Tinta Media: Ayah
Tampilkan postingan dengan label Ayah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Februari 2024

Menyiapkan Ananda Menjadi Seorang Pemimpin



Umi ... Abi ... Ana lahir

Tinta Media - Sungguh bahagia para orang tua yang dititipi dan dianugerahi seorang manusia kecil berakal, lucu nan imut, mampu menyejukkan mata saat dipandang. Ya, itulah anak-anak kita, anak-anak yang kita harapkan dan kita nantikan kehadirannya.

Setelah mereka lahir ke dunia, mereka seperti kertas putih kosong yang bersih dan harum yang siap kita isi dan tulis dengan jejak-jejak tulisan yang akan mengubah hidupnya. Pertanyaannya, mau diisi apa kertas putih itu?

Rasulullah saw. dalam hadisnya telah mengabarkan bahwa kita sangat berperan dan berpengaruh besar dalam membentuk karakter, perilaku, bahkan agama anak-anak kita.

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sayangnya, masih banyak di antara orang tua yang tidak menyadari bahwasannya bukan hanya fisik saja yang dapat diwariskan kepada anak, tetapi perilaku, karakter, dan sifat kita juga akan ditiru oleh mereka. Maka, penting bagi orang tua untuk selalu memperhatikan setiap perilaku dan kebiasaan. Orang tua juga harus siap mengubah karakter dan sifat yang sekiranya buruk menjadi lebih baik karena hal ini akan tertulis ke dalam kertas putih mereka.

Mau dijadikan apa anak-anak kelak, haruslah menjadi sebuah visi besar yang harus disiapkan sedari awal. Tentunya kita harus ingat bagaimana kesungguhan dan keseriusan orang tua Shalahudin Al Ayubi dalam menggapai visi agungnya. Mereka berusaha mencari pasangan yang mempunyai visi yang sama, yaitu ingin memiliki anak yang mampu membebaskan Masjidil Aqsa. Luar biasa, mereka dipertemukan dan visi mulia itu akhirnya terwujud. 

Terlihat bahwa visi untuk menjadikan ananda seperti apa, ternyata membutuhkan peran dan kerja sama antara ayah dan ibu.

Umi ... Abi ... Jadikan Ana Pemimpin! 

Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin ....” (HR Al-Bukhari)

Menjadi keberhasilan yang luar biasa jika orang tua bisa menjadikan anaknya memiliki jiwa kepemimpinan, karena sabda Rasul, setiap diri kita adalah pemimpin, baik pemimpin untuk diri sendiri, keluarga, atau untuk umat. 

Keberhasilan dalam menjadikan anak mampu memimpin dirinya sendiri adalah dengan melihat apakah dia mampu menundukkan akal dan hawa nafsunya kepada syariat yang diperintahkan oleh Allah atau belum. Salah satu cara yang terlihat kecil, tetapi dampaknya begitu luar biasa untuk membentuk kepemimpinan seseorang adalah dengan membiasakan bangun subuh untuk salat Subuh. Jika hal ini berhasil, berarti ananda berhasil menguasai dirinya atas hawa nafsu. Jika hidupnya sudah terikat dengan hukum syariat, maka sejatinya dia sudah mampu memimpin dirinya sendiri dan insyaaallah akan mampu memimpin keluarganya.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat Al-Qur'an di atas menjadi pengingat bahwa ada kewajiban besar bagi kita dan ananda kelak, yaitu melindungi diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. Maka, penting dalam diri anak tertanam sikap kepemimpinan. 

Namun, sikap kepemimpinan yang hebat dan luar biasa itu seperti apa? Tentunya, kita harus melihat generasi-generasi yang lahir dari peradaban emas. Peradaban emas terjadi saat Islam mengalami kejayaan. Saat itu, Islam yang dalam naungan Khilafah mampu mencetak para pemimpin yang luar biasa. Mereka harus dijadikan contoh dan teladan dalam kepemimpinan ananda. 

Para pemimpin yang lahir dari peradaban emas senantiasa bersikap dan berperilaku terhadap keluarganya dengan penuh ketegasan, wibawa, adil, tetapi tetap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Mereka keras terhadap pelanggaran syariat, tetapi sangat lembut, bahkan mereka senantiasa bermain dan bercanda bersama keluarganya. 

Bahkan, Rasulullah saw. siap memotong tangan anaknya sendiri jika ketahuan mencuri, atau Abu bakar yang mengurangi dan mengembalikan ke baitul maal uang belanja istrinya saat tahu uang belanja tersebut ternyata ada kelebihan. Namun, di sisi lain, ternyata Rasul saw. pernah lomba lari bersama Bunda Aisyah atau Umar bin Khattab. Mereka senantiasa bercanda dan bermain bersama anak-anaknya. 

Jelas, sikap kepemimpinan bukan kejam, bengis, dan otoriter. Namun, mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan adalah orang yang tegas dalam menegakkan syariat, konsisten atau istikamah, adil, dan penuh kasih sayang.

Karena keluarga adalah masyarakat lingkup kecil, maka jika seorang anak mampu memimpin dirinya sendiri dan keluarganya, insyaallah dia mampu memimpin umat. 

Umi … Abi … terima kasih, ana siap jadi pemimpin!


Oleh: Ririn Arinalhaq
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 26 November 2022

Hari Ayah di Fatherless Country


Tinta Media - Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Solo pada tahun 2006 menetapkan 12 November sebagai Hari Ayah Nasional. Perayaan ini bertujuan untuk mengapresiasi dan mengingatkan kembali peran ayah dalam keluarga yang sehat. Sayangnya, perayaan ini hanyalah euforia semata, meriah pada saat sebelum dan hari H, tetapi tak membekas setelahnya.

Fatherless Country

Sosial media diramaikan dengan berita tentang Indonesia sebagai peringkat ke-3 di dunia dengan anak-anak tanpa peran ayah (fatherless country). Fatherless country adalah negara dengan peran ayah yang minim baik secara fisik maupun psikologi kepada anak-anaknya. Meski begitu, data tersebut perlu ditelusuri lebih dalam lagi, darimana peringkat itu bisa muncul. Di tahun 2017, Khofifah Indar Parawansa sebagai Mensos memang pernah mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 3 sebagai fatherless country.

Rasanya hal tersebut memang tepat ditujukan kepada Indonesia. Tahun 2021, Kemensos mencatat jumlah anak yatim piatu di Indonesia sekitar 4.063.622 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa peran ayah secara fisik tidak ada bagi mereka. Sedangkan secara psikologis, ayah sangat kurang dalam memberi perhatian dan kasih sayang kepada anaknya.

Bahkan, kekerasan yang dilakukan ayah pada keluarganya kerap terjadi. Seperti kasus di Depok, seorang ayah dengan teganya menghabisi nyawa istri beserta anak perempuannya.

Peran Ayah Menurut Islam

Hilangnya peran ayah seperti disebutkan di atas, menujukkan hilangnya fungsi qawwamah (kepemimpinan) pada laki-laki. Dalam Islam, Allah dan Rasul-Nya sudah memberi gambaran bagaimana seharusnya laki-laki dalam menjaga keluarganya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS. At Tahrim ayat 6)

"Seorang ayah adalah bagian tengah dari gerbang surga. Jadi, tetaplah di gerbang itu atau lepaskan." (H.R. Tirmidzi).

Bahkan, di dalam Al-Qur'an surat Lukman ayat 16-18 sangat jelas bagaimana Luqman mendidik, menasihati, dan membangun interaksi dengan anaknya. Luqman sebagai seorang ayah menasihati agar anaknya tidak sombong, selalu berbuat baik, dan rutin menjalankan salat.

Begitu juga di surat Al-Baqarah ayat 233 yang menjelaskan tentang tanggung jawab ayah sebagai tulang punggung keluarga, yang mencari nafkah untuk anak-istrinya.

Betapa Islam begitu luar biasa mengatur bagaimana seharusnya seorang laki-laki dalam mendidik anak-istrinya, sehingga tidak akan didapati kasus ayah yang tidak optimal dalam mengurusi keluarga, baik secara nafkah maupun kasih sayang.

Kapitalisme Penyebab Hilangnya Fungsi Ayah

Ayah yang harus bekerja keras menafkahi keluarga karena kebutuhan pokok, seperti sandang dan pangan, semakin hari semakin mahal. Belum lagi para ayah harus memikirkan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan kemanan yang tidak diberikan secara gratis oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Para ayah pun saat ini dihadapkan dengan kecemasan akibat ancaman resesi global yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Tekanan pekerjaan dan kondisi jalanan yang macet menambah ketidakstabilan emosi para ayah.

Semua hal tersebut menjadi beban pikiran dan permasalahan yang dihadapi para ayah, sehingga ayah tak memiliki waktu untuk bersenda gurau dengan keluarganya. Bahkan, ayah tak mampu lagi mengarahkan keluarganya menjadi pribadi-pribadi yang saleh. Tak jarang, mereka malah menjadi ayah yang temperamental, memperturutkan emosi dan kekuatan otot dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.

Fungsi ayah yang telah diatur Islam begitu sempurna telah mengalami degradasi. Ayah menjadi pribadi yang menakutkan, penuh amarah, emosi, bahkan sudah tidak lagi dijadikan panutan serta kebanggaan keluarga.

Kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang menyandarkan pada materi, memang tidak layak mengatur kehidupan manusia, khususnya kaum muslimin. Negara yang menerapkan kapitalisme hanya akan membuat sengsara rakyatnya. Kapitalisme telah menjadikan para ayah mesin kerja, mesin pencari uang bagi para kapitalis.

Penutup

Allah telah menyempurnakan dan rida kepada Islam. Hal tersebut terdapat di dalam firman-Nya, surat Al-Maidah ayat 3. Cukuplah bagi manusia, khususnya kaum muslimin untuk mengambil Islam dalam mengatur semua urusan kehidupan, bukan pada ideologi lain, seperti kapitalisme yang jelas merupakan sebuah ideologi rusak dan merusak. Kembalinya fungsi ayah hanya bisa didapati jika Islam diterapkan di tengah-tengah kaum muslimin secara sempurna dan menyeluruh.

Hanya Islam yang mampu mengembalikan peran ayah sebagaimana mestinya. Ayah akan menjadi pribadi hangat yang menyenangkan, tangguh, panutan, dan pendidik kesalehan keluarganya.

Allahu'alam

Oleh: Ummu Haura
Aktivis Dakwah 

Sabtu, 29 Oktober 2022

Ayah, Dengarkanlah!

Tinta Media - Winda, begitulah orang memanggilnya. Dia gadis blasteran Jawa-Cina yang kini duduk di kelas 12 SMA. Saat itu, Winda sedang merapikan kerudung, bersiap untuk pergi sekolah. 

Tak lupa sebelum berangkat, Winda selalu mencium tangan ayah dan mama. Sang mama tersenyum sambil mengusap kepalanya. Namun, sang ayah hanya diam dengan pandangan sinis.

"Buat apa susah-susah kamu pakai jilbab. Jilbabi dulu aja hatimu," ungkap ayah.

Winda hanya tersenyum sambil meminta doa pada ayah, semoga ia bisa menjadi yang lebih baik. Winda juga menjelaskan bahwa jilbab dan kerudung yang ia kenakan adalah kewajiban bagi seorang muslimah.

Winda berangkat sekolah dengan hati penuh harap, semoga Allah Swt. berkenan memberikan hidayah kepada sang ayah. Selang beberapa waktu setelah Winda berangkat, ayah juga berangkat ke tempat kerja, sedangkan mama tetap di rumah bersama aktivitas lainnya.

Pulang sekolah, Winda lantas mengerjakan tugas. Tak lupa, ia membantu ibu mencuci piring dan merapikan rumah seperti biasanya. Sore itu, ayah Winda pulang lebih awal. Ia lantas mengajak Winda dan mamanya makan malam di salah satu resto dekat rumah mereka.

Setelah duduk di kursi resto, sambil menunggu makanan tiba, ayah Winda mengamati sekeliling, lantas berkata, "Tuh, kamu liat. Perempuan berkerudung itu tidak menutupi dadanya. Ayah gak suka yang kayak itu," ucap Ayah dengan nada kesal.

"Mending kamu gak usah pakai kerudung dulu deh, yang penting sopan," tambah Ayah.

Winda lantas memegang tangan ayah dan mamanya, sembari berkata, "Ayah, Mama, boleh Winda bilang sesuatu?" tanya Winda. 

Ayah dan Mama mengangguk menandakan siap mendengarkan Winda.

"Ayah kan selalu bilang ke Winda, kalau kita mau ngerjain sesuatu, jangan setengah-setengah, harus optimal dan keseluruhan", ucap Winda membuka pembicaraan.

"Jadi, izinkan Winda menjadi muslimah yang juga tidak setengah-setengah, termasuk dalam berpakaian", tambah Winda.

Winda lalu mengutarakan, mengapa ia lebih banyak diam ketika ayah tak menyukai cara berpakaiannya. Winda hanya tak ingin jika nanti apa yang disampaikan Winda akan menyakiti perasaan ayahnya. Karena itu, Winda harus memikirkan jawaban yang logis bagi mereka.

Malam itu, ayah dan mama mengetahui isi hati Winda yang sudah enam bulan lamanya dipendam. Ayah yang berpikir rasional telah dapat menerima alasan Winda untuk berhijab, begitu pun dengan mama Winda. Meski mama tetap meyakini agama yang sama dengan ayah, tetapi mama sudah tak kecewa jika Winda lebih memilih menjadi seorang mualaf. Sebab, meski kini mereka berbeda agama, Winda tetap berlaku baik kepada ayah dan mamanya.

Oleh: Firda Umayah
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab