Raja Rebahan VS Rakyat Jelata di Sistem Kapitalis adalah Nyata
Tinta Media - Lagi-lagi rakyat harus menerima kenyataan pahit kebobrokan sistem. Di kutip dari antaranews.com, baru saja anggaran kemiskinan sebanyak 500 triliun habis hanya untuk rapat dan studi banding. Banyak pakar pun menyayangkan kejadian memilukan tersebut.
Kejadian ini otomatis juga menyayat hati rakyat. Bayangkan, mereka telah membanting tulang dan menguras keringat demi bertahan hidup dan membayar pajak, sementara uang pajak yang mereka setorkan pun berakhir pada hal yang sia-sia.
Dengan uang triliunan rupiah tersebut, seharusnya telah banyak rakyat yang bebas dari kemiskinan. Namun, apa jadinya jika uang tersebut hanya untuk biaya makan sehari oleh segelintir orang. Di saat yang sama, rakyat terpaksa mengais nasi basi setelah mendera lapar berhari-hari.
Apakah akhirnya kita akan kembali ke masa kolonial? Saat itu, rakyat bekerja dan wajib membayar upeti berkali-kali lipat dari uang makan sehari-hari. Sedangkan di istana kerajaan, para bangsawan dan raja cukup rebahan dengan segudang kemewahan. Namun, di sistem kapitalisme saat ini, kondisi miris tersebut adalah nyata.
Dikatakan bahwa pajak akan dipakai untuk kemaslahatan rakyat. Faktanya, kita bisa meraba dalam keseharian, berita-berita kecelakaan lalu-lintas diakibatkan kerusakan jalan menjadi makanan sehari-hari. Rakyat tak berumah dan terpaksa membangun tempat tinggal di bawah kolong jembatan, di pinggiran laut, bahkan di bantaran sungai. Pengemis dan pengamen pun menjadi sinetron di setiap lampu merah bagi pengguna jalan, dan menjamurnya fenomena-fenomena serupa lainnya.
Lantas, ke manakah uang-uang itu pergi? Tidak malukah mereka yang memakan uang rakyat hingga dijuluki oleh rakyatnya sendiri dengan sifat-sifat layaknya salah satu pemimpin paling terkenal dalam sejarah, yaitu, Qorun, Haman, dan Fir’aun?
Apakah ini sebatas karena penguasa yang tamak, yang tidak bisa menahan nafsu duniawinya? Kenyataannya, kita tidak bisa semata-mata menyalahkan mereka atas kemirisan yang terjadi.
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia bukan karena Indonesia adalah negara miskin. Indonesia kaya. Sumber daya alam melimpah ruah di penjurunya. Bahan, tambang bergelimangan di kedalaman tanah dan lautan. Dunia pun mengakui itu.
Masyarakat negeri ini miskin sebab pemerintah tidak mampu mendistribusikan kekayaan alam yang ada kepada rakyat dengan adil dan merata. Pandangan kapitalis yang diadopsi Indonesia menimbulkan kekayaan itu terpusat kepada segelintir orang, terutama korporat dan kroni-kroninya.
Kapitalisme meniscayakan para kapital atau pemilik modal menguasai dan menentukan kebijakan. Sehingga, tak heran jika mereka diperlakukan istimewa. Oleh karena itu, kemiskinan bukan sebatas karena kesalahan pemimpin atau miskinnya negara, tetapi ini adalah masalah sistem.
Maka, menyelesaikannya pun tak cukup mengganti penguasa atau pejabat. Namun, kita perlu mengganti tata aturan yang ada. Buktinya, sejak kemerdekaan, Indonesia telah bolak-balik berganti rezim. Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa kondisi Indonesia tetap semakin merosot. Ini sebagaimana kata pepatah, “karakter seseorang terbentuk dari lingkungannya.”
Kemiskinan tetap terjadi selama Indonesia tetap bertahan dengan kapitalismenya. Dengannya, paradigma cinta uang dan kekuasaan akan tetap bertahan dalam lingkaran kekuasaan. Bukan paradigma pemimpin adalah pelayan rakyat, tetapi sebaliknya.
Hanya Islam yang bisa menciptakan sosok pemimpin yang bisa menjadi pelayan rakyat. Sebagaimana Rasulullah saw. yang artinya, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
Karena itu, dalam Islam, tidak akan pernah dijumpai istilah raja rebahan, sementara rakyat berperan sebagai sapi perah
Tentu pemimpin seperti ini hanya lahir di bawah naungan sistem Islam, bukan kapitalis. Berdasarkan ketakwaan, para pemimpin akan takut tatkala berkeinginan memakan harta rakyat walau sebiji kurma.
Sebagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz tatkala putranya datang ke kantornya, ia bertanya apakah putranya datang untuk membicarakan masalah negara atau pribadi. Putranya menjawab untuk pribadi, maka Umar pun mematikan lampu negara dan menghidupkan lampu pribadi.
Kehati-hatian Umar ini dilahirkan dari rasa amanahnya kepada rakyat dan Tuhannya. Sangat berbeda, bukan, dengan pemimpin d sistem kapitalis? Dalam Islam, dana rakyat akan benar-benar disalurkan kepada rakyat. Dengannya, rakyat akan disejahterakan.
Islam memiliki aturan untuk mengatasi kemiskinan. Dikutip dari Kitab Nidzamul Iqtishodi fil Islam karya Syekh Taqiyuddin Annabhani, ada tiga macam kepemilikan di dalam Islam, kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan pribadi.
Kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan hasilnya disebarluaskan untuk kemaslahatan rakyat. Islam menetapkan kepemilikan umum sebagai milik umat Islam seluruhnya, bukan hak milik negara bahkan individu tertentu. Maka negara tidak berhak memberikan kepemilikan ini untuk diprivatisasi.
Kepemilikan umum mencakup padang gembala, segala sesuatu yang mengalir, dan barang tambang yang jumlahnya melimpah.
Indonesia adalah negara kaya dengan berbagai sumber daya. Sayangnya, kekayaan alam tersebut, yang mana sudah menjadi rahasia umum, hingga kini masih dikuasai asing dan aseng.
Padahal, potensi ini jika dikelola dengan baik, pemerintah tidak perlu lagi berjibaku dengan utang dan lain-lain yang faktanya malah merugikan rakyat untuk mengatasi kemiskinan dan menutupi pengeluaran negara.
Yang kedua, ada kepemilikan negara yang meliputi pantai, gurun, fa’i, bea cukai, dan lain-lain. Analis senior PKAD, Fajar Kurniawan dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan bahwa potensi sumber daya Indonesia begitu besar. Salah satunya adalah Selat Malaka. Dalam satu tahun, nilai barang yang ditransportasikan melalui Selat Malaka itu kurang lebih mencapai 30 triliun.
Yang terakhir, kepemilikan individu, yaitu kepemilikan selain yang termasuk pos kepemilikan umum dan negara.
Dengan aturan-aturan yang berasal dari Pencipta inilah ketidakamanahan penguasa dan kemiskinan niscaya akan terselesaikan. Maka, sesungguhnya tiada pilihan lain bagi manusia, terutama seorang muslim, selain kembali kepada aturan Pencipta. Ini karena penciptalah yang tahu apa yang terbaik bagi ciptaanya. Maka, aturan dari Allah Swt. adalah yang terbaik bagi manusia, bukan aturan manusia bernama kapitalis. Wallahu a’lam bishawwab.
Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media