS ini mewajibkan masyarakat untuk membayar iuran secara rutin setiap bulan. Adapun besaran iuran tergantung pada kategori kelas atas, menengah dan bawah. Jika masyarakat tak membayar maka akan dikenakan sanksi berupa pajak dan denda. Artinya, pelayanan kesehatan dengan menggunakan BPJS itu tidak gratis, namun kita membayar terlebih dahulu dan baru bisa digunakan saat kita sakit, itu pun harus melalui prosedur yang sulit. 

Dan jikapun kita tidak pernah menggunakan pelayanan BPJS ini, maka iuran yang kita bayar tidak akan kembali. Itu berarti, kesehatan tak ubahmya sebuah bisnis unruk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Membisniskan penyakit yang menimpa masyarakat.

Mestinya Rumah Sakit menjadi bagian dari pemerintah dalam melayani kebutuhan kesehatan rakyat. 

Penandatangan kesepakatan ini cermin bahwa pada dasarnya kesehatan ditanggung oleh rakyat. Pemda hanya berharap saja rumah sakit bisa melayani rakyat. Paradigma seperti ini lahir dari cara pandang kapitalis. Terlebih setelah disahkannya RUU Kesehatan yang menghilangkan mandatory steping yang berarti kesehatan ditanggung oleh rakyat melalui asuransi wajib (BPJS). Semua ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan, lepas tanggung jawab dalam melayani kesehatan rakyat. 

Sementara, dalam sistem Islam, berbagai rumah sakit telah dipersiapkan berikut segala keperluan dan kebutuhannya dijamin oleh negara. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus. Pada tahun 1160 yaitu rumah sakit Bimaristan yang bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. 

Inilah bukti keberhasilan peradaban Islam diatas paradigma shohih tentang kesehatan. Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab negara.

Dalam Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administrasi sistem kesehatan bersandar pada aturan syariah islam, begitu pun dengan sarana dan prasarananya juga sumber daya manusia sebagai pelaksana sistem kesehatan seperti dokter, perawat dan tenaga medis lainnya disediakan dan dipenuhi oleh negara, sehingga kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan terpenuhi secara gratis dan berkualitas. 

Bukan hanya gratis, negara pun memberikan pelayanan kepada para pasien dengan memberikan pakaian dan uang saku yang cukup selama dalam perawatan. Dana yang dikeluarkan diambil dari Baitulmal Mal yang berasal dari harta zakat (fakir miskin/orang tak mampu berhak mendapatkan zakat), kemudian juga dari fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb. 

Atau juga diambil dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.

Maka, hanya dengan sistem Islam, umat dapat merasakan pelayanan kesehatan gratis dan dengan pelayanan yang maksimal tanpa harus membayar iuran sebagaimana BPJS ataupun asuransi kesehatan lainnya. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam dengan menerapkan syariah Islam pada seluruh aspek kehidupan agar keberkahan dapat dirasakan oleh seluruh umat di penjuru dunia.

Wallahu'alam bisshawab.

Oleh: Tiktik Maysaroh 
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 07 Desember 2022

Ustazah Rif'ah Kholidah: BPJS adalah Bentuk Komersialisasi Kesehatan

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah Ustazah Rif'ah Kholidah menilai adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa BPJS sebenarnya merupakan bentuk komersialisasi kesehatan.

“Bila kita telaah keberadaan JKN atau jaminan kesehatan nasional dengan institusinya yaitu BPJS kesehatan sejatinya adalah komersialisasi kesehatan,” ungkapnya dalam tayangan Serba-serbi MMC: Bagaimana Jaminan Kesehatan dalam Islam? Ahad (4/12/2022) di laman YouTube Muslimah Media Center. 

Konsep ini, sambungnya, lahir dari konsep jaminan kesehatan kapitalistik, bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial adalah entitas yang lebih kapabel dari pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

“Hal ini, jika dijelaskan dalam sejumlah dokumen diantaranya yaitu, Jerman Teknikal Corporation atau GTC. Sebuah LSM yang berperan aktif dalam membidangi JKN,” paparnya.

Di dalam dokumen tersebut, sebutnya, dijelaskan bahwa ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama
peserta jaminan sosial.

Ia menjelaskan bahwa konsep ini adalah konsep yang batil dan haram karena bertentangan dengan syariat Islam..

Konsep Islam

“Konsep jaminan kesehatan dalam Islam adalah konsep yang agung karena berasal dari zat yang menciptakan manusia yakni Allah SWT. yang terpancar
dari pemikiran yang bersumber dari Alquran dan as-sunnah, sehingga menjadi
rahmat bagi seluruh alam,” bebernya.

Dalam kitab Siyasah ar Roiyah as Shihayah dijelaskan beberapa prinsip jaminan kesehatan di dalam Islam.”Yang pertama, bahwa kesehatan itu merupakan kebutuhan pokok publik yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan akan makan dan kebutuhan keamanan serta yang lainnya,” tuturnya.

Hal ini, ungkapnya, ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan yang aman terhadap kelompoknya sehat badannya memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia menjadi miliknya. (hadits riwayat at Tirmidzi)

“Prinsip yang kedua adalah bahwa Islam mewajibkan kepada negara memberikan jaminan kesehatan secara gratis dan berkualitas kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang status ekonominya, apakah dia kaya ataukah dia itu miskin. Maka, semua rakyatnya berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan kebutuhan medisnya,” ujar Ustazah Rif'ah.

Ia mengatakan ketentuan ini didasarkan dari hadis Rasulullah SAW, dari Jabir,
Rasulullah SAW, yang artinya, ”Rasulullah SAW, pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka'ab yang sedang sakit. Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka'ab lalu melakukan kay atau pengobatan dengan besi panas pada urat itu.” (Hr. Muslim)

Dari hadis ini, ia menyampaikan bahwa dapat kita pahami jika Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya, dengan mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya sepeser pun dan tanpa membebani. Apalagi memaksa rakyatnya untuk mengeluarkan uang mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.

“Prinsip yang ketiga adalah bahwa pengadaan layanan sarana dan prasarana
kesehatan wajib diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya,” tuturnya.

Jika, sambungnya, pengadaan layanan kesehatan tersebut tidak ada akan menyebabkan dhoror atau bahaya, maka negara wajib untuk menghilangkan dhoror atau bahaya tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang artinya:

 “Tidak boleh menimbulkan dhoror atau bahaya pada diri sendiri juga bagi orang yang lain. Barangsiapa yang membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya. Dan barangsiapa yang menyusahkan atau menyempitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkan kepadanya,”
(HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Prinsip yang keempat, tambahnya, adalah negara wajib mengalokasikan anggaran belanjanya untuk memenuhi kesehatan bagi seluruh rakyat. Dan haram bagi negara untuk melalaikan kewajibannya atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain, baik swasta atau rakyatnya sendiri.

Sebab, ia menuturkan, tanggung jawab pemenuhan kesehatan adalah merupakan kewajiban yang harus seimbang oleh negara. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar yang artinya, “pemimpin atau imam atau kepala negara adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR, Bukhari)

“Dari sinilah jelas bahwa Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan kepada rakyatnya secara gratis tanpa pandang bulu. Dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya,” pungkasnya.[] Wafi

Senin, 05 Desember 2022

Menkes Sebut Orang Kaya Bebani BPJS Kesehatan, MMC: Ini Bentuk Nyata Kezaliman Negara

Tinta Media - Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mencurigai sejumlah konglomerat atau orang kaya membebani BPJS Kesehatan dengan biaya tinggi pengobatan mereka lalu mengharuskan mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS-nya dengan asuransi kesehatan swasta, menurut Muslimah Media Center (MMC), adalah bentuk nyata kezaliman negara pada rakyatnya. 

“Ini adalah bentuk nyata kezaliman negara pada rakyatnya sendiri,” tutur narator dalam rubrik Serba-Serbi MMC: Konglomerat Dicurigai Jadi Beban BPJS, Kezaliman pada Rakyat? Kamis (1/12/2022) di kanal youtube Muslimah Media Center. 

MMC menilai sikap pemerintah terhadap BPJS orang kaya ini semakin mencerminkan negara melepas tanggung jawab atas layanan kesehatan rakyatnya. “Keberadaan BPJS saja sejatinya sudah bentuk pemalakan terhadap rakyat. Jaminan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS faktanya justru telah memberatkan rakyat karena rakyat dipaksa membayar premi agar mendapatkan layanan kesehatan,” urainya.

Menurut MMC, layanan kesehatan yang seharusnya didapatkan secara gratis atau murah justru mengharuskan rakyat membayar iuran wajib sejatinya rakyatlah yang menjamin sendiri kesehatannya bukan Pemerintah.  
 
“Jaminan kesehatan rakyat oleh negara hanyalah jargon-jargon yang menipu. Regulasi yang dibuat tidak lepas dari paradigma kapitalis yang menjadikan kesehatan sebagai objek komersialisasi. Konsep good governance yang menyerahkan pengurusan kemaslahatan rakyat kepada pihak korporasi adalah implementasi kerangka berpikir kapitalistik,” ungkapnya.

 MMC melihat seluruh konsep yang diadopsi dari sistem ini menjadikan Pemerintah mengabaikan fungsinya sendiri sebagai pengurus urusan rakyat. “Di saat yang sama pemerintah seolah tak mampu memikirkan alternatif solusi kesehatan selain menyerahkan pada pihak korporasi. Pemerintah malah memproduksi kebijakan yang semakin memperkuat peran swasta untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari urusan rakyat ini,” geramnya.

Layanan Kesehatan Dalam Islam

MMC mengungkapkan ada perbedaan yang nyata antara layanan kesehatan kapitalis dengan layanan kesehatan dalam sistem yang berparadigma Islam. Layanan kesehatan dalam Islam akan dijamin sepenuhnya oleh negara Khilafah.  

“Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan asasi setiap individu di samping keamanan dan pendidikan. Syariah menetapkan bahwa negaralah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan asasi tersebut untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali,” jelasnya.

Ini, menurut MMC berdasarkan sebuah hadits riwayat Al-Bukhari yang artinya: “Imam atau kepala negara itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia Pimpin.”

“Salah satu implementasi dari hadis tersebut adalah negara Khilafah wajib menyediakan layanan kesehatan bagi setiap individu rakyat secara gratis. Paradigma Khilafah dalam mengatur urusan rakyat adalah melayani dan bertanggung jawab sepenuhnya. Khilafah tidak akan mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai pasar untuk barang dan jasa kesehatan,” tambahnya.

Selain itu, masih menurutnya khilafah menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter, dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan kesehatan maksimal.

“Khilafah akan membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya. Pada masa Khilafah Umayyah banyak dibangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tunanetra. Demikian pula Khilafah Abbasiyah banyak mendirikan rumah sakit di Baghdad, Kairo, dan Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling,” ujarnya.

Untuk pembiayaan layanan kesehatan rakyat, menurut MMC akan mengambil dari kas negara Khilafah. “Kas negara khilafah lebih dari mencukupi untuk menjamin pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis bagi setiap individu masyarakat. Pasalnya Khilafah mengelola seluruh sumber daya alam dan harta milik umum untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” bebernya.

MMC menambahkan khilafah akan menetapkan kebijakan larangan privatisasi harta-harta milik umum. “Privatisasi sumber daya alam dan harta-harta milik umum hanya menghilangkan sumber pemasukan besar negara. Khilafah juga terbebas dari hutang riba luar maupun dalam negeri yang dalam praktiknya amat membebani anggaran negara,” tuturnya.

MMC menyampaikan agar ada jaminan setiap individu rakyat dapat mengakses layanan kesehatan terbaik secara gratis membutuhkan sistem pemerintahan dan kebijakan yang benar. 

“Agar ada ketercukupan dana dalam layanan kesehatan gratis atau murah dibutuhkan pemerintah dan kebijakan yang menjadikan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di tangan pemerintah bukan swasta. Hal ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik yakni aqidah dan syariah Islam syariah yaitu sistem pemerintahan Khilafah,” pungkasnya.[] Erlina

Rabu, 07 September 2022

Urus SIM Harus Punya BPJS, Siyasah Institute: Beban Warga Bertambah

Tinta Media - Terkait kebijakan pemerintah yang mengharuskan punya BPJS saat mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai hal ini semakin menambah beban warga.

"BPJS jadi persyaratan berbagai transaksi di masyarakat seperti pembuatan paspor, SKCK, SIM dan STNK. Ini beban tambahan lagi untuk warga. Sudahlah buat SIM bayar harus ditambah lagi tanda peserta BPJS. Negara memang aktif betul tarik iuran dari warga dan hindari kewajiban pada rakyat," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (5/9/2022).

Ustaz Iwan mengatakan, pungutan BPJS itu selain membebani warga juga perusahaan. "Sakit atau tidak, warga dan perusahaan tetap harus bayar iuran," ungkapnya. 

Menurutnya, mewajibkan warga masyarakat ikut BPJS itu sudah menyusahkan dan mengalihkan tanggung jawab negara mengenai jaminan kesehatan.

"Mewajibkan warga ikut BPJS saja sudah menyusahkan warga, karena BPJS itu sama dengan negara alihkan tanggung jawab jaminan kesehatan pada warga secara mandiri. Padahal harusnya itu tanggung jawab negara," ujarnya.

Ustaz Iwan menilai, tabiat kapitalisme memang minim partisipasi dan membantu rakyatnya. "Dalam negara kapitalis, hal seperti ini lumrah terjadi. Negara kapitalis memang minim partisipasi dan bantu rakyat. Harapkan negara jamin kehidupan rakyat adalah berat," terangnya.

Negara itu harusnya hadir, lanjutnya, untuk memudahkan urusan rakyat. Bukan ditambah beban biaya hidup, tapi justru harus terus diringankan. Apalagi hal-hal yang memang jadi tanggung jawab negara seperti jaminan kesehatan, negara harus hadir melayani warga.

Terakhir, ia menegaskan bahwa hanya dengan penerapan syariat Islam, negara hadir untuk menjamin dan bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya.

"Hanya dalam syariat Islam negara diwajibkan jamin kehidupan dan bertanggung jawab layani publik. Di luar Islam, tidak ada itu," pungkasnya.[] Nur Salamah

Urus SIM Harus Terdaftar BPJS, Om Joy: Kezaliman di Atas Kezaliman!

Tinta Media - Syarat pengurusan SIM dan STNK yang mengharuskan masyarakat memiliki kartu BPJS Kesehatan, dinilai Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) sebagai kezaliman di atas kezaliman. 

"Dijadikannya keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurus SIM dan STNK merupakan kezaliman di atas kezaliman," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (2/9/2022).

Om Joy menilai hal ini sama sekali tidak dapat dibenarkan (bila dilihat dari sudut pandang Islam) karena memaksa umat Islam untuk bermaksiat dan semakin menambah sengsara rakyat saja. "Rezim negara Fansa Zila mestinya sadar mengapa banyak rakyat yang mayoritas Muslim dan sedikit di atas garis kemiskinan (sehingga tetap harus membayar premi bila ikut BPJS) tidak ikut serta BPJS Kesehatan," katanya. 

Menurutnya, setidaknya ada tiga alasan. 𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒊𝒅𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊𝒔. Kaum Muslim yang memahami hakikat BPJS merupakan asuransi, dan memahami akad dan bayar premi asuransi merupakan keharaman tentu saja berupaya keras untuk tidak ikut BPJS. "Karena mengikuti sesuatu yang diharamkan, sama saja dengan bermaksiat. Dan kesadaran ini insyaAllah semakin meningkat," ujarnya. 

𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒆𝒌𝒐𝒏𝒐𝒎𝒊. "BPJS Kesehatan untuk kelas III, kelas yang paling kecil bayar preminya. Per kepala per bulan itu preminya Rp35 ribu (aslinya Rp42 ribu, yang Rp7 ribu disubsidi negara). Kalau sekeluarga ada lima orang, berapa yang harus dibayar per bulan? Rp175 ribu! Angka yang sangat memberatkan, apalagi di tengah naiknya berbagai harga barang dan jasa, belum lagi akan terjadinya inflasi yang lebih parah akibat penaikan (ya penaikan, bukan kenaikan) harga BBM. Sedihnya, angka kemiskinan akan semakin meningkat," bebernya. 

𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒌𝒐𝒎𝒃𝒊𝒏𝒂𝒔𝒊. Kombinasi antara alasan pertama dan kedua. "Dengan dijadikannya keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurus SIM dan STNK tentu saja membuat rakyat yang menghindari keharaman asuransi dan juga yang secara ekonomi berat membayar premi bahkan sekadar untuk kelas III, benar-benar merasa dizalimi," ungkapnya. 

Sekali lagi ia katakan, bahwa rezim negara Fansa Zila ini benar-benar zalim! "Bagaimana tidak, bila tidak bikin SIM dan STNK, nanti ketika mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya bisa ditilang. Bila bikin SIM dan STNK, jadi bermaksiat dan beban ekonomi semakin bertambah berat," geramnya.

Menurutnya, dengan menjadikan BPJS sebagai syarat pengurusan SIM dan STNK sama saja dengan memaksa rakyat untuk bermaksiat dan semakin menyengsarakan rakyat. "Bukan hanya di dunia ini, tetapi juga sampai di akhirat. Beginilah bila kita hidup di negara yang jauh dari penerapan syariat," tegasnya. 

Dalam pandangan syariat, kata Om Joy, sumber daya alam yang hasilnya berlimpah, seperti tambang emas, minyak, dan mineral serta energi lainnya yang hasilnya berlimpah itu termasuk kepemilikan umum (𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ), haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing (asing penjajah lagi). 

"Negara wajib mengelolanya yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat salah satunya dalam bentuk fasilitas kesehatan dan operasional kesehatan sehingga rakyat, baik kaya maupun miskin sama-sama berobat murah bahkan gratis," terangnya. 

Namun ia menyayangkan, negeri yang mayoritas Muslim ini tidak menerapkan syariat, tetapi malah menerapkan sistem kufur demokrasi yang merupakan pengamalan dari sila keempat Fansa Zila. 

"Dalam sistem kufur demokrasi, 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ diprivatisasi. Sehingga dengan leluasa kafir penjajah Amerika Serikat dapat merampok tambang emas yang berlimpah di Papua, begitu juga kafir penjajah negara Cina bisa mengeruk dengan semena-mena batu bara di Kalimantan, nikel di Sulawesi. Belum lagi kafir penjajah lainnya, para oligarki, dan para oknum pejabat yang juga turut merampok 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ. Dan, dalam pandangan demokrasi-Fansa Zila itu legal! Padahal jelas-jelas dalam pandangan Islam itu haram, ilegal, dan kriminal!" bebernya. 

Walhasil, kata Om Joy, negara Fansa Zila ini tidak memiliki biaya untuk membiayai kesehatan rakyatnya. "Namun, para penyelenggaranya yang mayoritas beragama Islam ini bukannya tobat kemudian menerapkan syariat, eh, malah menambah maksiat dengan memaksa rakyat untuk membiayai kesehatan dirinya sendiri dengan skema asuransi (yang jelas-jelas diharamkan Islam), dengan kedok gotong-royong. Padahal aslinya, menjamin kesehatan rakyat itu kewajiban negara," sesalnya.  

Sedangkan para aktivis Islam yang mendakwahkan kewajiban penerapan syariat Islam secara kaffah (yang di dalamnya termasuk kewajiban pengelolaan 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ), lanjutnya, malah dipersekusi dan dikriminalisasi. Dan, kini kezalimannya semakin menjadi dengan menjadikan keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurusan SIM dan STNK. 

"Mau sampai kapan kita berdiam diri dizalimi bertubi-tubi seperti ini? Jangan lupa, berdiam diri atas kezaliman juga merupakan kezaliman. Karena melakukan amar makruf nahyi mungkar dan 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 (mengoreksi penguasa) merupakan kewajiban," pungkasnya.[] Achmad Mu’it 

Minggu, 03 Juli 2022

Iuran BPJS Kesehatan Disesuaikan dengan Penghasilan, Akankah Terwujud Keadilan?


Tinta Media - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dikabarkan akan melebur pelayanan rawat inap ruang kelas 1, 2 dan 3 menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dan pada Juli 2022 uji coba KRIS dilakukan di 5 rumah sakit milik pemerintah. (Detikfinance, 01/07/2022)

Dengan adanya peleburan ini, iuran nantinya akan ditentukan dari besar pendapatan peserta, sebagai mana penjelasan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri.

"Iuran disesuaikan dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial sesuai dengan besar penghasilan. Inilah gotong royong sosial yang diinginkan oleh UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)," katanya. (Detikfinance, 09/06/2022)

Gonta-ganti kebijakan agar menguntungkan korporat adalah ciri khas kepemimpinan sistem kapitalis. Hal ini karena yang menjadi penguasa sesungguhnya dalam sistem ini bukanlah negara, melainkan korporat. Salah satu buktinya adalah BPJS ini. BPJS awalnya dipromosikan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap kebutuhan vital masyarakat. Pemerintah memosisikan BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik dengan dasar pasal 7 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Namun, pada praktiknya BPJS Kesehatan bukanlah Jaminan Kesehatan Nasional, melainkan asuransi kesehatan nasional yang dikendalikan oleh swasta.

Artinya, program BPJS adalah bentuk pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang seharusnya ada di pundak pemerintah. Namun, atas nama gotong royong, perusahaan asuransi mewajibkan rakyat membayar iuran dahulu setiap bulan, dan hanya peserta yang membayar premi saja yang akan mendapat pelayanan kesehatan BPJS.

Sungguh, ini adalah sebuah bentuk kezaliman. Bahkan lebih dari itu, konsep BPJS sangat bertentangan dengan Islam. Ini karena Islam melarang adanya asuransi. Ketika BPJS mengalami berbagai persoalan, seperti defisit, korupsi, layanan yang banyak mendapatkan kritikan, dan lain-lain, malah rakyat yang harus bertanggung jawab.

Aturan premi diubah dengan menaikkan harga. Saat aturan ini dirasa tidak begitu menguntungkan, maka diubahlah kebijakan dengan penghapusan kelas.

Konsekuensinya, peserta BPJS kelas 3 harus membayar lebih mahal daripada iuran saat ini. Padahal, kondisi ekonomi saat ini belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Tentu saja kebijakan peleburan BPJS Kesehatan ini akan memberatkan masyarakat, terutama yang selama ini menjadi peserta kelas 3.

Inilah bentuk kezaliman sistem kapitalis kepada rakyat dari sektor jaminan kesehatan. Ini jauh berbeda dengan sistem kesehatan yang diselenggarakan oleh sistem Islam, yaitu khilafah. Orientasi layanan kesehatan dalam sistem khilafah adalah mewujudkan layanan terbaik untuk rakyat dalam rangka hifz an nafs (menjaga jiwa).

Selain itu, kesehatan dalam pandangan fikih ekonomi Islam merupakan salah satu bentuk kebutuhan dasar publik yang mutlak ditanggung oleh negara. Maka, layanan kesehatan dalam khilafah tidak akan ada komersialisasi. Karena itu, rakyat bisa mendapatkan layanan tersebut dengan gratis.

Untuk mewujudkan hal itu, khilafah akan mengalokasikan sumber dana kesehatan dari Baitul mal (kas negara) pos kepemilikan umum. Dana pos ini berasal dari pengelolaan kekayaan milik publik, yaitu Sumber Daya Alam (SDA), bukan iuran rakyat. Hal ini sebagaimana pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. selaku kepala negara.
Beliau pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, lalu beliau menjadikannya dokter umum untuk seluruh masyarakat secara gratis.

Begitu pula pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, beliau juga pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam, pembantu beliau, secara gratis. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga mengalokasikan anggaran dari baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit di Syam.

Kebijakan ini terus berlanjut sampai khalifah-khalifah setelahnya selama 1.300 tahun.
Maka, publik bisa melihat ketika sistem khilafah masih eksis di muka bumi. Banyak rumah sakit-rumah sakit didirikan dengan pelayanan yang begitu luar biasa. 

Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di daulah Islam. Tidak hanya di kota-kota besar, bahkan ada rumah sakit keliling yang mendatangi tempat-tempat terpencil. Juga ada para dokter yang mengobati para tahanan. Bahkan, rumah sakit dalam khilafah dijadikan tempat persinggahan para pelancong asing yang ingin ikut merasakan layanan rumah sakit yang mewah sekaligus gratis.

Individu yang kaya juga boleh turut membiayai pelayanan kesehatan melalui mekanisme wakaf. Ini seperti Saifuddin Qalawun, seorang penguasa pada zaman Abbasiyah yang mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan Rumah Sakit Al-Manshuri Al-Kabir di Kairo, Mesir.

Inilah bentuk jaminan dalam sistem khilafah yang mampu memberikan layanan terbaik dengan gratis kepada warganya tanpa ada penarikan iuaran seperti BPJS saat ini. Inilah sistem yang dibutuhkan oleh umat, di saat sistem kapitalis membuat rakyat semakin menderita.

Oleh: Gusti Nurhizaziah 
Aktivis Muslimah



Selasa, 28 Juni 2022

KRIS BPJS, Mampukah Mewujudkan Keadilan?


Tinta Media - BPJS kesehatan akan menghapus layanan rawat inap berjenjang menjadi kelas rawat inap standar (KRIS). Dengan demikian, ke depannya pasien yang menggunakan BPJS tidak akan ada klasifikasi kelas 1,2, dan 3. Semua pasien akan mendapatkan layanan dalam ruang kelas inap yang sama atau tunggal.

Sepintas kebijakan ini seperti memberikan keadilan sosial bagi masyarakat, karena tidak ada jenjang terhadap layanan rawat inap. Hanya saja, menurut YLKI, dari sisi perlindungan konsumen rencana ini perlu dikritisi. Salahsatunya karena untuk peserta BPJS kesehatan existing yang saat ini terdaftar di kelas 1 (satu), harus secara sukarela turun kelas dan menyesuaikan KRIS.

Nah, untuk pasien eks kelas 1 yang tidak  mau dirawat inap di ruang bersama, maka dipersilahkan naik ke kelas VIP yang dimiliki rumah sakit. Tentu saja dengan konsekuensi membayar selisih biaya, menjadi pasien umum, atau dicover asuransi swasta (jika punya). Sedang peserta existing yang terkelompok di kelas 3, terpaksa harus naik kelas. Tentu saja konsekuensi iuran juga berpotensi naik.

Dengan demikian, patut diduga bahwa kelas standar (KRIS) ini digagas untuk mengakomodasi kepentingan asuransi komersial. Pihak RS akan berlomba memperbanyak ruang VIP untuk mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar. 

Dari paparan di atas, semakin nampak bahwa saat ini pemerintah semakin berlepas tangan terhadap pelayanan kesehatan yang sejatinya bagian dari kebutuhan mendasar manusia. Pihak swasta diberikan "jatah bermain" di area yang seharusnya tidak boleh mengambil keuntungan di sana.

Namun sayang, karena saat ini sistem yang berjalan berorientasi pada materi, maka seluruh cabang kehidupan termasuk kesehatan menjadi lahan basah untuk mengeruk keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal. Akhirnya, pihak yang kuat akan menguasai pihak yang lemah. Wajar kalau saat ini muncul pernyataan "orang miskin dilarang sakit". 

Dalam kacamata syariat Islam, kesehatan adalah aspek yang menjadi kebutuhan mendasar manusia. Pemenuhannya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan individu. Karena itu, tidak boleh bagi para pemimpin memungut uang dari masyarakat untuk membiayai kesehatannya sendiri.

Pengaturan ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. tak pernah memungut biaya bagi umatnya untuk memperoleh jaminan kesehatan. Hal itu tercantum dalam hadis HR. Muslim 2207 saat salah seorang sahabat sedang sakit, dan dokter memotong urat dan mengobatinya.

"Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu."

Demikianlah pengaturan Islam tentang kesehatan. Justru Islamlah satu-satunya sistem yang akan memberikan keadilan sebenarnya kepada masyarakat. Hanya saja, kebijakan ini hanya akan bisa direalisasikan jika pemerintah saat ini mau mengambil Islam sebagai landasan dalam pengambilan seluruh kebijakan. Maka, sudah saatnya negeri ini kembali kepada syariat Islam, apalagi yang kita tunggu?

Wallahu'alam

Oleh: Fenti
Sahabat Tinta Media

Kamis, 26 Mei 2022

Nunggak BPJS Terancam Denda 30 juta Rupiah, Siyasah Institute: Ini Kezaliman Berlipat Negara pada Rakyat


Tinta Media - Ancaman denda 30 juta rupiah kepada peserta yang menunggak BPJS berdasar Perpres Nomor 64 tahun 2020 dinilai Direktur Siyasah Institute Iwan Januar sebagai bentuk kezaliman berlipat negara pada rakyat.

"Keputusan ini bukan saja kezaliman berlipat negara pada rakyat. Sudahlah berlepas tangan dari kewajiban menjamin kesehatan warga, mengancam dengan denda yang berat. Asuransi kesehatan rasa rentenir," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/5/2022).

Iwan mengatakan, meskipun ada Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang gratis, tapi tidak semua warga yang bisa mendapatkannya dan dibatasi jumlahnya.

Ia menilai Perpres ini tidak berkeadilan dan tidak berkemanusiaan. Negara tutup mata kalau pungutan BPJS menambah beban pengeluaran warga, sementara tingkat perekonomian warga tidaklah merata. "Namun tetap dipaksa bahkan diancam untuk ikut jadi peserta bila tidak maka akan dipersulit berbagai keperluan administrasi oleh negara," ujarnya.

"Untuk perusahaan saja BPJS sudah menambah beban mereka, terutama di masa krisis seperti sekarang," imbuhnya.

Ia menjelaskan bahwa beginilah negara yang menerapkan ideologi kapitalisme. Bukan melayani, negara malah memalaki rakyat. "BPJS adalah kapitalisasi hajat rakyat," terangnya.

"Beda dalam syariat Islam, dimana negara Khilafah bertanggung jawab penuh atas layanan kesehatan masyarakat," pungkasnya.[] Ajirah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab