Tinta Media - Akhirnya pemerintah benar-benar tega menaikkan harga BBM di tengah banyaknya kesulitan yang diderita rakyat saat ini. Bahkan, BBM jenis Pertalite naik tidak tanggung-tanggung, dari Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter. Padahal, selama ini Pertalite dikonsumsi jutaan masyarakat menengah ke bawah. Solar subsidi juga naik dari Rp5.150/liter menjadi Rp6.800/liter. Pertamax, yang belum lama ini naik, juga dinaikkan kembali. Harganya, dari Rp12.500/liter menjadi Rp14.500/liter.
Salah satu alasan kebijakan menaikkan BBM adalah karena besarnya subsidi BBM yang mencapai Rp502 triliun dan itu dirasa sangat membebani APBN. Namun, ini dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya dan telah mendapatkan protes dari banyak kalangan dan ekonom. Karena nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN hanya sebesar Rp149,4 triliun saja.
Justru beban APBN yang terbesar itu dari pembayaran utang. Kita lihat pada tahun ini saja bunga utang yang harus dibayar sekitar Rp404 triliun, sekitar 20 persen dari APBN. Namun, utang itu tidak pernah dianggap sebagai beban. Buktinya, yang terjadi pemerintah justru terus menumpuk utang.
Dengan adanya kebijakan menaikkan harga BBM, jelas akan menambah beban bagi rakyat. Hal ini bisa berdampak secara langsung pada naiknya harga pangan maupun berbagai kebutuhan lainnya, bahkan bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.
Seperti yang kita ketahui bahwa BBM adalah sumber energi. Dalam sektor pangan, BBM digunakan untuk transportasi ketika mendistribusikan bahan-bahan pangan. Jika BBM naik, otomatis biaya transportnya juga ikut naik, dan pasti akan berdampak pada naiknya harga bahan.
Kemudian dalam sektor industri, naiknya BBM bisa memicu terjadinya PHK massal. Hal ini karena naiknya harga BBM akan membuat bertambah besarnya biaya produksi, akhirnya membuat beban biaya pabrik juga akan bertambah.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menjelaskan bahwa ada dua faktor yang menekan kinerja manufaktur jika harga BBM naik.
Pertama, permintaan domestik yang berpotensi turun seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat, terutama permintaan terhadap kebutuhan dasar, seperti produk-produk kesehatan, makanan dan minuman dan produk tekstil.
Kedua, kenaikan harga BBM dinilai bakal menambah beban industri manufaktur yang dipastikan berhadapan dengan persoalan naiknya ongkos produksi, baik karena penggunaan BBM untuk operasi mesin maupun transportasi dan logistik.
Dengan kondisi ini, para pelaku industri tidak punya banyak pilihan. Untuk efesiensi proses produksi, maka PHK adalah langkah yang sangat mungkin dilakukan oleh pabrik. Efek lainnya, kenaikan BBM akan memicu terjadinya inflasi. BPS mencatat kenaikan BBM nonsubsidi mulai April 2022 memberikan dampak sekitar 19 hingga 20 persen terhadap inflasi secara umum.
Tentu keputusan menaikkan harga BBM ini berpotensi meningkatkan inflasi ke depan. Jika daya beli masyarakat rendah karena harga pangan yang melonjak, PHK besar-besaran pun terjadi, ekonomi nasional terjadi stagflasi. Kondisi ini akan berdampak pada keadaan sosial. Kemiskinan dan pengangguran juga akan ikut meningkat.
Kenaikan BBM adalah bukti salah kelola sektor migas. Migas adalah sumber daya alam (SDA) yang merupakan kekayaan milik rakyat yang harusnya bisa dinikmati rakyat. Namun sayang, pengelolaan migas yang saat ini dibawah sistem kapitalisme justru menjadikan swasta legal untuk menguasai SDA. Mereka bahkan mengendalikan pengelolaan migas dari hulu ke hilir. Akibatnya, kapitalisasi dan liberalisasi migas tidak terelakkan.
Sementara, penguasa dalam sistem kepitalis ini bukan sebagai periayah (pengurus), mereka hanya sebagai regulator untuk melancarkan keinginan para korporat. Penguasa mengklaim, kenaikan BBM ini adalah upaya efesiensi subsidi yang salah sasaran. Padalah, jika mereka ingin mengelola SDA migas secara benar, blok-blok migas lebih dari cukup memenuhi kebutuhan negeri.
Selain itu, penguasa kapitalis juga miskin empati. Untuk meredam gejolak akibat kenaikan BBM, rakyat dibius dengan BLT. Padahal, BLT sangat tidak sebanding dengan beban hidup yang dirasakan rakyat akibat kenaikan BBM ini.
Inilah kezaliman pengeloaan BBM yang lahir dari sistem kapitalis. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan pengelolaan BBM dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Sistem Khilafah menempatkan negara sebagai periayah (pengurus) kebutuhan umat. Khilafah tidak akan memberi celah sedikit pun kepada para korporat untuk menguasi sumber daya alam. Sebab, Islam telah menetapkan SDA yang jumlahnya melimpah adalah harta kepemilikan rakyat dan negera wajib mengelola dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR. Ibn Majah)
Maka, pengelolaan sektor migas yang menjadi bahan baku BBM pun juga harus mengikuti hukum syariat tersebut. Migas adalah jenis harta kepemilikan umum yang tidak bisa secara langsung dimanfaatkan oleh rakyat. Sebab, dibutuhkan teknologi canggih, tenaga ahli dan terampil, maupun biaya yang besar agar hasilnya dapat dinikmati.
Dalam hal ini, syariat menetapkan bahwa negara yang berhak mengeksplorasi, mengeksploitasi, dan mengelola harta tersebut sebagai wakil rakyat. Khilafah akan mengembalikan hasil SDA ini dalam dua mekanisme.
Pertama, secara langsung, yaitu Khilafah memberikan subsidi energi, seperti BBM, listrik, dan sejenisnya, sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan energi mereka dengan harga terjangkau. Hal ini karena negara hanya membebankan biaya ongkos produksi.
Kedua, secara tidak langsung, Khilafah boleh menjual migas kepada industri dengan harga wajar atau menjualnya keluar negeri dengan mendapat keuntungan maksimal. Hasil keuntungan ini akan masuk ke dalam pos kepemilikan umum, yaitu Baitul Mal Khilafah. Dari dana pos kepemilikan umum ini, Khilafah bisa menjamin kebutuhan dasar publik seperti halnya pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara mutlak.
Dengan mekanisme ini, semua warga Khilafah pun bisa menikmati layanan tersebut dengan gratis. Konsep pengelolaan migas dalam Khilafah ini akan mampu menghilangkan efek domino kenaikan BBM akibat penerapan sistem kapitalis.
Maka, sudah selayaknya kita meninggalkan sistem kapitalisme-sekuler-liberal dan menggantikannya dengan sistem Islam. Sistem Islam jelas akan mendatangkan maslahat dan keberkahan. Sementara, sistem kapitalis-sekuler terbukti telah banyak menimbulkan kerusakan.
Aktivis Muslimah