Tinta Media: Aparat
Tampilkan postingan dengan label Aparat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aparat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Oktober 2024

Tindakan Represif Aparat, Bukti Demokrasi Kebal Kritik



Tinta Media - Masyarakat berbondong-bondong melakukan unjuk rasa beberapa waktu yang lalu karena diduga adanya pelanggaran yang dilakukan negara. Aksi ini dilakukan sebagai cara untuk mengingatkan. Mirisnya, aparat malah bertindak represif. Hal ini menunjukan bahwa sejatinya demokrasi kebal dan tidak memberikan ruang untuk dikoreksi oleh rakyat.

Ada tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi, seperti diungkapkan oleh ketua YLBHI, Muhammad Isnur. Hingga malam hari pada 22 Agustus 2024, YLBHI telah menerima laporan dari sebelas massa aksi yang terkonfirmasi diamankan oleh kepolisian. 

Dua puluh enam laporan juga telah masuk dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) hingga pukul 21.30 pada hari yang sama. (Tempo.co 23/08/2024)

Bahkan, seorang mahasiswa Universitas Bale Bandung yang bernama Andi Andriana harus menjalani perawatan intensif di RS Mata Cicendo Bandung, karena mengalami luka berat pada mata kirinya setelah terkena lemparan batu saat melakukan unjuk rasa menolakRUU pilkada di depan kantor DPRD Jawa Barat pada hari Kamis 22 Agustus yang lalu (Kompas.id 24/08/2024)

Unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota berakhir dengan kericuhan, karena tidak ada satu pun anggota DPR/DPRD yang menemui peserta aksi, sehingga menimbulkan kemarahan yang semakin memuncak. Padahal, rakyat hanya ingin menyampaikan muhasabah kepada pemerintah. Mirisnya, aparat yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat justru malah menembakan gas air mata, menyemprotkan water canon, melakukan pemukulan dan tindakan represif lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi kebal terhadap kritik dan tidak mau menerima pendapat rakyat. Selama ini demokrasi mengklaim sebagai sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat dan memberikan jaminan atas hak menyampaikan pendapat. Namun sayang, kenyataannya ketika rakyat menyampaikan pendapat atau muhasabah pada pemerintah, justru dibalas dengan kekerasan dari aparat.
Seharusnya negara memberi ruang untuk  berdialog, menemui utusan, dan tidak mengabaikan. Jadi, apakah masih layak demokrasi dipertahankan?

Muhasabah lil Hukam sebagai Solusi

Dalam Islam, salah satu cara agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam, yaitu upaya untuk mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah/penguasa. Kontrol atau koreksi dari rakyat terhadap penguasa disampaikan melalui Majelis Ummat. Selain itu, rakyat juga mempunyai hak untuk mengadakan syura yaitu hak rakyat terhadap penguasa untuk menyampaikan pendapatnya. Jadi, Majelis Umat inilah yang melakukan muhasabah dan syura. 

Majelis Umat sebagai wadah wakil rakyat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat serta mengoreksi khalifah/penguasa dan para pejabat negara lainnya tanpa pembatasan atau pun ancaman pencekalan ataupun keberatan. Khalifah atau penguasa dan pejabat pemerintahan wajib memberikan jawaban kepada Majelis Umat.

Selain Majelis Ummat, dalam sistem pemerintahan Islam ada Qadi Mazalim, yaitu suatu badan yang berfungsi untuk menyeselesaikan persengketaan antara rakyat dan negara. Para Qadi atau hakim ini akan memutuskan perkara berdasarkan syariat, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jadi, jelas sekali perpedaan Majelis Ummat dengan DPR atau parlemen pada sistem demokrasi. Dalam demokrasi, parlemen bertugas untuk membuat undang-undang dan peraturan atau menentukan kebijakan berdasarkan aturan yang dibuat oleh manusia, sedangkan Majlis Ummat hanya melakukan muhasabah dan syura berdasarkan syariat,  bukan menentukan UU atau kebijakan.

Amar makruf nahi munkar adalah merupakan kewajiban setiap individu dalam Islam. Sehingga, penguasa akan memahami tujuan dari muhasabah, yaitu untuk mencari rida Allah Swt. dan agar aturan Allah tetap tegak di muka bumi ini sehingga terwujud negara "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur", sebagaimana sabda Rasulullah saw.

“Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika dia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan dia berbuat adil, dengan itu dia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika dia menyuruh selain itu, dia menanggung dosanya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengandung pengertian bahwa imam/pemimpin merupakan manusia biasa yang bisa saja berbuat salah. Jadi, ketika pemimpin melakukan kemungkaran atau kesalahan, rakyat wajib mengingatkan dan memberi pendapat. Inilah bukti bahwa khilafah/Islam bukanlah sistem yang kebal dan antikritik, tetapi memberikan ruang bagi rakyat untuk memuhasabahi penguasa.

Tindakan represif terhadap rakyat yang melakukan muhasabah/kritik tidak akan dilakukan dalam khilafah, karena dalam khilafah semua pihak baik rakyat maupun penguasa telah paham akan pentingnya muhasabah, yaitu sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar. Penguasa menyadari bahwa tujuan muhasabah adalah menjaga agar mereka tetap berjalan sesuai tuntunan syariat. Dengan demikian, akan terwujud negara yang baik dan dilimpahi ampunan Allah Swt. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).





Oleh: Rini Rahayu 
(Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Kamis, 12 September 2024

Aparat Represif di Negeri Antikritik



Tinta Media - Media Umat (edisi 365) mengabarkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon. Putusan ini mengejutkan banyak pihak, tak terkecuali Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dapat dipastikan bahwa putusan ini juga akan menghambat majunya calon yang diusung penguasa, yaitu putranya sendiri.

Esok harinya, partai-partai di DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) di Badan Legislatif DPR untuk menolak dan merevisi UU Pilkada hasil keputusan MK tersebut. Panja lebih memilih putusan Mahkamah Agung yang membuka peluang putra penguasa, karena usia 30 tahun dihitung saat pelantikan. Semua partai di DPR menyetujui rencana revisi itu, kecuali PDIP.

Namun, sikap DPR itu memicu kemarahan rakyat, sehingga muncul gelombang penolakan revisi UU Pilkada dengan tema "Peringatan Darurat" di media sosial yang digambarkan dengan lambang Garuda berlatar biru. Pada tanggal 22 Agustus 2024, aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat terjadi di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makasar. 

Penolakan RUU Pilkada yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat tidaklah berjalan dengan aman dan damai karena kelompok demonstran harus berhadapan dengan aparat yang merupakan gabungan TNI-POLRI. Bahkan, terjadi tindakan refresif (kekerasan) dari aparat terhadap massa aksi.

Tempo.co (25/8/24) melaporkan bahwa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sehari setelah terjadi aksi demonstrasi, menerima 26 laporan pengaduan berupa tindak kekerasan, penangkapan, dan pelecehan oleh aparat. 

Tindakan represif aparat di Jakarta terlihat dengan banyaknya pengunjuk rasa yang ditangkap. Mereka bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi juga ada staf LBH dan jurnalis. Di antara mereka, banyak yang menderita luka-luka. 

Di Bandung, beredar video polisi mengejar, memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya. Di Semarang, tidak kurang dari 15 mahasiswa dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata oleh polisi. Mereka mengalami gejala sesak napas, mual, mata perih, bahkan beberapa sampai pingsan.

Sebrutal itukah aparat menangani pengunjuk rasa? Bukankah aparat, khususnya polisi itu pelindung dan pengayom rakyat? Para pengunjuk rasa itu bagian dari rakyat yang sedang protes dan mengingatkan tindakan wakil-wakilnya yang keliru dan melanggar hukum. 

Sebagian rakyat melihat bahwa para wakilnya sudah bertindak tidak adil dengan berpihak pada calon tertentu. Mereka berpihak pada pemerintah dan mengabaikan pendapat rakyat. Apakah seperti ini yang namanya demokrasi? Bukankah menurut demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat? Aparat bertindak brutal demi siapa?

Yang terjadi, aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya untuk membubarkan unjuk rasa. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. 

Seharusnya negara memberi ruang untuk dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya. Begitulah aturan buatan manusia, bisa berubah sesuai kepentingan. Kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang dan tidak menerima kritikan apa pun.

Sungguh berlainan dengan sistem Islam. Aturan yang berlaku di negara dengan sistem Islam adalah aturan dari Allah Swt. Pemerintah atau penguasa adalah pelaksana aturan itu. 

Pemerintah bertindak sebagai pengurus (raa'in) dan pelindung (junnah) rakyat. Mereka menjalankan amanah dengan sungguh-sungguh karena ada pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. tentang kepengurusan itu. Kesadaran tentang pertanggungjawaban inilah yang menjadikan pemerintah takut untuk melakukan kecurangan. Mereka memahami bahwa Allah Maha Teliti. Kesalahan sekecil apa pun akan terungkap.

Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam, yaitu kewajiban rakyat untuk mengontrol dan mengoreksi pejabat pemerintah. 

Islam menjadikan muhasabah lil hukam sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar. Ini merupakan kewajiban setiap individu dan masyarakat. Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu agar tetap tegak aturan Allah di muka bumi. Karena itu, unjuk rasa atau kritik dari rakyat tidak akan dibalas dengan tindakan represif dari aparat. Penguasa akan memperhatikan suara rakyat karena sudah menjadi kewajibannya untuk mengurus rakyat, bukan mengurus para investor. Wallahu alam bisshawab.



Oleh: Wiwin 
Sahabat Tinta Media

Selasa, 03 September 2024

Kontras: Tindakan Represif Aparat terhadap Masyarakat Sipil, Melanggar Konstitusi


Tinta Media - Tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian kepada mahasiswa dan masyarakat sipil saat mengamankan aksi demonstrasi menolak RUU Pilkada dinilai melanggar konstitusi.

"Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul secara damai merupakan hak masyarakat yang dijamin oleh Konstitusi sehingga setiap bentuk kekerasan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul secara damai merupakan pelanggaran konstitusi," tulis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam press rilis yang diterima Tinta Media, Sabtu (24/8/2024).

KontraS mendokumentasikan masifnya berbagai bentuk tindak kekerasan, intimidasi dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada mahasiswa dan masyarakat yang melakukan demonstrasi.

"Pemantauan dan dokumentasi KontraS juga menunjukkan adanya dugaan penyiksaan terhadap peserta aksi," ungkapnya.

Lebih lanjut, KontraS yang tergabung Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) juga menemukan dugaan penangkapan sewenang-wenang kepada massa aksi serta upaya dari kepolisian untuk menghalangi massa aksi yang tertangkap dari pendampingan hukum.

"Selain kepada peserta demonstrasi, KontraS juga mendokumentasikan beberapa dugaan tindak kekerasan serta intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada Jurnalis baik media cetak, elektronik, maupun daring," terangnya.

Beberapa Jurnalis juga dilaporkan terluka akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

"Kekerasan melanggar UU  No. 40 tahun 1999 Tentang Pers yang secara eksplisit mengatur bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab