Tinta Media: Anwar Usman
Tampilkan postingan dengan label Anwar Usman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anwar Usman. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 November 2023

Kejanggalan Putusan Majelis Kehormatan MK dan Sanksi Kepada Anwar Usman

Tinta Media - Tugas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik, selesai dibacakan Selasa lalu, 7/11. Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dan diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Ada beberapa kejanggalan terkait putusan Majelis Kehormatan MK dan sanksi yang dikenakan kepada Anwar Usman.

Pertama, Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara spesifik pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anwar Usman. Sehingga sanksi yang diberikan kepadanya menjadi tidak jelas, karena tidak mengacu pada kesalahan spesifik pasal berapa, peraturan dan atau undang-undang mana. 

Tentu saja, hal seperti ini sangat tidak lazim dan mencurigakan. Kenapa Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara eksplisit pelanggaran hukum Anwar Usman? Ada apa? 

Kedua, sanksi yang diberikan kepada Anwar Usman tidak sesuai dengan sanksi yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK No 1/2023) maupun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 7/2020), yang secara eksplisit menyatakan, sanksi pelanggaran berat untuk hakim konstitusi hanya satu, yaitu “diberhentikan tidak dengan hormat”.

Tetapi, Anwar Usman tidak diberhentikan dari hakim konstitusi, apalagi tidak dengan hormat. Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Sanksi ini secara nyata melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi dan UU.

Ketiga, pelanggaran berat kode etik Anwar Usman secara nyata melanggar Pasal 17 ayat (5) mengenai konflik kepentingan yang diatur di dalam UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (5) berbunyi, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Anwar Usman tidak melakukan perintah pasal dimaksud, sehingga melanggar.

Sebagai konsekuensi, putusan yang diambil berdasarkan pelanggaran pasal 17 ayat (5) wajib dinyatakan tidak sah (pasal 17 ayat (6)), dan perkara harus diperiksa kembali (pasal 17 ayat (7)).

Tetapi Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, mengatakan, pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48/2009 tidak berlaku untuk putusan MK. Karena pasal 24C ayat (1) UUD mengatakan, putusan MK bersifat final. Sehingga pasal dimaksud tidak bisa membatalkan atau menyatakan tidak sah putusan MK yang bersifat final menurut UUD.

Penjelasan Jimly Asshiddiqie sulit diterima akal sehat masyarakat. Mungkin akal sehat masyarakat awam non-hukum beda dengan akal “sehat” ahli hukum.

Bagaimana mungkin, putusan yang jelas-jelas cacat hukum dan moral masih bisa tetap berlaku? Bagaimana bisa masuk akal sehat?

Gambaran bahwa hakim konstitusi sebagai manusia yang sangat terhormat, manusia sempurna, tidak akan melakukan pelanggaran hukum, apalagi dengan sengaja, dalam menangani perkara, sehingga putusannya dinyatakan final dan tidak bisa diganggu gugat, ternyata hanya ilusi. Gambaran palsu.

Faktanya, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, mungkin secara sadar. Tapi putusannya masih dianggap sebagai putusan manusia sempurna, tidak bisa dibatalkan. Ironi.

Aneh, tapi nyata. Masyarakat harus menerima kenyataan pahit, harus menerima pasal 17 ayat (6) tersebut tidak berlaku untuk putusan MK. Masyarakat tidak berdaya menghadapi hakim yang dipercaya sebagai utusan Tuhan. Yang dalam hal ini malah berperilaku sebaliknya: Indonesia dalam cengkeraman tirani dan iblis berkedok hakim.

Tetapi, meskipun putusan MK tidak bisa dibatalkan, meskipun pasal 17 ayat (6) tidak berlaku bagi putusan MK, tetapi pelanggaran berat kode etik Anwar Usman harus bisa diproses dan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Pasal 17 ayat (6) berbunyi, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Artinya, selain putusan dinyatakan tidak sah, hakim yang melanggar pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi administratif atau bahkan dipidana.

Pasal 24C ayat (1) UUD mengenai putusan final tentu saja tidak bisa menghilangkan pelanggaran berat Anwar Usman, dan tidak bisa menghapus sanksi administratif, apalagi pidana.

Majelis Kehormatan MK juga tidak bisa menghilangkan pelanggaran dan sanksi kepada Anwar Usman.

Karena itu, Majelis Kehormatan MK seharusnya menyebut secara eksplisit, Anwar Usman melanggar apa saja. Tanpa melakukan itu, Majelis Kehormatan MK terkesan sedang melindungi kepentingan Anwar Usman dan kroni-kroninya, serta mendegradasi sanksi yang diberikan kepadanya.

Oleh: Anthony Budiawan 
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Indonesia Berduka: Majelis Kehormatan (MK) Menjadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman



Tinta Media - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Majelis Kehormatan MK) menyatakan Anwar Usman, hakim konstitusi terlapor dugaan pelanggaran kode etik, terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama.

Dengan hanya menyebut “melanggar kode etik Sapta Karsa Hutama”, Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahan Anwar Usman dari pelanggaran berat menjadi “tidak berat”.

Karena Sapta Karsa Hutama hanya dokumen berisi deklarasi yang mengatur butir-butir kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dimuat di dalam lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006. Peraturan ini sendiri tidak mengatur sanksi atas pelanggaran kode etik dimaksud.

Seharusnya, Majelis Kehormatan MK menyatakan secara jelas dan spesifik, Anwar Usman melanggar pasal apa, di peraturan yang mana, atau undang-undang yang mana.

Tanpa menyebut itu semua, masyarakat tidak bisa mengukur bobot dari pelanggaran berat Anwar Usman, dan sanksi yang pantas diberikan kepadanya.

Upaya mendegradasi atau meringankan pelanggaran berat Anwar Usman ini juga terlihat dari pengenaan sanksi kepadanya. Anwar Usman hanya dikenakan sanksi “diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi”. Tetapi tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi.

Pemberian sanksi “ringan” ini melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No 1/2023, pasal 47 butir b, yang menyatakan secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat wajib “diberhentikan dengan tidak hormat”.

Pasal 47 PMK 1/2023:
“Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan, terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan menyatakan:
a. Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat;
b. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain itu, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan kepada Anwar Usman juga melanggar Pasal 23 ayat (1) huruf h UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi:
“Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila, melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.”

Anggota Majelis Kehormatan, Bintan Saragih, juga berpendapat sama. Bintan Saragih menyampaikan dissenting opinion atas pemberian sanksi yang tidak sesuai peraturan dan undang-undang.

Bintan Saragih: Sanksi terhadap “pelanggaran berat” hanya “pemberhentian tidak dengan hormat”, dan tidak ada sanksi lain, sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Jimly Asshiddiqie dan Wahiduddin Adams, dua anggota Majelis Kehormatan  MK lainnya, yang masing-masing merangkap sebagai Ketua dan Sekretaris Majelis Kehormatan, tentu saja mengerti sepenuhnya.

Jimmy Asshiddiqie memberi dua alasan pembenaran atas pemberian sanksi yang melanggar peraturan dan UU tersebut.

Pertama, Jimly Asshiddiqie berpendapat, pemberian sanksi harus mempertimbangkan ukuran proporsionalitas, seperti pada kasus pidana.

Jimly Asshiddiqie memberi perbandingan, pada kasus pidana, majelis hakim wajib memperhatikan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau justru memperberat sanksi yang akan dijatuhkan.

Alasan yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie tidak tepat dan tidak relevan untuk kasus pelanggaran berat kode etik hakim. Karena, “jumlah” sanksi pada kasus pidana tidak diatur di dalam UU. Yang diatur hanya batas sanksi “maksimum”, sehingga majelis hakim mempunyai hak subyektif dalam menjatuhkan sanksi hukuman kepada terpidana, sepanjang tidak bertentangan dengan UU. Sepanjang sanksi tidak lebih dari batas “maksimum” setinggi-tingginya, maka putusan majelis hakim tidak melanggar UU. 

Tetapi, sanksi pelanggaran berat hakim konstitusi hanya satu, seperti diatur sangat jelas di dalam PMK dan UU. Yaitu, pemberhentian tidak dengan hormat.

Kalau memang mau mempertimbangkan hal yang meringankan, seharusnya dilakukan sewaktu menentukan bobot pelanggaran, apakah Anwar Usman melakukan pelanggaran berat atau tidak. “Vonis” bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat harus dimaknai sudah melalui semua pertimbangan, dan tidak ada hal yang bisa meringankan lagi.

Alasan kedua, Jimly Asshiddiqie mengatakan, hakim konstitusi yang “diberhentikan tidak dengan hormat” dapat mengajukan banding, sehingga sanksi tersebut bisa membuat penyelesaian perkara menjadi berlarut-larut dan tidak pasti. Terutama mengingat agenda pilpres sudah sangat dekat.

Alasan ketiga ini juga tidak masuk akal. Sanksi kepada Anwar Usman tidak pengaruh pada agenda dan jadwal pilpres, karena Majelis Kehormatan tidak mengubah putusan MK No 90 terkait syarat batas usia calon wakil presiden. Sehingga, upaya banding Anwar Usman, seandainya ada, tidak mempunyai dampak sama sekali terhadap agenda pilpres.

Sebaliknya, sanksi Majelis Kehormatan yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan memberi dampak sangat negatif.

Sanksi ini membuat reputasi MK terpuruk, dan kepercayaan masyarakat hilang. Hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran berat dianggap masih layak menjadi hakim konstitusi. Ini contoh (yuris prudensi) yang sangat buruk. Bagaimana masyarakat bisa percaya MK?

Dengan masih menjabat hakim konstitusi, Anwar Usman masih menyandang “yang mulia, yang terhormat”, padahal tidak. Karena seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat.

Oleh karena itu, tidak salah kalau masyarakat beranggapan, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan MK kepada Anwar Usman, yang hanya memberhentikannya dari jabatan Ketua MK, sejatinya untuk mempertahankan dan menyelamatkan kehormatan Anwar Usman. Dengan cara melanggar undang-undang.

Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Sabtu, 28 Oktober 2023

Putusan MK Tentang Batas Usia Minimum Capres-Cawapres, IJM : Ini Semua by Design

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait usia minimum pencalonan Capres Cawapres, Direktur IJM (Indonesia Justice Monitor), Agung Wisnuwardana menilai bahwa ini semua by design.

"Ya, jadi saya melihat ini semua by design dan diduga kuat ada peran Jokowi di balik ini semua," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Dan tentu ada peran oligarki, lanjutnya, yang menginginkan ada keberlanjutan program-program Jokowi ke depan, yang tentu banyak menguntungkan kalangan oligarki dan para kapitalis .

Ia beranggapan bahwa previllege Jokowi itu sangat kuat sekali. Tentu yang diharapkan dari previllige itu apa, organ-organ atau alat kekuasaan bisa digunakan sebagai sarana untuk memenangkan pemilihan umum. 

"Inikan yang saya katakan sangat berbahaya. Ujungnya proses-proses politik yang demikian ini akan berujung pada otoriatanisme," jelasnya.

Agung menegaskan otoriatanisme itu semakin nyata hari ini, sampai konstitusi dan pengawal konstitusi pun tunduk kepada pihak yang punya otoritas, dalam hal ini Pak Jokowi beserta semua pihak yang menginginkan Gibran maju Cawapres.

"Bagaimana putusan MK yang dikatakan mahkamah garda terdepan penjaga konstitusi pun bisa diobok-obok sedemikian rupa?" tanyanya kesal.

Ini yang sangat disayangkan, dan ujung politik yang demikian, nanti akan membangun sebuah fenomena, kata Lord Acton itu dengan adagium "power tends to corrupt and the absolutely power tends corrupt to absolutely", kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. 

Agung membeberkan di balik ini semua ada isu tentang ekspor ilegal nikel. Ada informasi yang menjerat Luhut Binsar terlibat di dalamnya, dan menantu Presiden terlibat di dalamnya. Ada informasi juga, ekspor ilegal ini masuk ke tangan Jokowi. 

"Nah, ini kan rumit dan proses ini ujungnya nanti kekuasaan itu yang dominan dan cenderung absolut gitu. Dan ini menimbulkan kekuasaan yang otoriter," pungkasnya.[] Nita Savitri

Rabu, 18 Oktober 2023

Pelanggaran Konstitusi Anwar Usman dan Empat Hakim Konstitusi Berpotensi Picu Revolusi

Tinta Media - Secara kasat mata, lima hakim konstitusi sedang mempermainkan hukum dan konstitusi Indonesia, sekaligus mengolok-olok dan menghina bangsa Indonesia.

Undang-undang dan konstitusi diperkosa, dirudapaksa. Undang-undang diubah secara paksa, menggunakan kekuasaan atas nama Mahkamah Konstitusi, dengan cara melanggar konstitusi.

Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017 menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden minimum 40 tahun.

Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024, banyak gugatan dari para petualang politik terhadap pasal ini. Mereka umumnya minta batas usia minimum capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah menolak beberapa gugatan sejenis. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi hak dan wewenang DPR sebagai lembaga pembuat UU.

Kemudian, seorang mahasiswa di Solo bernama Almas Tsaqibbirru juga menggugat pasal 169 huruf q dimaksud. Almas minta MK menambah faktor pengalaman sebagai pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat juga memenuhi persyaratan menjadi capres-cawapres, meskipun belum berusia 40 tahun.

Sehingga kriteria capres-cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.”

Kemudian, anehnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan ini, dan menjadikan pengalaman sebagai Kepala Daerah sebagai persyaratan baru atau persyaratan alternatif untuk capres dan cawapres.

Maaf, bukan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Almas. Melainkan lima Hakim Konstitusi, terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dibantu empat Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Daniel Yusmic, M Guntur Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih.

Keanehan putusan atau pendapat lima Hakim Konstitusi ini bahkan dipertanyakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang masuk kelompok yang menolak gugatan, bersama tiga Hakim Konstitusi lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Suhartoyo.

Karena, penambahan persyaratan alternatif untuk capres-cawapres dengan kalimat “….. atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah” pada prinsipnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menyatakan batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi wewenang DPR.

Artinya, secara implisit, penambahan persyaratan alternatif “… pengalaman sebagai Kepala Daerah” untuk capres-cawapres juga bertentangan dengan Konstitusi, karena merampas wewenang DPR.

Saldi Isra bahkan mengungkapkan, Anwar Usman dengan sengaja mengubah komposisi hakim konstitusi untuk sidang gugatan Almas ini, sehingga menghasilkan putusan dengan skor 5-4, di mana 5 mengabulkan gugatan, termasuk Anwar Usman yang mempunyai konflik kepentingan karena statusnya sebagai paman Gibran dan adik ipar presiden Jokowi.

Status Anwar Usman yang jelas mempunyai konflik kepentingan sudah lama dipermasalahkan dan digugat masyarakat. Tetapi diabaikan. Tirani mencengkeram bertambah kuat melalui Mahkamah Konstitusi kini terbukti.

Manuver Anwar Usman secara nyata dapat dimaknai melakukan rekayasa atau pengkondisian Putusan MK untuk mengabulkan permohonan gugatan Almas. Untuk itu, Anwar Usman bersama empat kroni Hakim Konstitusi yang membantunya dapat didakwa telah melakukan mufakat jahat terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.

Selain mufakat jahat, Putusan lima Hakim Konstitusi, Anwar Usman dan empat kroni, juga melanggar konstitusi, sehingga wajib batal.

Pertama, Almas Tsaqibbirru tidak mempunyai ‘legal standing’, sehingga permohonan gugatannya tidak sah untuk disidangkan. Karena, Almas bukan Kepala Daerah, dan juga tidak sedang dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.

Kedua, MK tidak boleh menambah norma baru dalam persyaratan batas usia minimum capres-cawapres. Menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” pada prinsipnya melanggar wewenang konstitusi DPR sebagai pembuat UU.

Ketiga, menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” justru melanggar konstitusi Pasal 28D, karena persyaratan ini secara nyata merupakan diskriminasi untuk jabatan publik presiden dan wakil presiden.

Karena Pasal 28 D ayat (3) UUD menyatakan” Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Sehingga persyaratan pengalaman kerja atau pernah menjabat jabatan tertentu merupakan bentuk nyata diskriminasi yang melanggar Konstitusi Pasal 28D ayat (3) tersebut.

Oleh karena itu, Anwar Usman dan empat kroni Hakim Konstitusi wajib bertanggung jawab dan patut digugat dan didakwa telah melakukan mufakat jahat.

https://nasional.tempo.co/read/1784645/saldi-isra-bingung-putusan-hakim-mk-berubah-setelah-anwar-usman-ikut-rapat

—- 000 —-

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab