Tinta Media: Anak
Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 November 2024

Predator Anak Marak, Lahir dari Sistem Rusak



Tinta Media - Marah sekaligus geram mendengar fenomena anak menjadi korban rudapaksa oleh para predator. Para pelaku dekat dengan anak dan berkedok agama, tetapi menjadi pemangsa yang paling mengerikan. Kebrutalan para pelaku sudah dalam tataran perilaku binatang. 

Polisi menetapkan dua tersangka kasus pencabulan anak di panti asuhan Kunciran Indah, Kota Tangerang. Keduanya adalah pemilik dan pengasuh di panti asuhan tersebut. 

Kedua tersangka itu adalah Sudirman (49) selaku pemilik yayasan panti asuhan dan Yusuf (30) selaku pengurus. Keduanya kini ditahan di Polres Metro Tangerang Kota. (Detik.com, 07/10/2024)

Agama dijadikan tameng untuk mengeksekusi korban, sungguh memalukan. Pencabulan anak sudah lama menghantui calon generasi negeri ini. Namun, solusi yang ditawarkan belum sampai ke akar masalah. Jika sudah ada korban yang mengadu, barulah aparat bertindak. Tidak ada pelindung bagi anak-anak dari incaran predator. Wacana kebiri bagi pelaku tidak membuat ciut nyali predator. Nyatanya, hukuman pun tarik ulur dan tidak memberi solusi.

Sungguh malang nasib anak dalam sistem sekularisme kapitalis. Bukan hanya terkait kebutuhan yang kian mahal, tetapi kehormatan serta masa depan mereka hancur di tangan para predator. 

Anak-anak akan diperhatikan menjelang perayaan hari anak, tetapi tidak ada penjagaan yang memberikan ruang aman buat masa depannya. Ini artinya negara setengah hati memperhatikan nasib generasi. Para pemimpin lebih sibuk lobi sana sini untuk mengamankan kursi kekuasaan. 

Dalam sistem ini, agama sekadar formalitas, tidak ada pengaruh dalam kehidupan. Artinya, agama tidak dijadikan landasan dalam melakukan aktivitas. Padahal, agama ibarat rem yang bisa mengendalikan perilaku agar tidak tersesat. Karena itu, bermunculan orang yang tidak takut dosa saat melakukan kekejian. Seruan untuk menerapkan lslam dalam bernegara dianggap memecah belah, radikal, ekstrem, dan sebutan lain yang membuat masyarakat menjauh dari syariat yang mulia sehingga mereka mudah terjerumus dalam kehinaan.

Dari sistem rusak ini, tayangan pornoaksi dan pornografi bebas berseliweran di media sosial, padahal konten ini menjadi salah satu pemicu terbesar tindakan amoral predator. Dengan alasan kebebasan, manusia melakukan apa saja tanpa ada batas. Sungguh, kehidupan tidak bisa berjalan dengan baik dan tenang karena siapa saja bisa menjadi pelaku dan sekaligus korban.

Saatnya Kembali pada Islam

Islam sebagai sistem kehidupan mampu mencegah terjadinya perilaku amoral ini. Sistem yang berasal dari Pencipta, yaitu Allah Swt. pasti baik untuk semua manusia, muslim maupun non muslim.

Pertama, membentuk ketakwaan individu masyarakat. Negara wajib menjaga keimanan masyarakat melalui kurikulum yang berbasis akidah sejak sekolah dasar. Bisa juga dengan memberikan pemahaman akidah atau iman di masjid, musala, rumah, serta di tempat mana saja yang mudah dijangkau. Dengan ketakwaan, masyarakat akan menjauhi dan meninggalkan perbuatan yang dilarang agama.

Kedua, masyarakat dalam lslam terbiasa dengan amar makruf nahi munkar. Aktivitas ini adalah wajib, maka berdosa jika meninggalkannya. Amar makruf nahi munkar juga merupakan bentuk kasih sayang untuk menjaga manusia agar terhindar dari perbuatan tercela. Masyarakat akan malu dan takut melakukan perbuatan dosa karena satu sama lain saling mengingatkan.

Ketiga, menutup rapat media yang menayangkan konten pornografi, pornoaksi, dan yang sejenis karena bisa merusak iman serta akal, seperti tayangan perempuan yang mengumbar aurat, aktivitas pacaran, pertunjukan musik dan joget yang campur baur antara laki-laki serta wanita, dan lainnya yang memicu sahwat.

Keempat, negara akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku sodomi, pencabulan, pemerkosaan, dan yang lainnya dengan hukuman yang berat, yaitu takzir dari khalifah. Hukuman bisa berupa denda, cambuk, penjara, hingga hukuman mati yang diperlihatkan pada khalayak. 

Hukuman yang diberikan mempunyai dua efek, yaitu:

Pertama, yaitu efek jera atau jawazir, agar pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama. 

Kedua, jawabir yaitu sebagai penebus dosa di ahirat karena hukuman sudah diterapkan di dunia.

Walhasil, dengan penerapan sistem lslam, akan tertutup celah munculnya predator anak, karena kehidupan masyarakat disuasanakan dengan iman dan takwa. Sebaliknya, predator anak akan terus marak karena sistem rusak sekularisme kapitalisme tetap dipertahankan. 
Allahu a’lam.




Oleh: Umi Hanifah 
(Sahabat Tinta Media)

Minggu, 11 Agustus 2024

Anak Terjerat Prostitusi Online

Tinta Media - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi  Keuangan (PPATK)  mengungkapkan ada lebih dari 130.000 transaksi terkait praktik prostitusi dan pornografi anak. Kepala PPATK Ivan Yustiavanda menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analis, praktik prostitusi dan pornografi tersebut melibatkan lebih dari 24.000 anak berusia 10 tahun hingga 18 tahun. (https://nasional.kompas.com/26/07/2024).

Sungguh memprihatinkan fakta terkait prostitusi online yang  terjadi pada anak-anak. Apalagi anak-anak yang melakukan prostitusi online jumlahnya banyak dan transaksinya mencapai ratusan juta rupiah. Kalau melihat banyaknya uang yang didapatkan dari tindakan prostitusi online ini memang menggiurkan bagi masyarakat yang menjadikan sekularisme sebagai pedoman hidup.

Sekularisme kapitalisme telah menjadikan seseorang menghalalkan segala macam cara dalam memperoleh harta. Termasuk melakukan prostitusi online yang melibatkan anak-anak demi mendapatkan uang yang banyak. Bahkan mengabaikan nasib anak dan generasi yang seharusnya bisa menuntut ilmu dan berprestasi menjadi calon pemimpin masa depan bangsa ini. Ternyata dalam kapitalisme sekularisme ini ada keluarga maupun orang tua yang tega menjerumuskan anaknya dalam prostitusi online. Sungguh kehidupan yang berpedoman pada sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan membuat seseorang mudah terpengaruh berbuat kemaksiatan seperti prostitusi online untuk mendapatkan uang.

Tampak nyata kerusakan yang terjadi pada pergaulan di lingkungan sosial masyarakat saat ini yang menggunakan sekularisme sebagai rujukan hidup. Mereka beranggapan bahwa kebahagiaan itu dilihat dari kekayaan. Mereka rela melakukan pekerjaan sebagai prostitusi online agar kaya raya dan bisa bahagia. Bahkan ada orang tua yang membiarkan anaknya melakukan prostitusi online sebagai profesi untuk mendapatkan uang yang banyak dalam mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi dalam kapitalisme sekularisme ini masyarakat kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan banyak PHK massal. Ditambah adanya budaya hedonisme dan kebebasan bertingkah laku ini membuat mereka melakukan prostitusi online. Bahkan orang tuanya membiarkan saja saat anaknya melakukan pekerjaan prostitusi online karena anaknya memberikan sebagian uangnya kepada mereka.  Inilah cerminan rusaknya tatanan keluarga ataupun lingkungan sosial masyarakat yang menggunakan kapitalisme sekularisme sebagai pedoman dalam hidup.

Peristiwa ini menunjukkan berapa rapuhnya akhlak dan moral generasi muda maupun masyarakat dalam bertingkah laku. Mereka tidak memperhatikan norma agama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terkait halal haram terhadap pekerjaan. Yang penting mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan bisa meniru gaya hidup dalam pergaulan seperti masyarakat barat yang menjadi rujukan. Apalagi negara yang kurang berperan aktif dalam melakukan sanksi hukum bagi pelaku prostitusi online. Sehingga tindakan ini menimbulkan kerusakan dan dekadensi moral generasi negeri ini.

Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Negara berperan penting untuk menyelesaikan masalah prostitusi online yang dilakukan oleh anak-anak. Negara melakukan edukasi kepada anak-anak dan masyarakat bahwa prostitusi online merupakan perbuatan zina dan kemaksiatan yang besar. Selain itu, negara melakukan kerja sama dengan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial kepada  anak-anak agar tidak terjerumus pada prostitusi online.  Negara memberikan sanksi yang tegas kepada anak-anak yang melakukan tindakan prostitusi online maupun orang tua yang membiarkan anaknya melakukan perbuatan tersebut. Hal ini dilakukan oleh negara agar terwujud anak-anak yang beriman, berkepribadian Islam dan berprestasi. Sehingga negara bisa menjalankan amanahnya dalam mengatur urusan rakyatnya sesuai Islam dan Al-Qur’an. Agar negaranya berkah dan bisa memberantas tindakan kemaksiatan berupa prostitusi online.

Oleh : Puji Yuli, Sahabat Tinta Media 

Senin, 01 Juli 2024

Marak Anak Durhaka, Pertanda Apa?


Tinta Media - Anak durhaka bukan hanya ada dalam cerita legenda. Di era modern, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, fenomena anak durhaka semakin meresahkan. Bukan hanya dengan menelantarkan orang tua di panti jompo, bahkan dengan mengakhiri hidup orang tua. 

Sepekan ini saja, ada dua kejadian yang menunjukkan kedurhakaan anak kepada orang tua. Dua putri berusia belasan tahun di Duren Sawit, Jakarta Timur telah membunuh ayahnya karena ketahuan mencuri uang dan dimarahi. Kejadian kedua terjadi di Lampung. Seorang laki-laki membunuh ayahnya yang stroke karena kesal. Ia tidak mau mengantar ayahnya ke kamar mandi.

Bayangkan, semudah itu mereka membunuh orang tua, dengan gelap mata tanpa hati nurani. Orang tua yang menyayangi mereka, membesarkan, merawat dengan keringat, darah, dan air mata. Tapi apa balasannya?

Kehidupan sekuler menciptakan manusia-manusia yang semakin jauh dari agama. Anak yang seharusnya memiliki rasa kasih sayang kepada orang tuanya menjadi sosok yang menakutkan. Mereka merasa bebas melakukan apa pun, membentak, melawan, bahkan membunuh orang tua. 

Kehidupan kapitalisme yang berorientasi materi telah menjadikan kenikmatan jasadiyah sebagai prioritas. Maka, anak-anak memilih untuk menikmati hidup daripada harus berbakti kepada orang tua. Miris!

Fenomena ini menjadi bahan renungan bagi kita bersama, sebagai orang tua dan bagian masyarakat yang hidup dalam sistem sekuler.

Bertolak belakang dengan sistem sekuler kapitalis, sistem Islam tegak untuk memanusiakan manusia, karena begitulah Allah me-nash-kan. Dengan sistem pendidikannya, Islam mampu membentuk anak didik memiliki ketakwaan kepada Allah.

Yang termasuk dalam karakter bertakwa adalah mampu menahan amarah. Jangankan membentak orang tua, menjawabnya dengan nada kasar "ah" adalah salah satu bentuk melawan orang tua. Ini termasuk melanggar hukum Allah.

Sistem Islam menegakkan hukum yang bersifat menjerakan, sehingga mampu mencegah manusia melakukan kriminalitas, termasuk pembunuhan. Jangankan pembunuhan luar biasa kepada orang tua sendiri, seseorang akan menerima balasan setimpal (qisas) saat melukai orang lain.

Maka, tak ada jalan lain. Mari kita hentikan fenomena anak durhaka ini hanya dengan cara penerapan Islam kaffah. Wallahu a'lam bissawab.

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Pengajar di Ponpes Nibrosul Ulum, Siwalan Panji Sidoarjo

Senin, 20 Mei 2024

Anak Pelaku Kriminal, Peran Keluarga Mandul


Tinta Media - Pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi menjadi rahasia umum, hal demikian terus saja terjadi bahkan kian marak terjadi. Mirisnya pelakunya merupakan anak di bawah umur yang juga merupakan teman korban sendiri.

Di Sukabumi, seorang anak laki-laki yang baru mau duduk di bangku sekolah dasar berinisial MA (6 tahun) ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya diwilayah kecamatan Kadudampit, kabupaten Sukabumi. Tidak hanya dibunuh tapi juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Polres Sukabumi mengungkapkan bahwa pelaku utama pembunuhan dan sodomi merupakan seorang pelajar yang masih duduk dibangku SMP. Polisi pun menetapkan pelaku sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (Sumber Sukabumiku.id)

Tidak hanya di Sukabumi, di Jambi pihak kepolisian menemukan fakta baru dalam persidangan dua tersangka atas kematian santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwin bernama AH (13 tahun) yang dibunuh oleh teman sesama santri. Majelis hakim pengadilan negeri (PN) Kabupaten Tebo telah menjatuhkan vonis terhadap dua tersangka, yaitu AR (15) dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Rd (14) dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara. (sumber Metrojambi.com) kedua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil kasus dan masih banyak lagi kasus kriminal lainnya.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan peningkatan pada periode 2020 hingga 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Anak-anak yang menjalani masa tahanan di tempatkan pada beragam fasilitas pemasyarakatan. Saat ini tahanan anak ditampung di Lembaga pemasyarakatan (lapas) 243 orang, rumah tahanan negara (rutan) 53 orang, dan Lembaga pemasyarakatan perempuan (LPP) sejumlah 7 orang. Di tahun 2023 masih menyisakan empat bulan hingga akhir tahun, artinya angka tersebut kemungkinan akan mengalami peningkatan. Hal demikian menjadi alarm bahwa anak-anak di negeri ini sedang tidak baik-baik saja dan menuju pada kondisi yang sangat problematik. (sumber Kompas.id)

Hal demikian sangatlah miris, namun maraknya kriminalitas oleh anak-anak merupakan gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Yaitu sistem yang hanya berorientasi pada materi. Maka akibatnya Orang tua dianggap hanya sebagai pihak pemberi materi, sehingga orang tua merasa cukup jika sudah mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya berupa materi seperti pakaian, makanan, mainan kesukaan mereka, hingga sekolah favorit dan lainnya. Sementara itu orang tua juga hanya sebagai pengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.

Akibat dari tekanan ekonomi ayah dan ibu sibuk bekerja sehingga anak-anak pun tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah, sementara itu disekolah juga diarahkan oleh sistem pendidikan sekuler yakni kurikulum pendidikan sekuler yang berorientasi pada materi dan minim nilai agama. Alhasil anak-anak pun terus diarahkan mengejar prestasi tanpa bimbingan akhlak dan ketaatan kepada Allah swt.

Apalagi sanksi di sistem kapitalisme tidak membuat jera pelaku kriminal. Apalagi jika pelakunya anak-anak (usia kurang dari 18 tahun), adanya peradilan anak yang juga tidak membuat si anak pelaku kriminal jera. Akibatnya anak-anak pelaku kriminal pun semakin marak akibat dari sanksi yang tidak menjerakan hingga kasus kriminal terus marak terjadi.

Berbeda dalam sistem pendidikan Islam dalam menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan, Islam memiliki mekanisme yang mampu mencetak generasi yang berkualitas baik dari segi keimanan, akhlak dan potensi diri. Islam memiliki sistem pendidikan Islam yang berdasarkan pada akidah Islam sehingga mampu dan telah terbukti menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian Islam bukan kepribadian kriminal.

Dalam Islam peran keluarga juga menduduki posisi yang khusus, keluarga merupakan fondasi awal sebuah peradaban karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat besar, Islam mewajibkan ibu menjadi sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Didikan seorang ibu yang berlandaskan pada syariat Islam maka akan membentuk anak yang sholih dan sholihah. Pembentukan karakter ini akan semakin kuat karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi qawwam (pemimpin keluarga) sehingga peran ayah dan ibu akan memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anaknya.

Islam juga menetapkan adanya sanksi yang tegas sehingga keamanan pun anak-anak terjamin. Dalam Islam pelaku kejahatan akan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur seperti usia 18 tahun yang dikategorikan sebagai anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh. Jika anak-anak belum baligh maka akan dihukumi anak-anak. Jika anak-anak sudah baligh maka mereka dihukumi mukallaf. Karena itu sekalipun usia mereka masih 15 tahun jika mereka sudah baligh maka sanksi akan berlaku kepada mereka. Penganiayaan yang berakhir pembunuhan akan mendapatkan sanksi qishas, sodomi mendapatkan had liwath yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat didaerah tersebut. (sumber MMC)

Maka dengan demikian sanksi Islam akan menimbulkan efek zawajir yang mampu menjadi pencegah dan jawabir menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal. Tidak hanya itu dengan penerapan sanksi juga akan mampu menumpas para pelaku pembunuhan termasuk pelaku sodomi. Sehingga sanksi yang diterapkan akan mampu memberikan efek jera dan tidak menimbulkan adanya pelaku baru. Hanya saja konsep demikian akan terwujud jika keluarga, masyarakat, dan negara menerapkan Islam secara kaffah dalam setiap sendi kehidupan. Allahu A’lam Bishawab.[] 

Oleh: Haniah, Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 18 Mei 2024

Marak Anak sebagai Pelaku Kriminal, Siapa yang Gagal?



Tinta Media - Generasi Indonesia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beberapa di antaranya menjadi pelaku kriminal di umur yang masih muda. Hal ini menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya.

Sungguh, tidak ada orang tua yang menginginkan anak yang ia besarkan menjadi pelaku kriminal, hingga dicaci sebagai orang tua yang gagal. Lalu, apa yang menjadikan anak sebagai pelaku kriminal? 

Fakta Kasus Anak 

Sebut saja kasus kematian santri di Jambi, Airul Harahap. Tiga anak berhadapan dengan hukum segera jadi tersangka kasus kematian Airul. Hal ini dikatakan oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Jambi yang telah mengirimkan surat kepada Kapolres Tebo untuk diteruskan kepada Kasat Reskrim dan penyidik (metrojambi.com, 04-05-2024).

Terbaru, kurang dari 1×24 jam, Kepolisian Resor (Polres) Malinau melalui jajaran Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) berhasil mengungkap kasus Pencurian Kendaraan Bermotor (Curanmor) yang terjadi di Panggung Kesenian Padan Liu’ Burung, Desa Malinau Kota, Kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau pada Minggu (12/5/2024). Pelaku curanmor seorang anak di bawah umur berinisial BAH yang juga masih berstatus pelajar (humaspolri.co.id,13-05-2024)

Akar Masalah

Belakangan ini banyak diberitakan kasus tindak pidana atau anak menjadi pelaku kriminal, seperti penganiayaan hingga mengakibatkan korban luka berat atau meninggal dunia, bullying, dan sebagainya. Sebenarnya, apa yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan tindak pidana? 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui, anak yang melakukan tindak pidana disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Ketentuan selengkapnya mengenai sanksi/hukuman pidana untuk anak dan tindakan padanya dapat ditemukan dalam Pasal 71 s.d. Pasal 83 UU Pidana Anak. 

Pada dasarnya, perbuatan anak akan menjadi cambuk ataukah hadiah bagi orang tua yang merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang diterima anak dalam lingkungan keluarga sangat penting bagi masa depan anak itu sendiri, karena akan menentukan sifat dan karakter anak pada masa yang akan datang. 

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya peran orang tua dalam memberi pendidikan bagi anak, antara lain: 

Pertama, orang tua terlalu sibuk bekerja hingga mendidik anak pun terlupa. 

Kedua, broken home. Ini merupakan salah satu faktor yang banyak terjadi dan mengakibatkan orang tua kurang perhatian terhadap anaknya. 

Ketiga, kondisi ekonomi yang kurang. 

Keempat, kurangnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan.

Inilah gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Orang tua dianggap hanya sebagai pihak pemberi materi. Orang tua juga hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.

Aturan agama pun dipersempit dalam perkara ibadah ritual, yaitu 5 rukun Islam semata dan memisahkannya dari pengatur hidup bernegara. Padahal, Islam mengatur secara sempurna segala lini kehidupan manusia. Bahkan, pendidikan kepada anak sangat diperhatikan agar menjadi anak berkarakter baik. Lantas, apa parameter karakter yang baik? 

Karakter itu ibarat buah dari suatu tanaman. Buah yang kualitasnya baik akan muncul dari tanaman yang pohonnya tumbuh dengan baik. Pohon yang tumbuh dengan baik bermula dari biji atau benih yang kualitasnya juga baik. 

Untuk itulah, membentuk karakter yang baik pada anak harus kita awali dengan menyiapkan “benih” yang baik, yaitu dasar iman (akidah) yang benar. Dengan demikian, mengajarkan keimanan yang lurus dan benar kepada anak sejak usia dini adalah kunci utama untuk membentuk karakter yang baik pada anak dan akan dibawanya hingga dewasa.

Konsep Karakter dalam Islam

Karakter dalam Islam biasa disebut sebagai kepribadian (syakhshiyah islamiyah). Agar bisa berkepribadian Islam, harusnya kita menjadikan pola pikir dan pola sikap sesuai dengan aturan Islam. Sebelum mencapai usia baligh, orang tua harus sudah mengenalkan syariat, bahkan mengokohkan akidah pada anak. Ini dimulai sejak ia mulai bisa mengamati sekitarnya.

Sistem pendidikan Islam pun berdasarkan akidah Islam dan akan menghasilkan peserta didik berkepribadian Islam, bukan kriminal. Peran orang tua dalam pendidikan anak pun sangat besar. Ibu adalah sekolah pertama dan pendidik pertama. 

Namun, dalam sistem kapitalisme hari ini, ibu malah menjadi tulang punggung, ditambah lagi ada fatherless. Jadi, yang gagal bukan semata salah orang tua, tetapi aturan hidup yang mengatur manusia. Selama masih mengadopsi kapitalisme, maka akan banyak anak menjadi pelaku kriminal dan ini terus terulang.

Islam menetapkan adanya sanksi tegas dan tidak membedakan usia selama sudah baligh atau dilakukan dalam keadaan sadar. Karena itu, kembali kepada aturan Islam adalah solusi untuk mengatasi dan mencegah ananda untuk menjadi pelaku kriminal. 
Wallahu a'lam.


Oleh: Annisa Al Maghfirah
(Relawan Opini)

Minggu, 14 April 2024

MOU Kemenag Unicef, Perlindungan Hak Anak Makin Kuat?



Tinta Media - Kementerian Agama  dan Unicef menjalin kerja sama untuk memperkuat perlindungan hak anak di Indonesia. Kemenag yang diwakili Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin mengatakan, dengan MOU ini akan terwujud hak-hak anak Indonesia. Kerja sama ini meliputi advokasi, pengembangan kapasitas, dan berbagi sumber daya sebagai langkah konkret meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak (www.kemenag.go.id, 28/03/2024). 

Amin menekankan pentingnya meningkatkan kualitas hidup anak-anak, terutama dalam hal pendidikan, serta akses masjid yang ramah untuk anak (m.antaranews.com, 28/3/2014). 

Akankah MOU ini menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit anak?
 
Menakar Masalah

Tidak bisa dimungkiri, masalah anak sangat kompleks. Bukan hanya kurangnya akses pendidikan dan kesejahteraan anak, bahkan kemiskinan, stunting, maupun kekerasan anak masih tinggi. Permasalahan sistemik muncul akibat penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan individu, salah satunya dalam kepemilikan. 

Sektor publik seperti tambang dan sumber daya lainnya bisa diprivatisasi, hingga kekayaan negara dikuasai segelintir oligarki. Sementara, rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara pun ikut  dimiskinkan. Sehingga, ketika melaksanakan pembangunan, negara hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri.

Terlebih, sistem ini juga menempatkan pemerintah hanya sebatas regulator, bukan periayah rakyat. Kebijakan penguasa justru memihak swasta yang hanya mengejar keuntungan. 

Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan diliberalisasi dan dikapitalisasi. Akibatnya, untuk mendapat layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas, rakyat dibebani biaya tinggi. Sementara, layanan yang disediakan pemerintah kurang memadai.  

Kendala dalam mengakses sektor ini menyebabkan anak putus sekolah, anak terpaksa bekerja, mengalami diskriminasi, hingga berbagai kekerasan. Kerja sama Unicef dan Kemenag layak diapresiasi, tetapi merupakan solusi yang bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan. 

Sebagaimana solusi yang ditawarkan pemerintah sebelumnya, selama masih dalam bingkai kapitalisme, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya undang-undang tersebut, faktanya kasus kekerasan pada anak masih merebak. 

Kekerasan terhadap anak, baik pemukulan, penganiayaan, perundungan, hingga pemerkosaan masih terjadi, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Komnas Perlindungan Anak melaporkan, pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 3.000 di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap anak (umsida.ac.id, 22/1/2024). 

Bahkan, angka stunting Indonesia masih menduduki peringkat tertinggi kedua setelah Timor Leste (theconversation.com, 14/9/2023). 

Ini adalah berbagai persoalan yang senantiasa akan ada dalam sistem kapitalisme.

 Sistem Islam Pelindung Hakiki Anak

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mempunyai solusi tuntas mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Penguasa dalam sistem Islam adalah penggembala yang bertanggung jawab secara penuh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk anak.  Nabi saw. bersabda yang artinya,

"Imam itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."

Seorang penguasa berkewajiban memastikan setiap rakyatnya terpenuhi semua kebutuhan pokok, baik secara individu maupun kebutuhan pokok komunal. Nabi saw. mengancam seorang pemimpin bahwasanya ia tidak akan mencium bau surga jika menyia-nyiakan amanah mengurus rakyat.

Penguasa menjamin kebutuhan pokok individu, baik berupa pangan, sandang, dan papan. Dia menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau oleh rakyat, kemudahan bagi laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah, serta hak yang sama bagi rakyat untuk mengakses sektor tersebut.

Penguasa berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok  komunal, baik pendidikan, kesehatan, maupun keamanan secara gratis. Setiap rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan kesehatan dengan layanan terbaik. Sektor ini tidak boleh dikomersialisasi dan dikapitalisasi.

Dalam sistem Islam, penguasa mudah meriayah (mengurusi) rakyat karena memiliki sumber pendapatan yang berlimpah. Salah satunya dengan pengaturan mekanisme pembagian kepemilikan. Ada kepemilikan umum, seperti bahan tambang, gas, batu bara, hutan, laut, dan sebagainya. Juga ada kepemilikan negara, seperti kharaj, jizyah, usyur, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan sebagainya. Pemasukan dari kedua sektor ini lebih dari cukup untuk meriayah (mengurusi) rakyat.

Dengan mekanisme sempurna tersebut, negara mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk memenuhi hak-hak anak, baik pendidikan maupun kesehatan. Hal tersebut akan terwujud bila penguasa menerapkan Islam secara kaffah.

Oleh: Ida Nurchayati
Aktivis Muslimah

Senin, 08 April 2024

Lemahnya Jaminan Perlindungan Anak, ke Mana Arah Negara Seharusnya Bertindak?

Tinta Media - Heboh, 28 Maret 2024 sosial media ramai dengan adanya penganiayaan balita berumur tiga tahun, anak selebgram asal Malang, Jawa Timur, yaitu  Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau biasa disapa Aghnia Punjabi hingga babak belur pada bagian wajah, khususnya bagian mata yang lebam oleh pengasuhnya berinisial IPS yang berumur 27 tahun.

Semula, luka dan lebam dikatakan karena jatuh. Namun, ada kejanggalan yang dirasakan oleh orang tua korban yang tengah pergi ke Jakarta saat peristiwa itu terjadi. Dari CCTV yang ada ternyata balita 3 tahun itu dianiaya oleh pengasuhnya. Pengasuh kesal karena anak balita yang diasuhnya menolak obat untuk menyembuhkan luka cakar yang ada padanya, sehingga memancing penganiayaan yang terjadi. Menurut pengakuannya, pelaku tengah mengalami kesedihan karena salah satu anggota keluarganya sedang sakit. 

Warganet pun beramai-ramai mengomentari peristiwa tersebut. KPAI sendiri telah mencatat, hingga Agustus 2023, terjadi 2.355 kasus pelanggaran, termasuk penganiayaan dan kekerasan anak. 

Penganiayaan terhadap anak pun beragam, mulai dari bulliying, kekerasan fisik dan psikis, penelantaran, perdagangan anak, pengasuhan, dan kekerasan seksual yang terus meningkat dari waktu ke waktu. 

Berulang-ulangnya kasus penganiayaan terhadap anak menjadi salah satu bukti bahwa anak hari ini kian tidak mendapat jaminan keamanan, bahkan dalam keluarga sekalipun. Ini adalah fenomena gunung es yang menunjukkan lemahnya jaminan perlindungan atas anak di negeri ini. 

Bukankah perlindungan keamanan pada anak adalah tanggung jawab bersama? Memang, perlindungan anak harusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pada lini  keluarga, lini masyarakat, maupun negara. Mirisnya, peran tersebut hari ini tidak berfungsi dengan baik. Hal ini tak lepas dari kehidupan yang saat ini dialami, yaitu hidup dalam naungan kapitalisme sekularisme yang membuat beban hidup makin berat, termasuk meningkatkan stres, depresi, tidak berpikir panjang, mengedepankan hawa nafsu, hilang kesadaran secara utuh, dan tidak takut akan adanya pertanggungjawaban setiap perbuatan. Alhasil, banyak orang semakin mudah melakukan berbagai penganiayaan dan kekerasan. 

Di sisi lain, adanya peristiwa penganiayaan anak yang berulang  telah menjadi salah bukti mandulnya regulasi yang ada di negeri ini, baik UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak yang bahkan sudah mengalami revisi beberapa kali. Nyatanya, sekalipun UU itu ada, tetapi tidak berdampak signifikan bagi para pelaku tindak penganiayaan dan kekerasan, malah semakin menjadi-jadi dan terlihat tidak menjerakan. 

Karena itu, dibutuhkan perubahan sistem di negeri ini secara mendasar dan menyeluruh agar tidak berulang, yaitu diganti dengan sistem Islam.

Islam telah mewajibkan setiap orang untuk  memahami pentingnya perlindungan anak dan berbagai berperan serta mewujudkannya dalam semua lini, baik di masyarakat,  keluarga, ataupun negara. Islam bukan hanya sekadar agama ritual yang tidak memiliki aturan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Namun, Islam memiliki solusi setiap permasalahan.

Merujuk pada Al-Qur'an sebagai pedoman, Islam telah memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan anak melalui berbagai cara, di antaranya adalah adanya asas akidah Islam yang dapat menjadikan semua individu memahami kewajibannya, termasuk melindungi anak. Manusia akan senantiasa merasa diawasi dalam melakukan setiap perbuatan karena akan dimintai pertanggungjawaban baik dunia dan akhirat.

Dalam surah An Nahl ayat 90 telah disampaikan:
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."

Mari kita renungkan surah Al Muddassir Ayat 38:
كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ
"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya."

Penerapan syariat Islam dalam negara akan menjadikan kehidupan manusia semakin teratur. Negara Islam akan menerapkan sanksi yang tegas serta dapat  menjerakan bagi pihak-pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak dan akan berpikir panjang jika melakukan perbuatan keji. Ini semua akan terwujud bila Islam diterapkan secara menyeluruh dalam lini individu, masyarakat dan negara.  Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M.
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 06 April 2024

Kekerasan pada Anak Terus Terjadi, di Manakah Peran Regulasi?



Tinta Media - Anak merupakan amanah sekaligus anugerah terindah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap orang tua. Bahkan, kehadirannya selalu dinanti untuk menambah kebahagiaan dalam setiap keluarga. 

Anak yang seharusnya diberikan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan, nyatanya saat ini masih menjadi salah satu objek dalam kekerasan. Seperti yang baru-baru ini terungkap, yaitu penganiayaan terhadap balita berumur 3 tahun, anak dari selebgram Aghnia Punjabi. Penganiayaan itu dilakukan oleh pengasuhnya sendiri. 

Anak kecil yang tidak memiliki daya upaya untuk membela diri menjadi korban kekesalan dari pengasuhnya hingga babak belur. Penganiayaan ini terjadi karena pelaku kesal terhadap korban yang menolak diberikan obat untuk menyembuhkan luka cakar. Selain itu, pelaku mengaku bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang sedang sakit. Hal inilah yang memacu kekesalan dari pelaku, sehingga tega menganiaya balita 3 tahun tersebut secara sadis. (liputan6.com, 30/03/2024)

Sungguh miris, kekerasan yang terus terjadi pada anak dalam sistem saat ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, di manakah peran regulasi?

Terjadinya kasus kekerasan pada anak menjadi bukti bahwa anak tidak mendapat jaminan keamanan. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Sayangnya, hari ini semua pihak tidak berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.

Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekularisme juga membuat beban hidup semakin berat, hingga meningkatkan stres. Ini mengakibatkan emosi seseorang tidak terkontrol dengan baik sehingga mudah melakukan tindak kekerasan. 

Di sisi lain, kasus kekerasan pada anak menjadi bukti nyata mandulnya atau lemahnya regulasi yang ada, baik UU -KDRT  ataupun UU Perlindungan Anak,  meskipun sudah mengalami revisi. Regulasi yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan keamanan bagi anak, nyatanya tidak memberikan efek jera pada pelaku kekerasan, sehingga kasus kekerasan pada anak terus terjadi. 

Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Regulasi dibuat sesuai kebutuhan, tetapi tidak pernah memberikan solusi tuntas sampai ke akar-akarnya.

Hal ini jauh berbeda dengan jaminan perlindungan yang diberikan Islam. Islam mewajibkan setiap orang untuk memahami betapa pentingnya perlindungan anak berperan mewujudkannya di semua lapisan masyarakat, baik keluarga, masyarakat maupun negara. 

Asas akidah Islam memberikan pemahaman kepada semua individu untuk mengetahui kewajibannya dalam melindungi anak. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan terhadap anak, antara lain:

Pertama, dalam lingkup keluarga. Islam telah menjelaskan dengan rinci terkait hak dan kewajiban sebagai orang tua kepada anak. Ayah bertanggung jawab sebagai pencari nafkah untuk mencukupi kehidupan keluarga dan Ibu sebagai ummun wa rabbatul bait, yaitu sebagai ibu yang memiliki tugas mulia dalam mencetak generasi peradaban terbaik dengan memberikan kasih sayang, perlindungan sepenuhnya kepada anak dan sebagai pengatur rumah tangga.

Kedua, dalam lingkungan masyarakat. Islam telah mengatur adanya aktivitas amar ma'ruf nahi munkar, yaitu saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan dan melarang setiap masyarakat untuk berbuat kejahatan. Ini akan membuat masyarakat peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga bisa mencegah kejahatan yang terjadi, khususnya kekerasan yang terjadi pada anak karena fungsi kontrol dari masyarakat berjalan dengan baik.

Ketiga, negara akan menerapkan sanksi tegas dan menjerakan bagi semua pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Sanksi tegas ini akan dijalankan sesuai dengan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, misalnya hukuman setimpal atau pembayaran ganti rugi atas tindak pidana terhadap tubuh dan jiwa.

Inilah bukti bahwa Islam sangat membela dan memperhatikan keselamatan jiwa seseorang. Dengan adanya kesadaran pada individu, masyarakat, dan negara, maka kekerasan pada anak tidak akan terjadi. Betapa indahnya hidup dalam naungan Islam! Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Agustriany Suangga
Muslimah Peduli Generasi

Terulangnya Kekerasan terhadap Anak



Tinta Media - Dunia anak sedang tidak baik-baik saja. Itulah kata-kata yang bisa menggambarkan tentang kondisi anak-anak sekarang. Kasus terbaru dan sangat menjadi perhatian bagi masyarakat adalah penganiayaan balita oleh pembantu rumah tangganya. Kasus ini menjadi sangat populer karena orang tua dari anak ini adalah seorang publik figur. Lantas, bagaimana dengan kasus kekerasan pada anak-anak lain yang tidak terekspos oleh media?

Kasus kekerasan pada anak sudah sering terjadi dan terus berulang. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2023. Kasus kekerasan terbanyak yaitu terjadi pada kekerasan seksual. Tidak jarang yang menjadi pelakunya adalah anggota keluarga itu sendiri.

Fakta yang terjadi menggambarkan betapa lemahnya jaminan perlindungan anak di negeri ini. Keluarga dan orang tua yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak pun justru menjadi pelaku. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. 

Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekularisme menjadikan beban hidup semakin berat. Kewajiban seorang ibu yang seharusnya menjaga dan merawat anak harus tergantikan dengan pembantu rumah tangga. Ini dilakukan dengan dalil bahwa ibu harus mencari nafkah.

Sedangkan dalam Islam, seorang ibu mempunyai kewajiban mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, bukan bekerja di luar. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk bekerja. Namun, ketika kebutuhan pangan dan sandang sudah terpenuhi dari nafkah suami, sebaiknya seorang ibu lebih fokus untuk menjaga anak-anak di rumah.

Belum lagi regulasi dari pemerintah, baik UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak, faktanya belum mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak, meski sudah mengalami revisi. Regulasi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai  tindakan preventif karena tidak bisa memberikan efek jera, juga tidak bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Berbeda ketika sistem Islam diterapkan. Islam mewajibkan setiap orang memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya dalam semua lapisan masyarakat, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan serta tata cara mencegah agar kekerasan pada anak tidak terjadi.

Asas akidah Islam akan menciptakan individu-individu bertakwa dan senantiasa menjalankan semua perintah Allah Swt. Serta menjauhi larangan-Nya. Sehingga, setiap individu akan memahami kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Negara Islam akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi semua pihak yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Wallahualam bishawabi.


Oleh: Deasy Yuliandasari, S.E.,
Sahabat Tinta Media

Kamis, 14 Maret 2024

Anak Malam Bukan Ibu Tak Sayang


Tinta Media - Jemarimu yang lembut kecil
Tiada henti-hentinya kupegang 
Tubuhmu yang dulu mungil
Terus dibuai sampai tubuh berkembang

Tiada kata yang tepat untuk melukiskan kebahagiaan
Hanyalah ucapan syukur selalu dipanjatkan
Menjelang dewasa, mengapa begitu banyak terdapat perubahan
Mula-mula menggerus kebersamaan 

Waktunya habis lupa kasih sayang
Mungkin juga lupa apa yang telah ibunya sampaikan
Curahan cinta kasih ibu tak terbilang
Anaknya malang ibulah yang disalahkan

Mungkinkah ini buah dari salah pengasuhan 
Didukung minimnya pemahaman
Meskipun tahu ini kewajiban
Sering kali air mata mengalir penuh keputusasaan

Dongeng sebelum tidur yang dulu selalu di nyanyikan
Diiringi belaian, bukan menjadi kenangan
Tetapi menambah perihnya luka yang engkau goreskan
Anak malam bukan ibu tak sayang

Palembang 7 Maret 2024

Oleh: Yeni Aryani

Senin, 19 Februari 2024

Nasib Anak Hari Ini, Tragis!



Tinta Media - Perempuan adalah makhluk mulia yang harus dijaga dan dilindungi terutama seorang anak. Akan tetapi saat ini sangat disayangkan, lagi-lagi anak menjadi korban dari hawa nafsu jinsiyah orang-orang yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Setelah awal bulan lalu Kabupaten Bima dinyatakan darurat kekerasan seksual, nyatanya daerah di Pulau Sumbawa pun sama saja. Ini adalah sederet kasus yang terangkat di media, tidak dibayangkan yang tidak diungkap oleh media. Lantas apa sebenarnya motif kasus ini terus terjadi sehingga tidak menemukan solusi? 

Pelaku dari Orang Terdekat 

Lagi-lagi kasus kekerasan seksual pada anak menjadi pokok pembahasan yang tidak menemukan solusi tuntas oleh pemerintah. Dilansir dari pulausumbawanews.net, entah setan apa yang merasuki benak seorang kakek berinisial JZ alias IN berusia 73 tahun yang tega mencabuli seorang anak perempuan berusia 5 tahun, sebut saja bernama bunga. Kabar menyesakkan dada ini disikapi dengan tegas oleh Aparat Polres Sumbawa setelah menerima laporan dari pihak keluarga korban. Terduga pelaku JZ alias IN ditangkap di kediamannya oleh Kepolisian dari Unit PPA Satreskrim Polres Sumbawa. Kapolres Sumbawa, AKBP Heru Muslimin melalui Kasat Reskrim, Iptu Regi Halili, Minggu (21/01/2024) mengungkapkan bahwa hari Sabtu, 20 Januari 2023 sekitar pukul 14.00 WITA, PS Kanit IV PPA Sat Reskrim Polres Sumbawa bersama anggotanya berhasil mengamankan seorang pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. 

Pelaku berinisial JZ alias IN berusia 73 tahun merupakan warga Sumbawa. Sementara korban adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang beralamat di Kelurahan Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa. Kronologis berdasarkan kesaksian yang diceritakan oleh saksi yang merupakan pemilik kios mengatakan bahwa pelaku mengajak korban bermain di belakang kios dekat kandang ayam kemudian pelaku mencabuli korban. Iptu Regi Halili menjelaskan bahwa pelaku berhasil diamankan di rumahnya oleh anggota Polsek Sumbawa. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga perkara ini naik ke tahap penyelidikan dan segera ditindaklanjuti. 

Kasus ini banyak datang dari orang-orang terdekat seperti pacar, saudara, bahkan ayahnya. Seperti yang dilansir dari TBNewsNTB, Polda NTB berhasil mengungkap sebanyak tiga kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan tiga orang tersangka. Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Rio Indra Lesmana dalam konferensi persnya di Polda NTB, Kamis (18/01/2024) menjelaskan detail terkait tiga kasus tersebut. Kasus pertama melibatkan pelaku berinisial RD dengan korban berinisial LI seorang pelajar berusia 17 tahun. Kata Perwira Polda NTB diketahui mereka menjalin hubungan asmara. Namun pelaku memanfaatkan kesempatan dan kepercayaan korban untuk melakukan pengancaman serta tindakan kekerasan seksual terhadap LI. 

Sementara kasus kedua, sambung Kabid Humas Polda NTB, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya. Pelaku berinisial EH memaksa anak kandungnya berinisial RN melakukan tindakan tidak manusiawi. Menurutnya sangat disayangkan seorang ayah yang seharusnya melindungi malah menjadi pelaku. Kemudian kasus yang ketiga adalah melibatkan pelaku berinisial DA yang melakukan persetubuhan dengan kekerasan terhadap korban berinisial NWS. Lantas sebenarnya apa yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus ini? 

Generasi yang Rusak Lahir dari Sistem yang Juga Rusak 

Merebaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan terutama anak saat ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi kita bahwa kehidupan kita sekarang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Anak yang menjadi sumber kebahagiaan orang tua nyatanya menjadi korban dari kebiadaban manusia. Banyak fakta yang bisa kita lihat saat ini bahwa kasus kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang lain, justru kini orang terdekat yang menjadi pelakunya. 

Hal ini sangat wajar terjadi dalam kehidupan sekuler kapitalistik saat ini yang diterapkan oleh negara yang aturannya dibuat oleh tangan manusia dan jauh dari keridhaan Pencipta, sehingga melahirkan generasi yang bobrok imannya dan hilangnya rasa takut kepada Penciptanya. Dalam sistem sekuler kapitalis saat ini standar kebahagiaan adalah ketika apa yang diinginkan bisa dicapai walaupun melanggar aturan Pencipta. Allah bukan lagi standar ketakutan mereka dalam berbuat melainkan terpuaskannya keinginan. 

Kemudian munculnya pandangan rusak kapitalisme seputar hubungan laki-laki dan perempuan. Paham liberal melahirkan generasi dan orang-orang yang tidak memperhatikan rambu-rambu syariat dalam berbuat sehingga berteman dengan lawan jenis tanpa adanya keperluan yang diperbolehkan syariat seolah menjadi hal biasa. Inilah yang menjadi salah satu pemicu adanya kekerasan seksual. Sistem saat ini melahirkan paham liberal (kebebasan), paham kebebasan inilah yang menjadi standar bebasnya media menayangkan konten yang memicu pada kekerasan seksual. Karena berawal dari tontonan muncul rasa ingin mencoba. 

Yang paling utama adalah negara tidak hadir untuk menjaga manusia dan tidak memberikan solusi yang komprehensif dan efek jera bagi pelaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun. 15 tahun penjara menurut penulis tidaklah sebanding dengan apa yang dialami oleh korban. Mengingat kejadian ini akan memberikan pengaruh yang besar kepada korban seperti gangguan fisik hingga gangguan psikologis yang akan dideritanya seumur hidup dan menghambat pertumbuhannya. Dampak buruk psikologis yang dapat dideritanya adalah depresi, trauma pasca kejadian, dan paranoid akan hal-hal tertentu seperti takut bertemu orang dan merasa hidupnya sudah hancur. 

Apabila trauma psikis ini tidak segera ditangani dengan baik, maka dapat menyebabkan tiga kemungkinan efek jangka panjang seperti, mendorong korban untuk terjun ke dalam pergaulan bebas, mendorong korban untuk melakukan pembalasan dendam dan bahkan bisa saja si korban menjadi seorang homoseksual dan yang terakhir bisa saja dia menjadi pelaku kejahatan yang sama. Naudzubillah. 

Islam Memberikan Keadilan Bagi Manusia 

Kasus kekerasan seksual pada anak seakan tidak ada habis-habisnya untuk kita bahas karena kasusnya semakin hari semakin meningkat. Saatnya kita kembali kepada Islam, karena Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah individu kepada Allah saja melainkan ideologi yang mempunyai pandangan yang khas tentang pengaturan urusan umat termasuk bagaimana Islam memberikan solusi terhadap kasus kekerasan seksual pada anak. Penerapan aturan Islam dalam bingkai khilafah Islamiyyah akan mendorong individu yang bertakwa dan melahirkan generasi yang senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan sehingga akan jauh dari kemaksiatan.

Pun dalam kehidupan sosial, Islam memiliki pandangan khas relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum adalah untuk ta'awun. Karena hukum asal kehidupan laki-laki dan perempuan adalah terpisah kecuali yang diperbolehkan syariat. Adanya aturan seperti ini untuk mencegah perzinaan dan kerusakan. Allah SWT berfirman, "katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar menjaga pandangannya dan menjaga kemaluannya, yang demikian lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. An-Nur 30) 

Dalam Islam negara berkewajiban dan bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Umat akan mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan merata. Di samping itu, negara adalah pelaksana utama penetapan syariat Islam. Oleh karenanya negara akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Maka jelas sanksi bagi pezina yang sudah menikah akan dirajam (dilempari batu sampai mati). 

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, "bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan, Nabi memerintahkan untuk menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa ia adalah mukhson (sudah menikah), maka Nabi memerintahkan untuk merajamnya". Sedangkan sanksi untuk pezina ghaira mukhson (belum menikah) adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun dan dikenai had kepadanya. 

Allah SWT berfirman, "pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah dari masing-masing keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman". (QS. An-Nur : 2) 

Hanya sanksi dalam Islam yang akan memberikan efek jera dan keadilan kepada umat manusia. Terbukti selama dalam kurun waktu sekitar 500 tahun yakni dalam masa kekhilafahan Utsmani (5 abad) angka kriminalitas hanya sekitar 200 kasus. Ini adalah angka yang sangat kecil dibandingkan kasus kekerasan seksual yang ada dalam sistem demokrasi saat ini. Tidakkah kita merindukan suasana Islam dalam naungan khilafah seperti ini? Semoga tidak lama lagi dengan pertolongan Allah dan perjuangan kaum muslimin, khilafah ala minhaj nubuwwah yang dijanjikan oleh Rasulullah segera tegak. Aamiin allahumma aamiin.


Oleh : Paramita, Amd.Kes.
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 10 Februari 2024

Menyiapkan Ananda Menjadi Seorang Pemimpin



Umi ... Abi ... Ana lahir

Tinta Media - Sungguh bahagia para orang tua yang dititipi dan dianugerahi seorang manusia kecil berakal, lucu nan imut, mampu menyejukkan mata saat dipandang. Ya, itulah anak-anak kita, anak-anak yang kita harapkan dan kita nantikan kehadirannya.

Setelah mereka lahir ke dunia, mereka seperti kertas putih kosong yang bersih dan harum yang siap kita isi dan tulis dengan jejak-jejak tulisan yang akan mengubah hidupnya. Pertanyaannya, mau diisi apa kertas putih itu?

Rasulullah saw. dalam hadisnya telah mengabarkan bahwa kita sangat berperan dan berpengaruh besar dalam membentuk karakter, perilaku, bahkan agama anak-anak kita.

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sayangnya, masih banyak di antara orang tua yang tidak menyadari bahwasannya bukan hanya fisik saja yang dapat diwariskan kepada anak, tetapi perilaku, karakter, dan sifat kita juga akan ditiru oleh mereka. Maka, penting bagi orang tua untuk selalu memperhatikan setiap perilaku dan kebiasaan. Orang tua juga harus siap mengubah karakter dan sifat yang sekiranya buruk menjadi lebih baik karena hal ini akan tertulis ke dalam kertas putih mereka.

Mau dijadikan apa anak-anak kelak, haruslah menjadi sebuah visi besar yang harus disiapkan sedari awal. Tentunya kita harus ingat bagaimana kesungguhan dan keseriusan orang tua Shalahudin Al Ayubi dalam menggapai visi agungnya. Mereka berusaha mencari pasangan yang mempunyai visi yang sama, yaitu ingin memiliki anak yang mampu membebaskan Masjidil Aqsa. Luar biasa, mereka dipertemukan dan visi mulia itu akhirnya terwujud. 

Terlihat bahwa visi untuk menjadikan ananda seperti apa, ternyata membutuhkan peran dan kerja sama antara ayah dan ibu.

Umi ... Abi ... Jadikan Ana Pemimpin! 

Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin ....” (HR Al-Bukhari)

Menjadi keberhasilan yang luar biasa jika orang tua bisa menjadikan anaknya memiliki jiwa kepemimpinan, karena sabda Rasul, setiap diri kita adalah pemimpin, baik pemimpin untuk diri sendiri, keluarga, atau untuk umat. 

Keberhasilan dalam menjadikan anak mampu memimpin dirinya sendiri adalah dengan melihat apakah dia mampu menundukkan akal dan hawa nafsunya kepada syariat yang diperintahkan oleh Allah atau belum. Salah satu cara yang terlihat kecil, tetapi dampaknya begitu luar biasa untuk membentuk kepemimpinan seseorang adalah dengan membiasakan bangun subuh untuk salat Subuh. Jika hal ini berhasil, berarti ananda berhasil menguasai dirinya atas hawa nafsu. Jika hidupnya sudah terikat dengan hukum syariat, maka sejatinya dia sudah mampu memimpin dirinya sendiri dan insyaaallah akan mampu memimpin keluarganya.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat Al-Qur'an di atas menjadi pengingat bahwa ada kewajiban besar bagi kita dan ananda kelak, yaitu melindungi diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. Maka, penting dalam diri anak tertanam sikap kepemimpinan. 

Namun, sikap kepemimpinan yang hebat dan luar biasa itu seperti apa? Tentunya, kita harus melihat generasi-generasi yang lahir dari peradaban emas. Peradaban emas terjadi saat Islam mengalami kejayaan. Saat itu, Islam yang dalam naungan Khilafah mampu mencetak para pemimpin yang luar biasa. Mereka harus dijadikan contoh dan teladan dalam kepemimpinan ananda. 

Para pemimpin yang lahir dari peradaban emas senantiasa bersikap dan berperilaku terhadap keluarganya dengan penuh ketegasan, wibawa, adil, tetapi tetap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Mereka keras terhadap pelanggaran syariat, tetapi sangat lembut, bahkan mereka senantiasa bermain dan bercanda bersama keluarganya. 

Bahkan, Rasulullah saw. siap memotong tangan anaknya sendiri jika ketahuan mencuri, atau Abu bakar yang mengurangi dan mengembalikan ke baitul maal uang belanja istrinya saat tahu uang belanja tersebut ternyata ada kelebihan. Namun, di sisi lain, ternyata Rasul saw. pernah lomba lari bersama Bunda Aisyah atau Umar bin Khattab. Mereka senantiasa bercanda dan bermain bersama anak-anaknya. 

Jelas, sikap kepemimpinan bukan kejam, bengis, dan otoriter. Namun, mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan adalah orang yang tegas dalam menegakkan syariat, konsisten atau istikamah, adil, dan penuh kasih sayang.

Karena keluarga adalah masyarakat lingkup kecil, maka jika seorang anak mampu memimpin dirinya sendiri dan keluarganya, insyaallah dia mampu memimpin umat. 

Umi … Abi … terima kasih, ana siap jadi pemimpin!


Oleh: Ririn Arinalhaq
Sahabat Tinta Media

Kamis, 18 Januari 2024

Sulitnya Mendidik Anak



Tinta Media - Sebagai orang tua wajib mendidik anak, mengarahkan mereka menjadi pribadi yang siap  mengemban taklif. Salah satu yang menjadi kewajiban kita adalah bagaimana melahirkan anak-anak dan putra-putri kita sebagai hamba Allah yang bertanggung jawab terhadap dirinya. Bertanggung jawab  terhadap keluarganya, yang penting bagaimana mereka menjadi pribadi, generasi yang bertanggung jawab terhadap umatnya, terhadap bangsanya. Itulah tanggung jawab kita sebagai pendidik. 

Di era sekarang, kita dicengkeram oleh sistem yang zalim, sistem yang rusak dan merusak  yaitu kapitalis  liberalisme. Mendidik anak itu menjadi suatu yang  luar biasa sulitnya. Mau mengarahkan mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah, seperti pacaran, berbohong masih ditawar. 

Pendidikan saat ini sudah jauh dari Islam. Yang dipentingkan hanya skill dan cepat lulus, bisa  bekerja dan menghasilkan uang. Kenyataannya output keluaran  sekolah tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Mengenai tanggung jawab birul walidain, amar makruf untuk berdakwah tidak ditekankan. Tidak boleh melihat kemaksiatan terus berlangsung. Bahkan ada anak yang diperkerjakan, tentu akan semakin berat menanggung beban yang diberikan kepadanya. Tanggung jawab orang tuanya untuk melatih keilmuannya. 

Oleh: Krisnawati, S.Pd.
Praktisi Pendidikan

Rabu, 03 Januari 2024

Ratusan Anak Meninggal Bukti Kegagalan Negara dalam Menjamin Keamanan Obat dan Pangan




Tinta Media - Masalah keselamatan makanan dan obat-obatan di Indonesia belakangan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat luas. Terlebih setelah kasus gagal ginjal akut pada anak memuncak pada Agustus hingga Oktober 2022. Setidaknya, per 5 Februari 2023, 326 kasus gagal ginjal pada anak dan satu suspek telah dilaporkan tersebar di 27 provinsi Indonesia. Dari kasus tersebut, 204 anak meninggal dunia. Kematian ratusan anak-anak tersebut diduga terkait dengan tingginya cemaran dari pelarut dalam obat sirop yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.

Peristiwa tersebut tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia. Bagaimana mungkin obat dengan bahan berbahaya tersebut dapat lolos dan menyebar bebas di pasaran, serta dikonsumsi oleh masyarakat luas? Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat selama ini, negara sendiri telah memiliki lembaga khusus dalam melaksanakan kebijakan teknis operasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, hal ini tentu menjadi pertanyaan besar, di berbagai kalangan, tentang peran serta akuntabilitas BPOM dalam memastikan keselamatan masyarakat.

Beberapa keluarga korban anak-anak yang mengalami gagal ginjal akut mendorong Bareskrim Polri untuk segera mengambil tindakan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirop beracun di Indonesia. Menurut mereka, selain produsen atau perusahaan farmasi, BPOM juga dinilai perlu bertanggung jawab dalam mengawasi bahan baku obat sirop sebelum terbitnya nomor izin edar.

Safitri Puspa Rani, ibu dari Panghegar salah satu korban yang meninggal karena mengonsumsi obat batuk sirop beracun, berharap semua orang yang terlibat dalam peredaran obat ini, termasuk pemerintah dan BPOM, dituntut secara hukum agar permasalahan ini tidak terulang kembali.

Keamanan obat dan pangan adalah hal yang sangat penting bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, badan pengawas seperti BPOM memiliki peran yang vital dalam menjamin bahwa masyarakat hanya mengonsumsi obat dan makanan yang aman dan berkualitas tinggi. Namun, kasus kematian anak penderita gagal ginjal akut menunjukkan bahwa BPOM dan negara dalam hal ini telah gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Aturan yang kurang menyeluruh dan prosedur penerbitan izin edar obat yang tidak sesuai standar menunjukkan kurangnya keseriusan dari BPOM dan negara dalam menjaga keamanan masyarakat.

Sebagaimana diketahui era perdagangan bebas memang mengurangi hambatan perdagangan. Namun perdagangan bebas bukan hanya berkaitan dengan perdagangan komoditas yang bebas berkeliaran, memberikan akses lebih banyak bagi perusahaan untuk beroperasi dan mencari keuntungan dengan mengakses pasar yang lebih besar, untuk mendukung dan mempercepat pertumbuhan kapitalisme secara global, tetapi juga tentang investor asing yang bebas berinvestasi di negara tujuan.

Dengan daya saing yang tinggi di dalamnya, menjadikan para pengusaha tidak lagi peduli dengan kualitas tapi lebih kepada kuantitas agar dapat meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa mengindahkan keamanan dan keselamatan konsumen.

Sementara sikap negara yang terkesan abai akan keamanan dan keselamatan rakyatnya pada dasarnya menjadi suatu hal yang wajar, sebab dalam sistem saat ini, tugas negara hanya sebatas regulator untuk para kapital. Sehingga BPOM yang notabene lembaga negara, cenderung sebatas lembaga registrasi obat dan makanan, yang hanya mengikuti apa yang tertera dari pabrik yang meregister, dan selanjutnya ketika ada masalah baru diteliti. Meskipun keselamatan masyarakat menjadi taruhan.

Pada dasarnya, memperbaiki kondisi ini dapat dimulai dengan upaya negara dalam mencerdaskan rakyat pada pentingnya keamanan obat dan makanan. Selain itu, negara juga harus menetapkan standar berkualitas tinggi untuk menjaga keamanan makanan dan obat dan menyiapkan SDM profesional dan amanah. Hal ini bersifat penting untuk menghasilkan sistem kewaspadaan yang cermat dan berkualitas.

Peradaban Islam di masa lampau, dikenal dengan perkembangan ilmu pengetahuan, salah satunya adalah farmasi. Ilmu tentang obat-obatan ini menjadi acuan perkembangan kedokteran bahkan hingga hari ini. Banyak para ilmuwan muslim di era kejayaan Islam yang telah berhasil menguasai riset ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, serta efek dari obat-obatan sederhana dan campuran. Semua sejarah tersebut telah menjadi bukti bahwa peradaban Islam mempunyai peranan penting dalam bidang farmasi sekaligus menepis bahwa ilmu farmasi berasal dari barat.

Sebagaimana Islam, yang sangat mengutamakan kesehatan umatnya, dalam memilih makanan bahkan mencari obat konsep halal dan haram selalu diperhatikan. Tidak mengandung zat berbahaya, dan tidak diolah dengan peralatan yang najis, atau apa pun yang tidak diperbolehkan menurut hukum Islam. Sehingga aman digunakan oleh umat. Dan urusan sepenting ini tentunya hanya akan ditangani oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya, profesional dan amanah, terlahir dari pendidikan yang berakidah Islam.

Dan Islam sebagai agama yang indah dan sempurna telah menetapkan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat dalam semua aspek kehidupan, termasuk menjamin keamanan dan kualitas obat dan makanan yang dikonsumsi rakyat. Namun, akibat kesalahan sistem hari ini, maka kewajiban negara tidak dapat terpenuhi, menjadikan negara gagal dalam menjaga serta melindungi keselamatan rakyatnya.

Kematian anak penderita gagal ginjal akut seharusnya membuat kita sadar akan pentingnya keamanan obat dan makanan bagi kesehatan dan keselamatan kita. Dan untuk mengembalikan fungsi negara sebagaimana mestinya, maka solusi satu-satunya adalah harus mencabut akar masalah utamanya, yaitu mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam kaffah, yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah. 

Sebab, sejarah telah menjadi saksi sekaligus bukti di bawah kepemimpinan Islam bahwa masyarakat terjamin keamanan dan keselamatannya, dan dari peradaban Islam juga telah melahirkan individu-individu amanah, profesional bahkan ilmuwan-ilmuan hebat, yang menorehkan tinta emas sepanjang peradaban.

Secara keseluruhan, masalah keselamatan makanan dan obat-obatan belakangan ini seharusnya menjadi alarm sekaligus panggilan untuk membangunkan kesadaran bagi negara, BPOM, dan masyarakat, bahwa tidak ada sistem yang lebih baik selain sistem Islam.

Wallahu 'alam.


Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Selasa, 19 Desember 2023

Miris, Judi Online pada Anak Semakin Marak



Tinta Media - Maraknya judi online tidak hanya menjerat orang dewasa, tetapi juga pada anak di bawah umur. Anak usia sekolah dasar didiagnosisi kecanduan judi online dari konten live streaming. Streamer gim secara terang-terangan mempromosikan situs judi slot.

Laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online. Sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar yang jenjang pendidikannya SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. (BBC Indonesia).

Menurut data PPATK, saat ini cukup memasang taruhan dengan deposit Rp10.000 mereka sudah bisa berjudi. Cara depositnya pun mudah, bisa dengan kirim pulsa, dompet elektronik, dan uang elektronik.

Dikutip dari laman Kemendikbudristek, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo RI) Budi Arie mengatakan bahwa saat ini Indonesia sedang darurat judi online. Banyak anak dan remaja yang terjerat judi online. 

Anak-anak dan remaja terjerat judi online merupakan masalah besar, sebab akan berdampak pada rusaknya generasi masa depan bangsa. 

Ada beberapa dampak jika anak-anak terjerat judi online. Pertama, kecanduan. Kedua, ekonomi menurun. Ketiga, kesehatan mental terganggu. 

Pemain menjadi lebih emosional dan stres akibat kecanduan, apalagi kalah dalam permainan. Hal tersebut juga berdampak pada konsentrasi belajar anak. Akibatnya, belajar anak semakin menurun.

Hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu: keluarga, lingkungan maupun masyarakat, dan negara. Sistem yang diterapkan saat ini rusak. Selain karena sistem pendidikannya yang sekuler, tidak mampu membentuk karakter mulia, juga karena peran orang tua dalam mendidik anak-anak. Ini memiliki tantangan berat. 

Anak-anak tumbuh di era digital yang serba bebas. Penggunaan gawai (handphone) tidak terkontrol sehingga bebas mengakses segala hal. Inilah yang menjadi salah satu penyebab anak terjerat judi online.

Faktor lingkungan atau masyarakat di sistem sekuler kapitalisme menjadikan masyarakatnya individualistis. Rendahnya rasa peduli terhadap sesama menjadikan masyarakat enggan terlalu mencampuri urusan orang lain, enggan saling menasihati, menyerukan kebaikan, dan mencegah kerusakan. 

Adapun komitmen negara dalam menyelesaikan masalah perjudian, dinilai kurang kuat, ditambah lemahnya penegak hukum sehingga tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kriminal. Hal ini karena dalam sistem sekuler kapitalis standar perbuatan manusia disandarkan pada asas manfaat. Selama masih menganggap judi online membawa maslahat atau menguntungkan, sah-sah saja untuk dilakukan. Mestinya, standar perbuatan seorang muslim adalah halal dan haram sehingga wajib meninggalkan keharaman tersebut.

Dalam Islam, apa pun bentuknya, judi adalah haram. Allah berfirman, “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90).

Negara dalam Islam memiliki mekanisme untuk mengatasi perjudian, yaitu dengan melakukan pembinaan dan penanaman akidah Islam yang kuat kepada umat melalui sistem pendidikan Islam. Negara melindungi akidah umat, juga dari berbagai aktivitas yang haram hingga merasa takut kepada Allah untuk melakukan perjudian yang diharamkan. 

Begitu juga negara dalam Islam akan menjaga stabilitas ekonomi sehingga masyarakat akan stabil perekonomiannya hingga tidak tergiur dengan aktivitas perjudian.

Para penguasa dalam Islam akan menindak tegas pelaku  judi dan para penyedia fasilitas dengan hukum Allah yang pastinya akan memberikan efek jera bagi pelaku dan efek pencegahan, sehingga masyarakat tidak akan melakukannya lagi. Perjudian akan bisa diberantas hingga ke akar-akarnya jika sistem Islam yang terapkan di negeri ini, bukan sistem sekuler kapitalis.

Oleh: Nasiroh 
(Aktivis Muslimah) 

Rabu, 13 Desember 2023

Nasib Anak dalam Cengkeraman Sistem Rusak

Tinta Media - Anak adalah anugerah yang harus dijaga. Namun sayang, beragam gempuran saat ini menjadikan anak dalam ancaman luar biasa. Berbagai masalah menyapa anak sejak usia belia. Bunuh diri misalnya. Kasus tersebut dilaporkan salah satunya di Pekalongan. Sang anak marah dan depresi saat dilarang bermain gadget terlalu lama. Tidak hanya bunuh diri, kasus perundungan pun menjadi masalah yang terus melingkari dan belum juga temu solusi. 

Mirisnya lagi, perundungan pun seolah dianggap sebagai masalah yang tidak penting. Malah ada yang menganggap bahwa beberapa kasus perundungan adalah candaan diantara anak-anak saja. Sehingga tidak perlu terlalu diambil pusing. Miris. Selain perundungan dan bunuh diri, judi online pun kini tengah merambah di circle pergaulan mereka. Gegara gaya hidup hedonis atau hanya sekedar mengikuti trend, mereka terbawa arus judi hingga akhirnya ketagihan.

Masalah-masalah ini terus menggempur dan merusak cara pandang anak tentang hidup dan kehidupan. Bagaimana tidak? Lingkungan yang rusak, cepat atau lambat akan menjerumuskan anak pada keadaan yang terpuruk. Semua ini merefleksikan bahwa negara telah gagal mengurusi masalah anak. Padahal beragam kebijakan telah ditetapkan. 

Di antaranya pasal-pasal tentang perlindungan anak, kebijakan Kota Layak Anak dan kebijakan lainnya yang mengupayakan perlindungan terhadap hak hidup anak. Namun faktanya, semua aturan tersebut tidak mampu menyentuh akar masalah.

Sistem kapitalisme yang sekuleristik menjadi biang kerok timbulnya berbagai masalah mengerikan pada anak. Sistem yang terus berusaha mendapatkan keuntungan materi, telah memaksa negara agar menetapkan setiap keputusan hanya berstandar pada keinginan para pemilik modal. Alhasil, konsep inilah yang menciptakan kerusakan berbagai tatanan. Salah satunya kurikulum pendidikan yang sama sekali tidak berbasis aturan agama. Aturan agama ditanggalkan karena dianggap menghambat kemajuan. Akhirnya perilaku anak berada di luar batas karena tidak ada pemahaman syariat agama sejak kecil.

Kondisi keluarga dan lingkungan pun sangat mempengaruhi pembentukan pribadi pada anak. Keluarga yang minim ilmu karena orang tua yang sibuk mengejar materi menciptakan jiwa anak yang gersang, minim perhatian dan kasih sayang. Lingkungan yang egois dan serba cuek pun melahirkan pribadi anak yang bebas dan mudah menerima berbagai konsep keliru. Akhirnya sistem destruktif ini melahirkan pola pikir yang bebas dan pragmatis. Semuanya dijalankan serba praktis tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi.

Sementara di sisi lain, negara menganggap masalah anak bukanlah masalah besar yang urgent. Sehingga setiap regulasi yang ada, tidak dilengkapi dengan sistem sanksi tegas yang mengikat. Ini membuktikan bahwa negara tidak serius menangani berbagai masalah anak.

Berbelitnya konsep penjagaan anak ala sistem rusak. Nasibnya kian terkoyak seiring dengan kentalnya kapitalisme sekuleristik. Sungguh, sistem ini benar-benar tidak layak dijadikan pondasi penjagaan anak.
Islam-lah satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan. Konsepnya yang amanah akan menjaga nasib anak dari berbagai ancaman. Negara dengan sistem Islam, yakni Khilafah, menetapkan bahwa penjagaan masa depan anak adalah prioritas utama. Sehingga berbagai kebijakan ditetapkan demi menjaga kualitas kehidupan anak. Dalam hal pendidikan, kurikulum pendidikan ditetapkan dengan akidah Islam sebagai basis kurikulum yang utama. Syariat Islam menjadi dasar setiap kebijakan. Sehingga mampu optimal menanamkan kaidah-kaidah Islam sejak dini. Anak pun mampu membedakan konsep halal haram, dan benar salah sesuai standar yang benar sejak usia belia.

Dalam Islam, keluarga pun diposisikan sebagai sekolah yang pertama dan utama. Orang tua menjadi teladan yang mampu menjadi role model bagi anak-anaknya. Kontrol masyarakat pun mampu tercipta optimal karena konsep yang ada dalam tubuh masyarakat adalah konsep yang shahih. Kontrol sosial berfungsi dan mampu menjadi alat untuk saling mengingatkan dan menjaga.
Sempurnanya sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dan hanya konsep inilah yang mampu menyajikan harapan dalam penjagaan anak. Anak adalah penerus kehidupan. Dari tangannya-lah, tongkat estafet peradaban mampu dilanjutkan. Wallahu 'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab