BBM Mahal, Niscaya dalam Sistem Kapitalisme
Tinta Media - Penyesuaian harga BBM non subsidi, yaitu pertamax, kembali diberlakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga. Diketahui harga pertamax naik per 10 Agustus 2024, menjadi Rp.13.700 dari harga sebelumnya, yakni Rp.12.950 (kompas.com, 10/8/2024). Kebijakan ini pun diikuti oleh beberapa perusahaan penyedia bahan bakar lainnya, seperti Shell Indonesia, BP-AKR dan Vivo Energy (cnbcindonesia.com, 12/8/2024).
Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari mengungkapkan, perubahan harga BBM non Subsidi sebetulnya telah ditetapkan oleh seluruh badan usaha semenjak awal Agustus 2024. Penetapan dan penyesuaian harga tersebut sudah sesuai dengan kebijakan Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga JBU atau BBM non subsidi Kepmen ESDM No. 62/K/12/MEM/2020 terkait formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU).
Sebelumnya, PT Pertamina juga telah menyesuaikan harga BBM non subsidi, per 1 Agustus 2024. Antara lain Pertamax Green 95, Pertamax Turbo, Pertamax Dex dan Dexlite.
Kenaikan BBM sudah dianggap wajar oleh masyarakat luas. Pada awalnya, memang masyarakat sering dikagetkan dengan berita penyesuaian harga BBM. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi terbiasa karena perubahan harga BBM yang terlalu sering terjadi. Masyarakat pun lama kelamaan kian tidak peduli dengan penyesuaian harga yang selalu "dipaksakan" pemerintah dengan berbagai alasan. Masyarakat hanya bisa menerima dengan pasrah dan tidak bisa berharap harga BBM akan turun.
Meskipun harga BBM yang naik merupakan BBM non subsidi. Namun, dampaknya sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat. Sebab perusahaan-perusahaan besar pasti menggunakan BBM non subsidi untuk aktivitas dan operasionalnya. Sementara sebagian besar barang yang dibutuhkan masyarakat adalah hasil dari produksi perusahaan besar.
Dampak Liberalisasi
Sistemisnya masalah ini tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep liberalisasi ekonomi. Yakni konsep kebebasan yang mendominasi strategi dan mekanisme sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisasi migas membuka pintu yang lebar bagi pihak asing dan swasta untuk bermain cantik di negeri ini. Tidak lain, keuntungan materi adalah satu-satunya tujuan yang mereka terapkan dalam setiap strategi yang ditetapkan. Liberalisasi ini hanya berpihak pada perusahaan tambang migas asing dan para pengusaha besarnya di dalam negeri. Para pengusaha kapitalis ini memandang rakyat sebagai sasaran empuk "bisnis raksasa" yang terus tumbuh dan berkembang. Dengan harga berapa pun, rakyat dijamin akan membeli karena BBM dianggap sebagai bahan modal yang menggerakkan setiap aktivitas masyarakat. Inilah strategisnya usaha yang dikembangkan para oligarki oportunis. Para pengusaha yang mencari kesempatan di atas kelemahan rakyat. Kesempatan yang terus menjanjikan seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan bertambahnya kebutuhan BBM.
Ironis. Di negeri yang kaya sumber minyak, tapi harga minyak dalam kendali setir pihak asing dan swasta. Inilah yang dinamakan penjajahan neoliberalisme. Yakni penjajahan yang dilakukan pihak asing dalam hal ekonomi dengan mekanisme dan strategi kebebasan kepemilikan. Dalam tata kelola demikian, harga BBM niscaya selalu mahal karena disesuaikan dengan kepentingan pihak asing. Dalam konsep ini pun, BBM yang berkualitas dengan harga murah atau gratis sama sekali tidak mungkin bisa terwujud.
Tata Kelola Migas dalam Sistem Islam
Minyak dan gas (migas) merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh seluruh rakyat. Negara wajib mengelolanya secara amanah dengan teknologi tangguh sehingga mampu dimanfaatkan oleh rakyat secara menyeluruh.
Dalam sistem Islam, seluruh rakyat adalah pemilik hakiki setiap kekayaan alam yang ada. Termasuk minyak dan gas yang jumlahnya melimpah
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam sistem yang menerapkan syariat Islam yang kaffah dalam tatanan khilafah, akan menerapkan aturan perihal wajibnya negara dalam mengurusi setiap urusan rakyatnya. Karena negara adalah ra'in (pengurus) sekaligus junnah (perisai) yang menjaga rakyat dari segala bentuk kezaliman. Berdasarkan paradigma tersebut, negara akan mengelola dan mengolah migas yang berlimpah demi memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Tanpa diskriminasi. Kaya atau miskin dapat dengan mudah mengakses kebutuhan migas tanpa kesulitan berarti.
Segala bentuk teknologi ditetapkan oleh kebijakan khalifah. Jika khilafah masih belum memiliki teknologi yang mumpuni, maka khalifah akan mengontrak tenaga ahli dari luar wilayah daulah melalui sistem kontrak dengan kekuasaan penuh dan koordinasi terpusat dari khilafah. Sehingga setiap kebijakan tetap disandarkan pada kebutuhan rakyat. Tidak berorientasi pada bisnis seperti yang kini terjadi.
Dalam hal anggaran, khilafah akan menggelontorkan biaya seoptimal dan seefektif mungkin demi kemaslahatan umat. Pos-pos baitul maal yang terkoordinasi dan terstruktur akan menjamin terpenuhinya kepentingan umat. Dengan mekanisme dan strategi yang demikian, harga BBM yang murah atau bahkan gratis akan mudah terwujudkan.
Sistem yang bijaksana dalam tata kelola syariat Islam, mampu menjamin kehidupan rakyat menuju kesejahteraan sempurna. Hanya dengannya, rahmat melimpah, kehidupan pun penuh berkah.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor